TERKINI

Kisah Maling yang Tolol - Muhammad Ilfan Zulfani

@kontributor 4/14/2024

Kisah Maling yang Tolol

Muhammad Ilfan Zulfani



Ini adalah kisah seorang pencuri dan sehelai sapu tangan.

Saat dalam keadaan hampir tertidur, pada suatu malam, aku terjaga lagi karena suara-suara tidak normal yang tiba-tiba kudengar. Aku punya gejala hiperakusis, sebuah kondisi yang membuatku sangat sensitif dengan suara-suara yang sebenarnya sepele.

Itu jenis suara yang cukup jarang kudengar di tengah malam begini. Biasanya aku hanya mendengar suara pintu kamar mandi berderit di malam hari karena lupa ditutup, suara gemuruh pendingin ruangan, detak jam dinding, atau… suara-suara batin yang sahut-menyahut di dalam pikiranku.

Tapi malam ini aku mendengar seseorang sedang berjalan berjingkat-jingkat, cukup jelas. Apalagi dia kadang juga menginjakkan kakinya dengan normal, makin jelas.

Aku segera bangun dari tempat tidur. Dan, ah sial, karena aku masih dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, aku melakukan gerakan bangun dengan cepat sehingga membuat kasurku yang tidak begitu kokoh ini berbunyi.

Suara yang aku dengar selanjutnya adalah suara kaki yang berlari, dan lalu, motor yang digas kencang. Barangkali dia memang mengira seseorang telah bangun dengan suara denyit kasur itu.

Dalam kalkulasi rasional si maling, kabur berlari dan mengegas motor dengan kencang lebih mungkin selamat daripada hanya berupaya bersembunyi di dalam rumah, melawan penghuni, ataupun kabur dengan gerakan diam-diam.

Bisa jadi dia telah mempelajari hal tersebut di dalam buku 1001 Teknik Mencuri Agar Tidak Ketahuan atau Setidaknya Tidak Tertangkap. Tak usah kaucari buku itu benar-benar ada atau tidak.

Karena aku sudah ngantuk, aku tidak memeriksa barang apa yang hilang. Hanya mengunci pagar dan pintu, lalu tidur kembali. Toh, peristiwa pencurian itu telah terjadi.

Keesokan harinya aku baru memeriksa isi rumah dan mendapati satu buah laptop mahal meski-mereknya-tidak-begitu-terkenal, setumpuk uang tunai sebanyak satu juta dua puluh lima ribu rupiah, dan dua buah ponsel kebanggaan Steve Jobs raib.

Aku menghembuskan nafas syukur karena teringat semua data-data penting di semua gawaiku telah kucadangkan di cloud. Aku segera menuju gawai yang tersisa yakni sebuah komputer ber-CPU —yang tentu saja agak ribet diangkut si maling— untuk mengeluarkan akun Google-ku di semua gawai serta mengganti kata sandinya. Beres. 

Ketiga barang yang hilang tadi ada di meja yang sama dan mereka tampil begitu vulgar di ruang tengah, tepatnya di depan televisi. Mudah sekali buat si maling.

Baru saja aku ingin melanjutkan hari, tiba-tiba aku melihat sehelai sapu tangan berwarna biru teronggok di atas lantai.

Ya… ya… aku ingat. Sapu tangan itu terakhir kali aku letakkan di depan televisi bersama barang-barang yang hilang tadi. Aku taruh di situ setelah melipatnya dengan takzim, rapi sudut-sudutnya, dan tentu saja setelah kusemprotkan parfum terbaik.

Hanya sapu tangan ini saja yang tak diangkut si maling.

Wah, waduh, gila! Mana bisa?

Aku telah memaafkan si maling, sembilan menit setelah dia kabur dari rumahku atau empat menit sebelum aku terlelap. Tapi kali ini aku menarik pemberian maaf itu.

Bagaimana bisa seorang maling tidak mencuri sapu tanganku?

Pagi ini, aku berangkat kerja dengan perasaan hati yang tidak nyaman. Baju dari penatu yang biasanya kusetrika lagi agar lebih rapi, pagi itu tidak aku lakukan. Sarapan nasi uduk yang dibeli di depan komplek tidak kuhabiskan. Aku pun berangkat kerja dengan ojek daring, tidak dengan motor seperti yang sudah jadi kebiasaan. Khawatir terjadi apa-apa di jalan dengan perasaan galau demikian.

“Kamu kenapa?” kata salah seorang rekan kerjaku, “lebih pendiam dari biasanya”.

“Tidak apa-apa.”

“O iya. Tumben pakai komputer kantor. Biasanya bawa sendiri.”

“Laptopku dicuri.”

“Oh, sebab itu kamu bersedih?”

“Bukan.”

“Selain itu, memangnya apa lagi yang dicuri?”

“Uang sekitar 1 juta dan dua buah ponsel pintar.”

“Yang bikinan Steve Jobs itu? Oh, wajar jika harta semewah dan semahal itu membuatmu bersedih.”

“Bukan.”

Aku berusaha fokus mengerjakan tugas di kantor hari itu dengan hati yang tercabik-cabik. Begitu pukul empat sore, aku langsung cabut dari kantor.

Hari itu aku benar-benar berduka.

Malam hari tiba dan, syukurlah, aku bisa tertidur meski dengan banyak pikiran.

Tapi “banyak pikiran” ini telah membuatku lupa mengunci pintu.

Seorang maling yang sepertinya lebih profesional masuk ke rumah dengan lebih rapi (aku tidak tahu persis apakah dia maling yang sama dengan hari sebelumnya). Si pencuri tak menghasilkan suara yang membuat penghuni curiga bahkan bagi seorang yang mengidap hiperakusis sekalipun.

Apa yang dicurinya? Televisi yang pernah kusinggung sebelumnya. Itu bukan televisi tipe biasa. Harganya cukup mahal, dengan suara dan gambar yang sangat baik. Aku beli karena aku bukan hanya hobi “menonton” film, tapi juga “merasakannya”. Harganya 11 juta rupiah (paragraf ini tidak seperti iklan, bukan?).  Sangat lumayan buat maling yang mengambilnya dengan cuma-cuma, terlebih dari pemiliknya yang teledor.

Ia pun mengambil beberapa barang-barang elektronik kecil yang harganya juga lumayan seperti earphone. Lagi-lagi, itu bukan penyuara telinga murahan. Harganya hampir lima ratus ribu. Begitu juga powerbank yang harganya hampir enam ratus ribu, mampu mengisi daya lebih cepat dan dengan kapasitas daya 10.000 mAh.

Tak salah aku menyebutnya sebagai maling yang lebih profesional karena dia bisa mengangkut televisi sebesar itu dengan lebih tidak berisik dibandingkan maling sebelumnya. Dia juga bisa mengenali barang-barang kecil yang mahal.

            Aku langsung menyadarinya pagi itu karena hilangnya televisi yang besar itu benar-benar mengubah pemandangan ruang tengah.

            Aku terkulai lemas bertopangkan sekujur kaki mirip posisi duduk di antara dua sujud, menarik dan menghembuskan nafas lebih cepat seperti biasanya.

            Tidak cukup tragedi terjadi kemarin, ternyata hari ini pun tragedi yang sama berulang.

            Sapu tangan itu tidak ikut dicuri. Bahkan lebih parah posisinya, bergeser pun tidak.

            “Mengapa?”. Itulah pertanyaanku hari ini yang memang sudah berkecamuk dari kemarin. Kini pertanyaan itu seolah-olah berwujud hantu yang jauh lebih menyeramkan. “Mengapa maling tidak tertarik dengan sapu tanganku?”

Si maling tadi malam lebih cerdas dan berwawasan, lebih profesional, tapi ia juga tak ingin sapu tanganku.

