ESAi
TERKINI
Alangkah Majenun Mencintaimu - Agus Manaji
SajakParasit - Rici Swanjaya
CerpenParasit
Rici Swanjaya
“Pernahkah
kau melihat darah di bawah bulan purnama, Will? Ia terlihat agak gelap.”
−Hannibal
Lecter –
Hasrat ini menggelora, membutakan nalar;
sesuatu yang aku pun tidak tahu bagaimana ia bersemi dalam diri. Pada
malam-malam tertentu, seperti di bawah siraman hujan lebat sekarang ini, dorongan
untuk mencari mangsa muncul-tenggelam tiada pernah bisa diatur. Sudah satu jam
dua puluh empat menit aku menunggu. Tubuhku menggigil tanpa jeda, semacam
mekanisme pertahanan tubuh terhadap dingin atau lapar, tapi sekarang aku tidak
kedinginan.
Oke, itu awalan
yang buruk. Coba aku ulang:
Kenapa aku di
sini, berdiri dan duduk dan berdiri lagi di bawah kanopi teras bangunan lama
bekas bioskop samping halte bus?
Seperti yang sudah
aku bilang, ada dorongan misterius yang mengambil alih kemudi tubuh untuk
kelayapan bak pengembara putus asa, dan rahang itu penyebabnya. Tentu bukan
rahangku, tapi rahang yang lain, yang bersembunyi tanpa suara dan mengintai
dalam gelap. Ia merupakan nuansa kemarahan dan nafsu menggebu, menyebar gigil
dan keringat dingin, dan tubuh bergegas menjawab, tersebab oleh rasa takut:
jangan sampai rahang itu mulai menyerang induk semangnya sendiri; alangkah
tidak nyaman rasanya bila itu terjadi. Aku tahu, karena itu pernah terjadi satu
kali; hanya satu kali, karena dengan penuh determinasi aku bersumpah tidak bakal
membiarkan itu terjadi lagi, dan berusaha mencari solusi di balik semak
belukar, lubang sarang belut, atau semburan air kumur seorang Habib. Semua
gagal, itu jelas, karena bila sebaliknya aku tidak bakal ada di sini dan bicara
sendiri layaknya orang ketiban wahyu dari Imam Mahdi.
Aku ingat sumpah
itu. Waktu itu hari Senin, hari di mana keengganan menyambut kenyataan sama
besarnya dengan keinginan membunuh ibu mertua. Pagi menemukanku dengan perasaan
seperti itu tertambat di pelupuk mata, bertengger bersama kantuk dan residu
mimpi buruk. Burung-burung pergi dari singgasananya di cabang pohon trembesi,
membawa serta kicaunya yang mewartakan kabar baik, diusir paksa oleh asap hitam
bakaran sampah dan daun kering yang berusaha mengganti langit biru menjadi
kelabu…
Ahh, ada yang
berteduh. Lupakan. Bukan yang ia cari. Dalam balutan gelap dan hujan, sangatlah
sukar membedakan mana laki-laki dan mana wanita, apalagi kalau dia tidak berbau.
Sebentar, kenapa aku mesti berhenti? Aku harus lebih fokus. Sampai mana
ceritaku tadi? Oh ya, langit menjadi kelabu…
Keriangan cahaya
matahari menipis sedikit demi sedikit, diganti oleh sesuatu yang murung – atau
itu cuma perasaanku saja? Aku tidak tahu. Mungkin tirai kusam jendela
pelakunya: dekomposisi bahan tua bersama partikel-partikel asing dari putaran
kipas angin mendominasi aroma dan nuansa dalam kamar, basi dan kumal,
membangunkan rahang yang lapar dan marah, dan mulai menggerogotiku dengan
semangat beroktan tinggi. Aku bergeming menahan perih. Bumi berputar kacau dan
aku terombang-ambing oleh arusnya yang berpilin, menghilangkan kesadaran akan
ruang. Dan rahang itu berhasil menguasai tubuh. Setiap jengkal kulit diselimuti
keringat basin yang bekerja layaknya anestesi kedaluarsa karena ia menebal
tepat di mana rasa sakit itu bakal muncul dan tidak banyak yang dapat ia
lakukan. Akhirnya, dalam kepungan rasa sakit dan jengah, aku melakukan hal yang
aku pikir tidak mungkin bisa aku lakukan pada tubuhku sendiri: aku mulai…
Orang lain datang,
berpasangan. Kenapa harus berpasangan?
Insting rahang ini
begitu menakjubkan, terutama perkara seksualitas, mirip kucing jantan yang tahu
kapan sang betina berahi dan siap kawin. Kecuali rambut, segala spesifikasi
wanita itu memancarkan ruap layaknya masakan yang baru saja matang, lengkap
dengan kepulan asapnya, menandakan kelezatan yang terperam sempurna. Dan gadis
itu siap diperas intisarinya.
Aroma libido gadis
itu sedikit luntur dibilas hujan, tapi tidak milik pasangannya yang busuk.
Memang yang busuk-busuk selalu lebih liat untuk dihilangkan, seperti halnya kebiasaan
buruk: kita bisa berusaha semampu kita dengan mencatat apa-apa yang dibutuhkan
dan meniatkannya dengan semangat resolusi awal tahun, tapi makin lama makin
terasa seperti tugas yang mustahil dilakukan, dan kebanyakan memang demikian.
Aku rasa cuma keberuntungan yang bisa memberi kemewahan buat manusia untuk menjauh
dari kebiasaan buruk, selain, tentu saja, kematian. Dan aku sudah berusaha
semampuku membasmi kebiasaan itu, tapi rahang jahanam ini tetap tinggal,
menunggu dengan sabar dan lapar.
Sialan! Ceritaku
terputus lagi. Ayolah, aku pasti bisa. Oke…
Semenjak hari
Senin pagi itu, darah jadi obat penawar bagi kemarahannya, dan kemudian menjadi
jelas setelah berbulan-bulan kemudian: itu adalah tujuan kehadirannya. Tidak,
aku bukan vampir, juga bukan Drakula, karena aku tidak menikmati cairan itu
mengalir di tenggorokan – amis dan asin, bukan kesukaanku. Aku cuma seorang
Gemini dengan cap pecundang di dahi.
Dua wanita pertama
adalah yang terburuk. Bukan cuma karena rasa jijik usai rahang itu pamit ke
peraduannya setelah kenyang, tapi juga betapa repot menghilangkan jejak mereka.
Empat puluh sembilan hari kemudian mayat korban kedua ditemukan. Meski
serampangan dan ceroboh, aku heran kenapa polisi belum juga menggedor pintu
rumah dan menyeretku ke balik jeruji. Beruntung aku berlangganan Netflix, dan
dari sana aku mulai menyempurnakan metode penghilangan jejak sedikit demi
sedikit. Tidak heran kenapa banyak sekali kejahatan rapi terjadi di Amerika.
Mungkin, Korea Selatan perlu belajar kesalahan itu dari mereka, karena seturut
pengetahuanku, film kriminal negara itu jauh lebih baik dan menarik dari
Hollywood beberapa tahun belakangan.
Satu-satunya yang
hampir membongkar identitasku adalah ibu mertuaku. Ah, si nenek sihir pembaca
injil yang selalu mengingatkanku pada ibuku; bukan cuma penampilannya, tapi
juga sikapnya. Nenek sihir itu tidak pernah menebas dan menusukkan lidah
tajamnya padaku, tapi ke istriku. Dia tidak pernah bosan merendahkan anaknya
sendiri, selalu mengingatkan bagaimana nasib anaknya itu sangatlah bergantung
pada kebaikannya, pada kemurahan hatinya, dan itu mendidihkan dadaku. Kalau
saja kami masih terus hidup serumah sampai aku sudah tidak lagi mual dan demam
tiga hari tiga malam karena melihat mayat yang berkubang darahnya sendiri –
kalau ingatanku tidak berkhianat, itu tercapai setelah wanita kelima − aku
bakal mengubur potongan tubuhnya jauh lebih dalam dari pondasi Tunjungan Plaza
dan bernasib sama dengan korban pertama. Untungnya kami tidak pernah bertemu
lagi setelah aku dan istriku bercerai, dan untungnya lagi, ibu dari istri
keduaku tidak seperti dirinya.
Dari pernikahan
pertama aku belajar sat…
Tunggu. Satu
mangsa potensial datang. Oh, bukan kriteria si rahang: terlalu kurus, tidak
banyak darah yang bisa dinikmati. Ditambah lagi, dari perawakannya, wanita ini
terlihat punya modal atletisme tinggi, minimal salah satu jenis bela diri, dan
orang macam ini susah didominasi. Soal begini, si rahang tidak pernah salah.
Kenapa darah? Mungkin
karena itu simbol penaklukan, bendera putih yang terlampau berat dikibarkan, pakta
damai yang terlalu hina untuk diakui. Semerepotkan apa pun rahang itu menuntut,
ia tidak terlalu ambil pusing dari bagian mana cairan itu berasal: leher
berbuku-buku, lipatan ketiak berambut, payudara mampat berputing kismis, atau telapak
kaki kenyal beraroma ikan tim jahe. Terbaik dari semuanya: vagina yang
menyemburkan darah tanpa perlu diapa-apakan. Ahh, membayangkan itu saja rahang
ini mulai menggeliat hebat, layaknya ombak besar yang terperangkap gua karang.
Dari mana tadi?
Ah, aku lupa lagi.
Memang Dokter Aprillia
bilang lebih baik ditulis saja, seperti catatan harian – dia menyebutnya
sebagai “Buku Perlawanan”, betapa konyol, apalagi kalau isinya justru cerita
tentang hal yang dilawan, hanya agar aku mengenalnya dulu sebelum bisa
menguasainya − tapi aku tidak suka menulis, apalagi kalau tanganku gemetar dan
sering punya inisiatifnya sendiri, patuh pada si jahanam. Dan lagi, kenapa
mesti menunggu ia muncul? Kenapa tidak setiap hari? Bukannya mencegah lebih
baik daripada mengobati? Lama-lama aku ragu cara ini bisa membungkam si rahang
sialan. Atau mungkin aku perlu bertaruh semuanya, all-in, dan mengosongkan
peti rahasiaku padanya, karena mungkin “rahang itu memaksaku masturbasi di
tempat publik” tidak cukup dia anggap sebagai gangguan jiwa yang serius. Lagipula,
toh hasil akhirnya cuma ada dua, dipenjara atau sembuh.
Goblok! Harusnya
aku mikir begini sewaktu ia tidur, bukan sekarang. Sial. Pengalih perhatian… Cari
pengalih perhatian… Cerita masa lalu, tapi yang mana? Oh ya, menggambar
suasana…
Hujan masih
mengguyur deras. Butir-butir air yang jatuh ke aspal berlompat riang layaknya
jutaan ikan kecil yang merayakan hari baru atau datangnya nubuat perihal
kemujuran dan umur panjang. Tanpa cahaya lampu jalan, gemericik itu terlihat
berlangsung di atas kolam berair gelap. Hanya paparan sinar mobil dan sepeda
motor yang mampu memberi sedikit petunjuk adanya marka jalan, putih pucat
terputus-putus, mirip jejak bayangan hantu-hantu penunggunya.
Bus TransSurabaya
tiba, memancar silau dari dua lampu depan. Bulir air hujan terlihat berkilau
saat melintasinya. Raung mesinnya kalah oleh hantaman berkubik-kubik air pada
genting, seng, dan tubuhnya sendiri. Kami berlima mematung, terperangkap dalam gemuruh
kebisingan, begitu pun bus itu: ia mematung jauh lebih baik daripada kami,
lebih solid dan tenang, seperti menemukan kenyamanan dalam guyuran hujan. Lalu
bus itu pergi, mencari tempat lebih nyaman, sebelum sebuah suara berusaha keras
menembus tirai hujan, memanggil-manggil bus itu bagai kawan lama. Setelah beberapa
percobaan, suara itu berhasil menemukan titik tertingginya, tapi terlambat.
Segaris air liur
lolos dari jerat bibir. Sesungging senyum iblis terukir di wajah. Oh, nasib
buruk, kenapa kau selalu saja punya cara untuk hadir?
“Hah? Apa, Mbak?
Oh, iya, ada, Mbak. Bisnya ada terus kok, 24 jam.”
Kebohongan pertama. Sial, ia sudah
menguasaiku. Aku tahu itu, karena aku benci berbohong, sedangkan ia bernafas
dengan kebohongan. Sulur nadiku ia genggam dan mulai memperlakukanku bak marionette
lapar. Layaknya seorang Don Juan, ia punya mulut manis nan sopan: kami berbincang
santai soal profesi, hujan yang tak kunjung reda, kenaikan harga BBM, suka-duka
kerja kantoran − basa-basi standar pertemuan pertama. Pengalih perhatian… Atau…
Jadi pria menyebalkan, jadi pria membosankan, biarkan wanitu itu per…
Terlambat. Leher
bagian belakang terasa nyeri, lalu merambat ke punggung, masuk ke sumsum,
menguras rasa dan makna dari segala yang menegaskan diriku eksis. Meskipun
begitu, aku berhasil menyamarkan beban itu dengan keceriaan palsu yang
mengancam melumpuhkanku sebagai pertahanan terakhir.
Rintik hujan
ditempa lampu jalan membantuku memandang wajah tirus tanpa riasan berkacamata
baca yang berembun. Bibirnya gemetar tak karuan, seperti sedang bicara pada
diri sendiri soal nasib buruk, atau sekadar membaca mantra pengusir dingin.
Selain itu, kegelapan menguasainya; tak ada lagi pencitraan lain yang aku
tangkap agar bisa berkompromi dengan rahang jahanam ini: bukan yang berhidung
pesek, wajah tanpa keriput, dan tanpa cacat: juling, bibir sumbing, atau codet.
Aroma yang keluar darinya dan siluet tubuh sintalnya semakin meningkatkan rasa
lapar. Untungnya keberadaan empat orang lain mampu menahannya sebentar.
Aku berselimut keringat
dingin. Kesuraman pikiran dan pandangan menjelaskan penaklukanku akan segera
tiba. Kepalaku penuh pertimbangan, perutku diserang gelombang amuk, lenganku
kebas oleh tusukan jarum tak terlihat; tak lama lagi aku bakal jadi seorang
kriminal menyedihkan. Tarik paksa? Jangan, masih ada orang, ada saksi. Persetan
mereka? Tidak. Aku tidak mau masuk penjara. Aku masih mau menghirup udara bebas,
mencecap rupa-rupa rasa manis dunia, juga teriakan dan erangan dan permohonan
ampun. Aku masih ingin merasakan kekuatan itu, dominasi itu…
Teriakan?
Dominasi? Ngomong apa aku ini? Ini bukan aku, ini buk…
Aku berbalik, bergerak
lekas dan menjauh, melintasi guyuran hujan dan meninggalkan jejak darah dari telapak
tangan di tiap kubangan yang aku lewati. Bersama geram, aku menahan rasa sakit
dan pahit darahku sendiri. Sial. Padahal aku sudah bersumpah tidak bakal membiarkan
ini terjadi lagi.
Masih ada waktu, masih
banyak mangsa. Lain kali, darah yang mengalir harus milik seseorang yang
berteriak pasrah dan tak berdaya, yang melihat malaikat maut mendekat dari mata
berlinang dan mengatup. Kali ini aku setuju denganmu: lebih baik kesakitan ini
berasal dari jiwa orang lain, dan cuma kenikmatan bagi jiwaku. Dan yang paling
penting adalah melakukannya dengan rapi seperti sebelum-sebelumnya; tanpa saksi
mata, tanpa belas kasihan.
Ingat-ingat itu:
tanpa saksi mata, tanpa belas kasihan. Harusnya kau sudah paham itu sekarang,
bukan malah “persetan mereka semua” dan bertindak seperti baru pertama kali
melakukannya. Seandainya kau belum tahu, cuma ada jakun dan pelir di penjara,
dan darahnya hitam dan getir, hambar dan banyak parasit, dan yang paling
penting: aku tidak mau anusku tercemar oleh batang kaku penuh kuman mematikan. Intinya:
di sana kau tidak bakal pernah bangun, dan cuma aku yang menjalani hidup dalam
neraka. Jadi, jangan bersikap gegabah seperti itu lagi.
Aku mesti bilang
apa nanti soal tangan ini? Digigit anjing? Tidak sengaja menjatuhkan es teh
jumboku? Habis melawan begal bersenjata parang? Sialan. Aku payah dalam
berbohong, terlebih lagi kalau di hadapan istriku: aku pasti gagal, aku selalu
gagal. Cuih! Psikiater tai kucing. Sudah menghabiskan banyak uang, tapi ucapannya
tidak lebih bermanfaat ketimbang kentut.
Baiklah rahang
jahanam, bagaimana kalau begini: kalau kau mau aku belajar menerimamu, aku mau
kau juga belajar sesuatu, yaitu kurangi standar persyaratan manismu sedikit
saja, dan coba biasakan dirimu dengan rasa pahit, karena kalau sudah berumur lebih
dari empat puluh tahun, cuma rasa pahit yang semakin kuat, mungkin kecut juga,
persis seperti fermentasi tebu, seperti ciu, tapi pahit yang paling kentara.
Tenang saja, rasa manis masih ada dan melebur di antaranya. Sudahlah, tidak
usah kau tanya aku tahu dari mana, pokoknya aku tahu. Bagaimana? Deal?
Oke. Besok kita datangi
dokter gadungan itu buat percobaan pertama.
Kisah-kisah Duka Wanita Asing dalam Novel Indonesia - Koko Hendri Lubis
EsaiKisah-kisah Duka Wanita
Asing dalam Novel Indonesia
Koko Hendri Lubis
Sejak masa 1970-an, wanita
yang mengukir namanya menjadi penulis produktif terus bermunculan seiring
dengan perjalanan waktu. Wacana yang mereka angkat merupakan
sumbangan positif terhadap khazanah kesusasteraan Indonesia.
Sensibilitas untuk
mengangkat eksistensi sesama wanita di novel yang mereka tulis, akan terus
dikaji, dan didiskusikan oleh generasi berikutnya.
Novel yang bagus
biasanya akan diingat oleh pembacanya dalam jangka waktu lama. Karena di
dalamnya tergambar mimesis/tiruan dari berbagai persoalan manusia yang ada di
masyarakat sekaligus jawaban mengenai problem-problemnya.
Novel Selembut
Bunga karya Aryanti, dan novel Selamat Tinggal Jeanette karya
Titie Said, menceritakan stereotip (pelabelan negatif) tak umum bangsa asing
yang datang ke Indonesia dengan tujuan berbeda-beda pula. Saat
mereka mendapatkan kenyataan sosial budaya di masyarakat yang tak selalu
“indah”, imbasnya adalah terkena penyakit Homesick.
Homesisck dirasakan sangat berat
dirasakan oleh seseorang yang jauh dari keluarga dan handai taulannya. Homesick bisa
dimaknai sebagai perasaan yang lara karena teringat kampung halaman.
Akibatnya terjadi
semacam “cultural shock” yang semestinya harus dihadapi dengan jiwa yang kuat
sebelum penyakit itu semakin parah.
Persoalan kejiwaan ini membuat perbedaan-perbedaan pandangan yang awalnya tumbuh dari rasa tidak puas karena perasaan tegang akibat perubahan lingkungan. Semua itu dikarenakan adanya manifestasi unsur sosial budaya masing-masing tokohnya yang sulit berubah kala menyesuaikan diri di tempat baru.
Lalu ia menyambung,”Kau tahu, Mimi, bukan pertama kali ini saya meninggalkan Tanah Air. Saya pernah bersekolah di Inggris. Tetapi baru sekarang ini saya berada dalam suatu negeri yang kebudayaannya dan cara hidupnya asing sekali bagi saya!” (Selembut Bunga: 1978: 14)
Demikian nukilan dialog dari novel yang populer di Indonesia, Selembut Bunga karangan Aryanti (Gaya Favorit Press, 1978).
Novel yang
diceritakan lugas ini bisa membuat pembaca memperoleh gambaran utuh yang menyelimuti
wanita bangsa asing sewaktu hatinya gundah gulana.
Biarpun demikian,
terdapat kontradiksi tokoh-tokohnya yang ditemukan di bagian internal teks
novel. Untuk mengatasi persoalan yang muncul akibat rasa cemas yang
berlebih dalam diri manusia, ia akan melakukan mekanisme pertahanan diri dengan
sebaik-baiknya.
Contohnya adalah
saat Cynthia—protagonis di novel Selembut Bunga—menawarkan untuk
membagi ilmunya untuk mengajar bahasa Inggris kepada ibu-ibu orang Indonesia.
Mimi, yang orang Indonesia mendukungnya. Malahan ia minta bantuan Ibu Martini,
salah seorang Dosen Senior di Universitas, untuk membantu promosi mencari
murid. Pelajaran itu sendiri akhirnya berlangsung di rumah Cynthia. Kerja
kreatif ini dilakukan Cynthia untuk merespon saran suaminya supaya
bisa berkenalan dengan orang Indonesia.
Selain itu, para
ilustrator yang dengan sepenuh hati membuat goresan indah untuk mempercantik
kemasan novel, di antaranya Steve Kamajaya, Tony G, Mieke SD, Rip Santosa, Fung
Wayming, Gerdi, Cindy Laura, As Utama, Ipe Maaruf, dan lain-lain.
Coba bayangkan kalau
tak ada novel yang merekam puspa ragam pikiran manusia terdalam, maka setiap
generasi akan menemukan kebenaran bagi dirinya hanya lewat tradisi lisan yang
ala kadarnya— diturunkan dari mulut ke mulut— dan hal itu tak akan luput dari
penyimpangan yang tak terelakkan.
Para pengarang
wanita yang merintis ke jalan itu di antaranya La Rose, Nina Pane Budiarto,
Lastri Fardani Sukarton, Yati Maryati Wiharja, Aryanti, Maria A Sardjono, Titie
Said, Marga T, Ike Soepomo, Tuti Nonka, Mira W, N.H. Dini, Sri Bekti Subakir,
Marianne Katoppo, dan penulis yang lainnya lagi.
Satu sisi, dunia
penerbitan jadi bergairah. Novel yang tuturannya tidaklah njelimet sehingga
mudah dipahami pihak mana pun terus melaju dan “naik daun”. Lektur seperti itu
berjaya menambah penghasilan penerbit dan bagus buat periuk nasi penulis.
Ragam novel yang
disuguhkan wanita hadir di pasar ditengarai untuk mengusir rasa jenuh pembaca
terhadap buku saku bertema sex yang lebih dahulu gencar membanjiri pasaran
sejak 1960-an, dan konon kematian angin sekitar tahun 1970.
Aktualisasi mereka
tak bisa lepas dari keberadaan majalah ‘wanita’ yang punya basis pelanggan
kuat.
“Mungkin sekali
para pembaca majalah wanita itu, yang tentunya kebanyakan wanita, memang lebih
menaruh kepercayaan kepada wanita pengarang; nama wanita sebagai pengarang
merupakan salah satu jaminan menarik tidaknya sebuah novel kepada pembaca,” sebagaimana dijelaskan
Sapardi.
Salah satu
pembaharuan yang digencarkan adalah kompleksnya masalah hidup wanita—baik di
kota dan di desa. Hal ini menarik karena diperhatikan penulis. Jika pembaca
wanita mendapat masalah yang hampir serupa atau persis sama, maka jalan keluar
yang ditulis pengarang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan.
Apalagi kaum
wanita terpelajar menambah dan menyerap pengetahuannya
dengan membaca novel. Terutama yang lahir dari pengarang populer dan
terpelajar.
Sebagaimana
tertulis dalam buku Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik (1982) karya Jakob Soemardjo, halaman 143 berikut ini:
“Sebab utama dari larisnya novel-novel wanita ini adalah timbulnya massa pembaca wanita terpelajar, situasi sosial politik yang relatif tenang, dan masuknya teknologi modern. Timbulnya massa pembaca wanita terpelajar ini baru muncul sekitar tahun 1970-an. Mengapa? Hal ini bisa kita simak demikian. Kesempatan bagi kaum wanita Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang sama dan terbuka dengan pria baru terlaksana sejak tahun 1950. Karena tahun-tahun sebelumnya penuh gejolak revolusi.”
Pengaruh
kepopuleran penulis wanita tak bisa dinapikan begitu saja. Majalah bercorak
hiburan, umum, menyediakan ruang buat mereka. Adanya cerita pendek, cerita
bersambung, novelete, merupakan salah satu upaya untuk memahami permasalahan
kehidupan dengan perspektif wanita.
Dari rangkaian
tulisan tersebut terasa bahwa mereka tidak berpretensi dianggap sebagai ahli,
melainkan lebih berbuat untuk membagikan pengetahuan dan pengalamannya kepada
orang lain lewat rangkaian tulisan.
Interaksi yang
demikian ‘kuat’ dengan sendirinya mengatrol kenaikan
oplah.
Penerbit-penerbit
buku yang memiliki kemampuan finansial, amat tanggap membaca peluang pasar
dengan cara menerbitkan novel bergenre dan bercorak seperti ini.
“Sebab rata-rata
novel populer ini dicetak sekitar 5000 eks—di antaranya ada yang mencapai 60000
eks—dan lewat berbagai cara dan sarana niaga, bisa habis dalam waktu yang
relatif singkat.
Seandainya sebulan diterbitkan 20 judul @5000, berarti setahun beredar 1.200.000 buku. Dan seandainya saja, setiap buku itu dibaca 3 orang pembaca, maka setahunnya ada 3.600.000 pembaca—di luar novel pop terjemahan—. Tentu saja hal ini sangat menggirangkan kalau ditinjau dari segi penerbit, pengarang, dan minat baca. Sebab selama ini minat baca di kalangan bangsa kita sangat rendah sekali,” tulis Korrie dalam Perjalanan Sastra Indonesia (1983) Jakarta: Gunung Jati, halaman 123.
Dibandingkan
dengan ‘buku saku’ yang lebih dahulu merajai pasaran, kemasan novel
populer lebih bagus dan terlihat artistik. Buku saku kebanyakan
diproduksi secara stensilan dan masih menggunakan tangan, bukan
mesin cetak. Ilustrasinya digarap secara sederhana, dan dari judulnya yang
aneh, pembaca sepertinya dapat “menebak” isi dan jalan ceritanya,
misalnya: Main Tjinta Diachir Minggu, Malam Penganten Jang Kasip,
Skandal Sex Seorang Diplomat, dan lain sebagainya.
Sedangkan fisik
novel populer, selain covernya cukup bagus dan ‘spesifik’, pewarnaannya juga
digarap secara tepat. Tipografi judul diselaraskan dengan ukuran besar buku.
Novel jenis ini rata-rata ukurannya sebesar 18 x 14 cm. Novel Selembut
Bunga besarnya 18, 5 x 13 cm, novel Selamat Tinggal Jeanette formatnya
berukuran 18 x 12 cm. Jumlah halaman umumnya bervariasi. Dari 140 sampai 350
halaman. Terkadang bisa juga lebih. Harga jualnya sesuai iklan yang tertera di
dalam novel berkisar dari Rp. 2900-Rp.3400 per eksemplaar.
***
Kisah yang
menggambarkan kemelut rumah tangga dan memiliki penerokaan jiwa yang
mendalam terdapat di novel Selembut Bunga, dan Selamat
Tinggal Jeanette.
Kesedihan di lubuk
kecil hati Cynthia, dan tertekannya batin Jeanette, seakan
menegaskan bahwa hidup di dunia penuh suka dan duka. Ada pahit dan ada
manisnya. Semuanya tergantung dari tindakan dan sikap seseorang dalam menyikapi
kehidupan.
Munculnya sosok-sosok
tersebut akan membuat semakin jelas tokoh mana yang punya kepercayaan diri
kuat, tenang, bijaksana, egois, dan menjunjung tinggi pendirian orang lain.
Aryanti
(1928-2007), pengarang novel Selembut Bunga ,nama aslinya
adalah Haryati Subadio. Ia adalah seorang Professor Sastra Klasik dan pernah
menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di Universitas Indonesia. Novelnya yang
lain adalah Hidup Perlu Akar (1981), dan Tak Berhenti
Berputar (1982). Ia juga menulis kumpulan cerpen yang dibukukan
menjadi Kaca Rias Antik (1970).
Novel yang
mendapatkan juara pertama dalam sayembara novel Femina 1977
ini berkisah tentang pasangan suami istri asal Australia Lewis (Lu) dan
Cynthia. Lewis adalah seorang sosiolog yang mau menulis buku dalam bidang
sosiologi. Mereka bersahabat baik dengan Adil dan Mimi.
Untuk membantunya
bekerja di lapangan saat riset dan di rumah, Lu mempekerjakan Harni, seorang
gadis cekatan yang mula-mula sekali bekerja sebagai asisten Pater Haryo.
Harni lancar
berbahasa Inggris, pandai masak, menjahit, mengetik, membuat kue ala Australia,
sekaligus terampil dalam mencatat wawancara lapangan.
Gosip di belakang
punggung yang menyatakan bahwa Lu berselingkuh dengan ‘seorang gadis’ yang tak
disebutkan namanya, awalnya diacuhkan saja oleh Cynthia. Ia sendiri terus
terkungkung oleh perasaan rindu dengan Tanah Airnya. Sedangkan ragam seni budaya
di Indonesia, tak terlalu menarik minatnya. Sikapnya ini berkebalikan dengan
suaminya.
Namun ketika suatu
hari Lewis, Adil dan Pater Haryo menghadap Cynthia, ia sudah “bisa” menduga apa
yang telah terjadi. Lewis ternyata menghamili Harni.
Reaksi pertama
dari Cynthia ketika mengetahui suaminya mengadakan penyelewengan seksual adalah
terkejut. Tak disangka Lewis berbuat demikian. Berarti apa yang
didesas-desuskan selama ini terbukti benar.
Berbagai perasaan
negatif menyelimuti dirinya. Rasa sedih, dongkol, kecewa, panas
hati, merasa direndahkan dan sebagainya.
Namun
balasannya, Cynthia tidak agresif. Apalagi menyerang suaminya dengan
kata-kata kasar dan memakai fisik. Tidak. Ia matang, mampu mengendalikan emosi,
dan memilih pulang sementara waktu ke Australia untuk mencari penyelesaian.
Waktu berjalan
terus. Kedua orangtua Harni dipusingkan oleh status anaknya yang hamil di luar
nikah. Siapa pula yang mau bertanggung jawab menjadi suami Harni yang telah
berbadan dua? Adil sendiri bilang kalau untuk bercerai Lewis dan Cynthia tidak
mungkin terjadi. Hukum di negara mereka ketat sekali mengatur soal ini.
Lalu, untuk
sementara waktu, Harni diungsikan ke rumah Nani, adiknya Adil, di Magelang yang
memiliki peternakan ayam. Di tempat itu ia bisa membantu Nani di bagian
administrasi sambil menunggu kelahiran bayinya.
Bila ditinjau ke
belakang, penyelewengan terjadi karena beberapa faktor. Tapi yang paling masuk
akal adalah hubungan ini terjadi atas dasar suka sama suka secara sesaat. Sudah
tentu “kualitasnya lain” ketimbang hubungan seksual suami-istri yang sifatnya
kegiatan rutin.
Penyelewengan ini
lebih dikarenakan akan adanya ketegangan jiwa serta pengendalian diri Lewis dan
Harni yang lemah.
Datang suatu siang
waktu ia dibawa oleh Lewis ke tempat wawancara jauh dari kota. Mereka mendapat
ruangan di kecamatan. Orang yang diharapkan, tidak memperlihatkan diri. Lewis
amat kesal hati. Mereka pulang, dan rumah ternyata kosong.
Cynthia hari itu
berpergian…Lewis memeluk Harni seketika,
“Kau harus menghibur saya! Saya berfrustasi besar!” katanya mengejek. Namun perasaan kedua belah pihak tidak terbendung lagi. (Selembut Bunga: 1978: 132-133).
Setelah berpikir
matang-matang, Cynthia datang lagi ke Indonesia. Ia berdialog dengan suaminya
dan dengan sahabat-sahabatnya. Semua pihak setuju bahwa skandal dengan wanita
lain memang berbahaya dalam perkawinan. Namun begitu, untuk menyelamatkan anak
bayi perempuan tanpa dosa yang baru lahir itu, Cynthia secara terbuka mau
mengambil dan mengakuinya sebagai anak ‘sendiri’. Dengan cara begitu ia
menyelamatkan perkawinannya dan melepaskan beban mental Harni dari ketiadaan
laki-laki yang mau bertanggung jawab sebagai suami pengganti.
***
Novel Selamat
Tinggal Jeanette merupakan karangan Titie Said (1935-2011), dan
diterbitkan oleh Alam Budaya, medio 1986. Ia juga dikenal sebagai cerpenis dan
jurnalis. Novel yang pernah ditulisnya antara lain Doktor Dewayani,
Reinkarnasi, Perasaan Perempuan, dan seterusnya.
Novel ini
mengungkapkan perkawinan campur antara pasangan yang berlainan budaya dan agama
di Indonesia.
Faktanya di
Indonesia yang mengakui banyak agama, perkawinan campur bukan kejadian baru.
Malahan sering terjadi. Sebabnya adalah pergaulan yang kerap tak membedakan
soal kepercayaan. Cinta terjalin di antara dua insan berlainan agama bukan
suatu hal yang mustahil.
Raden Mas Suryono
minta izin ibunya, Raden Ayu Suryo untuk menikahi seorang wanita Prancis
pilihannya, Jeanette.
Padahal ibunya
lebih mempertimbangkan masalah “bibit, bobot, bebet”, dan ingin menjodohkannya
dengan Raden Ayu Pangastuti, yang masih terhitung sepupu Suryono.
Namun, setelah
mengkaji baik- buruk efek yang akan timbul bila keinginan Suryono ditolak,
akhirnya ia mendukungnya.
Suryono dengan
Jeanette menikah secara sederhana. Hadir dalam acara, yakni penghulu, saksi dan
sepuluh orang undangan pilihan. Perkawinannya sendiri tak dirayakan karena
Raden Ayu Suryo kurang yakin kepada keduanya. Biarpun begitu, hal itu
dipendamnya saja di hati.
Seiring
berjalannya waktu, rupanya banyak unsur ‘X’ yang naik ke permukaan secara tak
terduga. Padahal, waktu masih pacaran, semua serba indah dan bahagia. Setelah
selang beberapa bulan hidup dalam perkawinan, menjaga keharmonisan tidak
semudah yang dikira.
Kesulitan ini semakin bertambah karena Jeanette terkena ‘Homesick’,—soal ini menuntut pengorbanan yang besar sekali. Apalagi sikap Jeanette yang tak bisa menyesuaikan diri saat satu atap bersama suami, dan terus menerus mempertahankan keunggulan diri sendiri, dijabarkan dengan menarik di halaman 129- 130:
Kehidupan yang magis, sesuatu yang selalu meletup-letup, yang dulu didambakan, kini tak ubahnya seperti kebosanan-kebosanan yang pernah melanda kehidupannya dulu. Sudah bermalam-malam dia tidak tidur. Dua butir luminal telah ditelannya, tetapi matanya toh tidak berhasil dikatupkan. Setiap malam, dorongan untuk pulang kembali ke Paris semakin mendesak kalbunya. Seperti desakan lumpur dari Gunung Arenas yang menimbun kota Amarelo. Sesak napas Jeanette jika harus hidup di desa yang sepi ini. Dia ingin secepatnya ke luar dari suasana yang menghimpit dadanya itu. Dia ingin melihat lampu-lampu, ingin mendengarkan musik, ingin jalan-jalan, ingin hura-hura, dan ingin dipeluk hangat-hangat.
Pada akhirnya Jeanette ingin agar langit runtuh dan dirinya mati!
MATI. Persis keinginannya sewaktu masih menjadi gadis remaja belasan tahun.
Suryono mencoba
mengalah untuk memperbaiki dirinya. Ia mencoba menyelamatkan perkawinannya dan
memilih ikut dengan Jeanette ke Paris.
Rupanya di sana
roda kehidupannya tak berjalan mulus. Akibat situasi ini, Suryono jadi tak tahu
mau berpijak dimana.
Pekerjaan sebagai
bankir dan staf lokal Kedutaan RI tak sesuai bakat dan kemampuannya. Ia merasa
dunia begitu kejam padanya. Lalu ia memilih jadi pelukis lagi. Seorang nyonya
yang dilukisnya sempat memberikan upah setelah pekerjaannya selesai. Rasa
bangga tak berlangsung lama karena ia tahu uang itu bersumber dari pundi-pundi
uang Jeanette.
Dan akhirnya,
selain sebab-sebab di atas, ada lagi satu penyebab yang membuat Suryono tak
betah di Paris, yaitu si-Trimah—pembantu setia ibunya di rumah. Wanita desa
yang lugu itu bayangannya kerap hadir di ingatan Suryono.
Terakhir, setelah
Suryono merasa senantiasa “tertekan perasaan tiada henti” akibat perlawanan
Jeanette saat mereka berbeda pendapat, memutuskan pulang ke Indonesia.
Dari Indonesia
Suryono mengirimkan surat cerai yang dilemparkan Jeanette ke dalam perapian
setelah selesai dibaca.
Ujung cerita:
Suryono mengawini Trimah, dan Jeanette resmi menjadi Nyonya Girard Palante.
Begitulah cara dua insan yang dulunya saling menyintai untuk mengatasi
kesusahannya.
***
Aryanti dan Titie
Said kali ini membentangkan kesejajaran gender dalam karyanya.
Walaupun Cynthia dan Jeanette digambarkan sebagai wanita modern, memiliki hak
untuk bertindak, sejajar dengan pasangannya masing-masing, terdapat
kelemahan-kelemahannya juga yang wajar sebagai manusia biasa—dalam hal ini agak
mudah depresi serta kerap mengambil tindakan yang tidak logis.
Tak bisa dibantah
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki persoalan gender. Di Jawa ada
berbagai ungkapan yang tetap lestari sampai saat ini, seperti “wanita wani ditata”
—menjadikan seorang wanita bersedia untuk diatur—, “swarga nunut neraka katut”
—menjadikan bahwa sedih dan bahagianya sang wanita tergantung oleh suaminya—,
dan yang lainnya lagi.
Nah, dampak
langsung berdasarkan kenyataan tersebut, membuat posisi wanita jadi lemah.
Wanita kerap dikorbankan dan status sosialnya tepat di bawah laki-laki.
Berbekal legitimasi yang berurat-berakar itulah, laki-laki punya kekuasaan
untuk mengatur perempuan seperti dalam lingkup budaya patriarkat. Hal ini
menguatkan telah terjadi ketidakadilan gender di Indonesia yang dalam novel ini
diwakili oleh sosok Harni dan Trimah. Keduanya adalah representasi wanita yang
tersakiti di dalam karya sastra.
Aryanti mampu
menyajikan sosok Cynthia dalam bingkai cerita yang menarik. Dengan latar
belakang keilmuannya, ia berhasil menciptakan novel yang adegan-adegannya
berisi pengetahuan budaya Indonesia dan Australia.
Sedangkan Titie
Said, dengan kecermatan dan kepiawaiannya, berhasil meramu sosok Jeanette
secara jernih—seorang wanita yang tindakannya cenderung ingin mengubah keadaan,
meski kerap gagal karena berbagai alasan.
Sungguhpun tema
cinta sama tuanya dengan usia manusia— dan merupakan kisah yang tak ada
habisnya jika ditulis, tapi lewat novel ini kita jadi tahu bahwa “keluhuran
cinta” bisa menyebabkan orang mengambil keputusan sekaligus tindakan yang
bertentangan serta penuh dilema.
Inilah yang
menyebabkan kedua novel di atas lebih bernilai ketimbang sebuah cerita biasa.[]
---
Bahan Bacaan
Aryanti. Selembut Bunga. Jakarta: Gaya Favorit Press. 1978.
Damono, Sapardi Djoko. “Catatan Ringkas Kedudukan Novel
Populer dalam Perkembangan Sastra Indonesia” dalam Temu Pengarang Femina,‘Membedah Novel Pop
Indonesia’ bersama Umar Kayam dan Sapardi Djoko Damono. Jakarta: Femina. 16
April 1987.
Minderop, A. Psikologi Sastra Karya Sastra, Metode, Teori,
dan Contoh Kasus. Jakarta: Pustaka Obor. 2013.
Said, Titie. Selamat Tinggal Jeanette. Jakarta: Alam Budaya.
1986.
Melihat Bapak Tidur - Didik Wahyudi
CerpenMelihat
Bapak Tidur
Didik Wahyudi
Bapak tidur. Badannya membujur di
tepi selatan kasur. Kakinya di timur dan kepalanya di barat. Mulutnya menganga
menarik dan melepas napas. Udara mengalir dari pintu yang terbuka. Lajunya
mengencang didorong pusaran kipas. Nyenyak sekali kelihatannya.
Itu tidur nyenyak bapak yang pertama sejak sepekan lalu. Awal pekan lalu bapak mulai terlihat gelisah. Ia mondar-mandir tak jelas di dalam rumah. Dari halaman depan ke halaman belakang, kemudian kembali ke depan. Sekali waktu mampir ke meja makan tanpa menyentuh makanan.
Uang bapak habis. Uang hasil menjual tanah itu tak bersisa sama sekali. Sebagian besar uang itu untuk membayar sebuah rumah di pinggir jalan yang masih kurang setengah pembayarannya. Sebagian lain dipakai untuk membayar pengacara.
Aku melihat bapak tidur dari dapur. Ya, aku memang senang berada di dapur. Di dapur, aku melihat saja bila ada yang memasak. Kadang-kadang juga aku berbuat usil. Maklum, kehidupan di sini terasa sepi. Tak ada teman bicara. Tak ada kegiatan. Maka, berbuat usil membuatku sedikit terhibur.
Pagi itu adik-adikku sudah bangun. Adikku yang pertama sedang merebus air untuk mandi. Anaknya yang pertama, Safa, sudah selesai mandi dan salat. Anaknya yang kedua masih terlelap di kasur. Sedang suaminya duduk manis di atas, menyesap kopi seduhannya sendiri dan merokok. Kadang-kadang aku ingin juga mengambil rokoknya. Tetapi TBC yang menggerogoti dadaku membuatku tak bisa melakukannya. Lama sudah aku tidak merokok.
Aku meniup api kompor. Api itu bergoyang-goyang membuat air lebih lama matang. Aku tersenyum melihat tingkah adikku yang mulai tak sabar. Ia matikan kompor dan dengan air yang belum panas benar itu ia pergi ke kamar mandi. Pagi di sini memang selalu dingin. Dan adikku itu tak suka mandi dengan air dingin.
Adikku yang kedua masih berbaring di atas kasur. Matanya menatap layar hp, memeriksa pesan-pesan yang belum sempat terbaca tadi malam. Ia memang tak punya banyak waktu di malam hari. Ia berangkat kerja jam delapan pagi dan pulang lembur setiap hari jam sepuluh malam. Sehabis makan dan melepas kangen pada tiga orang anaknya yang masih kecil, ia langsung tidur.
Anaknya yang paling kecil baru satu tahun. Namanya Ganyang. Kami meyakini bahwa bayi montok itu adalah titisan ibu yang meninggal tak lama sebelum dia lahir. Memang, bila diperhatikan, tingkah Ganyang sangat mirip dengan ibu.
Ibu meninggal di musim wabah. Aku sendiri tak percaya ibu terkena Covid. Iya, ibu batuk-batuk. Iya, ibu pilek dan demam. Tetapi batuk, pilek, dan demam, bukan penyakit aneh. Semua orang di rumah pernah terkena penyakit seperti itu.
Ibu dimakamkan di pemakaman umum. Liang lahat dikeruk menggunakan backhoe. Hanya sedikit orang yang menghadiri pemakamannya. Rasanya sungguh menyakitkan melihat ibu pergi dengan cara seperti itu.
Adik pertamaku telah selesai mandi. Dia pergi ke atas untuk menyiapkan seragam sekolah anaknya. Dengan langkah bergegas, dia membawa seragam itu ke tempat menyetrika di samping meja makan. Di sudut meja makan itulah, bapak biasanya menaruh dupa dan sesaji untuk mengenang anggota keluarga yang sudah meninggal.
Aku pernah bertanya apa gunanya sesaji semacam itu. Orang-orang yang sudah meninggal tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi makan dan minum. Tetapi bapak membentakku. Aku tak tahu adat, katanya. Akhirnya, aku tak pernah bertanya lagi. Aku tak peduli. Biar saja bapak menyiapkan sesaji dan melakukan apa yang dia yakini.
Aku kembali ke dapur. Dari sana, aku bisa mendengar lantunan selawat dari hp suami adik pertamaku. Aku ikut bersenandung sambil melihat Safa yang sibuk di dapur. Gadis itu sudah besar, pikirku. Sudah kelas enam SD. Tubuhnya tinggi seperti ayahnya. Wajahnya cantik dan ceria seperti mamanya. Aku selalu menyayangi anak itu lebih dari keponakan-keponakanku yang lainnya.
Safa sedang membuat ayam tepung untuk sarapan dan bekal ke sekolahnya. Beda dengan zamanku dulu, membawa bekal makan ke sekolah, bagi anak-anak zaman sekarang, adalah hal lumrah. Dulu, mereka yang membawa bekal makan ke sekolah, apalagi anak laki-laki sepertiku, akan diledek sebagai anak manja. "Anak mama," kata mereka. Tetapi, syukurlah, pandangan seperti itu sekarang sudah punah.
Bicara tentang ayam, aku jadi ingat kejadian dua hari lalu. Waktu itu, aku baru saja datang dari makam. Adik pertamaku sedang ngobrol dengan suaminya di meja makan. Suami adikku, yang sebenarnya tidak suka berbicara saat sedang makan itu, bercerita tentang sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, katanya, dia bertemu dengan aku dan ibu. Bertiga, kami menikmati opor ayam buatan ibu di ruang tamu. Aku spontan tertawa mendengar cerita itu. Sebab, ibu dan aku tak mungkin lagi menyantap makanan seperti itu.
Saat semua orang telah meninggalkan rumah, aku pun pergi. Aku pulang untuk melihat keadaan istriku. Biasanya, pagi-pagi seperti saat itu, kami baru rampung membereskan rumah dan bersiap memasak untuk sarapan. Agar praktis, kami biasanya hanya memasak mie instan atau makanan instan lainnya yang tersedia di toko.
Pagi itu istriku sedang berada di toko. Beberapa barang kelihatannya baru saja datang. Barang-barang itu dikirimkan oleh agen besar langganan kami. Barang-barang lainnya kami beli sendiri ke agen-agen lain di pasar. Khusus untuk tabung gas, kami mendapat kiriman langsung dari distributor. Kepala distributornya temanku dulu di pabrik. Beruntung sekali, sebab, harga yang diberikan kepada kami sama dengan harga yang diberikan kepada agen. Jadi, kami bisa menjualnya dengan harga lebih murah dari toko lainnya.
