TERKINI

Puisi-Puisi Rekki Zakia, Cinta yang Menantang dan Menggetarkan - Agus Manaji

@kontributor 9/24/2023

Puisi-Puisi Rekki Zakia, Cinta yang Menantang dan Menggetarkan

Agus Manaji


Bulan Jatuh ke Perutku - Galuh Ayara

@kontributor 9/24/2023
Galuh Ayara
Bulan Jatuh ke Perutku




yang aku tidak bilang padamu;
ada bunga mekar 
minggu pagi
di pahaku
lumer jadi cola 
yang tumpah ke mana-mana

dan bulan jatuh ke perutku
lalu aku jadi malam
lalu aku jadi gelap
hilang tak terlihat

seperti minggu pagi
yang tenggelam di perutku 
jadi perih
jadi duka dan derita
jadi gejolak 
yang berputar-putar
dalam botol cola
lalu pecah jadi tangis malang
yang aku tidak pernah bilang;

ada sakit luar biasa
di minggu pagi
sementara 
kamu sibuk menduga
aku lelap di tubuh siapa

2023

Dengan Mulut Bisu - Galuh Ayara

@kontributor 9/24/2023
Galuh Ayara 
Dengan Mulut Bisu




kamu tidak tahu 
kadang ada seekor ular besar melilit tubuhku
mata dan batinmu akan sibuk
dengan kecamuk

di sisimu duduk malaikat
tapi tubuhnya seperti gagak
aku titipkan pesan dan sebelah tanganku yang biru
serta sepasang susu yang basah
yang acap membuatmu gelisah

lalu pada kelebat angin kemarau
kau percayakan tubuh dewasamu
tubuh yang tak pernah kukenali
kecuali pada hari itu;

kelak aku lenyap di sudut waktu 

dan ular itu pindah ke dadamu
saat kau berbisik,
aku menyembah seorang perempuan
menjilati kulit tubuhnya hingga lebih 
kosong
dan lebih 
telanjang

kau tidak mengatakan, aku mencintai
karena cintamu akan kuanggap kejahatan paling keji
lebih keji dari apa pun bahkan
apabila kamu membunuh malaikat
dengan mulut yang bisu

dan aku, bisa menusuk jantungku tanpa senjata
tanpa apa-apa
hanya dengan 
praduga

maka kita sampai 
pada kekalahan paling menyedihkan
sebab,
tidak ada akhir yang terjadi dua kali
tidak ada pergi--
yang bisa ditangisi berulang kali

2023

Kebanggaan - Humam S. Chudori

@kontributor 9/24/2023

Kebanggaan

Humam S. Chudori



“Apa bezoek harus di rumah sakit, Mas?” Tanya Nina, tatkala diajak suaminya menjenguk Budiono yang dirawat di rumah sakit.

            Mendapat pertanyaan ini, Rukiat diam. Ia tidak tahu bagaimana menyampaikan maksud kepada istrinya. Lantaran Nina sering tak sepakat dengannya. Apalagi sesuatu yang ada urusannya dengan orang lain.

            Sesuatu yang tak ada hubungannya dengan orang lain pun, Nina sering tak mau menuruti keinginan suaminya. Ya, perempuan bersorot mata tajam itu bukan sekali dua kali menolak ajakan Rukiat di tempat tidur. Padahal Nina tidak sedang terlarang untuk berhubungan.

            Bukan cuma urusan kasur, melainkan urusan dapur pun perempuan ini sering tak peduli.

Betapa tidak, ketika hendak berangkat kerja tak jarang perut Rukiat kosong. Lantaran Nina belum memasak apa-apa. Bahkan secangkir kopi pun belum membasahi tenggorokan suaminya. Terpaksa Rukiat sarapan dan ngopi di warung dekat tempat kerjanya. Demikian pula, saat Rukiat pulang kerja. Adakalanya di rumah tidak ada apa-apa. Akhirnya perutnya hanya diisi mie instant.