Pagi itu, aku memutuskan untuk tidak berangkat kerja. Ku kirim WA pemberitahuan cuti ke bapak direktur. "Bos. Aku cuti hari ini. Terima kasih". Aku sudah tidak menghiraukan lagi apa jawaban dari atasanku.

Hal yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya agar aku bisa mengundang maling itu lagi ke rumahku. Dan yang terpenting, bagaimana agar dia mencuri sapu tangan itu.

Perlu Kawan tahu, jangan dikira hal ini mudah. Tak ada maling yang akan datang karena aku membuat status Whatsapp, "Hai kawan. Di rumahku ada dua kilogram emas murni. Sila berkunjung,” kecuali di film-film.

Aku memutar akal. Menimbang rencana-rencana.

Ya, sepertinya aku bertemu jawabannya ketika membeli nasi uduk di depan komplek.

Dua orang yang juga ikut mengantri menu sarapan sedang bergosip ria tentang seorang penghuni komplek yang baru saja membeli motor baru yang mahal.

“Ih. Si anu baru beli motor baru lagi, say. Gua cek di Google, itu harganya 39 juta. Padahal belum ada satu tahun dia membeli motor yang terakhir, sekarang beli yang baru lagi.”

“Iya ya. Padahal kan dia cuma hidup sendiri. Ngapain juga punya motor dua. Kurang kerjaan.”

“Mending buat mahar nikahin lu, bisa kali ya?”

“Gila lu. Gue emang janda. Tapi nggak sama berondong juga.”

Sampai di rumah, nasi uduk kukesampingkan dulu. Segera aku cek saldo salah satu rekeningku lewat ponsel android.

Tertulis: Rp60.000.000. Cukup.

Aku lalu membuka bungkus nasi uduk dan melahap isinya.

***

Sore tiba dan aku akan melakukannya.

Aku pergi ke dealer motor tak jauh dari komplek dan membeli roda dua yang lebih mahal dari milik si  “berondong”, seharga 49 juta rupiah.

Esok harinya, jam lima sore, roda dua berbodi besar yang kupesan itu datang diantar mobil pick-up.

Sengaja aku meminta diantar pada waktu tersebut karena jam-jam segitu jalanan komplek ramai. Para karyawan atau pegawai baru pulang dari tempat kerja, para remaja bermain bola dan ibu-ibu merumpi sambil menyuapi anak kecilnya makan sore.

Sebelumnya kuberi tahu sopir yang mengantar motorku agar membawa mobil pelan-pelan saja di jalan komplek karena orang komplek suka keheningan dan banyak anak-anak berkeliaran.

Lalu, kubuka aplikasi WhatsApp, tekan “archived”.

Ada grup “Warga Komplek Nyaman Asri” di situ dengan 320 pesan belum dibaca.

Kuketik di sana:

“Assalamu’alaikum. Bapak dan ibu penghuni komplek yang terhormat. Sudi kiranya besok malam selepas Maghrib menghadiri acara selamatan umrah di rumah saya. Terima kasih.”

Tidak selang berapa lama, kira-kira ada 15 pesan masuk yang berisi jawaban salam, penyanggupan kalau akan hadir besok, serta ucapan doa-doa semoga umrahku lancar.

***

Azan maghrib mulai berkumandang, suaranya masuk ke sisi-sisi rumah para penghuni komplek tepat setelah mobil box catering selesai mengantarkan pesananku.

Dua puluh lima menit setelahnya, sehabis wirid bakda sholat, para jamaah sholat maghrib datang berduyun-duyun. Yang ibu-ibu kebanyakan berangkat dari rumahnya masing-masing. Ada juga bocah-bocah.

“Bapak-bapak, ibu-ibu, adik-adik. Terima kasih sudah berkenan datang. Saya mohon doa agar ibadah umrah saya dilancarkan dan diberkahi. Besok lusa berangkat,” ujarku memulai acara.

Prosesi selamatan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan zikir, ayat-ayat kitab suci, dan doa-doa. Semua dipimpin oleh imam masjid. Setelah selesai, aku dibantu oleh dua-tiga pemuda komplek mengedarkan nasi kotak ke setiap yang hadir.

“Umrah pertama, nak?” tanya Haji Rokhib.

Eh? Aku bingung menjawabnya. Iya, aku sudah pernah umrah. Tapi bagaimana menjawab soal ini?

“Iya, Pak.” Kata-kata itu meluncur saja.

“Semoga perjalanan umrahnya lancar, Nak.”

Acara kemudian dilanjutkan oleh ngobrol-ngobrol sebentar antar yang hadir. Lalu, azan isya berkumandang, memutus setiap obrolan. Semuanya diam dalam kesunyian masing-masing sembari menjawab setiap bait azan.

Persis dua detik setelah azan berhenti, seorang dari yang hadir berseru, “Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad!”. Para hadirin hampir serentak menjawab, “Allahumma sholli ‘alaih!”.

Mereka berdiri dan bergantian keluar melangkah dari pintu rumah. Sebagian dari mereka menyalamiku, menyampaikan doa-doa. Ada pula yang menitipkan secarik kertas, memintaku untuk membacakan hajat-hajat mereka di tempat yang mustajab di doa kota suci.

****

Dua hari kemudian.

Di dalam kamar sempit sebuah penginapan seratus ribuan, aku menyalakan laptop yang kupinjam dari seorang teman. Kubuka situs penyedia jasa keamanan, mengetikkan alamat surel dan kata sandi, lalu mengklik bagian “CCTV”.

Di layar laptop sekarang terpampang pemandangan bagian-bagian yang ada di rumahku: depan rumah, ruang tengah, dan garasi.

Tampak di dalam garasi, sebuah motor yang baru kubeli itu. Sangat gagah. Masih dibungkus plastik. Kontras sekali dengan motor lamaku (ya, sesuatu akan terlihat lebih buruk hanya saat kita membandingkannya).

Sementara di ruang tengah, tepatnya di dalam sebuah laci besar, aku telah menempatkan sebuah brankas yang telah dikunci. 

Rencana-rencana ini telah kubangun dan tak mungkin gagal. Aku akan memastikan maling itu, atau siapapun malingnya, tak bersikap kurang ajar lagi.          

Hari pertama berlalu dan tak ada siapapun yang datang.

Hari berikutnya, tak ada juga. Hanya seorang kucing yang mengendus-ngendus pintu rumah.

Hari ketiga. Aku terbangun jam dua malam dan tidak bisa langsung melanjutkan tidur lagi karena ada beberapa sentimeter atau desimeter kubik air yang hendak tumpah dari tubuhku. Maksudku, air kencing.

Yang ditunggu akhirnya datang juga.

Setelah aku selesai buang air kecil, kulihat pemandangan yang berbeda di layar laptop. Ada sesosok berpakaian hitam, berkupluk hitam, bermasker hitam, sedang mengutak-ngatik lubang kunci di pintu rumahku (yang juga berwarna hitam). Sungguh kebetulan, aku bisa melihat peristiwa ini secara live.

Kukira dia adalah seorang pemuda berusia awal dua puluhan (lagi-lagi aku tidak tahu apakah dia pencuri yang sama dengan kejadian pertama dan kedua).

Hanya butuh tiga-empat menit, dia berhasil membuka pintu itu.

Ia tak akan menyadari ada CCTV di tiga sudut rumah ini karena letaknya tersembunyi, kubeli mahal. Tapi aku tak sanggup membeli CCTV dengan fitur lebih baik lagi, yang juga bisa merekam suara.

Si pencuri ini gerakannya cukup cepat. Tentu ia tidak khawatir akan membangunkan siapapun di rumah ini karena ia telah tahu bahwa penghuninya yang hidup sendiri sedang “berangkat umrah”. Aku sendiri yang mengumumkannya, termasuk kabar bahwa ada motor baru di rumah ini yang harganya nyaris 50 juta rupiah.