Ah, istriku, masih cantik seperti dulu, saat pertama kami bertemu. Tangan-tangan sepi agaknya tak pernah bisa melunturkan kecantikan itu. Aku mendekat dan kucium keningnya. Ia tersenyum, barangkali ada sesuatu yang lucu berkelebat di kepalanya. Sesuatu yang berkaitan dengan si belang atau si salju, dua kucing kami yang setia menemani istriku.
Aku mengelus dada. Di balik senyum itu, sesungguhnya tersimpan danau kesunyian yang amat luas. Andai kami pernah memiliki seorang anak, pastilah kesunyiannya tak seluas itu. Ya, aku yang salah. Tak bisa memberinya benih yang sehat, hingga rahimnya tak pernah merasakan degup kehidupan baru.
"Beli!" Suara seorang gadis kecil menghentikan aktivitas istriku.
Saat itu, aku tiba-tiba terpikir untuk mengunjungi Samsi, sahabatku. Rumahnya tak jauh dari rumahku di Gang Bromo. Aku datang lewat pintu belakang. Kami memang sudah seperti saudara. Aku bisa datang kapan saja dan dari pintu mana saja ke rumahnya. Begitupun sebaliknya, dia bisa datang kapan saja ke rumahku. Saudara kadang-kadang bisa berupa orang yang berlainan darah dengan kita.
Hari itu Samsi tak ada di rumah. Dia pergi untuk urusan pekerjaan ke luar kota. Subuh-subuh dia berangkat dan baru kembali nanti malam. Saat aku akan pergi, aku mendengar percakapan yang mengejutkan. Istri Samsi sedang berbicara dengan seorang tetangga perempuan. Mereka bicara tentang istriku. Ya, istriku yang kecantikannya tidak luntur oleh tangan-tangan sepi itu. Ada seorang lelaki yang katanya sedang mendekati istriku. Bulan depan, kata mereka, lelaki dari luar kota itu akan datang ke rumah. Ah, apakah lelaki itu yang telah membuat istriku tersenyum tadi?
Aku tak kuat mendengar rasan-rasan itu lebih lama lagi. Aku pergi, balik ke rumah bapak.
Aku langsung ke dapur, tempat favoritku. Tak ada siapa-siapa di sana. Bapak masih tidur. Ini sama sekali tidak biasa. Sebab, bapak sendiri pernah berkata, hanya orang bobrok yang tidur pada jam-jam seperti saat itu.
Tetapi, seperti aku katakan tadi, saat ini, situasinya memang beda. Sejak ditinggal ibu, aku sering memergoki bapak menangis. Dia menangis di kamar. Adik-adikku dan yang lainnya tak pernah tahu. Ditambah lagi peristiwa yang baru-baru ini menimpaku. Meski kelihatannya kami tak pernah akur, tetapi aku tahu bapak sangat menyayangi aku. Aku anak laki-laki satu-satunya. Aku tahu, bapak berharap banyak kepadaku. Harapan yang terus terang saja belum bisa dan pasti tak pernah bisa aku penuhi.
Lelap sekali tidurnya. Seperti melepas semua beban yang ditanggungnya. Aku tak tega untuk mengganggu. Aku hanya memandangi wajah kerasnya. Wajah keras yang ditempa oleh waktu. Waktu-waktu yang penuh dengan kerja dan tantangan.
Ya, tantangan yang selalu ia sembunyikan dari aku dan adik-adikku.
Sebuah peristiwa tentang perjuangan bapak yang terus aku kenang adalah peristiwa yang terjadi di hari ulang tahunku yang ke enam. Waktu itu, aku menangis dan merengek minta dibelikan sepeda baru. Sebab, si Takin, anak tetangga belakang rumah suka memameriku sepeda baru. Sepeda roda dua seperti yang ada dalam iklan di majalah anak-anak.
Ibu mencoba membujukku dengan janji-janji. Tetapi aku tak mau dan terus saja merengek. Bapak kemudian pergi dan kembali dengan sebuah sepeda baru untukku. Aku bersorak kegirangan. Malamnya, aku bawa sepeda itu tidur di kasur bersamaku.
Kelak, aku tahu jika sepeda itu bapak ambil dari toko seorang China. Bapak tidak membeli, juga tidak mencurinya. Dia datang ke toko itu dan langsung mengambil sepeda itu begitu saja. China pemilik toko itu diam saja. Dia tahu siapa bapak. Suatu saat, bapak pasti akan membayarnya.
Sekarang bapak sedang tidur berselimut beban sekali lagi. Dan aku tak bisa membantunya sama sekali. Dia butuh uang dengan segera. Pemilik rumah di pinggir jalan itu beberapa kali datang. Mereka minta bapak segera melunasi pembayarannya. Rumah itu rumah waris. Hasil penjualannya dibagikan kepada para ahli waris yang tak semuanya mau sabar menunggu bapak. Ditambah lagi biaya untuk pengacara dan ongkos penyelesaian sengketa tanah yang berlarut-larut. Habis. Dan tak seorang pun yang diharapkan bisa membantu.
Selain itu, seperti yang beberapa kali sudah bapak obrolkan dengan adik-adikku, dua minggu lagi, rumah ini akan mengadakan selamatan 40 hari kematianku. Bila ada di antara sidang pembaca yang kebetulan tinggal berdekatan dengan rumah bapak, kalian pasti juga akan diundang. Datanglah bila ada waktu. Doakan aku.
(Benowo,
2023)
Pulang II - Muhammad Ade Putra
SajakLanun Alang Tiga: Cermin Semangat Perjuangan dalam Bingkai Sejarah - Riki Utomi
EsaiLanun Alang Tiga: Cermin Semangat Perjuangan dalam Bingkai Sejarah
Riki Utomi
Kita patut menyambut gembira dengan hadirnya
novel bertema sejarah Lanun Alang Tiga
karya Datuk Seri Lela Budaya Rida K Liamsi ini. Setelah sukses dengan masterpiece-nya Bulang Cahaya, kini hadir kembali dengan karya terbarunya yang
menggugah. Datuk Rida memang sangat piawai dalam menggali sejarah ke dalam
karya prosa fiksi yang memikat; berkesan, memotivasi, menginspirasi, dan memberi
kontribusi besar bagi masyarakat Melayu, baik di Riau dan Kepulauan Riau, juga umumnya
masyarakat Melayu di Indonesia bahkan sampai negeri jiran, Malaysia. Novel yang
sarat nilai-nilai sejarah dan keraifan lokal Melayu ini, menurut saya, mampu
menjadi barometer untuk kembali mengenang tentang betapa besarnya, gagahnya,
dan mulianya kita (bangsa Melayu) pada masa lalu. Tentu bukan hanya besar,
gagah, dan mulia secara kekuasaan namun juga dalam kekuatan melawan kezaliman
penjajah (Belanda).
Melalui pembacaan novel
ini kita dapat mengetahui bahwa sejak dahulu, sebelum terbentuk NKRI, Belanda
telah kemaruk dan menyusah di tanah Melayu; selalu
berusaha ingin mendapatkan apa-apa yang bukan miliknya dan lebih parah ingin
mencampuri urusan kerajaan-kerajaan Melayu dengan menekan para sultan dalam perjanjian-perjanjian
tertulis. Hal itu menunjukkan bangsa asing begitu masif ingin mendapatkan apapun di bumi Melayu ini. Tetapi, tentu
hal itu tidak serta-merta mereka dapatkan dengan mulus, meskipun jalan licik
melewati perjanjian-perjanjian penandatanganan secara politis itu dilakukan
dengan petinggi kerajaan. Sebagian dari kaum bangsawan kerajaan yang memang
menaruh kebencian terhadap kaum kolonial tersebut akan bersikeras untuk
berontak dengan menyimpan persiapan-persiapan untuk melawan, seperti ibarat “menyimpan
api dalam sekam”. Untuk itulah tidak jarang terjadi pertempuran dahsyat yang
merugikan pihak penjajah. Ini menunjukkan bahwa sejak dulu bangsa Melayu telah
memiliki karakter sebagai manusia-manusia tangguh dalam berperang, selain juga
rasa kesetiaan dalam menjaga resam dan marwah adat untuk dijunjung tinggi yang
tidak rela diinjak-injak oleh kekuasaan bangsa asing.
Lihatlah betapa seenaknya saja Belanda mengatakan bahwa kerajaan Melayu sebagai “negeri pinjaman” yang bilamana sewaktu-waktu terjadi pembangkangan diantara para sultan akan diambil alih oleh pihak Belanda. Hal ini—seperti pula yang digeramkan oleh para sultan dalam cerita ini—membuat saya pribadi sebagai pembaca juga menjadi ikut geram. Hal ini dapat kita tinjau dari ungkapan Sultan Mahmud Muzaffar Syah pada 1841 yang di nobatkan menjadi sultan yang baru menggantikan ayahnya yang wafat.
“Beta paling sakit hati dengan isi perjanjian ini yang mengatakan bahwa negeri kita ini sebagai negeri pinjaman. Padahal ini negeri milik nenek moyang kita, orang Melayu yang didirikan dengan darah dan air mata. Gara-gara kita cuai dan kalah dalam berunding, lalu penjajah Belanda itu dengan senang lenang merampas kedaulatan kita dan mengatakan negeri kita ini milik mereka dan kita cuma meminjam. Kalau bisa beta rampas! Besok pagi pun beta rampas!” (hlm. 167-168)
Bisa-bisanya bangsa kaum kafir laknatullah itu berkata begitu! Dan kita sebagai pemilik sah tanah ini, bangsa ini, akan mudah saja diambil oleh mereka? Nauzubillahiminzallik! Namun sebagai pembaca, rasa geram saya itu terobati juga karena dibuat kagum oleh perjuangan sebagian besar para sultan baik dari bangsa Melayu sendiri dan dari Yang Dipertuan Muda belah Bugis dengan para pengawal-pengawal setia mereka untuk mempertahankan marwah. Lihatlah, betapa gigihnya para lanun Tempasuk menghancurkan Belanda di Tanjungpinang, lalu mereka membantu Sultan Mahmud Riayat Syah membangun istana di Daik, Pulau Lingga untuk menjadikan pusat pemerintahan. Juga betapa gigih dan setianya kepada sultan dari sosok Tengku Sulung sebagai panglima besar Reteh yang mengabdi kepada Sultan Lingga. Begitu pula ayahnya Tok Lukas yang juga senantiasa setia kepada sultan. Mereka sebagai sosok pemberani menentang kezaliman penjajah.
“Yang Dipertuan Besar Mahmud Muzaffar Syah telah dimakzulkan oleh Belanda. Pihak Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga tidak berdaya melawan dan terpaksa mendukung Belanda. Beta tidak mau menyembah raja lain, selain Mahmud dan keturunannya! Yang menggantikannya, bapak saudaranya, Tengku Sulaiman. Kita harus membela Baginda Mahmud karena dialah yang telah menyelamatkan kita, orang-orang Iranun dari kejaran Belanda. Dialah yang telah memberi kita negeri tempat berpijak dan beta telah berjanji akan membela Baginda Mahmud sampai mati. Besok kita membuat kubu yang baru dan bersiap perang. Kita pindah ke Sungai Batang. Di sana ada tempat yang bagus, menghadap ke Kuala Indragiri. Kita boleh menanti Belanda dan sekutunya, Sultan Riau, di sana. Kalau takdir kita harus mati, biarlah kita mati secara terhormat. Pantang kita bangsa Iranun ini bertekuk lutut pada penjajah!” kata Panglima Besar Sulung memberi tahu para pengawalnya. Kemudian mereka bersumpah untuk sehidup semati. (hlm. 178-179).
***
Novel Lanun Alang Tiga karya Datuk Rida ini
bukan sebatas mengisahkan unsur-unsur sejarah saja, tetapi juga unggul dalam
mengisahkan tokoh-tokoh utamanya sebagai sosok dengan karakter kuat dalam
menjalani hidup. Masing-masing tokoh mampu menunjukkan karakternya yang khas.
Nadin Sukmara dalam novel ini sebagai seorang wartawan Suara Borneo di Sabah, Malaysia, menjadi tokoh sentral yang
mengawali kisah novel ini. Setelah berhasil menuliskan berita tentang sepak
terjang suku Iranun, ia disokong pihak redaksi untuk mengadakan penelitian dan
peliputan khusus tentang hal itu ke Riau dan Kepualaun Riau. Kebetulan karena
ia sendiri juga keturnan Iranun, begitu pula Pemimpin Redaksinya. Maka ia pun
pergi dari Sabah menuju Pekanbaru. Dimana dalam perjalanannya mengumpulkan
bahan berita selama sebulan itu ia ditemani oleh Profesor Kazzai seorang ahli
sejarah dan Mustam seorang wartawan tempatan yang senantiasa menceritakan
tentang sejarah kaum Iranun yang telah memencar kemana-mana pada seantero jagad
Melayu ini.
Novel ini dikisahkan
dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu, yaitu pengarangnya
sendiri. Sehingga secara garis besar pengarang dapat bebas dan leluasa
mengisahkan tentang segala tokohnya baik dari sosok Nadin dan lainnya, maupun
tokoh-tokoh masa lalu dalam sejarah, seperti para Sultan dan orang-orang
kepercayaannya. Secara jauh, novel ini mampu diungkapkan secara lihai oleh
Datuk Rida dengan segala konflik yang melanda para tokohnya.
Mengangkat sejarah masa
lalu ke dalam karya fiksi memang tidak mudah. Sejarah masa lalu yang memang
pernah ada terjadi di negeri Melayu ini merupakan harta yang tidak ternilai
bagi kita sebagai generasi masa kini. Hanya melewati orang-orang yang memiliki
kecerdasan dalam mengolah imajinasilah yang mampu meresap kembali nilai-nilai
resam itu dan mengungkapkannya untuk dijadikan kisah spektakuler dalam bentuk
karya sastra. Maka Datuk Rida, hemat saya, merupakan salah seorang yang luar
biasa dalam menggali khazanah sejarah itu untuk dapat kita nikmati kembali saat
ini.
Lihatlah betapa runtut
kisah yang dipaparkan tentang bagaimana kehidupan pada masa kerajaan itu.
Jalinan yang selaras dari sejumlah tokoh dari berbagai kerajaan Melayu di Riau
maupun di daerah lain yang juga saling terpaut. Hal ini diperkuat oleh angka
tahun yang runtut dan jelas melatarbelakangi setiap peristiwa penting pada masa
itu. Dijalin pula oleh konflik, baik internal maupun eksternal dari kaum-kaum
elit bangsawan Melayu dengan pihak Bugis atau juga dengan pihak Belanda. Tidak
luput kisah-kisah terjadinya sengketa yang saling berebut kekuasaan dalam
menggantikan kedudukan sebagai pucuk pimpinan negeri hingga berakhir pertikaian
sesama anak negeri. Namun pula kadang kala dapat diredam oleh jalinan tali
perjodohan antaranak bangsawan untuk kembali merekat persaudaraan antarsesama
puak agar tidak larut dalam sengketa berkepanjangan. Ya, selain dengan
mengangkat tombak dan menghunus keris, juga dengan jalan pernikahan dalam
menjaga pertalian persaudaraan itu mampu dirasa menjadi jalan tengah agar dapat
menepikan keegoan masing-masing pihak yang memiliki kekuasaan.
Ketertarikan dari dua
insan seperti yang terjadi pada Tengku Maimunah, anak gadis Tengku Yahya yang
menyukai Tok Lukus pengawal setia kerajaan juga dirasa memiliki jalinan
persebatian untuk mempererat antara bangsa Iranun dengan kaum bangsawan Melayu.
Meskipun sebelumnya terjadi konflik batin di pihak Tengku Yahya karena masalah
perbedaan derajat, karena Tok Lukus berasal dari kaum bajak laut.
“Apa Ayahanda tidak malu bermenantukan Raja Lanun? Raja perompak?” tiba-tiba Tengku Maimunah berkata dengan suara serak, sambil memandang ayahnya. Tapi ayahnya tersenyum, “Apa yang salah? Apa yang sumbang? Moyang kita dulu, Raja Kecik atau Abdul Jalil Rahmat Syah, pada mulanya sebelum menjadi Sultan Johor, juga seorang bajak laut. Tapi dia berdarah Melaka. Darah Bukit Siguntang. Malanun itu bukan mencari hidup, tetapi salah satu cara merebut yang hak. Hak kita raja-raja Melayu. Cuma caranya melalui cara bajak laut untuk mengumpulkan harta dan pengikut. Datuk ananda dulu, Sultan Ismail juga merayau sampai ke Siantan. Bukan mencari makan, tetapi mengumpulkan kekuatan untuk merebut kembali tahta Kerajaan Siak. Yang mengatakan kita ini jahat, musuh-musuh kita. Hanya Belanda. Mereka orang asing. Ini bukan kampung halaman mereka. Mereka itu yang merampas hak kita. Mereka juga datang dengan perahu perang, jauh dari negeri orang putih dan mereka itu sebenarnya yang bajak laut. Merompak negeri kita. Raja Laut, merampas hak orang lain. Sama, tinggal siapa yang mengatakannya. Siapa yang berkuasa,” Tengku Yahya memberi tahu anaknya, apa yang dia pikirkan, bagaimana sikapnya jika sampai anaknya menikah dengan Tok Lukus. (hlm. 232-233).
Seperti yang sering
terjadi dalam lingkungan kerajaan bahwa jalinan antarkerjaan dapat dieratkan
dengan menjodohkan anak-anak raja. Penjodohan yang lazim dan seolah menjadi
“baku” pada masa itu menjadikan orang-orang pada masa kerajaan dahulu tidak
dapat leluasa dalam memilih. Seperti yang terjadi pada Tengku Maimunah yang
sempat akan dijodohkan dengan seorang putra sultan dari Trengganu. Namun ia
bersikeras menolak. Tetapi, lagi-lagi, “kebakuan” itu diungkapkan neneknya
dengan penuh harapan.
“Bahwa menjadi putri seorang raja itu memang tidak boleh banyak memilih. Ada yang disebut nikahul siasah: pernikahan untuk kepentingan kerajaan, merapatkan persaudaraan, mengekalkan persekutuan, dan kepentingan tahta/kuasa.” (hlm. 233).
Setidaknya dapat kita
bayangkan “kekangan” yang terjadi dalam lingkungan kaum elit bangsawan pada
masa lalu dalam hal itu. Namun, tentu pada masa itu penanaman prinsip demikian
mampu memberikan sugesti penuh untuk menunjang kepentingan-kepentingan tertentu
bagi para raja selain dari mempertahankan sebuah kerajaan. Hingga jalinan
antarkerajaan, suku, politik, ekonomi, dan lainnya dapat berlangsung erat oleh
tali pernikahan anak-anak raja. Hal ini diperkuat lagi oleh pengalaman nenek
Tengku Maimunah yang juga dahulu dinikahkan dengan seorang anak raja dari
Kerajaan Siak, Tengku Ismail.
“Nenenda juga begitu. Bukankah dahulu nenenda tidak tahu siapa Tengku Ismail Siak itu? Tapi ayah nenenda Sultan Mansyur Syah, menjodohkan kami. Kita perlu mempererat persebatian sesama Melayu menghadapi pihak Bugis,” ucap Tengku Tifah. Perempuan yang tampak sangat arif dan penuh pertimbangan. (hlm. 232-234).
