Alena Tidak Meninggal Pukul Delapan - Pasini

@kontributor 7/24/2022

Alena Tidak Meninggal Pukul Delapan

Pasini





Ketika Jun bicara tentang pernikahan Erick, Alena menyandingkannya dengan kematian Pipo. Ketika Jun mengungkit orang tuanya yang menuju renta dan memaksa untuk segera memberinya cucu, Alena serta-merta membelokkannya dengan kematian Bibi Lili, pekerja di rumahnya sejak ia masih remaja. Juga kematian anjing kecil yang ditemuinya di jalan dan seketika diberi nama ‘Acio’ sebelum dibawanya pulang, dikubur di halaman belakang.

 “Nama memudahkan mengirimi mereka doa,” lanjut Alena, meski Jun tidak mengejarnya dengan pertanyaan susulan.

 Tentu saja Jun tidak suka dengan kematian. Apa pun atau siapa pun. Ia berusia tiga enam. Masih ingin pergi ke Sapporo pada musim semi dan menikmati sakura bermekaran, di usia empat lima. Bahkan berencana menghabiskan masa tua tidak di Indonesia setelah menerima kabar dari salah seorang teman yang awalnya kuliah di Melbourne. Kini teman itu beroleh pekerjaan di Warburton dan hidup dengan kekasih masa kecilnya sewaktu di Jakarta. Di sana mereka serumah dengan bahagia tanpa ada yang peduli atau mengusiknya. Tidak seperti di timur. Kota itu sungguh cocok untuk usia senja yang sudah tidak ingin lagi direcoki tuntutan dunia.

 Tetapi Alena justru membuat Jun berpikir bahwa usianya hanya akan sampai esok atau lusa. Kekasihnya itu begitu sering menyebut kematian, alih-alih pernikahan karena hubungan mereka sudah berjalan tiga bulan, gosip kawin cerai selebriti ala ibunya di rumah, atau tren busana terbaru selayaknya gadis-gadis di pantaran usia.

 Meski memang perbedaan Alena dengan gadis-gadis kebanyakan itulah yang awalnya membuat Jun yakin memilihnya. Seorang gadis dengan keranjang sepeda berisi jagung, asparagus, kentang, dan wortel yang saking penuhnya dengan roda goyah membentur badan jalan berlubang, jatuh berceceran serta beberapa di antaranya terlindas oleh roda mobil. Jun bersyukur bukan si pengendara yang terjatuh. Ia bahkan tidak sanggup membayangkan bagaimana nasib kepala Alena tanpa helm pengaman.

 Jun buru-buru turun dari mobil yang dikemudikannya. Memastikan tidak ada yang menjadi korban selain sayur malang tadi. Alena mengatakan itu sepenuhnya salahnya karena memaksakan menerobos lubang, tidak ada yang perlu dilakukan pelindasnya, meminta maaf sekalipun.

 Tetapi Jun justru menawari gadis itu minum es tebu yang dijual seorang lelaki tua di bawah pohon pakis.

 “Siapa tahu tadi kamu sedang di ambang dehidrasi sehingga menurunkan konsentrasi,“ kata Jun.

 “Mungkin saja. Karena nyaris ke mana pun aku pergi sendiri dengan mengayuh sepeda.”

 “Sendirian? Tanpa satu pun teman?”

 Jun langsung terpikir untuk mendekati gadis itu.

***

 “Tapi Alena selalu membahas tentang maut. Bagaimana jika sebenarnya ia juga telah mempersiapkan kematiannya sendiri suatu hari nanti?”

 “Tak apa. Yang terpenting hal itu terjadi setelah ia melahirkan seorang anak lelaki atau perempuan yang mirip denganmu...”

 Entah apakah Erick bercanda waktu itu. Hanya saja senyumnya membuat Jun berpikir bahwa semuanya masih baik-baik saja. Meski bagi Jun, ia sudah mulai entah muak, entah aneh, belakangan ngeri, karena Alena selalu saja membawa-bawa kematian yang pernah ditemuinya.

 Kematian pertama yang diceritakan Alena adalah kematian Bibi Lili. Setelah Alena lebih dulu bertanya pada Jun, apa kesibukan ibumu di rumah jika kau tidak mengizinkannya banyak pergi ke luar. Apakah ia lebih sering diam dan kadang-kadang saja bersenandung seperti ibuku di rumah?

 “Ibuku justru banyak bicara. Dan tidak ada yang perlu aku lakukan selain mendengarkan. Namun yang lebih sering, aku hanya berpura-pura saja mendengarkan.”

 “Bukankah menyenangkan mendengarkan seseorang bicara? Kenapa kau harus berpura-pura ketika melakukannya?” Alena tak habis pikir. Ia bahkan berandai menjadi Jun setiap hari agar bisa mendengarkan seorang perempuan tua bicara. Alangkah menyenangkan.