Dua menit kemudian, dia berhasil membuka pintu garasi. Aku bisa merasakan pencuri itu tersenyum licik saat melihat kendaraan mewah di depannya. Oh, andai saja, andai dia mengetahui bahwa aku menyaksikan seluruh perbuatannya dan bahwa dia akan terjebak di dalam sebuah muslihat.

“Bocil” itu tidak serta merta membobol kunci motor sementara dia tidak diburu-buru oleh keadaan apapun. Malam pun masih teramat panjang.

Ia lalu keluar dari garasi dan kembali ke dalam rumah. Ia mengedarkan pandangan ke sudut-sudut rumah untuk mencari sesuatu.

Pertama ia ke kamarku dan sepertinya membuka laci-laci yang ada di sana (aku tak bisa melihatnya karena tidak ada CCTV disitu). Ia keluar tanpa membawa apapun. Nihil. “Bukan di situ, sobat!” seruku dari sini.

Maling itu menggaruk-garuk kepalanya. Lantas ia melihat lemari buku-bukuku. Di sana ada map-map yang menarik perhatiannya. Ia membuka berkas-berkas itu dengan gerakan cukup cepat. Lima menit, ia tak menemukan yang dicarinya.

“Ayo. Sedikit lagi!”. Aku tak sabaran.

Nah. Dia sekarang menuju laci besar itu! Hahaha! Satu, dua, tiga. Kurasakan ia sumringah tetapi sekaligus kaget ketika melihat brankas itu. Ia menggaruk-garuk kepalanya lagi. Terdiam sebentar, lantas menarik ponsel dari kantongnya.

“Mau apa kamu? Buka WikiHow?” batinku. “Ayolah, kukira kamu maling yang pintar!”

Oh, tidak. Dia menelepon seseorang. Mungkin teman pencurinya.

Seseorang yang diteleponnya itu seperti memberikan tutiorial kepada si maling. Sepuluh. Lima belas menit. Ia belum berhasil membobol brankas menggunakan beberapa alat yang ia bawa di tas kecil.

Ia tentu cukup pintar untuk tidak membawa saja brankas itu dan lalu membongkarnya dengan pelan dan teliti di tempat yang aman, atau membawanya ke seorang ahli. Ia membutuhkan kunci motor yang asli agar kondisi motor tidak meninggalkan bekas, tetap seperti baru. Harganya tentu beda. Apalagi kalau dokumen-dokumen kendaraan juga berada di “kotak hitam” itu.

            Tapi, aku gembira. Aku memang mengharapkan ia berhasil membongkar brankas itu, tapi tidak dengan cara yang sat-set-sat-set. Kesusahan akan menghasilkan penghargaan. Orang-orang cenderung tidak menghargai apa yang didapatnya dengan mudah.

Sepertinya akan lama. Perutku lapar. Aku memesan makanan secara daring.

Tiga puluh menit kemudian, seperti perkiraanku, ia memang belum berhasil membobol brankas. Ponsel bergetar. Aku turun ke lobi penginapan untuk mengambil paket nasi dan ayam tepung plus minuman ringan.

Setelah mencuci tangan, aku mulai menyantap makanan cepat saji ini.

Laki-laki itu berhenti. Ia lalu duduk dengan kaki yang diselonjorkan dan tangan menopang tubuh di sisi kiri dan kanan. “Lelah ya?” bisikku, seolah-olah dia bisa mendengar.

Ayam drumstick ini sudah habis. Untunglah paket yang kupesan berisi dua potong ayam. Kini aku mulai menyantap nasi yang tersisa dengan potongan sayap.

Mulutku terasa terlalu berminyak. Saatnya menyedot minuman ringan bersoda ini. Segar.

Wajahku kembali menatap layar laptop dan mendapati lelaki itu sudah lenyap. Aku sedikit panik karena ia tidak bisa dilihat lewat tiga kamera CCTV.

Ternyata ia keluar dari arah dapur membawa botol kaca besar yang berisi air dingin. Pencuri itu menegaknya langsung dari botol tanpa menyentuhkan bibirnya ke mulut botol. Tentu tak kalah segar dengan soft drink ini meski rasanya hambar.

Baiklah maling, kau sudah minum. Aku juga sudah minum. Mari lanjutkan usahamu!

Ia mengelus-ngelus brankas itu, juga memukul-mukulnya seperti rebana. Kemudian kembali ke posisi membongkar brankas. Ia tak menelepon, kali ini ia menonton sesuatu di ponselnya. Apa ia membuka Youtube?

Sepertinya iya. Ponselnya dalam posisi landscape.

Sepuluh menit. Ia berhenti nge-Youtube. Lalu mengutak-ngutik brankas lagi.

Sepuluh menit lainnya berlalu. Ia menyentuh layar ponsel lagi. Lagi-lagi sepuluh menit berlalu. Ia kembali mengutak-atik brankas.

Lalu nonton Youtube lagi selama sepuluh menit. Dan… kembali mencoba membobol brankas.

Tiba-tiba maling itu meloncat-loncat. Tangannya memukul-mukul angkasa. Aku bisa “mendengar” ia bersorak-sorai di sana.

Pintu brankas itu terbuka.

Jantungku berdegup kencang. Maling itu sekali lagi mengepalkan tangannya, dan menggerak-gerakannya. Selebrasi.

Lalu ia melihat isi brankas itu. Sebuah kotak biru terbuat dari kardus premium telah kuletakkan di sana. Ia menarik kotak itu dan membukanya.

Ia menarik barang berharga dari kotak itu. Disentuh-sentuhnya sebentar. Dan “buuuk”! Kardus hitam itu dibantingnya. Sapu tangan itu dilemparnya, melayang, terjatuh tak jauh dari kakinya.

“Babi! Babi!” ia mendesiskan sumpah serapah, “Bajingaaaaaan!”

Aku tak bisa mendengar ia mengucapkan kata-kata yang tak layak untuk cerpen anak-anak itu.

Tapi di sini, aku juga meluncurkan kutukan untuk maling itu, yang ia juga tak bisa dengar.

“Maling tolol! Maling tolol!” kataku. Aku membanting kotak kertas yang berisi tulang ayam dan sisa saus, dan tak sengaja menyenggol gelas kertas yang masih berisi setengah minuman bersoda, membanjiri celanaku.

“Tolol!”

Aku marah dan sekaligus begitu kecewa. Muslihatku gagal. Adalah satu jam di malam itu aku duduk terdiam bersandarkan dinding kasur. Mengingatnya.

Mengingat kalimat pertama yang ia ucapkan. Aku hafal satu per satu kata dari apa yang ia ucapkan.

Ia duduk di depanku, di kereta kelas bawah murah meriah yang membawaku dari Jakarta menuju Pasuruan.

“Maaf Mas, kaos sampean terbalik.”

Tiga menit ia duduk di situ, setelah merapikan bawaan dan mematut-matut posisi duduk, dan menatapku sebentar, lalu diucapkannya kalimat itu.

 Yang terjadi berikutnya adalah percakapan-percakapan yang tiada habisnya. Ternyata ia adalah aktris spesial di ibu kota, spesialisasinya pemeran dengan bagian kecil —tak pernah lebih dari lima dialog. Ia sekarang dalam perjalanan pulang ke salah satu kota di Jawa Timur, kampung halamannya, karena pemerintah kota setempat sedang mengadakan casting terbuka untuk film yang akan dibuat —khusus “akamsi”.

Kukatakan padanya bahwa proyek film oleh pemerintah daerah pasti bukanlah film yang muluk-muluk.

Si perempuan berseloroh, “Maksud kau bukan film yang muluk-muluk itu artinya film yang jelek, ‘kan?”