Persebatian panjang Tok
Lukus dengan Kemaharajaan Riau Lingga patut dijadikan hikmah. Sebagai orang
kepercayaan sultan, Tok Lukus yang juga keturunan bangsawan, datuknya raja di
Tempasuk merupakan raja Iranun, benar-benar ingin mengabdi tanpa pamrih. Pengabdiannya
dalam menolong Tengku Yahya menuju Lingga dari kejaran pihak-pihak yang saling
merebut kekuasaan. Kisah kasih mereka ini setidaknya tersandung kasta. Tok
Lukus yang memang dikenal lanun penguasa laut itu memang rendah hati, tidak
serta-merta mengungkapkan rasa sukanya dengan menggebu-gebu kepada Tengku
Maimunah. Kisah asmara ini sepertinya belum dapat diikuti titik terangnya
apakah mereka berhasil membangun kasih? Namun dalam hal ini, sebagai pembaca,
kita dapat mengambil hikmah bahwa seorang yang notabenenya keras dan garang,
cadas dan liat, tetap mampu memperlihatkan kelembutan dan tidak tergesa-gesa
dalam bersikap ketika mengungkapkan perasaan cintanya, lebih jauh dapat
dikatakan mampu menunjukkan nilai-nilai karakter sopan santun dan tahu diri,
juga tahu adat dimanapun berada.
Di sini Datuk Rida menempatkan
porsi yang sama dalam mengolah konflik tokoh-tokohnya. Bukan hanya kisah dari
tokoh-tokoh sejarah saja yang disikahkan demikian, tetapi juga dari tokoh
sentral novel ini Nadin Sukmara. Sebelum wartawan muda engergik ini bertolak ke
Riau, ia sudah memiliki kekasih anak asli Sabah yaitu Haini yang juga seorang
wartawan. Jalinan cinta mereka sudah masuk usia empat tahun. Namun belum kuat
untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Tetapi setibanya ia di Riau, berada di
Reteh, Indragiri, Nadin seperti nahkoda kehilangan kompas; terombang-ambing
oleh perasaannya yang begitu sulit untuk menentukan pilihan. Ia pun mengalami
konflik batin karena memendam perasaan cinta kepada seorang dara suku Iranun
bernama Julia. Julia, seorang gadis periang yang setamat kuliah ingin mengabdi
di kampungnya sebagai guru seni-budaya. Sebagai anak kepala suku Iranun, orang
tua Julia yaitu ayahnya Ami Mat setuju bila Nadin menikah dengan anak gadisnya
itu.
Tetapi di satu sisi,
Julia juga mengalami konflik batin yaitu rasa serba salah apakah ia akan
menerima Nadin dalam hidupnya kelak, sedangkan ia juga telah memiliki kekasih
yaitu Awi yang masih ada di Pekanbaru. Satu sisi ia menyukai Nadin karena
memiliki watak fleksibel, suka bercanda, menepati janji, dan mampu berterus
terang. Berbeda dengan Awi yang selalu dingin, apa adanya, kurang agresif,
sulit ditebak, dan sedikit bicara. Sehingga dua insan ini saling memendam
perasaan dan saling menebak takdir hidup.
Di sini terasa sekali
begitu kompleksnya kisah-kisah yang diuraikan dalam novel ini. Pak Rida mampu
memberikan bobot ceritanya dengan alur kisah yang lancar, padat, terarah, dan
tidak jatuh kepada kesan-kesan percintaan yang picisan. Segala sikap dari tokoh
yang mengalami konflik tersebut dapat kita ikuti dengan sikap-sikap dewasa dan
bersahaja. Hal ini dapat dilihat dari tokoh Julia yang menyikapi dengan bijak,
akhirnya memutuskan untuk tidak menerima Nadin dalam kehidupannya, meski ia
tahu hati Nadin terluka. Julia berbuat demikian karena mengerti bagaimana
perasaan perempuan bila terluka. Ia tidak ingin larut memendam perasaan remuk
dan serba salah itu. Ia mengerti perasaan Haini, pacar Nadin yang
menghubunginya dari Sabah sebelum keberangkatannya ke Jepang, untuk menanyakan
kepastian hubungan itu.
Julia meneruskan semua isi WA Haini kepada Nadin. Kemudian dia menulis penutup, “Bang Nadin, dimana sekarang? Pulanglah segera. Kak Haini menanti. Jangan rusak hubungan yang sudah bertahun-tahun itu karena perkenalan sebulan. Tidak mudah juga bagi Julia untuk membuat putusan meninggalkan bang Awi. Kami sudah sepakat untuk tetap memelihara hubungan kami meski Ami dan Umi belum setuju ….” (hlm. 335).
Konflik percintaan itu
akhirnya berakhir dengan keputusan dewasa dari Julia yang penuh kepastian untuk
menolak “rasa hati” Nadin kepadanya. Meski di satu sisi, ayahnya telah
menganggap ia sebagai anak durhaka yang tidak mau menuruti keinginan orang tua.
Bagi Julia, tidaklah boleh sama masa kini dengan masa dahulu. Sebagai orang
berpendidikan ia tidak ingin dikekang dalam hal perjodohan meski ia tahu
keinginan ayahnya yang ingin benar jalinan kesukuan Iranun itu tetap ada,
karena Nadin dan dirinya masih sama-sama keturunan Iranun. Sedangkan Awi
seorang yang dari latar belakang keturunan Arab bergelar Said yang mana menurut
orang tua Julia tidak sesuai untuk menjalin ikatan keluarga. Namun Julia tetap
memegang cintanya meski ia tidak tahu juga apakah orang tua Awi setuju untuk
menerima dirinya.
Jalinan kisah kasih ini
terasa indah dan menggugah. Berkesan dengan segala sikap dan tindak-tanduk
tokoh-tokohnya. Kita dapat larut terbawa oleh rasa hati yang miris dan pilu.
Siapapun mereka, dalam kisah novel ini, mampu menemukan jalan hidup untuk
menentukan takdir sendiri. Sikap Julia yang menunjukkan kesan sebagai perempuan
yang teguh dan kuat pendirian merupakan cerminan perempuan masa kini dengan
segala intrik yang menggempurnya, tetapi ia tidak oleng dan jatuh. Sebaliknya
ia tetap menjunjung nama baik sebagai gadis yang berasal dari suku bangsa
Iranun.
Setidaknya kita dapat
mengambil hikmah dari kisah mereka; apakah tokoh yang dikisahkan dalam nuansa
masa lalu atau tokoh yang dikisahkan pada masa kini dalam novel yang mengharu
biru ini, bahwa sebuah realisasi yang pernah dipegang dan hidup pada masa
lalu—apapun bentuknya—tidak seluruhnya dapat diwujudkan di masa kini. Sebab
masa lalu (sejarah) hanya mampu menjadi “cermin” bagi kita untuk berpikir,
menyikapi dengan bijak, dan bertindak dengan selaras dan sesuai. Masa kini
memerlukan “olah pikir” yang tajam namun tidak menepikan sejarah. Sebab, sejarah
(masa lalu) bagaimanapun tidak boleh dilupakan. Melupakan sejarah ibarat kita
lupa siapa diri kita sebenarnya.
Novel ini, di satu sisi,
juga membawa kesan tersendiri dengan akhir kisah yang memberikan daya gugah
untuk bagaimana kita menghargai sejarah, budaya, dan memajukan suatu daerah
dengan menjadikannya aset wisata yang diharapkan dapat memberikan dampak
kemajuan ekonomi bagi daerah tersebut. Tetapi dalam hal ini, tetap tidak
melupakan sosok-sosok sejarah yang telah bersebati di hati orang-orang Melayu. Adanya
pertemuan antara investor dari Sabah (Malaysia) dengan pihak Pemerintah Daerah
Kabupaten Lingga (Indonesia) untuk membangun pusat pariwisata berbasis sejarah
dan budaya Melayu mencerminkan sikap menjalin kembali hubungan persaudaraan
yang pernah hidup itu. Hal ini seperti dikatakan tokoh Datuk Rahman, pemilik
surat kabar Suara Burneo dan Ketua
Yayasan Warisan Iranun Sabah.
“Selain pulau-pulau di Alang Tiga ini menarik sebagai destinasi pelancongan, kami juga dari yayasan ingin mengekalkan kengangan kami pada para tokoh Iranun yang dulu pernah sampai di pulau ini, terutama Tok Lukus dan Panglima Sulung. Memang mereka dulu dikatakan Belanda sebagai bajak laut, lanun. Tapi itu dari sisi pandangan penjajah. Dari sisi perjuangan kerajaan-kerajaan Melayu di kawasan semenanjung, mereka ini juga pejuang dalam melawan penjajah. Seperti yang terjadi pada 1787 ketika Raja Ismail dan 100 perahu perangnya membantu Sultan Riau Mahmud Riayat Syah untuk menghancurkan garnisun Belanda di Pulau Bayan dan Tanjungpinang.” (hlm. 351).
Sekali lagi, menikmati novel Lanun Alang Tiga karya Datuk Rida ini memberikan kita—saya sendiri khususnya—wawasan yang sarat makna dari sejarah kemaharajaan Melayu di Riau dan Kepulauan Riau. Juga menjadi “cermin” yang dapat melihat kembali karakter ketokohan orang-orang Melayu pada masa lalu yang memiliki etos semangat perjuangan dalam mempertahankan marwah dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat. (*)
Selatpanjang,
21 Januari 2024