Lantaran sang istri jarang masak, adakalanya Rukiat makan terlebih dulu di warung sebelum tiba di rumah. Sialnya, jika perutnya sudah kenyang justru pada saat Nina memasak.

“Kamu nggak suka masakan saya? Itu makan apa main-main?” Nina akan memberondong pertanyaan ini kepada Rukiat, apabila lelaki itu makan sedikit.

Rukiat malas melayani istrinya. Ia membiarkan Nina ngedumel. Kendati telinganya terasa panas. Namun, lelaki berkumis tipis itu memilih diam. Membisu. Jika meladeni sang istri, ia takut kehilangan kontrol. Dan, Rukiat bisa melampiaskan emosi kepada barang yang ada di hadapannya.

Ya, Rukiat pernah membanting piring. Piring yang berisi nasi dan lauk berantakan di lantai. Lantaran Nina tak henti-hentinya ngoceh ketika suaminya makan. Rupanya ia tak kuat mendengar ocehan sang istri. Ia langsung piring yang ada di hadapannya hingga pecah berantakan di lantai.

Lelaki itu baru menyadari perbuatannya setelah Yanti, anaknya, berteriak kaget. Menangis. Gadis berusia enam tahun itu ketakutan melihat ulah sang ayah. Berbagai bujukan disampaikan ibunya, agar ia berhenti menangis dan melanjutkan makan. Namun, tak ada hasilnya. Ia tetap tidak mau makan.

Malam itu, Rukiat kehilangan selera makan. Ia tidur di sofa sambil menahan lapar.

Peristiwa lain yang pernah terjadi ketika Rukiat hendak berangkat kerja. Saat itu istrinya – entah apa sebabnya – terus menerus menggerutu. Lelaki yang tengah bercermin itu tak bisa mengontrol emosinya. Dan, tanpa pikir panjang ia meninju cermin di hadapannya.

Praannnggg!

Celakanya bersamaan dengan itu Yanti pulang. Karena buku pr-nya ketinggalan. Memang. Sekolah anak itu tidak jauh dari rumah. Dan, sejak kelas dua esde ia tak pernah diantar lagi.

 Yanti tidak menangis seperti ketika ayahnya membanting piring, dua tahun lalu. Meskipun begitu wajah gadis kecil itu terlihat ketakutan menyaksikan orangtua laki-lakinya meninju cermin. Rukiat tak peduli. Ia langsung berangkat kerja.

Sejak itu, Rukiat tak mau lagi melampiaskan kemarahan. Jika sang istri terlihat ada tanda-tanda akan marah, menggerutu, atau kesal. Ia cenderung meninggalkan rumah.

Entah sejak kapan persisnya, Nina berani membantah suami. Yang jelas perempuan itu pada tahun-tahun pertama menjadi istri Rukiat tidak demikian. Karena itu tak jarang Rukiat akan membanggakan istrinya. Baik kepada teman kerja atau tetangganya.

“Saya benar-benar beruntung punya istri yang masih bisa menerima konsep suwargo nunut neroko katut, demikian Rukiat membanggakan punya istri, Nina.

Namun, tanpa sebab yang jelas, beberapa tahun belakangan sering terjadi kesalahpahaman jika mereka berbincang-bincang. Percakapan acapkali berakhir dengan percekcokan. Itu sebabnya Rukiat mulai malas bercakap-cakap dengan istrinya.

Pernah terpikir oleh Rukiat untuk memulangkan Nina kepada orangtuanya. Namun, niat itu ia urungkan. Bukan lantaran sudah ada anak. Melainkan ia ingat janjinya kepada sang ibu.

Ya, sehari setelah ia mengajak Nina ke rumahnya. Orangtua perempuan Rukiat itu sempat bertanya tentang gadis yang dikenalkan itu.

“Kamu yakin perempuan itu ingin kamu jadikan istri?” Tanya Kasturah.

“Ya, iya lah Bu. Makanya saya ajak ke sini. Biar ibu tahu,” jawab Rukiat, “Memangnya kenapa Bu?”