Lalu dia bilang kalau maksud utamanya hanya ingin menjadi aktris utama saja, dikesampingkannya mimpi-mimpi ingin menjadi aktris utama dengan karakter yang kuat seperti para pemenang Academy Awards atau minimal Piala Citra. Berbekal curriculum vitae pernah punya beberapa dialog di hampir dua puluh film layar lebar, ia yakin akan ditunjuk menjadi pemeran utama.

“Aku cukup cantik, ‘kan? Bagaimana menurutmu?”

Aku tidak siap dengan dengan pertanyaan itu, salah tingkah, dan tiba-tiba bersin. Tanganku berlumur dahak karena menghalangi mulut.

“Hahahaha! Gitu aja salting, lo!” katanya. Dia mengambil sesuatu dari tasnya, sebuah sapu tangan. “Ini emang bekas ingus gue. Tapi udah gue cuci bersih kok. Buat lu aja. Gue punya banyak!”

Aku mengambil sapu tangan itu dan melanjutkan perbincangan soal hantu-hantu di Semarang —kereta kami baru saja melewati Stasiun Semarang Poncol.

Ia pernah syuting film horor di Semarang. “Itu adalah satu dari dua film yang aku dikategorikan sebagai pemeran pendukung. Masuk kredit! Dan ada belasan dialog yang aku ucapkan! Tapi sayang filmnya nggak laku, hahaha. Film horor Indonesia dua belas tahun yang lalu, tahu ‘kan bagaimana kualitasnya?”

Tak selang berapa lama dari percakapan terakhir tadi, aku sudah tidak mengingat percakapan apa-apa lagi. Tertidur. Ketika bangun, aku mendapati kursi di depan kosong. Stasiun yang ia mestinya turun di situ, sudah lewat.

Dalam hari-hari kemudian, aku menelusuri film horor yang berlatar belakang Semarang, rilis dua belas tahun yang lalu. Nihil. Film yang dimaksud tak kutemukan. Dalam dua tahun terakhir ini, aku juga memaksa diri lebih banyak menonton film-film Indonesia (sangat sedikit film Indonesia yang kulewatkan) yang lama dan yang baru, dan tak pernah kulihat sosoknya muncul di antara film-film itu. Tak ada juga namanya, Elya Sufina, muncul di kredit.

Apakah ia benar-benar aktor? Atau telah meng-aktor-kan dirinya di sepanjang perjalanan kereta itu?

Film proyek pemerintah kota itu juga aku search, hanya ada beberapa informasi awal soal rencana pembuatan film. Dan sampai kini, tak pernah ada kabar apa-apa lagi di internet. Aku mafhum kalau soal ini.

Bersama perasaan-perasaan yang tak kunjung reda, hanya sapu tangan itu yang tersisa dari dirinya. Kucuci pun jarang sekali karena khawatir air dan detergen akan melunturkan sisa-sisa kenangan yang melekat, yang tak pernah dan mungkin tak akan dipahami si maling yang tolol itu.

Dua Marga Nirwan Dewanto: Puisi dan Riwayat Hidup Penyair yang Perlu Didengar - Danang Nugroho

@kontributor 4/14/2024

Dua Marga Nirwan Dewanto: Puisi dan Riwayat Hidup Penyair yang Perlu Didengar

Danang Nugroho

 


Era terus berubah, sastra pun ikut berubah. Perubahan tersebut tentunya dipengaruhi oleh realitas sosial, budaya, politik, dan pelbagai alasan lainnya. Hal ini sudah tempak dari sejarah sastra di Indonesia, dimulai dari Pujangga Lama, Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950—1960-an, Angkatan 1966-1970-an, Angkatan 1980-1990-an, Angkatan Reformasi 1998-2004, hingga angkatan 2000-an kini yang disebut (Pascareformasi). Perubahan yang terjadi tersebut menciptakan karya-karya yang berbeda di setiap angkatannya. Kreativitas penyair muncul bersamaan dengan apa yang dihadapi dan apa yang akan didayakannya. Kreativitas itulah hal yang ditawarkan oleh salah satu sastrawan Indonesia, Nirwan Dewanto, dalam buku berjudul Dua Marga.

Pendayaan penyair untuk menghasilkan buku tersebut tidak hanya duduk sekali langsung jadi. Namun, Nirwan menempuhnya dengan analisis-kritis untuk menghasilkan buku yang indah dan bermakna. Penempuhan Nirwan dilakukan dengan cara pemencilan diri selama kurang-lebih dua tahun dari Maret 2020 hingga Februari 2022. Tidak hanya kelelahan yang didapat, namun Nirwan mendapat balasan yang baik atas karyanya. Dua Marga karya Nirwan Dewanto manjadi buku kumpulan puisi terbaik 2022 pilihan Tempo.

Mengapa buku tersebut terpilih pasti ada alasannya. Buku Dua Marga, dilihat dari judulnya saja, itu sudah membuat orang berpikir. Yang dimaksud dua marga itu, apakah perihal dua komunitas etnis dan lokalitas, dua marga yang melebur jadi satu keluarga, atau perihal-perihal lain mengenai keheterogennan. Hal ini akan terjawab jika membedah isinya. Dari judulnya saja sudah menggoncangkan pikiran pembaca, apalagi isinya. Mari kita telisik lebih dalam.

Perihal Terpilihnya Dua Nama

Dalam buku Dua Marga ini, isinya merupakan keheteroniman, demi menjalankan escape from personality atau menyatakan kematian sang pengarang, supaya riwayat hidupnya tidak menjadi bahan yang mentah dan memalukan bagi khazanah puisinya. Nirwan tidak pernah bermimpi melahirkan heteronim dalam jalan sastranya, ia juga tahu bahwa dalih “sosok pribadi dalam sajak” sangat berkuasa dalam persajakan dan telaah puisi di Indonesia. Baginya cukuplah bahwa subyek penutur dalam sajak-sajak Jantung Lebah Ratu (2008) dan Buli-Buli Lima Kaki (2010) bukan diri pribadi Nirwan Dewanto (Dewanto, 2022:107)

Kemudian, perihal keheteroniman kepribadian di dalam buku puisi tersebut, mengacu pada dua nama penyair terdahulu, yaitu Halima Puti Djamhari dan Nyonam Hambulu Adwaita. Nirwan memilih dan memilah 30 sajak masing-masing penyair untuk disajikan dalam dua bab dalam buku Dua Marga. Tentunya kedua penyair dipilih berdasarkan alasan. Sebelum ke isi, alangkah baiknya mengulik dulu alasan Nirwan mengenai dua pilihan penyair tersebut yang sudah dituliskannya dalam buku Dua Marga bab “PERIHAL DUA NAMA” halaman 105—113.

Penyair yang pertama dicantumkan adalah Halima Puti Djamhari. Halima lahir di Bukittinggi pada 22 April 1980, dan pada 2008—2009 ia bekerja di Santa Monica (California). Terbitnya nama tersebut didasarkan oleh Nirwan yang berniat menulis tiga puluh sajak untuk dijadikan bagian dari sebuah manuskrip Buli-Buli Lima Kaki. Akan tetapi, tujuh sajak di antara yang tiga puluh itu dirasa tidak bisa berada di jalan menuju buku puisi tersebut. Ketika Nirwan membaca kembali “Perempuan Terakhir” dan “Tulisan di Batu Nisan”, ia terpikir ada baiknya penggiat adalah perempuan. Itulah alasan singkat dipilihnya Halima Puti Djamhari.

Dengan biografi Halima yang kurus, Nirwan berhasil menyelesaikan total 12 sajak (yang dianggap Nirwan berhasil) di bawah kepribadian si penyair perempuan. Namun, kegagalan juga menghampiri Nirwan, karena riwayat hidup Halima yang terlalu singkat, tipis, dan kurang beralasan demi kehidupan sajak-sajak tersebut. Oleh sebab itu, Nirwan perlu merancang satu nama, satu kepribadian, yang lain lagi. Akhirnya, muncullah nama kedua, yaitu Nyoman Hambulu Adwaita.

Berbeda dengan sebelumnya, nama kedua yang diambil ini bukan perempuan, melainkan laki-laki. Nyoman Hambulu Adwaita lahir 19 Maret 1975. Nyoman tak tertarik menerbitkan puisi, tetapi bergaul dengan para penyair di Sanggar Cipta Budaya dan Sanggar Minum Kopi. Nyoman tamatan Sastra Inggris di Universitas Udayana, dan sekarang mengelola bisnis perhotelan keluarganya di Sanur setelah merampungkan studinya dalam hospitality management di Geneva.

Terpilihnya Nyoman diawali dengan perjalanan Nirwan ke Bali. Ia bergaul dengan lingkungan sastra di sana, Nirwan menyadari bahwa para penyair Bali, khususnya yang tumbuh oleh rangsangan Umbu Landu Paringgi, menulis puisi “dari pengalaman yang otentik”. Perjalanan Nirwan ke Bali membuat pikirannya untuk merancang tiga nama untuk si penyair imajiner, tatapi tidak ada satupun yang berjodoh dengannya. Kemudian, September 2018, kunjungan Nirwan ke Puri Agung Karangasem di Bali Timur membuat nama Nyoman Hambulu Adwaita hinggap di kepalanya. Berkat Nyoman, Nirwan berhasil menyempurnakan beberapa sajak yang tersia-sia sebelumnya.

Di bawah lindungan Nyoman, Nirwan berhasil menyelesaikan 35 sajak, termasuk memeoles beberapa sajak yang terbengkalai sebelumnya (ketika sang Nyoman belum ada). Namun, hanya 30 sajak saja yang dicantumkan dalam buku Dua Marga ini.

Itulah sepenggal kisah mengapa buku tersebut diberi nama Dua Marga, ya, itu tentang PERIHAL DUA NAMA: Halima Puti Djamhari dan Nyoman Hambulu Adwaita. Namun, kurang rasanya jika tidak ditelisik lebih dalam mengenai 30 sajak apa saja yang dipilih Nirwan Dewanto dari kedua nama tersebut.

 

 

 

Romantisasi dalam Sajak-Sajak Halima Puti Djamhari

Diawali dengan sajak-sajak Halima Puti Djamhuri, dengan bab tertulis “SAMUDANA”. Samudana merupaka kata dalam bahasa Jawa, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, berarti alam semesta. Pada sajak-sajak Halima, kebanyakan berisi tentang romantisasi di ranjang. Jika dikaitkan dengan alam semesta –samundana— romantisasi ini bisa dikatakan energi feminin dan maskulin pada alam semesta, yang selalu berhubungan atas dasar cinta sehingga membuat alam semesta selalu tumbuh dan berkembang hingga saat ini.

Jika dikerucutkan ke dalam konteks manusia, romantisasi alam semesta tadi menjadi romantisasi antar Adam dan Hawa. Ya, lebih tepatnya antara lelaki dan perempuan. Hubungan cinta antara lelaki dan perempuan dalam sajak-sajak Halima Puti Djamhuri ini sejalan dengan teori Standberg, yaitu triangular of love atau konsep cinta segitiga. Dalam teori tersebut, ada tujuh jenis hubungan cinta dan komponen cinta. Namun, yang saya fokuskan di sini adalah terkait komponen cinta Standberg. Komponen cinta menurut Standberg ada tiga, yaitu keintiman, gairah, dan komitmen. Berikut jabaran sajak-sajak yang berkaitan dengan teori Standberg.

Pertama, yaitu keintiman. Komponen yang dimaksud adalah perasaan ingin selalu dekat, ingin selalu berhubungan, membentuk ikatan dalam hubungan cinta kasih (Saktiana, 2022:641). Dalam komponen ini, pasangan memiliki keintiman yang tinggi, sehingga muncul rasa saling pengertian dan memahami karena adanya saling memberi dan menerima. Keintiman ini dapat ditilik pada sajak “PROKLAMASI”: dalam sajak ini, keintiman diungkapkan pada larik: “Tak akan aku pulang malam ini, tenanglah//” ungkapan kasih yang memberi kabar untuk tenang, dan “Sabarlah, supaya tekanan darahmu terkendali// Dan makanlah seperti biasa, dengan leluasa/ Sudah kusiapkan semuanya—sayur ayam// Tenang itu amak baik—tak mengeluh kenapa”. Tampak keindahan cinta sepasang yang saling memberi dan menerima bukan? Itulah keintiman sebuah hubungan.

Kedua, yaitu gairah. Komponen yang mengacu pada dorongan untuk romantis, daya tarik fisik, penyempurnaan seksual, dan fenomena yang terkait dalam hubungan percintaan (Saktiana, 2022:641). Komponen ini berkaitan dengan ekspresi dan kebutuhan seksual, sehingga melahirkan gairah ingin selalu dekat, bersentuhan, dan melakukan hubungan seksual dengan pasangan. Dua sajak menjawab teori tersebut. Pertama, “KIDUNG LATA”: kelamin aku lirik telah “Kupiara celah ini agar kau asuk dengan berhati-hati, agar kau tak membelukar di luar sana” tetapi, “kau masuk dengan tergesa, dengan seluruh batangmu yang gempal, dengan segala akarmu yang gusar”. Gairah yang amat agresif dilaksanakan oleh pasangan si aku lirik. Menilik sajak lain, “KEPADA SI PAWANG HUJAN”: sentuhan jemari pasangan aku lirik “Akan mengorek lengkung bianglala/ Bianglala yang berputing susu”, kemudian jemari itu “menyamping jejarum melayang/ Ke tirai laut yang menjulang di kiri dan kanan/ Jejarum yang akan menyeret matamu/ Ke tetes rahimku yang penghabisan//” Terlihat jelas betapa kejadian romantisasi itu terjadi, antara aku lirik dan pasangan kekasihnya –didukung sentuhan-sentuhan antar keduanya.

Ketiga, yaitu komitmen. Komitmen di sini berkaitan dengan keputusan yang tepat dalam memilih pasangan, sehingga diperoleh cinta yang bertahan dan berkomitmen jangka panjang dalam hubungan cinta (Saktiana, 2022:641). Komitmen ini menjaga agar hubungan tetap langgeng dan saling mengalah apabila ada masalah. Salah satu sajak Halima menjawab komponen ini, yaitu pada “BAKAL MEMPELAI”: dia datang “Barangkali lelaki itu bernama Ahmad/ Atau Yunus, sungguh aku tak peduli”, ketidak-pedulian aku lirik sebenarnya karena kurangnya rasa percaya diri“Wajahku bercadar, tapi betapa yakin ia/ Bahwa aku sungguh-sungguh betina—”. Nampak jelas kedatangan lelaki itu ada maksudnya. Ia datang ke rumah aku lirik wanita bercadar. Kemudian, deklarasi pun diungkapkan aku lirik pada: “Bahwa ia sendiri adalah bakal suamiku—// Mungkin namaku Salma, yang esok pagi/ Akan menghimpun selongsong peluru”, itulah komponen komitemen, ingin mempertahankan cinta, dan berkomitmen jangka panjang dalam hubungan cinta, ya, jawabnya adalah menikah.

Teori Standberg dan romantisasi ungkapan cinta pada bab “SAMUDANA: SAJAK-SAJAK HALIMA PUTI DJAMHARI” telah usai disiasati, sebenarnya masih ada banyak lagi yang bisa digali. Tapi, jangan sampai menghiraukan nama kedua: Nyoman Hambulu Adwaita.

Sosiologi Sastra dalam Sajak-Sajak Nyoman Hambulu Adwaita

Pada bab kedua sajak Nyoman Hambulu Adwaita, dicantumkan tulisan “ALINGGANA”. Dalam bahasa Kawi atau yang biasa disebut bahasa Jawa Kuno, kata “Alinggana” berarti pelukan. Bahasa Kawi yang dimaksud adalah salah satu bahasa yang pernah berkembang di Pulau Jawa pada zaman kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Kemudian, alinggana ini terdapat juga pada kutipan dari Kakawin Ramayana, yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah bercumbu. Kedua arti tersebut dapat diartikan tentang cinta, yaitu berpelukan dan bercumbu dengan pasangan. Akan tetapi, pada bab “SAMUDANA: SAJAK-SAJAK HALIMA PUTI DJAMHARI” sebelumnya sudah saya jabarkan sajak-sajak yang terkait dengan cinta. Mari beralih ke hal yang lebih penting, yaitu sosial. Saya menyiasati bab “ALINGGANA: SAJAK-SAJAK NYOMAN HAMBULU ADIWAITA” ini bukan perihal cinta lagi, namun berpelukan dan bercumbu dengan realitas yang ada: sosial. Berarti hal yang perlu disiasati adalah sosiologi sastra. Damono (1978) dalam pengantar bukunya Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas memaksudkan, bahwa sosiologi sastra merupakan suatu pendekatan yang memperhitungkan hubungan yang ada antara sastra dan masyarakat. Kemudian, di dalam sosiologi sastra ada klasifikasinya. Lan Watt (via Damono, 1978:3) dalam esainya yang berjudul “Literature an Society” mengklasifikasikan tentang hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat dapat dilihat sebagai konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Mari menelisik lebih dalam sajak Nyoman dengan sosiologi sastra.

Pertama, konteks sosial pengarang. Ini adalah hubungan antara sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca (Lan Watt via Damono, 1978:3). Hal ini sangat penting, karena masyarakat yang dituju ikut menentukan bentuk dan isi karya sastra. Sajak Nyoman, ada yang merepresentasikan hal itu, yaitu pada sajak “MAJAS KAMI”: sepertinya aku lirik agak risih dengan para pengkritik yang asal mengkritisi suatu karta “Sungguh, kami tak punya perkara denganmu/ wahai tuan filosof// Batu-batu hijau/ dan kolam-kolam merah darah dalam puisi kami”, para pengkritik itu menurut aku lirik kurang analisis dalam mengkritik, karena karya itu “tak pernah kaukenali// Dan kadal-kadal bening/ yang kaubenci selalu saja menyelusup (seperti kaum gerilyawan) ke dalam puisi kami”, memang, masyarakat itu bisa mengkritik sesuai dengan teori konteks sosial pengarang ini. Namun, bagi aku lirik, mereka itu –para pengkritik— perlu juga kritis dalam mengkritik, bukan asal omong dan memberi tanggapan saja. Sarkasme ditunjukan aku lirik pada larik “Kenapa kau betapa berhasrat mencapai inti/ dalam puisi kami, wahai tuan filosof?” kemudian, si aku lirik menganggap mereka yang asal mengkritik tak akan kami terima: “(tapi darahmu tak juga larut dalam darah kita)//”. Kutipan lain ada pada sajak “PENGULANGAN”: nasihat diberikan aku lirik kepada para kawannya “Penyair, jangan takut mengulang-ulang—/ tetaplah engkau menggandrungi sunyi” kemudian “Jangan percaya kepada si ahli kimia/ yang membujukmu menyimpang/ bersama barium, klor, argon—/ yang kering dan tak berima”. Nah, itu menunjukkan bahwa para pengkritik yang tak ahli dan kritis dihiraukan saja oleh para kawan penyair –persetan— buat mereka yang tak kritis, dan “tanyakan kenapa ia tak berberita saja/ tentang Alpha Centuri, misalnya”.

Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana dan sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cerminan keadaan masyarakat atau realitas sosial (Lan Watt via Damono, 1978:3). Terkait teori ini, ada pada sajak “TIDAK SEMUA NYANYI”: akan selalu ada yang bertahan waalau keadaan tergoncang: “Tidak semua pohon gementar oleh badai/ tidak semua benih membenci tanah gersang/ tidak semua buah memamerkan manisnya/ tidak semua cinta menggerus jantung hati/ tidak semua jantung rela akan denyutnya”, tampak jelas, ini gambaran realitas sosial, bahwa tidak semua orang itu idealismenya kalah dengan keadaan. Masih ada yang bisa bertahan, di era yang penghabisan ini –idealisme, nilai-nilai moral, kebaikan, kebermanfaatan, dll.— masih ada yang bertahan dan harus tetap bertahan. Manusia-manusia yang bertahan itu (seolah sebagai puisi dalam sajak ini) “Tidak setitik darah pun menetes ke puisi ini//”.

Ketiga, fungsi sosial sastra. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” (Damono, 1978:4). Karena tidak adanya sajak Nyoman yang menggambarkan fungsi sosial sastra, maka (Grebstein via Damono, 1978: 4—5) menjawabnya, yaitu “a) Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya; b) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya; c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakekatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-seorang; d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: yaitu faktor material istimewa dan sebagai tradisi; Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih; ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuatr tertentu; f) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa datang.”

Dalam kesimpulannya, Dua Marga merupakan proyeksi heteronim dua kepribadian atas dua penyair yang dicantumkan dalam buku, yaitu Halima Puti Djamhari dan Nyoman Hambulu Adwaita. Nama pertama, Halima, sajak-sajaknya dikemas dalam bab “SAMUDANA”. Bab itu yang membuat saya menyiasati sajak-sajak Halima dengan teori-teori cinta. Kemudian, yang kedua, Nyoman, sajak-sajaknya dikemas dalam bab “ALINGGANA”. Walaupun alinggana berkaitan dengan cinta –yaitu pelukan dan bercumbu. Namun, saya berusaha mengambil sisi yang beda, yaitu sajak-sajak yang berkaitan dengan nilai sosial –sosiologi sastra. Kedua bab tersebut tercantum masing-masing 30 sajak. Hingga pada akhirnya, saya perlu mencantumkan juga hutang rasa Nirwan Dewanto kepada kedua nama tersebut pada akhir esai ini.

Dua Marga adalah cara saya membayar hutang saya, dengan seksama, kepada dua penyair itu. Paling tidak, kami, tiga nama, sudah saling bertukar selubung, jalan, dan sarira” –Nirwan Dewanto (Dewanto, 2022: 113).

Salat, 2 - D. Zawawi Imron

@kontributor 4/14/2024
D. Zawawi Imron
Salat, 2




Ada orang salat, tapi tidak ketemu Tuhan
Gamelan serentak
Penari pawai sedang memetik kemenangan
Orang itu terus salat, tapi tak jumpa Tuhan

Kenapa?
Orang itu merasa menghadap Allah
Karena hatinya sedang digadaikan

2024

Aku Ingin Menangis - D. Zawawi Imron

@kontributor 4/14/2024
D. Zawawi Imron
Aku Ingin Menangis




Aku ingin tertawa 
Melihat kucing ingin menjadi harimau

Tapi melihat intelektual merasa bisa
menyelesaikan persoalan
Aku tersenyum

Mendengar orang merasa dirinya tuhan
Aku menangis

Sejak kapan orang berilmu roboh
hanya karena sebutir gerimis

2024

Gairah Masa Lalu - D. Zawawi Imron

@kontributor 4/14/2024
D. Zawawi Imron
Gairah Masa Lalu




Bertaburan untuk kampung halaman
Anugrah untuk kerabat dan handai taulan
Sebisik zikir, sejilat madu
Semua, mestika kenangan di tanah rantau
Karena sayang dan rindu kadang tak terpantau

