Abdul Hadi WM
Larut Malam, Hamburg Musim Panas
Laut
tidur. Langit basah
Seakan
dalam kolam awan berenang
Pada
siapakah menyanyi gerimis malam ini
Dan
angin masih saja berembus, walau sendiri
Dan
kita hampir jauh berjalan:
Kita
tak tahu ke mana pulang malam ini
Atau
barangkali hanya dua pasang sepatu kita
Bergegas
dalam kabut, topiku mengeluh
Lalu
jatuh
Atau
kata-kata yang tak pernah sebebas tubuh
Ketika
terbujur cakrawala itu kembali
dan
kita serasa sampai, kita lupa
Gerimis
terhenti antara sauh-sauh yang gemuruh
Di
kamar kita berpelukan bagai dua rumah yang mau rubuh
1974
--------
2.
Acep Zamzam Noor
Menjadi Penyair Lagi
Melva,
di Karang Setra, kutemukan helai-helai rambutmu
Di
lantai keramik yang licin. Aku selalu terkenang kepadamu
Setiap
melihat iklan sabun, shampo atau pasta gigi
Atau
setiap kali menyaksikan penyanyi dangdut di televisi
Kini
aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi
penyair lagi. Bau parfummu yang memabukkan
Tiba-tiba
menyalinap lewat pintu kamar mandi
Dan
menyerbuku bagaikan baris-baris puisi
Kau
tahu, Melva, aku selalu gemetar oleh kata-kata
Sedang
bau aneh dari tengkuk, leher dan ketiakmu itu
Telah
menjelmakan kata-kata juga
Kini
aku sendirian di hotel ini dan merasa
Menjadi
penyair lagi. Helai-helai rambutmu yang kecoklatan
Kuletakkan
dengan hati-hati di atas meja
Bersama
kertas, rokok dan segelas kopi. Lalu kutulis puisi
Ketika
kurasakan bibirmu masih tersimpan di mulutku
Ketika
suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku
Kutulis
puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu
Celana
dalam, kutang serta ikat pinggangmu
Yang
dulu kautinggalkan di bawah ranjang
Sebagai
ucapan selamat tinggal
Tidak,
Melva, penyair tidak sedih karena ditinggalkan
Juga
tidak sakit karena akhirnya selalu dikalahkan
Penyair
tidak menangis karena dikhianati
Juga
tidak pingsan karena mulutnya dibungkam
Penyair
akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata
Atau
kata-kata saktinya berubah menjadi prosa:
Misalkan
peperangan yang tak henti-hentinya
Pembajakan,
pesawat jatuh, banjir atau gempa bumi
Misalkan
korupsi yang tak habis-habisnya di negeri ini
Kerusuhan,
penjarahan, perkosaan atau semacamnya
O,
aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi
1996
--------
3.
Aslan Abidin
Walennae
ketika
senja turun dan
cahaya
menyerbuk di antara pohon-pohon
lontar,
aku kenang sungai ini sebagai lengkungan
taman
para bissu, gaib dan sunyi.
di
tepinya, gadis-gadis mandi dan pulang
menjunjung
tempayan bersama gairah
dan
aroma kewanitaannya yang mengembang
dari
kembennya yang basah.
“di
sungai walennae kasihku,
adakah
kau tahu, mengalir cintaku padamu,
tenang
dan dalam.”
ketika
ujung-ujung ilalang meliuk
melambai
kepada senja, dan bangau di pucuk-
pucuk
bambu bersiap masuk sarang, di setapak
menyusur
walennae, lelaki-lelaki memikul tong
bambu
pulang dari menyadap nira.
“rumah
kami di kaki bukit, beratap ijuk
dan
dapurnya selalu menguapkan aroma gula,
mampirlah
bila ada waktu. kami pantang tak
bersikap
manis kepada tamu.”
saat
malam mengurung dan
rembulan
mengapung samar di permukaan
walennae,
di langit yang kelabu
terdengar
jerit elang, seperti rindu
yang
perih dan jauh.
di
rumah-rumah beratap ijuk,
di
atas balai bambu, gadis-gadis menggeliat:
teringat
dongeng tentang pangeran baik hati
yang
dikutuk penyihir jahat jadi buaya di
sungai
walennae.
“di
walennae kasihku, aku terperangkap janji
yang
tak mungkin aku tepati.”
di
antara hening daun ketapang tua
yang
berguling lepas dari rantingnya,
walennae
merayap ke laut. di dasarnya aku
hanya
bisa mengenangmu,
mengawasimu
setiap pagi dan sore ketika mandi,
menunggu
saat aku menjalani
kutukan:
menerkam dan menelanmu.
“di
sungai walennae kasihku, adakah kau
tahu,
mengalir cintaku padamu:
suci
dan terluka.”
Makassar,
2001
–
walennae : sungai terpanjang di sulawesi selatan
–
bissu : waria pemimpin upacara animisme di tanah bugis
--------
4.
Chairil Anwar
Penerimaan
Kalau
kau mau kuterima kau kembali
Dengan
sepenuh hati
Aku
masih tetap sendiri
Kutahu
kau bukan yang dulu lagi
Bak
kembang sari sudah terbagi
Jangan
tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau
kau mau kuterima kembali
Untukku
sendiri tapi
Sedang
dengan cermin aku enggan berbagi.
--------
5.
Goenawan Mohamad
Pada Sebuah Pantai: Interlude
Semua
ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil.
Yakni ketika pasang berakhir, dan aku
menggerutu,
“masih tersisa harum lehermu”; dan kau tak
menyahutku.
Di
pantai, tepi memang tinggal terumbu,
hijau
(mungkin kelabu).
Angin
amis. Dan
di
laut susut itu, aku tahu,
tak
ada lagi jejakmu.
Berarti
pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari
sebuah
dongeng tentang jin yang memperkosa putri yang
semalam
mungkin kubayangkan untukmu, tanpa tercatat,
meskipun
pada pasir gelap.
Bukankah
matahari telah bersalin dan
melahirkan
kenyataan yang agak lain?
Dan
sebuah jadwal lain?
Dan
sebuah ranjang & ruang rutin, yang
setia,
seperti sebuah gambar keluarga
(di
mana kita, berdua, tak pernah ada)?
Tidak
aneh.
Tidak
ada janji
pada
pantai
yang
kini tawar
tanpa
ombak
(atau
cinta yang bengal).
Aku
pun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,
berberes
dalam sebuah garis, dan berkata: “Mungkin tak ada
dosa,
tapi ada yang percuma saja.”
Tapi
semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil.
Dan itulah soalnya.
Di
mana ada keluh ketika dari pohon itu
mumbang
jatuh seperti nyiur jatuh dan
ketika
kini tinggal panas & pasir yang
bersetubuh.
Di
mana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
di
mana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-
kalimat
biasa berlarat-larat (setelah semacam
affair
singkat), dan kita menelan ludah sembari
berkata:
“Wah, apa daya.”
Barangkali
kita memang tak teramat berbakat untuk
menertibkan
diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.
Lagi
pula dalam sebuah sajak yang sentimentil hanya ada satu
dalil:
biarkan akal yang angker itu mencibir!
Meskipun
alam makin praktis dan orang-orang telah
memberi
tanda DILARANG NANGIS.
Meskipun
pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang
padaku.
Kita
memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,
mungkin
pula tak kekal.
Kita
memang bersandar pada mungkin.
Kita
bersandar pada angin
Dan
tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak
semua, memang, bisa ditanya untuk apa.
Barangkali
saja kita masih mencoba memberi harga
pada
sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut
pada
lokan, mungkin akan tetap juga di sana – apa pun maknanya.
1973
--------
6.
Sapardi Djoko Damono
Aku Ingin
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan
kata yang tak sempat diucapkan
kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan
awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
--------
7.
Sitok Srengenge
Peniup Angin
Peniup
angin yang kaukisahkan padaku ketika sebelum subuh
terdengar
lenguh menjauh
susut-
di padang-padang rumput yang menggelepar
dirambahi
birahi kuda liar
telah
membekaliku sehimpun getun
ke
stasiun
Maka
kubayangkan sekuntum kembang
rekah
pada sebuah rembang petang
yang
belum tersusun
yang
kelak akan kautemu begitu kau terperanjat bangun,
dan
akan kaupandangi pintu yang lupa kaukunci:
seseorang
yang lama kaulupa telah nyelinap ke dalam mimpi Namun
kereta
keburu tiba
lalu
berlalu membawamu, meninggalkan duka,
sepi
menggumpal di pucuk-pucuk menara
Jalanan
licin menggelincirkan jejakmu ke kanal,
aku
tersesat dalam labirin angan yang banal
Di
angkasa salju masih tertebar di antara halimun fajar
bagai
sperma dan ovum memancar
Kesunyian
bangkit
dari lengang taman,
beku
bangku batu, tempatku dulu menunggu kau
turun
dari trem lantas bergegas penuh pukau
ke
arah harum tembakau
Dari
balik pohon oak,
gadis
cilik berambut perak menangisi
kupu
mati
Angin
menghampar, menghantar
suatu
senja suarmu samar, kata-kata gemetar:
Cinta
bukan padang-padang yang menunggu,
melainkan
kincir yang berporos di pusar kalbu,
berderak
karena angin,
bergerak
karena ingin,
Dan
kincir yang mengulirkan puting beliung lantaran kaupelintir dengan
lengking
dan ruang
ketika
malam padang rumput menggelepar
dan
lenguh birahi kuda liar,
merekahkan
sekuntum kembang
Dan
sedentum kenang
Namun
telah ditinggalkan bangku batu itu,
barangkali
padang-padang tetap menunggu
Dari
jauh kupandang kau turun dari trem, penuh pukau
coba
menangkap kupu yang terbang ke harum tembakauku
--------
8.
Sitor Situmorang
Lagu Gadis Itali
Buat
Silviana Maccari
Kerling
danau di pagi hari
Lonceng
gereja bukit Itali
Jika
musimmu tiba nanti
Jemputlah
abang di teluk Napoli
Kerling
danau di pagi hari
Lonceng
gereja bukit Itali
Sedari
abang lalu pergi
Adik
rindu setiap hari
Kerling
danau di pagi hari
Lonceng
gereja bukit Itali
Andai
Abang tak kembali
Adik
menunggu sampai mati
Batu
tandus di kebun anggur
Pasir
teduh di bawah nyiur
Abang
lenyap hatiku hancur
Mengejar
bayang di salju gugur
Zenith,
1953
--------
9.
Sutarjdi Calzoum Bachri
Satu
kuterjemahkan
tubuhku ke dalam tubuhmu
ke
dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika
tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan
tanganku ke dalam tanganmu
jika
lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan
lidahku ke dalam lidahmu
aku
terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika
jari jemarimu tak bisa memetikku
ke
dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau
darahmu tak bisa mengucap darahku
jika
ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan
ususku ke dalam ususmu
kalau
kelaminmu belum bilang kelaminku
aku
terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu
daging
kita satu arwah kita satu
walau
masing jauh
yang
tertusuk padamu berdarah padaku
--------
10.
Umbu Landu Paranggi
Melodia
cintalah
yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
karena
sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
baiknya
mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana
sewaktu-waktu
mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja
karena
kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara
dalam
kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan
diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu
meniup
seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu
takkan
jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam
kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai
begitu
berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan
selalu
sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan
rasa-rasanya
padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
di
ruang kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang
seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian
yang
teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
--------
11.
W.S. Rendra
Surat Cinta
Kutulis
surat ini
kala
hujan gerimis
bagai
bunyi tambur yang gaib,
Dan
angin mendesah
mengeluh
dan mendesah,
Wahai,
dik Narti,
aku
cinta kepadamu!
Kutulis
surat ini
kala
langit menangis
dan
dua ekor belibis
bercintaan
dalam kolam
bagai
dua anak nakal
jenaka
dan manis
mengibaskan
ekor
serta
menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai,
dik Narti,
kupinang
kau menjadi istriku!
Kaki-kaki
hujan yang runcing
menyentuhkan
ujungnya di bumi,
Kaki-kaki
cinta yang tegas
bagai
logam berat gemerlapan
menempuh
ke muka
dan
tak kan kunjung diundurkan
Selusin
malaikat
telah
turun
di
kala hujan gerimis
Di
muka kaca jendela
mereka
berkaca dan mencuci rambutnya
untuk
ke pesta
Wahai,
dik Narti
dengan
pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga
serta keris keramat
aku
ingin membimbingmu ke altar
untuk
dikawinkan
Aku
melamarmu,
Kau
tahu dari dulu:
tiada
lebih buruk
dan
tiada lebih baik
dari
yang lain…
penyair
dari kehidupan sehari-hari,
orang
yang bermula dari kata
kata
yang bermula dari
kehidupan,
pikir dan rasa
Semangat
kehidupan yang kuat
bagai
berjuta-juta jarum alit
menusuki
kulit langit:
kantong
rejeki dan restu wingit
Lalu
tumpahlah gerimis
Angin
dan cinta
mendesah
dalam gerimis.
Semangat
cintaku yang kuta
batgai
seribu tangan gaib
menyebarkan
seribu jaring
menyergap
hatimu
yang
selalu tersenyum padaku
Engkau
adalah putri duyung
tawananku
Putri
duyung dengan
suara
merdu lembut
bagai
angin laut,
mendesahlah
bagiku !
Angin
mendesah
selalu
mendesah
dengan
ratapnya yang merdu.
Engkau
adalah putri duyung
tergolek
lemas
mengejap-ngejapkan
matanya yang indah
dalam
jaringku
Wahai,
putri duyung,
aku
menjaringmu
aku
melamarmu
Kutulis
surat ini
kala
hujan gerimis
kerna
langit
gadis
manja dan manis
menangis
minta mainan.
Dua
anak lelaki nakal
bersenda
gurau dalam selokan
dan
langit iri melihatnya
Wahai,
Dik Narti
kuingin
dikau
menjadi
ibu anak-anakku!