“Ibu melihat perempuan itu....” Kasturah menghentikan sendiri kalimatnya. Namun, batin Kasturah berkata, “Mata yang mencerminkan mata perlawanan.”

Rukiat diam. Ia menunggu kalimat lanjutan ibunya.

Sebetulnya Kasturah kurang setuju dengan gadis yang dikenalkan anaknya. Ia punya firasat kurang bagus dengan perempuan itu. Namun, ia tidak ingin Rukiat membujang selamanya.

Betapa tidak, sejak putus dengan Kartina – lima belas tahun yang lalu – Rukiat tak mencari pengganti. Ia seperti patah hati. Bahkan seperti tak peduli lagi dengan perempuan.

Itu sebabnya Kasturah merasa senang ketika Rukiat mengatakan sudah menemukan gadis yang dicintainya. Berarti anaknya sudah melupakan Kartina. Anak lelakinya yang semata wayang akan berumahtangga. Dari keempat orang anaknya, hanya Rukiat yang belum menikah.

Kasturah berharap, sebelum ia menyusul suami ke alam baka, kesemua anaknya sudah berumahtangga.

Sayang, gadis yang dikenalkan berbeda jauh dengan Kartina. Bukan hanya kecantikannya. Kendati baru sekali Nina datang. Kasturah menilai gadis itu kurang ideal untuk menjadi seorang istri. Lantaran hampir seharian gadis itu berada di rumahnya. Dan, sepanjang waktu tersebut Kasturah dapat menilai. Apalagi ketika ia melihat sorot mata sang gadis bila diajak bicara. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan, nalurinya mengatakan gadis itu bukan tipe perempuan ideal jadi istri.

“Kenapa Bu?” Tanya Rukiat, setelah cukup lama ibunya diam.

“Apakah sudah kamu pikir matang, kalau Nina akan kamu jadikan istri?”

Memangnya ada masalah?” Jawab Rukiat.

Kasturah diam. Ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaannya. Namun, akhirnya ia bicara juga, Ibu Cuma mau bilang, kamu sudah mantap dengan pilihan itu. Karena perkawinan itu sakral. Ibu tak ingin nanti Kamu…”

“Pasti tidaklah Bu.”

Ibu tidak ridho apabila ia sudah jadi istri lalu karena sesuatu hal Kamu menceraikannya. Dalam kamus Ibu tak ada istilah cerai kecuali oleh kematian. Perkawinan itu sekali seumur hidup. Kecuali jika istrimu meninggal, Kamu boleh saja mencari pengganti.”

Percakapan dengan almarhumah ibunya inilah yang membuat Rukiat tidak pernah berani merealisasikan keinginannya – memulangkan Nina ke orangtuanya. Jika menceraikan Nina artinya ia telah mengingkari janji kepada almarhum orangtua perempuannya.

“Kenapa Nina bisa berubah seperti...”

“Besok saja kalau dia sudah pulang,” kata Nina, menghentikan pikiran Rukiat, “Toh, tidak ada keharusan menjenguk orang sakit ketika ia masih di rumah sakit.”

“Memang betul, tidak ada keharusan seperti itu.”

“Ya, sudah kalau begitu. Kalau Kamu tetap mau ke rumah sakit, pergi saja sendiri. Atau ajak orang lain.

***

            Sudah sepuluh hari Budiono di rumah sakit. Suami Utami itu menderita komplikasi. Entah sudah berapa kali ia bolak balik ke rumah sakit, sejak pertama kali dirawat dua tahun yang lalu.

            Meskipun demikian, baru sekali Nina menjenguk tetangga yang tinggal satu wilayah RT tersebut. Itu pun dilakukannya bersama dengan ibu-ibu tetangga. Ya, saat pertama kali Budiono dirawat di rumah sakit.

            Namun, sejak pertama Budiono di-opname di rumah sakit Rukiat belum pernah menjenguk di rumah sakit. Tugas Rukiat tak memungkinkan bisa menjenguk orang yang dirawat di rumah sakit. Karena rumah sakit punya aturan jam berkunjung. Padahal saat jam tersebut Rukiat belum tiba di rumahnya.