 “Aku menyayangi ibuku, kecuali banyak bicara dan sifat menuntutnya. Lebih dari apa pun. Hanya perempuan hebat yang mampu membesarkan seorang anak sejak usia delapan tahun sendirian.”

 “Ayahmu?”

 “Saat itu kami bertiga pergi liburan. Ayah menyeberang jalan untuk membelikan kami minuman. Sebuah tronton tiba-tiba menyambar tubuhnya. Di depan mataku, mata Ibu. Tubuh Ayah menggelepar bagai ayam yang disembelih dan sekarat, sebelum kemudian benar-benar diam. Banyak darah. Ibu berteriak-teriak bagai orang gila. Demi Tuhan aku bahkan yakin, kalau saja Ibu melihat darah sebanyak itu sekali lagi, ia akan menjadi benar-benar gila.”

 Alena suka Jun kala ia bicara. Alena juga suka Jun karena ia tak pernah bertanya hal konyol seperti Alex dan Milea. Sama sekali tidak pernah.

 “Ibu pernah bertemu lelaki berkumis tebal di jalan. Tiba-tiba memukulnya. Memakinya. Hanya gara-gara lelaki seperti itu yang menabrak Ayah. Jika sudah begitu, bukankah akan lebih baik jika ia di rumah saja? Membuat sup asparagus. Dan aku hanya perlu berpura-pura mendengarkan celotehannya saat ia menyantap sup itu sambil menonton acara gosip di televisi.”

 “Oh. Ibumu suka sup asparagus juga? Seperti mendiang Bibi Lili. Sayang, sejak ia meninggal, aku harus membuat sup itu sendiri saat ingin menyantapnya.”

 Jun beralih diam dan menggantikan posisi sebagai pendengar kala Alena lebih lanjut bercerita tentang Bibi Lili yang kemungkinan meninggal akibat serangan jantung. Sehari sebelumnya ia masih mengomeli Pipo karena mencuri daging asapnya. Keesokan harinya Bibi Lili ditemukan sudah dalam keadaan terbujur kaku di tengah ranjang.

 Padahal ketika itu Jun hanya sedang berpura-pura mendengarkan selayaknya Alena adalah seorang perempuan tua dengan sup asparagusnya. Yang terpenting bagi Jun, ibunya begitu menyukai Alena. Itu adalah pertama kalinya pula ia membawa seorang gadis ke rumah.

 “Pacarmu itu begitu menggemaskan, Jun. Mungkin di kehidupan dulu ia seorang peri dan karena kebaikannya diberi kesempatan untuk terlahir kembali sebagai gadis yang sangat manis.”

 Jun tidak pernah melihat ibunya sebahagia itu sejak ayahnya meninggal. Selama puluhan tahun keceriaan terkubur bagaikan magma dan kehadiran Alenalah yang meletuskannya kembali ke permukaan.

 “Bola matanya begitu berbinar mendengarkan ceritaku tentang sup yang keasinan. Menanyaiku berapa sendok garam yang aku larutkan. Berapa liter air yang kupakai sebagai kaldu. Seperti bertahun-tahun tidak mendengarkan seseorang bicara. Seperti bertahun-tahun tidak ada yang mengajaknya bicara.”

 Saking bahagianya, ibu Jun memberi kunci duplikat rumahnya agar Alena bisa datang kapan pun gadis itu mau. Bagi Jun tak masalah. Alena bukan ular berbisa yang dipelihara dengan penuh kekhawatiran kelak akan berbalik melukai tuannya. Selama ini hanya Erick, temannya sejak kecil, yang dipercaya ibu Jun untuk bisa dekat dengan keluarga mereka.

 Alena percaya Jun lelaki yang baik meski di awal ia menerimanya sebagai kekasih karena lebih tertarik dengan cerita Jun tentang ibunya yang banyak bicara. Jun tidak seperti Alex, kekasih pertama yang datang ke rumah Alena dan menanyainya kenapa rumahmu sepi seperti kuburan. Lalu Alex membanggakan rumahnya dengan ibu, ayah, dan dua adik yang saling bercengkerama sepanjang makan malam.

 Tetapi Jun tidak. Yang didengarnya dari Alena sepenuhnya dipercaya. Ia tidak mempermasalahkan apa pun. Seandainya ia tahu Bibi Lili sebenarnya meninggal karena bunuh diri, sikapnya pada Alena sepertinya tidak akan berubah. Mungkin ia hanya akan berkomentar bahwa Bibi Lili adalah perempuan yang malang. Sebagaimana komentar Alena.