Itulah kenapa aku pulang ke kampung
Walau jejak hanya sejarah
Tapi jejakku tak sekadar sejarah
Ada bercak darah masa lalu
Yang tak cuma irisan sembilu

Ini dunia
Bukan sekadar nama tenar yang mau dipetik harumnya
Sesuatu yang lebih biru dari itu

Kini menyunggi yang tak pernah diucapkan
Bukan nilai, tapi iman
Bahwa nenek menunggu, doa yang dipanjatkan sang cucu
Maka yang hidup dengan yang mati
Masih memadu
dalam hakikat bulat yang bukan satu,
bukan angka yang dicataf di buku

Menjadi diaspora
untuk menguji getaran rindu
Kembang setaman yang selalu mekar
Karena sangat indahnya masa lalu
Aku anak kampung
Anaknya ibu yang satu
Pahlawan yang mana tak akan secantik diamnya ibu

2024

Rumah Marakabombang, Pare-Pare - D. Zawawi Imron

@kontributor 4/14/2024
D. Zawawi Imron
Rumah Marakabombang, Pare-Pare
:A. Makmur Makka




Di rumah panggung itu 
aku tidur semalaman
Diasuh riak ombak yang tak bosan berzikir

Pagi-pagi kujemput matahari
Sambil mengaji pada langkah para nelayan
Yang telah jauh berlayar
Menepati janjinya pada anak dan istri

Menoleh ke arah kiri, ketinggian
Yang tanahnya menyimpan darah para pahlawan
Tanah kelahiran ini adalah kehormatan

Mereka mengusir Belanda bukan karena berani
Tapi karena janji suci
Gugur di medan perang lebih mulia
dari pada mati di ranjang

Menulis ini hatiku bergetar, 
Sudut mataku bergetah embun
Dadaku dilanda dahaga
Dahaga

Aku mencoba minum bayangan sinar matahari
Yang bercermin di air laut
Aku makin dahaga
Aku mengaji, aku mengkaji
Senyum pahlawan melepas nyawa
dengan senyuman

2024

Ini “Teman Duduk” Kita Sekarang, bukan “Teman Duduk”nya M. Kasim - Arbi Tanjung

@kontributor 4/07/2024

Ini “Teman Duduk” Kita Sekarang, Bukan “Teman Duduk”nya M. Kasim

(Membaca Cerpen Bulan Maret di Sastramedia.com )

Arbi Tanjung



Sebelum perang dunia kedua, cerita pendek di Indonesia di rintis oleh M.Kasim dan Suman Hs. Keduanya, memulai menulis cerita pendek dengan cerita lucu-lucu saja, sebagaimana dongeng-dongeng lucu yang dimiliki hampir semua suku bangsa di Indonesia. Cerita pelipur lara, yang seolah-olah cuma mengajak para pendengar (pembacanya) tertawa melupakan kesukaran dan penderitaan hidup sehari-hari. Khusus karya M. Kasim, cerita-cerita itu pula kemudian dihimpun dan diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam sebuah buku: Teman Duduk (1936). Begitu sejarah mencatat awal cerita pendek di Indonesia tumbuh, kemudian berkembang menjadi seperti yang kita kenal sekarang.

Cerita pendek adalah teman duduk. Ia lahir dari galian cerita-cerita yang masih hidup dari mulut ke mulut dalam keseharian. Atau cerita baru dengan bahan lama, kadang-kadang cerita yang sama sekali baru yang ditukik dari pergaulan keseharian.

Sebagai salah satu penyedia tetap rubrik cerpen sejak November 2021, Sastramedia.com tentu punya cara dan pilihannya sendiri untuk menentukan apa dan bagaimana cerpen sebagai “teman duduk” yang akan disuguhkan kepada pembaca. Apakah masih cerita sekadar pelipur lara sebagaimana awal tumbuhnya di masa M. Kasim dan Suman Hs?

Khusus edisi Maret 2024, apakah setelah membaca cerpen karya Iin Farliani, Didik Wahyudi, Rici Swanjaya, Yin Ude dan Bonie Chandra yang terbit di Sastramedia masih membuat pembaca tertawa mengakak sampai-sampai kulit perut kita sakit seperti efek membaca kumpulan cerita “Teman Duduk”nya M. Kasim?

Benarkah cerita ular, kucing mati, parasit, arwah, penyakit tbc yang mengisi penuh rubrik cerpen Sastramedia bulan Maret 2024 membuat orang-orang yang membacanya tertawa terpingkal-pingkal? Begitukah!

Semengerikan dan semenyeramkan inikah keseharian kita akhir-akhir ini, sampai-sampai cerita “teman duduk” pun adalah deretan binatang, makhluk gaib, dan penyakit yang penuh ancaman, semisal: ular, kucing mati, parasit, arwah dan penyakit tbc?

Cerita pendek, karena bentuknya, dapat dengan cepat merefleksikan kenyataan di sekitar kita secara lebih cepat dan lebih beragam dibanding dengan novel misalnya. Inilah sebabnya cerpen banyak dipakai oleh para pengarang untuk berbicara. Begitu tulis Jakob Sumardjo empat puluh sembilan tahun silam dalam esainya Mencari Tradisi Cerpen Indonesia yang terhimpun dalam buku Cerpen Indonesia Mutakhir (1983).

Ular, binatang yang menakutkan dan mengerikan bagi banyak orang, terutama anak-anak menjadi topik “teman duduk” pembaca dalam cerpen Esyil dan Ular Ayah (3/3/2024) yang ditulis Iin Farliani. Karena ular, seorang anak perempuan menderita depresi berat sejak umur 7 tahun hingga ia remaja. Ayahnya yang berprofesi sebagai penyamak kulit ular, memaksa Esyil untuk membantunya memegang pisau dan menguliti kulit ular. Karena hal itu, ia menanggung derita mental terus menerus.

“Coba kau bayangkan, anak kecil diminta untuk memegang pisau pengulit dan menguliti ular itu satu-persatu.Waktu itu aku baru berumur tujuh tahun. Ayahku akan memang gilku dengan suara yang menggelegar, memaksaku untuk memegang pisau pengulit, dan ia mulai membentangkan ular itu, dan memintaku untuk mengulitinya. Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun dipaksa menguliti ular. Gila, bukan?” Begitu curhatan tokoh Esyil kepada tokoh aku. Tokoh-tokoh yang ada dalam cerpen ini dominan perempuan: Esyil, Aku, Ibu Aku, Ibu Esyil. Perempuan-perempuan yang keceriaan dan kebahagiaannya di “lahap” oleh tingkah ayah dan ularnya. Ibu Esyil, perempuan yang kerap menerima kekerasan fisik dan kata dari ayahnya. Ibuku, perempuan yang bekerja sebagai pembantu di rumah Esyil turut menanggung beban karena perlakuan ayah Esyil. Esyil, perempuan yang selalu ketakutan saat ayah ibunya bertengkar akan menghisap habis perhatian ibuku kepadanya. Dan aku? Perempuan yang cemburu karena perhatian ibuku tersedot habis untuk Esyil.

Esyil tak berhenti bercerita kepadaku “Kadang aku berpikir ular-ular itu tak jauh nasibnya dengan diriku. Di tangan ayahku, aku dan ular-ular itu memiliki nasib yang serupa. Kami sama-sama dikuliti. Dikuliti! Begitulah.Perlakuan kejam ayahku kepadaku sejak dulu seperti mengulitiku hidup-hidup. Menjelma tekanan mental yang tak sembuh-sembuh”

Lewat cerita Iin Farliani, tak ada ruang dan celah untuk bisa tertawa. Tawa tak bisa menyusup dalam kesadisan. Bagaimana dengan cerita kucing mati?

 

Lain Ular, Lain Kucing Mati

Jika Iin Farliani, merefleksikan kenyataan ‘gangguan’ mental manusia karena ular, Yin Ude melalui cerpen Kucing Mati (24/3/2024) mengingatkan kemanusiaan manusia lewat seekor kucing mati. Kematian seekor kucing karena lapar usai melahirkan, jauh lebih penting dari pembahasan memperjuangkan kemanusiaan korban perang di Palestina.

Burhan dan enam rekan aktivis kemanusiaan sibuk membahas perjuangan kemanusiaan untuk Palestina, tetapi abai kepada seekor kucing yang kelaparan di hadapan mereka. Kucing itu akhirnya mati. Tokoh aku sangat mengutuk dan kecewa kepada suaminya (Burhan) dan kawan-kawannya. “Sebelum rapat kami melihat kucing itu di sudut pekarangan kita. Mengeong-ngeong lemah sekali. Kami pikir karena lapar. Tak kami pedulikan. Lalu saat rapat, ia melintas di ruang tamu. Jalannya limbung dan sempat kuhardik. Lalu masuk ke ruang dalam…”

Tokoh aku mengakui “Ya, ingin kucetuskan sesuatu yang merayapi dadaku semalam, yang hari ini kian bergolak, dalam bentuk teriakan, “ Palestina terlalu jauh, Kak! Kemarin ada seekor kucing, makhluk Tuhan juga, yang kelaparan, butuh bantuan, di dekat Kakak, tapi tak Kakak bantu!”

Sekali lagi, bila kita tetap ingin membanding-bandingkan masa awal tumbuhnya cerita pendek di Indonesia dengan cerita ini, maka ini bukan cerita lucu-lucuan. Ini kisah ambruknya kemanusiaan manusia. Akibat keambrukan itu, manusia bisa mengganggu manusia atau makhluk lainnya. Semisal parasit, mungkin.

 

Parasit “teman duduk” yang Mengganggu

Dari kelima cerpen bulan Maret di Sastramedia.com, cerpen Parasit (17/3/2024) karya Rici Swanjaya merupakan ”teman duduk” yang cukup mengganggu pembaca (atau jangan-jangan hanya aku saja). Gangguan yang paling terasa (mungkin hanya bagiku) adalah kesulitan untuk memahami isi cerita. Itu aku alami, jika membacanya hanya sekali. Beda bila dibaca berkali-kali. Gangguan lain yaitu kalimat atau kata yang terkesan “dipaksa” harus ada dalam tulisan. Semisal: (1) semacam mekanisme pertahanan diri…(2) Dengan penuh determinasi aku bersumpah…(3) Bertengger bersama kantuk dan residu mimpi buruk…dan lain sebagainya.

Tokoh aku tak kuasa atas dorongan diluar dirinya untuk meminum darah dari apa dan siapa saja, terutama manusia. Tak terkecuali mertuanya sendiri. Dorongan yang tak menentu waktu datangnya.

Dunia sekitar dan dunia dalam dirinya menjadi sumber yang kaya bagi manusia yang menjalani hidupnya, tiap manusia mempunyai pengalamannya sendiri-sendiri tentang alam dan kejadian. Di dalam cerita-ceritalah kita melihat kehidupan angan-angan dan pikiran, kekayaan alam rohani yang dibentuk oleh pengalaman manusia, begitu tulis H.B. Jassin dalam esainya “Kisah: Bulanan-Cerpen Pertama di Indonesia” (1959). Sebagaimana yang disebutkan Jassin, Rici Swanjaya merangkai cerita ‘parasit’nya entah lewat angan atau lewat pikiran atau kekayaan alam rohani pengalamannya. Parasitkah segala penyakit yang diidap manusia?

 

Penyakit TBC dan Arwah yang Melihat Bapak Tidur

Tbc atau tuberculose adalah salah satu penyakit langganan masyarakat di Hindia Belanda, begitu Deddy Arsya menulis dalam bukunya Wabah, Rempah, Sejarah (Jbs, 2023, h.41). Penyakit yang banyak mengantarkan pengidapnya ke pintu kematian. Pintu yang memanggil dan membawa masuk tokoh aku dalam cerpen Melihat Bapak Tidur (10/3/2024) karya Didik Wahyudi. Penyakit yang juga menyerang Pace David, tokoh dalam cerpen Darah yang Tercecer di Nabunage (31/3/2024) karya Bonie Chandra. Penyakit tuberculose merupakan penyakit yang mencemaskan dan mengancam sejak masa silam hingga hari ini.

Tokoh aku mati karena tbc, kemudian arwahnya masih harus menyaksikan derita yang dialami bapaknya. Bapak yang selalu tidur dan sering menangis sejak kematian istri dan aku (anak lelaki satu-satunya). Bapak, seorang lelaki ringkih yang dikepung beban.

Didik Wahyudi menulis “Sekarang bapak sedang tidur berselimut beban sekali lagi. Dan aku tak bisa membantunya sama sekali. Dia butuh uang dengan segera. Pemilik rumah di pinggir jalan itu beberapa kali datang. Mereka minta bapak segera melunasi pembayarannya. Rumah itu rumah waris. Hasil penjualannya dibagikan kepada para ahli waris yang tak semuanya mau sabar menunggu bapak. Ditambah lagi biaya untuk pengacara dan ongkos penyelesaian sengketa tanah yang berlarur-larut. Habis. Dan tak seorang pun yang diharapkan bisa membantu… Bapak masih tidur. Ini sama sekali tidak biasa. Sebab, bapak sendiri pernah berkata, hanya orang bobrok yang tidur pada jam-jam seperti saat itu”

Berbeda dengan tokoh aku, tbc yang menggerogoti Pace David dalam cerpen Darah yang Tercecer di Nabunage belum sampai merenggut nyawanya. Namun, penyakit itu menjauhkan ia dari pelanggan-pelanggan yang biasa membeli pinang, sirih dan kapur dagangannya. Dagangan yang menjadi sumber utama memenuhi kebutuhan hidup Pace David. Berawal dari ketidaksengajaan tokoh aku menyebut di hadapan kawan-kawannya (Od, Musa dan Enek) bahwa batuk berkepanjangan yang selama ini menjangkiti Pace David pertanda penyakit tbc. Penyakit yang menular. Penyakit yang dijadikan senjata ‘utama’ bagi sesama penjual (khususnya Musa dkk) untuk melumpuhkan kepercayaan pelanggan membeli pinang, sirih dan kapur kepada Pace David.

Bonie menulis “Saat sedang ramai-ramainya pembeli di lapak mereka, Musa datang dan menyampaikan ke orang-orang bahwa Pace David mengidap penyakit tbc yang menular. Ia juga menyebut bahwa aku juga sudah tertular. Musa menghasut agar orang-orang mengusirku dan Pace David dari pasar itu. Sejak itu, kios yang biasa Aku dan Pace David sewa, diminta oleh pemiliknya. Sakit Pace David semakin bertambah. Sementara, Aku dan ia tak lagi bisa berjualan pinang demi makan dan pembeli obatnya. Akhirnya, aku menjual pinang dalam bentuk bungkusan kecil yang dititipkan ke kios-kios di Tolikara, sebagaimana yang pernah dilakoni Pace David merintis usaha jual pinangnya”

Kelima cerpen bulan Maret 2024 yang terbit di Sastramedia.com ini jelas sebagai “teman duduk” kita masa sekarang, yang jauh dari cerita-cerita lucu. Ini cerita nasib dan wajah takdir manusia masa kini. Nasib dan takdir yang sungguh merindukan keriangan dan keceriaan yang bisa melipur lara sebagaimana dalam buku “Teman Duduk”nya M. Kasim. Begitu! 

SAJAK