***

Ketika hendak ke rumah sakit Rukiat melihat mobil sang tetangga lewat depan rumahnya. Tanda sang tetangga sudah pulang dari rumah sakit.

Malamnya, Rukiat bertandang ke rumah Budiono. Namun, ia tak mengajak istrinya.

“Ah, tidak apa-apa kok Pak,” kata Utami, tatkala Rukiat mengatakan rencananya ingin menjenguk Budiono di rumah sakit, “Saya maklum Pak. Ya, Namanya orang kerja. Apalagi Pak Rukiat selalu pulang malam.”

Rukiat diam.

“Justru kalau harus bezoek di rumah sakit, artinya suami saya harus lebih lama lagi dirawat di sana. Padahal, nambah sehari saja biayanya lumayan besar,” lanjut Utami.

Lalu ia menyebut jumlah biaya yang telah dikeluarkan selama suaminya di rumah sakit.

“Apa tidak pakai bpjs, Bu?”

“BPJS?” Utami balik bertanya. Ada nada sinis ketika melontarkan pertanyaan ini.

Rukiat mengangguk.

“Pakai bpjs ribet. Birokrasinya ruwet. Pasien tidak langsung ditangani. Banyak aturan yang menyangkut ini itu. Masa, pasien harus menunggu urusan ini itunya selesai dulu. Baru dilayani.”

Rukiat diam.

“Ini bukan cerita isapan jempol, Pak. Tapi, kami alami sendiri waktu pertama kali suami saya harus dirawat di rumah sakit.”

“Apa tidak dilaporkan ke...”

“Lapor?” Kembali Utami memotong kalimat yang belum usai dilontarkan Rukiat, “Lapor kemana? Lagi pula buat apa? Nanti malah kita sibuk mengurusi laporan yang belum tentu ditindak lanjuti. Padahal yang harus cepat ditangani ya mestinya pasien.”

Rukiat masih tetap diam. “Benar juga sih, bukan rahasia umum lagi jika layanan kesehatan yang satu itu tak pernah ada beresnya. Bahkan bukan sekali dua kali soal bpjs ini diberitakan tapi juga tak pernah ada perbaikan,” pikirnya.

Budiono tidak bicara apa-apa. Karena sudah tak bisa berucap sepatah kata pun. Lelaki yang duduk di kursi roda itu hanya menyimak percakapan istrinya dengan Rukiat. Sesekali tangan kirinya mengelap mulutnya. Lantaran dari mulutnya tak henti-henti air liurnya menetes.

“Coba Pak Rukiat bayangkan andaikata bukan suami saya yang sakit. Siapa bisa membayar biaya rumah sakit sebesar itu?”

***

 “Itu sebabnya saya malas,” ujar Nina, usai sang suami menceritakan percakapannya saat menjenguk tetangga yang baru pulang dari rumah sakit.

            “Lha kita bezoek maksudnya ingin tahu kondisi pasien. Eh, malah yang diceritakan bukan itu. Tapi, biaya rumah sakit yang mahal. Seolah-olah kalau bukan Pak Budi yang sakit pasti tidak akan tertolong. Lantaran biaya rumah sakitnya mahal. Lho, memangnya, tidak ada BPJS?” Lanjut Nina.

            Rukiat diam.

            “Yang membuat saya sakit hati, waktu dulu menjenguk Pak Budi di rumah sakit. Kita yang dijadikan perbandingan sama Bu Tami. Apa dia bilang, coba kalau yang sakit Pak Rukiat mana mungkin mampu membayar biaya sebesar itu,” tambah Nina, “Tapi, bagaimana kondisi suami Bu Tami sekarang? Sembuh? Malah strook bukan?”

            Rukiat masih diam.

            “Bangga dengan mahalnya biaya rumah sakit akhirnya ya terus-terusan sakit. Tuhan kasih kesempatan Bu Tami untuk terus membanggakan kemampuannya membayar rumah sakit,” Nina terlihat makin sewot.

            Rukiat tetap diam.

“Benar juga ya, kata Nina,” Rukiat membatin, “Tetapi, kenapa ketika saya membanggakan istri yang manut. Kok perempuan ini justru sering melawan saya.”

***

            Malam itu, Rukiat nyaris tak bisa tidur. Bukan karena memikirkan nasib tetangganya yang sudah berkursi roda. Melainkan percakapannya dengan Nina. Ya, Utami bangga dengan mahalnya biaya rumah sakit. Tuhan memberi kesempatan perempuan itu untuk terus bangga – suaminya tak sembuh-sembuh dari sakitnya. Utami tetap diberi kesempatan untuk menceritakan kebanggaannya – mampu membayar biaya rumah sakit meski tanpa bpjs. Sementara dirinya sering membanggakan punya istri yang baik. Malahan yang terjadi sebaliknya.

            “Tuhan, tidak bolehkah saya membanggakan jodoh yang Kau berikan padaku?” Lelaki yang sudah tergeletak di atas kasus itu bertanya dalam batin.

Rukiat baru tertidur, setelah seluruh tubuhnya merasa tak berdaya.***

Geneva dalam Senja - Herdi Sahrasad

@kontributor 9/17/2023
GENEVA DALAM SENJA




Ada yang menunggumu 
Dalam gigir mimpi pendeta tua
Hidup yang mahal dan kota yang anti sayap kiri, 
masih dibayangi suara rasis. 
Cahaya bulan mengintai parasmu yang muram gerimis
 
Para pekerja malam dari Bulgaria yang miskin
antre mencari nasib secara sembunyi,
sia-sia, sosialisme tinggal mimpi
tapi di tepi Sungai Rhone, di muara Sungai Arve 
angin berdesis menjumpai musim semi
 
Ada yang menantimu di halte jantung kota 
Seperti belibis berbaris
walau hidupmu sekelam magis gerimis
 
Seperti salju putih berguguran
aku datang padamu
dari jam yang kelu

Sudah berapa lama
Kau menunggu?
kereta kereta keranda yang beku
kehilangan arah tuju: arasiMu

Dunia kita semu dan Tuhan maha tahu:
yang tertusuk padamu berdarah padaku*

Di pinggir danau Geneva, kesunyian bertahan
seperti salju putih berguguran
aku datang padamu
dari dinding yang runtuh
 
Seribu cemara menggigil pada subuh yang luruh
Kau menghilang ke timur, ke tapal batas yang jauh,
musim pun melulur. Langit mengaduh: bintang bintang jatuh

2018- 2023

*) baris sajak ‘”Satu’’ Sutardji Calzoum Bachri

Potret Johannesburg - Herdi Sahrasad

@kontributor 9/17/2023
POTRET JOHANNESBURG




Tujuh senja yang hitam
Tujuh bayang bayang menerkam malam
Seperti maut merayapi gubuk gubuk muram
Kuli kuli kasar masuk ke kamar,
berdaham daham

Pada matamu, gerimis mengiris,
Patung patung negro mengucurkan tangis
Menjelma malam yang horor
Dan kepada para pelancong bimbang,
pelacur dari Capetown yang kotor
terhuyung huyung
mengajak menggelosor

Tangismu jua tangis kota lama
seperti sajak liris perempuan dukana
malam yang berkabung salib Kristus
meratapi gereja yang tergerus
Teror dan pembunuhan melumuri hari hari yang hangus

Seorang dukun Afrika memberikan pamflet berwarna:
Nak, jangan berjalan sendirian di pusat kota
nyawamu tidak berharga dari kaus kaki Nelson Mandela
kepalaku jatuh ke tembok
lusuh penuh borok

Losmen hanya kesunyian seorang buruh
Bau peluh negro yang kumuh
menggelusuh
berbenturan dendam perempuan pirang
yang sejak pagi gagal terbang

Pada meja restoran China
Para borjuis Eropa mengusir lapar
dengan apartheid dalam kepala

Di antara orang hitam dan putih
keadilan disembelih
maka jika esok engkau terbunuh
Aku tak heran lagi. Juga Kristus
sebab kekuasaan lebih berharga dari apapun
dan siapapun. Tak ada yang lebih kudus

Tujuh senja yang muram
di Johannesburg, barangkali
Tujuh bayang bayang yang menunggu malam
Risau kepak kelambit menyayat luka yang terjerit

Langit menerkamkan hujan asam dari seribu menara
Bayi bayi hitam, kuterjunkan ke dalam sepi kotamu yang kelam
Antara ada dan tiada: pantai pantai tenggelam, sungai sungai karam

Harare-Johannesburg 1996-2023

Melbourne - Herdi Sahrasad

@kontributor 9/17/2023
MELBOURNE 




I
Engkau datang dari musim dingin yang akut
Bagai siluet yang jatuh ke katedral
kesunyianmu tersangkut kabut
Mengganjal. Menggigir penyair terlunta yang bengal

Dari bening sungai Yarra, hening hidup terkaca
Di permukaan kolam: masih membekas guratan
sesal dan luka

Burung burung ngembara dengan mimpi misteri
Ke selatan, kabut menjarah kenangan
Kata kata dan desah hujan bertabrakan:
Daging di balik celanamu bergambut
bergolak dalam kesunyian

Kasihku di halte kota lama
Meraungkan lagu senja
Angin yang tersangkut ranting sepi
Menghembuskan berahi yang tak terbagi

Seperti sepasang angsa tersaruk saruk
meremuk kantuk
Gadis gadis hanyut di sungai peluk
Dan malam pun mabuk. Terkutuk

Di luar, musim memintas
Mencium dingin bergegas
Di kamar, senggamamu yang keras
seperti hujan beringas:
kabut, ranjang dan selimut lepas,
seluruh sunyi kau hempas dan kau libas!


II
September menetes ke rongga sejarah
kelam. Seperti jiwa yang padam
Terkutuklah penyair dan pengembara 
yang jatuh ke pelukan malam
Hanya karena berlari dari
kekosongan

Apa yang diburu
Luput dari genggaman
Dan gerimis menitik dari petualangan
Ia yang berwajah duka
terbujur dilupakan

Melbourne, kota yang ungu
di mana pendatang Asia dicerca
dengan sapuan garis kelabu

Keangkuhan bersemayam
di balik garis ras
balada pedih di negeri kaum putih yang keras
hatiku cemas, tanganku lepas

III
Gerimis terentang
bagai bendera putih setengah tiang

Dengan trem pagi di musim gugur
Taring taring kota menyeretmu dari tidur
Petualangan tersayat sayat
Terlempar dari mereka yang hampir terkubur

“Para diktator Asia tak kunjung jatuh,”
tivi pagi berbicara. Potret potret lama kita terbakar
kota yang hingar
Tapi ciumanmu masih membekas di tembok kamar

“Demokrasi adalah hutan tropis yang hangus
Api para tiran yang melahap gubuk gubuk kardus,”
kau berkata

Lalu kita rapatkan diri
dengan kecupan beruntun
di luar angin menanggalkan daun daun

Musim mendadak kosong
hanya lorong lorong
yang memanjang seperti sungai Mekong

Aku pun gemetar. Hujan tiba tiba mengundurkan diri
dari langit. Surya menjauh ke bukit bukit
Dan jam membawakan gemanya ke halaman

“Di Asia para diktator terus berkuasa,”
sapa tivi pagi pada pengembara. Angin jatuh
Di koran koran, para pemimpin otoriter terbunuh,
rakyat menyapu diktator
seperti hujan menyeret longsor

Gelombang taman yang suram
dipagut musim gugur menggeram

Aku bayangkan seseorang diam
dipukau gelombang kelam

Kota gemetar
di udara senja

Sunyi memijar
di kaca kaca jendela

Kuketuk pintumu,
hati yang lama lekang
Kupeluk jantungmu.
kasih yang lama hilang

IV
Gairah hidup membuncah, membentang bayang
Di apartemen hitam Parkville Avenue
aku merasa kau bicara
dalam tiktok jam
Angin diam

Dirajam tiang tiang yang padam
dan pemabuk memekik malam
wajahku mendadak seram
Sunyi yang muram
Menjelma angin berdentam
Sampai ke potretmu

Mendadak lidahmu yang berahi
Membersit dari langit
Mengulurkan diri

Tapi ranjang hanya angin
dan derit besi yang dingin
Impian jalang berlumur luka
sejak harum rambutmu tak pernah ada

V
Di antara losmen,
dinding dinding kota dan
lembah sungai Yarra
Perburuan liar menyimpan airmata

Di pegunungan Mount Buller
jauh di selatan Victoria
Kau mengucap badai reda

Tiba tiba suaramu berubah gerimis dan senja beku
Cuaca mengendap di atap atap bersalju
Kita ke sana, menembus Zen dan keheningan waktu
Pengembaraan setia, menjejak segala tuju

Hari yang letih
terbaring di sajak putih

VI
Melbourne baru bangun pagi
tapi pengantin baru telah memulai
puncak dari puncak sepi:
Ranjang yang dingin terbakar kembali

Mendadak aku ingin bicara
kepada kenangan kenangan lama
yang membentuk buku harian tua
dan meninggalkan kesendirianmu di sana

Ada yang hilang
oleh gelombang perubahan
dan wajahku menggoreskan kekerasan
di kota, di mana patung patung ingin ngembara

Hidup yang berjalan penuh luka
memperpanjang pendarahan
Dan waktu terus menanggalkan daunan
dari pohon yang kefanaan

Kita tersaruk saruk
didera senja dan utopia

Pengembaraan misteri
memburu makna
dalam makna

Penyair tak sempurna
melacak siapa dirinya

Aku berkaca
dan tahu,
Setiap kali pencarian
harus dimulai di bumi
Dari mana kehudupan bangkit
menolak mati!

VII
Di halte kota lama
angin tersangkut sepi
membunuh berahi yang tak terbagi

Lelaki-perempuan pirang tekuk menekuk
meremuk kantuk

Siluet gereja abad delapan belas
mencium badai yang lepas

Kau mengigau hujan mengembara

Tapi siapa yang berkaca
ke arus sungai yang iba
Wajahmu terkesima
Kita dengar kota mengirim lonceng gereja
dan trem dengan suara gemeretak baja

Dan langit menurunkan
malam berjelaga

Buruh angkutan yang kembali mogok
membiarkan bus bus jadi tembok

Di Monash dan pusat kota
protes mengenai Timor Timur perlahan reda

Kita lewati kegelapan
taman Parkville Avenue seperti firdaus yang ditinggalkan

Hanya lampu lampu neon
mendesak kelam ke pohon pohon

Deru hujan di kejauhan
memperkeras sepi para pejalan
Jejak sepatu mereka berkilatan
ditingkah jam memburu malam

Esoknya hari terentang di pantai
dan sepimu terlerai

Dan waktu terus berjalan
mempercepat rambut putih keperakan
menghitamkan pepohonan

Di seberang jalan seorang tua
duduk memandang truk

Kota terus sibuk melupa hari buruk
aku terbatuk batuk 

Dan ketika perahu kecilmu
di sungai Yarra berlayar
Kudengar ada yang gemetar
: maut menyiapkan kamar

Karena takut pada dosa
kulupakan ancaman hari kemudian,
juga Tuhan

Tapi musim yang dingin
menggurat bayangan kefanaan

“Apa tak percuma membaca kitab suci
ketika hati tak ada api?”
kau bertanya

Kudengar angin tersaruk saruk
Di luar jendela, di antara daun daun yang ambruk

Gerimis subuh jatuh
menggapai gapai
menara lunglai
Di antara puncak katedral tua dan musim Aborigin yang dilupakan
sosok kabut berjalan
menyeret hujan
dan mungkin juga bayangan bulan

Kemudian gemuruh
dan selebihnya apartemen sepi

Tubuh yang rapuh
Terbujur seperti bayi mati

Melbourne, 1992-2022

SAJAK