 Alena yakin, ayahnyalah yang sebenarnya jahat. Menjadi pejabat publik, ia mencitrakan dirinya bersih sebagai lelaki santun dengan seorang istri setia dan anak gadis yang berbakti. Ibu Alena sudah lama mendengar suaminya itu punya beberapa perempuan di luar sana. Baginya tak apa. Toh perempuan-perempuan itu hanya akan menjadi serupa bayangan. Tidak akan pernah menjadi sosok nyata yang secara tiba-tiba berdiri di depannya dan merusak hidupnya.

 Tetapi, kenapa harus Bibi Lili? Kenapa ayah Alena harus menodai perempuan kampung yang polos? Perempuan paruh baya itu menangis tersedu-sedu di depan Alena dan ibunya. Sejak itu ibu Alena mulai mematung. Entah apa yang merasuki kepala Bibi Lili hingga ia ditemukan dalam keadaan mulut berbusa beberapa hari kemudian.

 Milea bertanya pada Alena suatu kali, “Apakah benar ayahmu kawin lagi?”

 Alena tak habis pikir, bagaimana seseorang yang berpredikat teman baik bisa menanyakan sesuatu yang menyakiti hati teman baiknya. Sebagai jawaban, Alena tidak membenarkan atau membantahnya. Ia justru menyarankan agar Milea menjadi kekasih baru Alex. Sepertinya mereka berdua pasangan yang cocok.

 Alena lalu menciptakan dunianya sendiri. Tidak lagi pergi bersenang-senang dengan teman-temannya di akhir pekan. Tidak lagi punya kekasih. Ia hanya cukup berjalan-jalan dengan sepedanya. Lalu setibanya di rumah, Pipo akan menyambutnya dengan jilatan pada kaki. Kemudian bermanja-manja di pangkuannya. Sayang sekali, Pipo yang lucu itu kini sudah mati.

 “Tak apa. Setelah kau menikah dengan Jun, kalian akan memiliki bayi-bayi yang lebih lucu daripada seekor kucing. Kau bisa menamai mereka dengan Pipo atau Acio,” hibur ibu Jun.

***

 Sebelum polisi, pewarta, dan orang-orang lebih banyak datang, mayat Alena pertama kali ditemukan oleh Jun, ibunya, dan Erick. Setelah tak bisa dihubungi berkali-kali. Tapi tak ada siapa pun yang bisa ditanyai. Di rumah Alena hanya ada perempuan tua yang sakit jiwa. Sudah bertahun-tahun mengunci mulutnya, cuma sesekali membukanya bila tiba-tiba ingin bernyanyi lirih. Seorang kepala keluarga tidak lagi pernah pulang, hanya saja masih rutin mengirimkan uang di setiap awal bulan.

 “Demi Tuhan, aku sudah memperlakukannya selayaknya seorang putri. Seperti yang kamu perintahkan, Rick.” Jun meremas-remas kepalanya sendiri. Tak mengerti.

 Semua orang menduga Alena meninggal sekitar pukul delapan, satu jam sebelum ia seharusnya menikah. Tapi itu salah. Alena sendiri menyatakan bahwa ia sudah kehilangan nyawa sejak hari sebelumnya, dalam keadaan berdiri menguping di balik pintu kamar.

 “Bagaimana jika lambat laun ia menyadari?”

 “Tidak mungkin. Ia tidak punya teman yang akan memberi-tahunya. Ia juga tidak suka bertemu dengan banyak orang. Kau hanya perlu bersikap manis untuk mencegahnya curiga. Agar semua terlihat baik-baik saja. Setelah kita sama-sama memiliki anak, waktunya untuk hidup sesuai keinginan kita. Anak-anak kita, biarlah ibunya yang mengurus mereka.”

 “Tapi Alena selalu membahas tentang maut. Bagaimana jika sebenarnya ia juga telah mempersiapkan kematiannya sendiri suatu hari nanti?”

 “Tak apa. Yang terpenting hal itu terjadi setelah ia melahirkan seorang anak lelaki atau perempuan yang mirip denganmu. Ibumu bisa mengasuhnya dengan bahagia karena kau telah menjadi anak yang patuh. Memberi cucu yang diidamkannya. Setelah ia tutup usia, kau bisa membawa anak itu bersama kita. Lalu kita menikah. Warburton tidak akan mempermasalahkan seorang anak yang memiliki dua ayah, kan?”

 Seketika Alena merasa malaikat melintas dan mencabut rohnya. Dengan jasad kosong ia kembali membawa pulang sup asparagus dipadu pipilan jagung yang sedianya hendak ditaruh di meja makan. Semalaman Alena terus didatangi bayangan Bibi Lili. Bayangan Pipo. Juga Acio. Serentak menyuruhnya mengambil benda tipis tajam dari atas meja. Mengiriskan ke urat nadi.

 “Sopir sialan! Sopir brengsek!”

 Tiba-tiba terdengar teriakan seiring dengan genangan darah di mana-mana. Diikuti dengan amukan. Menjadikan suasana semakin kacau dan riuh.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »