GUNNAR Wiryawan, pengusaha muda berusia 31 tahun itu
gusar. Berkali-kali ia menelepon, tapi Rainy tidak
mengangkat ponselnya. SMS juga tidak dibalas. Mengapa? Ataukah itu “bahasa”
bahwa gadis itu tak mau lagi menerima kehadirannya?
Rainy Adelina, 25
tahun. Pianis muda yang cemerlang. Tubuhnya ramping dan semampai. Parasnya
cantik di bawah rambutnya yang lurus tergerai. Tetapi sekilas, dalam jarak
dekat, sepasang matanya tampak muram. Entah mengapa.
Gunnar menyaksikan
penampilannya yang memukau dalam acara resital piano tunggal di House of Music,
Jakarta, tahun lalu. Malam itu, di gedung bulat itu, Rainy memainkan
karya-karya komponis besar dunia. Antara lain: Waltz of the Flowers Tchaikovsky, Prelude & Fugue Part 2 No 6 in Dm JS Bach, Rondo Alla Turca Mozart dan Papillons
Op 2 Schumann.
Terakhir ia memainkan
Waltz in B Minor karya Chopin.
Komposisi nada itu menyayat seolah berkata bahwa hidup ini pedih tapi janganlah
berputus asa. Ayo, kita jalani saja. Kita rayakan hidup, menarikan airmata,
sebelum akhirnya semua usai dan pulang pada tanah. Lalu sunyi…
Sunyi. Diam-diam
penonton menitikkan airmata. Ruangan yang tadinya gelap berubah terang. Penonton
seolah baru terjaga dan sadar bahwa hidup harus dijalani lagi, hari ini, besok,
lusa, dan seterusnya, apa pun konsekuensinya.
Tepuk tangan gemuruh.
Seperti penonton lainnya, Gunnar terpukau. Di akhir acara pemuda itu berdesak,
mendekati sang pianis. “Permainan yang luar biasa,” katanya, tersenyum,
melontarkan pujian. “Saya sangat menikmati.”
Mereka berkenalan,
berbincang-bincang, lalu bertukar alamat dan nomor ponsel. Sejak itu hubungan
berlanjut. Mereka jadi akrab, dekat. Piano sebagai pengikat. Sebulan kemudian
Gunnar bertandang ke rumah sang pianis, berkenalan dengan keluarganya, dengan
kedua orangtua dan dua kakaknya yang kebetulan di akhir pekan itu juga datang.
Sebuah keluarga kaya, rendah hati, dan ramah.
***
HIDUP, bagi Gunnar,
adalah musik klasik, dan Rainy baginya adalah gericik melodi yang terus menggema,
meresap ke dalam perasaannya, membawanya bertamasya ke sudut-sudut mimpi yang
paling indah. Keindahan itu merasuk. Ia mabuk, dan ia jatuh cinta.
“Rainy,” katanya,
saat mereka makan bersama di sebuah kafe pada sebuah akhir pekan,”maukah kamu
menikah dengan saya?”
Rainy tersenyum.
Wajahnya tenang. “Mas Gun tidak mengenal saya,” katanya, sembari mereguk jus
sirsak.
“Saya mengenal kamu,
Rainy.”
“Tidak.”
Sepenggal riwayat:
Rainy belajar piano sejak usia 5 tahun lewat kakak sulungnya, Ayusha Sonatina,
yang kemudian memilih karir sebagai pengusaha, mengikuti jejak sang ayah. Kedua
orangtuanya kemudian mengembangkan bakatnya: ia diikutkan kursus piano klasik
di Caraka Music School di bawah bimbingan Carla Syrena.
Lulus SMA di Jakarta
Rainy mendapat beasiswa piano dari Texas State University, Amerika Serikat.
Usia 18 ia terbang ke Eropa: memperdalam ilmu permainan piano di Universität fűr
Musik und darstellende Kunst Wien di Wina, Austria. Ia lulus dengan predikat
summa cum laude di bawah bimbingan
Sigmund Gilbert, pianis andal yang sering meraih gelar internasional.
Sejak itu nama Rainy Adelina mulai dikenal di pentas
musik klasik dunia. Ia sering tampil dalam berbagai festival di luar negeri,
mendampingi orkestra simfoni dan ansambel terkenal di berbagai kota besar
Eropa: Wina, Berlin, Rotterdam, London, Paris.
Tapi Rainy Adelina bukan hanya sepotong riwayat pada
katalog. “Saya pelik, dan saya tidak yakin Mas Gun sanggup menerima kenyataan
tentang saya,” katanya, singkat.
***
HUJAN baru saja reda ketika Gunnar datang, dan Rainy
menerima kehadiran pemuda tampan itu di rumahnya yang mewah di wilayah selatan.
Mereka duduk berbincang di teras depan, menghadap taman. “Setiap kali hujan,
atau seusai hujan, saya selalu teringat sebuah cerita,” kata Rainy, membuka
pembicaraan. “Cerita tentang seorang gadis kecil di tengah hujan. “Mas Gun mau
mendengarkan cerita saya?”
“O, tentu. Dengan senang hati,” jawab Gunnar.
Alkisah, Rainy mulai bercerita, pada zaman dahulu ada
sepasang suami-istri. Sang suami pedagang makanan keliling. Mereka dikaruniai
seorang putri. Siti Maimunah namanya. Sang suami wafat saat putri mereka belum genap berusia 3 tahun.
Sejak itu ibu muda itu hidup menjanda. Demi
kelangsungan hidup diri dan anaknya, ia berjuang sendirian mencari nafkah. Ia
bekerja sebagai babu cuci di rumah keluarga kaya.
Suatu pagi hujan turun. Ibu itu sakit, dan ia memang
sudah sejak lama dirundung penyakit. Tetapi ia harus berangkat ke rumah
majikannya. Berlindung di bawah payung lusuh ia pergi menerobos hujan. Seperti
biasa ia mengajak serta anaknya. Tapi, baru saja menginjak halaman rumah sang
majikan, ibu muda itu terjatuh. Tubuhnya tergeletak tak berdaya. Tak ayal
anaknya menjerit. Pada detik yang sama, dari dalam rumah majikannya terdengar
denting piano: Ballade Pour Adeline.
“Mas Gun pernah mendengar lagu itu?”
“ Karya Richard Clayderman, komponis Prancis.”
“Sonata ringan pada sebuah pagi yang berhujan,”
komentar Rainy. “Tapi gadis kecil itu terus menangis,” lanjutnya. Ia menangisi
ibunya yang tak sanggup berdiri lagi. Untunglah tangis bocah itu terdengar oleh
sang majikan. Ibu dan anak itu segera dibawa masuk.
Namun, tak disangka, beberapa detik kemudian, ibu muda
itu wafat, menyusul suaminya yang terlebih dahulu berpulang ke alam baka. Gadis
kecil itu menjerit. Ia tahu sejak itu ibunya pun telah tiada. Ke mana ia harus
pulang?
Gunnar terharu, tetapi ia diam.
Untunglah, lanjut Rainy, majikan almarhumah ibunya
baik hati. Keluarga itu memutuskan mengadopsi anak itu. Ia dirawat, dididik,
dan disekolahkan seperti anak kandung sendiri. Ia juga diajarkan piano. “Mas
Gun tahu siapa gadis kecil itu?”
Tanpa menunggu jawaban Gunnar yang samar-samar mulai
menangkap arah cerita itu, Rainy sendiri menjawab, “Sayalah gadis kecil itu,
Mas Gun. Sayalah Siti Maimunah. Dulu almarhumah ibu bekerja sebagai babu cuci
di rumah ini. Saya di sini anak
adopsi.”
Gunnar terkesiap. Tapi ia menyembunyikan perasaannya.
“Mungkin untuk menghapus riwayat, lanjut Rainy,” nama
gadis kecil itu kemudian diganti menjadi Rainy Adelina, anak yang lahir kembali
di tengah hujan” saat kakak sulungnya, kakak angkatnya, memainkan sonata Ballade Pour Adeline. “Ini bukan fiksi,
Mas Gun, bukan melankoli. Ini fakta tentang saya, dan saya tidak melupakan
riwayat. Mas Gun mau menikah dengan saya?”
Gunnar terdiam. “Rainy,” katanya, kemudian, “bagi
saya, asal-usul kamu bukan masalah. Siapa pun kamu, fakta kini kamu seorang
bintang. Saya akan meminangmu jika kamu bersedia.”
***
GEDUNG itu menjulang. Di ruang kerjanya lantai 12,
Gunnar Wiryawan, pengusaha jasa kargo internasional yang mulai beranjak sukses
itu, sibuk. Wajahnya tampak gusar. Ia coba hubungi lagi. Berkali-kali. Tapi
sudah lebih sepekan Rainy tidak mau mengangkat ponselnya. SMS tak pernah
dibalas. Mengapa? Aneh. Gunnar tak mengerti. Kemudian ia coba ia hubungi via
telepon rumahnya. Seorang PRT menjawab dengan informasi yang mengejutkan, “Non
Rainy ‘kan dirawat di rumahsakit. Emang Om Gunnar nggak dikasih tahu?”
***
TUBUH Rainy terguncang ketika ia didorong ke ruang
operasi. Ia tahu, meski operasi mungkin berhasil, ada yang akan berubah pada
bagian tubuhnya. “Tabah ya, sayang,” bisik mamanya, lirih, menggenggam erat
telapak tangan Rainy.
Papa, Kak Ucha, dan Mas Katon beserta keluarga ikut
mengantar ke pintu ruang operasi. Duh, mama dan papa tampak mulai sepuh. Kak
Ucha dan Mas Katon juga bukan kanak lagi. Tetapi ada yang tak berubah: kasih
sayang mereka deras mengalir sejak Rainy balita.
Dua malam pasca-operasi, mama tetap mendampingi Rainy
di ruang pemulihan. Kak Ucha dan Mas Katon bersama keluarga juga rutin
membezoek.
Saat itulah Gunnar
tergopoh datang. “Sejak kapan Rainy dirawat, Om, Tante, Kak? Sakit tapa?”
tanyanya, tersengal.
Tetapi mama, juga papa, Kak Ucha, dan Mas Katon
beserta keluarga diam. Mereka sejenak saling pandang, lalu meninggalkan pemuda
itu yang melangkah mendekati Rainy di pembaringan.
“Biarlah Rainy sendiri menjelaskan,” bisik mama, pada
putra, putri, dan kedua mantunya.
Dari pembaringan Rainy menyambut kedatangan Gunnar.
Tersenyum, meski wajahnya pucat. Ada sebuah tabung terhubung dari daerah dada
untuk mengangkat cairan yang terkumpul selama proses pemulihan.
“Maaf, Mas Gun,” ujar Rainy, pelan. “Saya tidak sempat
berkabar pada Mas Gun. Saya tidak membawa ponsel. Saya juga tidak ingin kondisi
tentang saya ini menyebar pada publik. Saya ingin sunyi.”
Gunnar maklum. Tapi
ia bertanya, “Kamu sakit apa, Rainy?”
Rainy terdiam. Ia
tidak tahu harus bilang apa. Ia merasa risih untuk menjelaskan. “Mas Gun,”
katanya, lirih, “saya Siti Maimunah, gadis kecil di tengah hujan. Ingat? Tapi
saya juga Rainy Adelina, dan masalah belum selesai.
***
RAINY Adelina adalah sebuah tragedi. Dibesarkan
sebagai anak adopsi, usia 23 saat mulai melangkah ke puncak karir, ada benjolan
di payudara kirinya. Kemudian juga pada payudaranya yang kanan.
Ia menyesal sempat menyepelekan hal itu. Ia mengira
itu hal biasa. Ternyata benjolan itu makin lama makin besar, dan berkembang
menjadi sel kanker, penyakit yang agaknya diturunkan ibu kandungnya yang
meninggal akibat penyakit itu.
Agar sel kanker itu tidak menyebar, dua tahun lalu ia
menjalani terapi radiasi, dan sebelumnya juga kemoterapi. Efeknya, setiap helai
rambutnya rontok. Kepalanya sempat gundul. Cukup lama terpaksa ia mengenakan
wig saat berada di tengah publik.
Celakanya, sel kanker itu kini tumbuh lagi dan
mengganas. Kulit dan puting payudaranya mulai surut ke dalam, berwarna
kecokelatan, dan mengerut seperti kulit jeruk. Jika dibiarkan, akan timbul
borok yang berbau busuk dan mudah berdarah, yang selanjutnya akan menghancurkan
seluruh bagian payudaranya.
Sesuai anjuran dokter, Rainy memutuskan menjalani
mastektomi ganda: seluruh bagian payudaranya harus diangkat. Artinya, untuk
menumpas sel kanker ganas itu, ia harus rela kehilangan sepasang payudaranya.
Itulah kenyataan yang ia hadapi sekarang. Pahit memang, tapi harus ia terima.
Bagaimana ia harus menjelaskannya pada Gunnar? “Tidak mudah bagi saya
mengungkapkan apa penyakit saya, terutama pada Mas Gun. “Saya perempuan, Mas,”
katanya, lalu terisak.
“Rainy,” kata Gunnar, lembut, mencoba menenangkan, “apa
pun penyakit kamu, saya berharap kamu kembali sehat. Saya mencintai kamu, Dear.”
“Sungguh?” Agak emosional
Rainy menyingkap selimut yang menutupi bagian atas tubuhnya. Tampak dada bagian
kiri dan kanannya dibungkus perban. Ada rembesan bercak darah. “Inilah saya!
Mas Gun siap menikah dengan saya?”
Gunnar terkejut. Bibirnya gemetar.Detik itu ia
kehilangan kata-kata.***
___________
Ahmad Nurullah, lahir di Sumenep, 10 November 1964,
adalah penyair yang juga menulis cerpen dan esai. Karya-karyanya dimuat di
berbagai media massa nasional. Buku kumpulan puisinya, Setelah Hari Keenam, CakraBooks, Jakarta, 2011. Tinggal di Jakarta.