TERKINI

Kalau Bukan Tembakau, pada Siapa Kami Mengadu Nasib? - Nurillah Achmad

KONTRIBUTOR 6/04/2023

Kalau Bukan Tembakau, pada Siapa Kami Mengadu Nasib?

Nurillah Achmad



I/

Jerit tangis Juhaini seakan terdengar ke seluruh sudut padukuhan. Belum lagi sederet gunjingan yang seolah sengaja menambah serunai kemalangan. Randu menguat-nguatkan mata, memandangi seonggok tubuh tak bernyawa di hadapannya. Bibirnya amat gemetar manakala jemarinya memungut secarik kertas di saku kemeja ayahnya. Ia memberanikan diri membuka lipatan kertas, kendati lengkingan tangis sang ibu, kian lama kian pilu.

Randu, Anakku.

Telah sampai waktuku di ujung tak terbatas di mana doa dan kenangan yang hanya mampu menjamahku di sini. Aku warisi engkau sebuah kenyataan bila hidup tiada berharta, maka engkau akan rentan diinjak dan dicampakkan orang. Seberapa terang pelita yang kau nyalakan di bawah gantang, bila kau tak berdiri di atas kaki sendiri, maka pada dasarnya kau bersembunyi.

Randu, Anakku tercinta. Dalam jalani lakon hidup di bumi ini, kadang-kadang engkau akan menang, tapi tak jarang juga kalah. Bila saat ini kau mendapatiku tertunduk dan menyerah, itu sebab aku gagal bertarekat teguh dengan tembakau.

Ratusan buntalan tembakau yang tertolak gudang, adalah bukti betapa mati tak cukup sekadar dibungkus kain kafan. Keraskanlah rahangmu, Randu, lalu temui siapa yang mesti kau temui.

Juhaini tergopoh-gopoh hendak merebut surat di tangan Randu. Namun, remaja tanggung itu menepis dan meminta bantuan seorang perempuan memegangi ibunya. Juhaini meraung-raung mendapati Randu berjalan meninggalkan jenazah suaminya yang belum dimandikan.

Di halaman, Randu mengedarkan pandang ke sekeliling. Orang-orang yang berkerumun menatapnya kebingungan. Tatapan Randu pada akhirnya jatuh terhadap seorang lelaki di bawah pohon cermih. Randu menemui lelaki itu saat orang-orang menatapnya keheranan.

“Dengan apa aku mesti bayar utang Bapak, Lek?”

Lelaki di hadapannya tak menyahut. Ia hanya memegangi pundak Randu dan menunjuk arah rumah.

“Tapi Bapak meninggalkan surat ini dan aku mesti menemuimu, Lek,” kilah Randu sembari menunjukkan kertas.

Lelaki itu menatapnya lekat dan tak menyentuh surat.

“Mengajilah, Randu, mengajilah. Itu jauh lebih baik daripada kau berdiam di sini.”

“Tapi dengan apa aku mesti bayar utang Bapak padamu, Lek?”

Sejenak lelaki itu menarik napas dalam-dalam lalu menoleh ke arah tumpukan tembakau yang berserakan. “Ratusan buntalan tembakau yang menjadi penyebab bapakmu mati gantung diri, akan kubawa sebagai pengganti utangnya.”

 

II/

Amuk serapah sang ibu pada ayahnya tak lagi bisa dihindari. Bahkan suara piring beling yang dibanting ke dinding juga tak kuasa ayahnya halangi. Asan mengintip di balik pintu sembari menatap bibir mungil ibunya yang menyebut segala nama binatang tanpa tedeng aling-aling.

“Kau itu lelaki, tapi tak laki!” seru sang ibu. “Mestinya kau ambil sertipikat tanah, bukan buntalan tembakau yang jelas-jelas tak ada harga!”

Ayahnya tak menyahut. Lelaki itu seolah membiarkan istrinya mengamuk dan mencak-mencak tak keruan. Bahkan saat dituding sebagai banci, ayahnya tak menimpali.

“Butakah matamu melihat harga? Tembakau kita sendiri tak laku, tapi kenapa kau melunasi utang orang dengan tembakau pula?”

 Asan mulai gemetar, saat ayahnya yang semula tak mengindahkan, kini berdiri lantas berlari ke arah sang ibu dan menggamparnya berulang-ulang. Usai itu, ayahnya menyeret dan menendang sang ibu sampai-sampai perempuan itu tersudut di pojok dapur.

“San! Asan!” teriak ayahnya.

Asan berlari-lari dan berlagak seolah tak melihat apa yang terjadi pada orang tuanya.

“Beli bensin di sebelah dan bawa ke halaman.”

Asan memberanikan diri menatap ayahnya. Tapi lelaki itu malah menggertaknya dan meminta Asan lekas-lekas ke warung tetangga.

Berlarilah Asan sembari membawa uang dua belas ribu dan sesekali mendongakkan langit, memohon pada Lah Ta’ala agar ayahnya tak membakar diri atau membakar sang ibu.

Sesampainya di halaman, ayahnya merenggut botol bensin dari Asan dan menyiramkannya pada tumpukan tembakau yang tak terbilang jumlahnya. Usai menyulut dengan batang korek api di mana kobaran api membubung tinggi, sang Ayah bergegas ke arah tumpukan tembakau yang lain.

Asan begidik melihat kilat amarah di mata ayahnya yang serupa nyala api neraka. Orang-orang yang melintas tak berani menghentikan saat ayahnya mengambil satu demi satu buntalan tembakau dan melemparkannya ke tengah-tengah kobaran. Asan yang tak kuasa mendapati ayahnya merapal murka, akhirnya berlari ke belakang rumah.

 

III/

Derasnya arus kangai tak menciutkan nyali Asan. Bahkan ketika tali temali yang merekatkan jembatan bambu telah koyak dimakan usia, Asan memberanikan diri menyeberang guna menjauhi rumahnya. Sialnya, baru saja tiba di seberang, orang-orang menyambutnya lewat pertanyaan, betapa tembakau telah membuat ayahnya bersikap tak waras.

Asan tak menyahut. Ia terus berjalan ke arah lapangan. Sebuah layangan putus tampak terbawa angin. Tanpa galah, Asan berlari-lari dan mengikuti layangan itu berlabuh. Tak ada yang mengejar selain Asan. Anak itu cukup mudah menjangkau layangan yang terjatuh di belakang dapur rumah orang.

Usai memungut layangan dan menggulung sisa senar ke reranting, Asan mendapati isak tangis di dapur rumah itu. Seketika Asan mencari-cari celah lubang gedhek dan mengintip.

“Tak ada lagi yang bisa diharapkan di sini, Kak. Gudang-gudang tutup. Tak ada pekerja. Sementara kita harus tetap makan dan berutang,” seru seorang perempuan paruh baya, sementara lelaki di hadapannya hanya tertunduk lunglai.

“Aku hendak ke balai desa, Kak. Mau buat akta. Usai itu, aku buat passport dan terbang ke Taiwan. Nanti, bila sudah cukup uang, aku akan pulang ke sini. Atau kau bisa ke Korea sebab lelaki bila ingin jadi TKI, mesti bayar dulu sebagai modal kerja.”

Perempuan paruh baya itu berdiri. Lelakinya berusaha menghalang.

“Sudah cukup utang kita menikam tubuh tiap hari. Bila dibiarkan, bukan tak mungkin tanah ini pindah tangan.”

Perempuan itu menyingkirkan lengan sang suami dan bergegas keluar sembari membawa plastik hitam. Asan berlari ke arah kangai dan berusaha melupakan apa yang ia dengar barusan.

Desau angin membelintang saat perempuan itu merambat pelan meniti jembatan batang bambu. Berulangkali ia berucap zikir saat nyalinya ciut mendengar derasnya arus menghantam batu-batu padas.

Sesampainya di ujung jembatan, matanya terkesiap mendapati asap membubung. Orang-orang hilir mudik. Tapi perempuan itu tak peduli. Ia memilih lajur kanan, melewati gumuk dan menjejakkan kaki pada tumpak belukar sebelum akhirnya tembus ke pematang belakang balai desa.

“Temuilah Kades di depan. Mintalah tanda tangan sekarang,” kata Bu Carik sembari menyodorkan formulir pembuatan akta.

Perempuan itu mengangguk lantas menuju kursi sofa yang berada di balai depan di mana sang Kades tampak sibuk berbincang di gawai.

“Kamu mau ke mana mau buat akta?” ujar sang Kades meski gawainya masih menempel di telinga. “Ke Malaysia atau Arab?”

“Taiwan, Pak.”

Sejenak si Kades menatapnya lekat.

“Gudang tembakau tutup semua, Pak. Tak ada tempat buat saya.”

Si Kades lekas-lekas mengambil pena di saku kemeja, membubuhi tanda tangan lantas menunjuk arah Carik.

“Halo? Iya. Iya. Kumpulkan wartawan sekarang juga.”

 

IV/

            Ocehan Juhaini soal harga tembakau, dan segala macam utang yang berkelindan, tumpah ruah ke segala sudut ruangan bagai anak panah lepas dari busur. Kepala Desa mencoba menenangkannya, namun Juhaini kembali merutuki sang suami yang memilih menanam tembakau alih-alih cabai.

            Saat Kades menyodorkan amplop tebal sebagai pertanda bela sungkawa, Juhaini kian meraung-raung. Perempuan itu kian menjerit, memukul dadanya sendiri berulang-ulang sampai akhirnya ia pingsan. Di depan rumah duka, beberapa wartawan tampak menunggu di bawah pohon cermih. Mereka berlarian saat melihat sang Kades selesai melayat dan keluar dari rumah duka.

            “Ini adalah bukti betapa rumus menanam tembakau tak ubahnya berjudi. Bila untung bisa naik haji, tapi bila buntung bisa gantung diri.”

            “Bagaimana solusinya, Pak? Bukankah sebagian besar petani di kampung ini bergantung pada tembakau?” kata seorang wartawan senior.

            Sang Kades berdehem tiga kali. Ia membetulkan kerah baju yang sebetulnya masih rapi.

            “Sawah-sawah para petani akan kami beli dan kami jadikan desa ini sebagai desa wisata. Setidaknya, sawah mereka pasti laku tinggi sebelum akhirnya berubah menjadi lahan huni.”

            Orang-orang tercekat. Para wartawan tersenyum. Namun, seorang wartawan yang agaknya masih baru bekerja menyeletuk.

            “Kalau mereka tak lagi punya lahan, lantas dengan apa mereka bekerja ke depannya, Pak?”

            Sang Kades terdiam. Ia menoleh ke arah bendaharanya dan menatap garang. “Mengapa kau undang wartawan macam begini?”


V/

            Gemeretak ngilu pada dadanya masih tak usai. Randu menatap nanar sang Kades yang tampak sibuk diwawancarai wartawan di halaman. Surat peninggalan bapaknya masih ia genggam bersamaan dengan amplop putih pemberian sang Kades. Kendati begitu, Randu telah menulis surat balasan yang entah bagaimana ia kirim pada ayahnya.

            Kau benar, Pak. Semenyakitkan apa harga tembakau di pasar, ia jauh lebih jujur daripada penguasa, apalagi senyum-senyum para calon di baliho kampung yang mulai menyeruak demi pemilihan tahun depan.

Jika Puisi adalah Waktu - Wawan Kurniawan

KONTRIBUTOR 6/04/2023

Jika Puisi adalah Waktu

Wawan Kurniawan



Belakangan saya banyak menulis tentang waktu, baik cerpen atau puisi. Saya bahkan membaca kembali buku Stephen Hawking, The Brief History of Time. Membaca buku itu, tidak lain untuk mencari perspektif berbeda tentang bagaimana konsep waktu dan beberapa hal yang mungkin bisa dikembangkan. Saya mencurigai diri saya sendiri, dorongan itu hadir lantaran saya tidak lagi mampu mengendalikan kuasa waktu yang ada di pikiran. Sulit sekali rasanya untuk menikmati suasana sekarang atau momentum yang tengah terjadi di sekitar kita. Dalam sebuah wawancara, Billy Collins menyebut bahwa puisi adalah waktu. Di wawancara itu, dia bercerita tentang carpe diem.

Betapa puisi mengajak kita untuk menyelami ruang yang tengah kita jalani. Carpe diem yang berasal dari bahasa Latin, artinya “Nikmatilah hari ini” merupakan sebuah filosofi penting. Kita diajak untuk tak perlu terlalu khawatir tentang masa lalu atau masa depan. Konsep ini menggarisbawahi pentingnya menghargai waktu dan kesempatan yang ada di hadapan kita. Rumitnya kehidupan sering membuat kita dilanda perasaan cemas, bahkan bisa berakibat depresi. Sebab itu juga, saya merasa dorongan saat menulis tentang waktu sepertinya adalah naluri untuk bertahan di tengah serangan waktu yang berkuasa di pikiran. Bukankah ini bisa jadi ruang tersendiri antara pembaca dengan puisi?

Jika belajar dari Billy Collins, kita bisa melihat jalan kepenyairannya yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Diksi yang sederhana dan mudah diterima pembaca, membuatnya jadi salah seorang penyair yang terkenal di Amerika Serikat, hingga beberapa negara lainnya. Salah satu rahasia Billy Collins adalah dengan menganggap puisi sebagai ruang untuk bercakap dengan diri sendiri.

Sayangnya, di tengah gempuran teknologi dan berbagai hiburan masa kini, puisi bukanlah pilihan prioritas untuk dinikmati. Orang-orang lebih memilih melakukan hal-hal yang memberikan efek langsung atau kesenangan yang tampak jelas. Puisi, tampaknya begitu samar dan sulit terukur bagi kebanyakan orang. Penjualan buku puisi juga tergolong rendah dibandingkan dengan jenis buku lainnya. Sebab itulah, menjadi penyair butuh kesadaran lebih untuk melihat situasi yang terjadi.  Pergulatan manusia dan waktu tentu akan terus berlangsung, dan di tengah dari semua itu, puisi bisa mengisi kekosongan yang ada pada diri kita.

Seringkali puisi dianggap sebagai permainan bahasa atau kata yang rumit, lapis makna sulit untuk disentuh dan dipahami. Namun sebenarnya, puisi yang kadang tidak kita pahami atau rumit itulah yang menawarkan kemungkinan lain. Sesuatu yang kemungkinan dapat menghidupkan dan menggerakkan waktu dalam diri kita sendiri. Proses kita menikmati atau meresapi puisi menjadi apa yang dijelaskan Billy Collins bahwa puisi adalah waktu. Meski setiap orang punya pandangan yang berbeda terkait waktu, namun di puisi kita bisa bertualang dan merekonstruksi ulang perasaan dan pikiran kita.

Carpe diem barangkali sulit bagi kita hari ini. Ketakutan akan masa depan, bayang-bayang masa silam yang belum tuntas, perlahan menumpuk jadi beban psikologis yang menyiksa. Membaca puisi, setidaknya mampu menawarkan pembaca dunia yang berbeda. Puisi dengan segala diksi, metafora, rima, dan berbagai piranti yang ada di dalamnya, sejatinya adalah salah satu temuan terbaik yang dihasilkan manusia.

Saat saya menulis tentang waktu, saya secara tidak langsung tengah menyusun kembali suasana psikologis yang rapuh. Mendesain ulang pikiran hingga mampu terhubung dengan perasaan atau sebaliknya. Kerja-kerja yang ditawarkan puisi, sebenarnya mewah untuk kita yang hari ini telah hancur digerus perkembangan zaman yang cepat. Tanpa sadar, kita akan kehilangan sesuatu yang berharga, yaitu pemaknaan atas waktu. Mengapa kita tidak kembali menikmati hari atau waktu yang ada dalam hidup kita?

Gerak kerja yang mengutamakan produktivitas hingga seorang pekerja tidak punya pilihan selain lembur jelas akan tersiksa. Di sisi lain, mereka tidak mampu melepaskan diri dari jerat yang telah menimpa mereka. Rasanya, rumit membayangkan berbagai upaya agar kondisi itu lekas lenyap dan setiap orang bisa menikmati waktunya dengan bebas. Pada akhirnya, kita terperangkap dengan ritme atau kondisi yang menimpa kita. Nasib dari kita masing-masing berbeda dan memiliki tingkat kesulitannya masing-masing. Akan tetapi, manusia secara naluriah akan terus bergerak mencari hal-hal yang mampu menyelamatkan mereka. Puisi, jelas adalah pilihan dari sekian banyak pilihan lainnya.

Membayangkan jika suatu saat, masyarakat kita menjadikan buku puisi sebagai hal yang mereka syukuri, kita mungkin bisa berharap untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Hingga hari itu tiba, para penyair tetap akan menulis dan para pembaca akan tetap mencoba menikmati puisi-puisi yang ada. Meski saya kerap kali optimis bahwa pembaca akan tumbuh dan perlahan mencintai kata-kata, realitas masih lebih sering menghantam keyakinan saya. Harapan ini tidak akan terwujud jika masalah seperti akses buku yang belum merata, ongkos kirim buku yang mencekik di daerah luar Jawa, perpustakaan yang tidak memadai, serta berbagai masalah perbukuan lainnya yang tidak dibenahi.

Hidup yang singkat ini, sebaiknya kita nikmati dengan penghayatan yang luar biasa. Membaca puisi bisa jadi perayaan yang sederhana namun bisa dilakukan setiap orang. Jika puisi adalah waktu, kita bisa bebas membaca dan menyelami berbagai makna kehidupan yang kita jalani. Di sisi lain, seperti yang dikatakan Billy Collins, puisi membawa kita pada percakapan intim dengan diri sendiri. Saat-saat itulah, kehidupan lebih bermakna dan memiliki harapan baru untuk terus diperjuangkan. Berhasil atau tidak, nasib mungkin punya istimewanya sendiri. Dan jika waktu adalah puisi, apa yang akan ditulis Stephen Hawking dalam bukunya itu?*

Kesedihanmu - Alex R. Nainggolan

KONTRIBUTOR 6/04/2023
Alex R. Nainggolan
Kesedihanmu
- buat rina




barangkali aku mesti memunguti
segala yang pernah engkau tinggalkan, lupakan, atau pendam
di sepanjang jalan itu
saban hari, aku berusaha untuk menata atau sekadar memperbaikinya
sebagai silam yang tak mungkin tenggelam

meski berulangkali,
aku tahu engkau menangis diam-diam
berpura pergi ke dapur atau kamar mandi
mengunci perih itu sendiri
dan sepanjang malam kucium tubuhmu
penuh dengan bau airmata

ah, bagaimana aku bisa menata atau sekadar memperbaikinya
sementara engkau selalu gegas
menyimpan sedih itu sendiri saja
di hatimu yang teremas cemas

Tangerang, 2019

Si Vis Amari Ama - Alex R. Nainggolan

KONTRIBUTOR 6/04/2023
Alex R. Nainggolan
Si Vis Amari Ama




bertahun kukenali lagi setiap lekuk dirimu. tubuhmu yang kerap kehujanan. namun bahagia acap beda tipis dengan derita. maka kuwarnai lagi bibirmu dengan lipstik baru. mengeja ciuman yang pernah kekal di dalam tubuhku. begitu tebal dan bengal.

-- si vis amari ama

dan aku berdoa, menyebut lagi namamu. mencari masa kanakmu yang pernah tumbuh di kota ini. sebelum rindu kekal dalam batu. tapi apakah aku berdosa menyebut namamu lagi? pada setiap tidur, derit pintu yang terbuka, atau langkah anak kecil yang bermain riang di deras hujan.

aku berjalan sendiri. seperuh jalanan kota tertidur. cahaya menguap di bekas langkah. namun, seperti kau bilang, jangan lagi menatap ke belakang. sebab kesedihan lebih tua dari kisah sebuah novel yang pernah kaubaca semalaman. di seberang jalan, perempuan-perempuan muda melapisi tubuhnya dengan asmara. 

namun aku tetap mencari bekas ciuman. sebelum kota terbangun oleh kidung subuh.

2018

Sungai Hitam - Alex R. Nainggolan

KONTRIBUTOR 6/04/2023
Alex R. Nainggolan
Sungai Hitam




sungai hitam dalam diriku terus saja memanjang
tak ada yang bisa kugadaikan selain kesedihan
dan perjalanan ini terasa makin meriang
luput untuk ditulis sebagai catatan

di dasar sungai, hanya hantu leluhur
meski terkubur tapi kerap mengganggu
bahu sungai pun tambah lebar
seperti diingatnya setiap kesakitan yang bergetar

- entah di mana muara bakal sampai?
kau yang mengigau
menguntitku dengan remasan kisah
yang tak pernah sudah

ah, mengapa kau tinggalkan aku sendirian?
di bibir sungai ini, saat kubutuh ciuman
saat hujan mekar di atas tanah

dan aku mengingatmu 
seperti lumpur sungai hitam
lalu aku melupakanmu
mungkin sebagai muaranya
di laut yang tak pernah punya nama

2019

Sepak Bola dalam Sejumlah Cerpen Indonesia - Erwin Setia

KONTRIBUTOR 5/28/2023

Sepak Bola dalam Sejumlah Cerpen Indonesia

Erwin Setia 



Sebuah karya sastra tidak pernah muncul dari ruang hampa. Ia bisa datang dari imajinasi nan liar, perjalanan panjang sejarah suatu negeri, atau pengalaman pribadi seorang pengarang. Karya sastra mempengaruhi dan dipengaruhi oleh apa-apa yang ada di sekitarnya. Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, umpamanya, banyak bermunculan karya-karya sastra bertopik revolusi. Demikian pula karya-karya sastra pada zaman itu memberi pengaruh yang bersifat revolusioner—sedikit maupun banyak—terhadap orang-orang yang membacanya. Dengan kata lain sastra menangkap gambaran sosial di mana ia berasal. Di Indonesia masa kini banyak hal berubah. Topik yang populer bergulir seiring waktu. Di antara banyak hal yang populer dan diakrabi rakyat Indonesia masa kini adalah olahraga, wabilkhusus sepak bola. Tayangan sepak bola dan berbagai pernak-pernik terkait olahraga tersebut digemari banyak orang. Namun, di balik popularitas sepak bola di negeri ini, bagaimanakah peran pengarang karya sastra terhadapnya?

Secara umum, tema olahraga tidak banyak muncul dalam karya-karya sastra Indonesia. Sebagai topik utama maupun sub-topik, olahraga sedikit sekali mendapat tempat. Memang ada beberapa novel yang menjadikan olahraga sebagai tulang punggung cerita (sebut saja Badminton Freak karya Stephanie Zen [badminton], Lovasket karya Luna Torashyngu [bola basket], dan Jalan Lain ke Tulehu karya Zen RS [sepak bola]), tapi jumlahnya masih jauh dari cukup mengingat betapa populernya sejumlah olahraga di Indonesia. Dalam hal karya sastra yang membahas sepak bola, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah sepak bola tak cukup seksi untuk dijadikan bahan karya sastra? Ataukah para pengarang Indonesia tak cukup cakap menjadikan sepak bola sebagai dasar pembuatan karya sastra?

Tentu perlu penelitian lebih lanjut soal sedikitnya porsi sepak bola dalam karya-karya sastra Indonesia. Di sini saya hanya ingin mengulas sedikit perihal beberapa cerita pendek (jenis karya sastra yang paling mudah dicerna bagi para pembaca—sebab tidak sepanjang novel dan serumit puisi) yang mengangkat tema sepak bola. Cerpen-cerpen yang saya maksud adalah “Matinya Seorang Pemain Sepak Bola” (1981) karya Seno Gumira Ajidarma, “Kenangan pada Sebuah Pertandingan” (2015) karya Sunlie Thomas Alexander, dan “Cerita-Cerita Ganjil di Lapangan Sepak Bola” (2022) karya Aliurridha. Memang masih ada cerpen-cerpen lain yang mengangkat tema sepak bola, tapi saya membatasi pembahasan atas tiga cerpen di atas karena cerpen-cerpen itu cukup memberikan gambaran kepada kita bagaimana potret sepak bola dalam karya-karya sastra—khususnya cerpen—Indonesia.

 

Sepak Bola yang Tragis, Sepak Bola yang Nostalgis

Dalam ranah penulisan cerpen, Seno Gumira Ajidarma tidak hanya piawai menciptakan cerita-cerita soal senja atau cerita-cerita kritik sosial yang merupakan pengejawantahan dari kredo “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”. Ia juga pandai mereka cerita bertema olahraga yang jarang diperhatikan penulis lain. Dalam cerpen “Matinya Seorang Pemain Sepak Bola”, Seno menyinggung banyak hal. Cerita tentang seorang pesepak bola bernama Sobrat yang tiba-tiba meninggal sesaat setelah mencetak gol bukan hanya berisi biografi ringkas pesepak bola yang mulanya dianggap tak berbakat itu. Cerpen itu juga menyuarakan soal idealisme seorang atlet, kegigihan orang biasa untuk mencapai cita-citanya sebagai pesepak bola di kala orang-orang meremehkannya.

Yang menarik Seno secara blak-blakan menyindir masalah pengaturan skor yang marak di persepakbolaan Indonesia sejak lama. Di salah satu bagian cerita Sobrat didatangi oleh seseorang yang berusaha menyuapnya untuk sengaja mengalah. Namun Sobrat menolak suap itu dengan halus. “Saya menjadi tidak berharga ketika menentukan harga,” katanya. Dan Sobrat adalah orang yang sama yang pernah mengatakan kepada ibunya tentang alasan ia ingin jadi pesepak bola, “Bermain bola kita tidak boleh berpikir soal uang, harus ada dedikasi, harus idealis, biar tidak dibayar kita sumbangkan tenaga untuk bangsa Indonesia. Bermain bola karena uang, itu namanya pelacuran sport, hanya akan mengundang penyuap. Pokoknya hidupku akan kuabadikan untuk sepak bola Indonesia.”

Sayangnya, idealisme dan kecintaan Sobrat terhadap sepak bola tak dapat membuat dirinya berumur panjang, apalagi abadi. Ia mati di usia 30 tahun, saat dirinya sedang berada di masa jaya dengan menjadi penyerang produktif. Ketika dirinya meninggal di tengah lapangan di hadapan ribuan penonton pun kematiannya tidak menjadi sesuatu yang spesial. Seperti kata Seno di akhir cerpen, “Begitu saja jantung itu berhenti berdetak. Begitu biasa. Seperti sebuah berita kematian, yang menyedihkan bagi seseorang, tapi tak berarti sama sekali bagi yang lain.” Karier sepak bola Sobrat adalah cerita yang tragis. Kehidupan dan kematiannya tak banyak dipedulikan orang sebagaimana umumnya kehidupan dan kematian atlet di negeri ini.

Sementara itu, Sunlie Thomas Alexander menyajikan potret lain seputar persepakbolaan Indonesia dalam cerpen “Kenangan pada Sebuah Pertandingan”. Cerpen ini menggunakan sudut pandang tokoh seorang mantan pemain bola tarkam (antar-kampung) yang terpaksa harus datang lagi ke lapangan sepak bola lantaran anaknya yang bernama Riko merengek minta diajak menonton pertandingan sepak bola. Ia sebetulnya tidak mau lagi berdekat-dekat dengan sepak bola setelah kejadian yang dialaminya bertahun-tahun lampau. Waktu itu, dalam sebuah pertandingan di lapangan yang jelek, ia membela kesebelasan kampungnya dalam duel sengit melawan kampung tetangga. Nahas baginya, di akhir pertandingan ia terpeleset sehingga bola yang seharusnya ia jauhkan dari gawang malah masuk ke gawang timnya sendiri. Tim kampungnya pun kalah dan ia menjadi bulan-bulanan massa.

Sunlie menggambarkan suasana selepas gol bunuh diri itu sebagai berikut: “Keributan pecah di luar lapangan. Sorak-sorai suporter lawan seketika teredam oleh teriakan-teriakan marah. Sebagian penonton bubar berhamburan. Polisi dan petugas keamanan sama sekali tak berdaya ketika dengan beringas para pemuda kampungnya merangsek ke arah suporter lawan. Sebagian menyerbu masuk ke dalam lapangan. Belum juga sempat ia beranjak bangkit, ia merasa bagian belakang kepalanya dihantam benda keras.”

Sejak peristiwa itulah sang tokoh utama dalam cerpen tersebut berhenti bermain bola. Sepak bola yang ia cintai menjadi sepak bola yang menyisakan trauma. Efek trauma itu pun terbawa terus sampai tahun-tahun selanjutnya, sampai ia memiliki seorang anak yang ternyata menyukai sepak bola dan mengajaknya untuk menonton pertandingan sepak bola. Pada akhirnya yang traumatis dan yang nostalgis pun bersatu. Trauma dan nostalgia ia rasakan lantaran sepak bola. Dan mungkin banyak orang yang juga merasakan hal sama terhadap sepak bola.

 

Sepak Bola yang Humoris, Sepak Bola yang Mistis

Berbeda dengan dua cerpen di atas, cerpen “Cerita-Cerita Ganjil di Lapangan Sepak Bola” karangan Aliurridha ditulis dengan membawa semangat lain. Tidak ada sesuatu yang tragis atau melankolis dalam cerpen ini. Yang ada adalah humor melimpah dan olok-olok di sana-sini. Cerpen “Cerita-Cerita Ganjil di Lapangan Sepak Bola” diawali dengan cerita tokoh aku yang mendapat undangan bermain bola dari teman lamanya bernama Rahmat. Cerita-cerita ganjil dan penuh komedi pun dimulai dari situ. Ada cerita tentang orang-orang yang percaya pada peran ‘orang pinter’ terhadap jalannya sebuah pertandingan, cerita tentang pemain bola alim yang terpaksa percaya klenik demi kemenangan timnya, dan cerita tentang perjudian yang lekat dengan sepak bola—bahkan sepak bola kelas kampung!

Aliurridha menjelentrehkan dengan apik realita sosial dalam persepakbolaan Indonesia melalui cerpen itu. Dalam cerpen tersebut pertandingan sepak bola yang dimaksud memang sepak bola kelas kampung, tapi sesungguhnya berbagai perkara yang disinggung dalam cerpen itu lazim terjadi pula di ranah sepak bola profesional. Misalnya soal perjudian dalam sepak bola. Meskipun perkembangan sepak bola semakin maju seiring dengan kian mutakhirnya teknologi, perjudian tak pernah benar-benar hilang, malah kian subur dan variatif bentuknya. Di sisi lain hal-hal mistis pun belum sepenuhnya enyah dari persepakbolaan kita. Nahasnya, perjudian dan klenik bisa tetap hidup di Indonesia, kendati persepakbolaan di Indonesia sedang mati.

***

Tiga cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma, Sunlie Thomas Alexander, dan Aliurridha di atas hanyalah secuplik potret sepak bola dalam cerpen-cerpen Indonesia. Sepak bola dalam cerpen-cerpen tersebut bisa maujud dalam bentuk yang tragis, nostalgis, maupun humoris. Bisa mengundang tangisan maupun tawa. Tentu masih banyak sisi-sisi lain dari sepak bola yang dapat dialihkan ke dalam bentuk karya sastra. Ada banyak hal yang belum dikulik, ada banyak detail yang perlu diberi ruang. (*)

Ouroboros - Risda Nur Widia

KONTRIBUTOR 5/28/2023

Ouroboros

Risda Nur Widia



Semua orang tertegun melihat sosok Miguel Cavero yang berjalan dengan potongan rambut, baju, dan sepatu berwarna serba putih seperti penyair Kuba favoritnya: Jose Marti. Ia dengan santai menyapa teman-teman sesama penulis yang datang pada festival sastra Feria del Libro yang kali ini diadakan di kota Palermo. Padahal beberapa bulan lalu, Miguel Cavero sedang terbaring koma di rumah sakit Antonio Fernandez karena selaput darah pada otaknya mengalami peradangan.

Hari itu Miguel Cavero tampak jauh lebih segar daripada beberapa bulan lalu ketika aku menjenguknya dengan teman-teman muda penyair dari komunitas El Loco yang pernah didirikannya di toko buku lowak Aristipo Libro. Walaupun demikian wajah Miguel Cavero masih pucat seperti baru saja menegak sepuluh botol malbec wine. Cuma semangat Miguel Cavero masih sama kuatnya seperti pesepak bola Mario Evaristo yang merupakan ujung tombak utama Sportivo Palermo.

Aku mendekatinya dan menyapanya dengan ramah. Aroma sisa cerutu merek puros tobaccos yang manis dan tajam menempel di tubuhnya.

“Ola,” ucapku pertama. “Kau terlihat sangat hidup.”

“Ola,” suara keras Miguel Cavero menggema di telingaku. “Kapan terakhir kita bertemu?”

Miguel Cavero memelukku. Aku pun merasakan tubuh besar Miguel Cavero yang sangat dingin. Ada bau bunga pemakaman corn poppy merah yang menguar harum dari sela pakaiannya. Aku menatap air muka Miguel Cavero yang datar layaknya malaikat kematian Cary-Yale.

 “Dua bulan lalu,” jawabku singkat.

“Pasti waktu aku sakit, bukan?” sahut Miguel Cavero cepat. “Ya, tubuh manusia memang rapuh. Tapi tubuhku ini adalah puisi. Ia tidak akan mati.”

Miguel Cavero tertawa keras seperti meriam-meriam Inggris yang digunakan dahulu dalam perang Falkland di sekitaran samudra Atlantik. Orang-orang di sekitar Miguel Cavero pun ikut tertawa mengikuti—walaupun sebenarnya mereka tidak tahu lelucon mana yang pantas ditertawai. Aku sendiri di sana tidak paham dengan semua racauannya. Tapi aku mendengarkan semua kalimat yang keluar dari mulutnya dengan saksama, seperti keabadian yang dapat tercipta dari daya kreatif dalam sajak-sajak yang pernah ditulisnya.

“Tapi yang penting kau dapat kembali sehat,” kataku lirih. “Kami sangat senang dengan kehadiranmu.”

Miguel Cavero—yang malam itu mirip seorang santo daripada penyair—tersenyum pahit di depanku. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Akan tetapi, niat itu tampak ia urungkan. Ia lantas beralih ke kerumunan lain yang juga menyambutnya hangat.

***

Panitia festival sastra Feria del Libro secara mendadak membuat acara yang disisipkan dalam inti kegiatan malam itu. Mereka mengaku sebenarnya sangat ingin mengundang Miguel Cavero untuk mengulas puisi-puisi penyair Kuba Nicolas Guillen. Miguel Cavero dianggap memahami secara lengkap gerakan revolusi Guillen dalam bersajak dan memimpin gerilya Afro-Kuba pada tahun 1920-1930-an. Cuma karena kesehatannya yang tidak cukup baik, panitia akhirnya mengurangkan niat itu.

“Ola,” sapa panitia kepada Miguel Cavero.

Aku waktu itu masih berada tidak jauh darinya.

“Bila tidak keberatan, apakah kau bisa membuatkan kami satu atau dua sajak untuk dibacakan?” lanjut panitia itu.

“Ola,” Miguel Cavero tampak tersenyum lebar. “Apakah kau tidak melihat bahwa di tubuhku ini sampai mati akan tetap menjadi puisi.”

“Kau memang penyair terbaik kami,” panitia itu tampak senang.

“Beri aku waktu 45 menit, maka akan kugunjangkan Argentina.”

Para panitia akhirnya memberikan waktu sekitar 45 menit bagi Miguel Cavero menulis puisi. Ia pun digiring ke suatu tempat yang sepi tak jauh dari panggung utama festival Feria del Libro untuk menulis sajak. Di sana sangat tampak bahwa orang-orang tidak ada yang berani mengganggu Miguel Cavero.

Selesai menulis puisi, Miguel Cavero keluar dengan wajah puasnya. Dari matanya—walaupun terlihat sayu—aku melihat sekumpulan kuda berwarna cokelat yang berlari sangat bebas di padang Patagonia dengan latar pegunungan Andes. Aku segera berpikir barangkali memang di tubuh Miguel Cavero terdapat patah-patahan bait yang bisa kapan saja dirangkainya menjadi puisi.

Miguel Cavero kembali menyapaku saat berpapasan tak jauh dari panggung utama.

“Lihat lah bahwa sastra membuatku hidup lebih lama,” jelas Miguel Cavero.

“Menulis karya seakan membuatmu semakin hidup dari menit ke menit,” cetusku membalas.

Ia lantas menunjukkan puisi yang baru saja ditulisnya. Puisi itu berjudul “Ouroboros”. Aku yang membaca puisi itu sempat merinding. Ditambah lagi ketika aku sadar bahwa judul “Ouroboros” itu diambil dari simbol ular melingkar yang saling menggigit ekornya—yang merupakan lambang keabadian. Aku berpikir bahwa Miguel Cavero telah menjual jiwanya pada puisi-puisi yang sudah ditulisnya.

“Ia adalah doaku pada setiap penyair di dunia ini,” Miguel Cavero langsung menjelaskan. “Aku berharap mereka terus hidup abadi dengan karya-karyanya.”

“Kau lebih dari apapun yang disebut sebagai karya seni, Miguel,” jawabku bercanda.

“Kau bisa mendengar bahwa jantungku ini adalah puisi,” tandasnya sebelum meninggalkanku. “Jadi aku tidak akan pernah mati.”

Aku tidak tahu harus menjawab apa dari penyataan itu. Kata-kata yang dikeluarkan dari bibir Miguel Cavero seperti larik puisi yang menghadirkan tanda tanya besar dalam kepalaku. Bahkan untuk mengartikannya, aku minimal membutuhkan teori semiotika atau hermeneutika.

***

Malam itu Miguel Cavero membacakan puisinya dengan bara dan energi. Suaranya masih terdengar keras seperti burung Rufous Hornero yang banyak hidup di hutan Sendero de los Arrayanes. Kemudian dari sorot matanya terpancar binar gugusan bintang Gurun Patagonia yang membuatku terpukau saat mengunjunginya dahulu kala libur kuliah. Aku benar-benar tidak melihat sedikit pun semburat bahwa dirinya baru saja sakit.

“Kita semua berhutang padanya,” ungkap penonton saat menyaksikan pembacaan puisi Miguel Cavero. “Ia selalu memberikan hidupnya pada puisi.”

“Kita harus belajar darinya,” tambah lainnya.

Malam itu semua orang sangat senang dengan kehadiran Miguel Cavero. Orang-orang terus bersulang untuk puisi yang dibacakannya. Mereka seakan baru merayakan upacara Umbanda untuk memanggil seribu roh para leluhur di alam kubur. Akan tetapi, aku merasa ada sesuatu yang aneh dari sosok Miguel Cavero. Di atas panggung itu ia seperti tidak nyata. Ia antara ada dan tiada di sana. Bahkan di akhir acara ia menghilang dengan sangat cepat dan tidak berpamitan dengan siapa pun.

***

Satu jam kemudian, aku mendapatkan pesan kalau Miguel Cavero meninggal di rumah sakit Antonio Fernandez dengan kondisi tubuh yang masih tertancap selang dan jarum di tubuhnya. Ia bahkan sudah mengalami koma selama tiga minggu—tersesat dalam dunia mimpi Dewa Morpheus. Demikianlah aku benar-benar tidak percaya dengan berita itu. Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang lainnya. Apalagi kami baru saja bertemu dengan Miguel Cavero di festival Feria del Libro.

“Yang benar saja,” tegas teman-teman sesama penulis. “Siapa yang baru saja membacakan puisi itu? Roh?”

“Kau gila,” sahut lainnya. “Hidup ini sudah cukup aneh. Jangan kau tambah dengan pikiran anehmu. Memang kita hidup di dalam novel Dona Flore Seus Dois Maridos karya Jorge Amado?”

“Benar! Ini dunia nyata, bro!”

Akhirnya ada beberapa orang yang mencoba mengonfirmasi kebenaran berita itu. Keluarga Miguel Cavero membenarkannya.

***

Pagi harinya, orang-orang mendatangi makam Miguel Cavero di kompleks perkuburan Chacarita. Semua orang berkabung dan menggunakan pakaian hitam serta topi cattlemanMereka semua benar-benar mirip Gaucho sang koboi legendaris dari tanah Amerika Utara. Sama halnya dengan Miguel Cavero di dalam peti matinya, ia memeluk topi cattleman-nya yang dahulu pernah beberapa kali digunakannya saat membentuk klub buku El Loco.

Seorang pendeta memimpin seremonial penguburan Miguel Cavero. Ia meminta mendoakan sang penyair sebelum tanah menenggelamkan tubuhnya. Akan tetapi orang-orang di sana tampak tidak khusuk berdoa. Mereka masih sibuk membicarakan sosok yang mereka temui sebelum Miguel Cavero dinyatakan meninggal.

“Bila kau merasa bertemu dengan Miguel di acara pembacaan puisi,” jelas seseorang di tengah kerumunan penziarah. “Aku bertemu dia di studio rekaman musikku.”

“Jangan bilang kalau kita bertemu dengan sosok arwah semalam.”

Seorang editor buku dari penerbit lokal juga mengaku bertemu dengan Miguel Cavero. Ia mengatakan bahwa dirinya sempat berjanjian melalui chat untuk bertemu. Miguel Cavero kemudian datang dengan gaya dan caranya yang biasa. Ia kemudian memberikan hutang-hutang janji kreatifnya berupa satu bundel naskah kumpulan puisi.

“Aku benar-benar bertemu dengannya,” jelas editor buku itu. “Hanya anehnya riwayat chatku dengannya hilang.”

Selain seorang editor buku, sahabatnya seorang penyair muda merasa didatangi Miguel Cavero. Pada orang itu Miguel Cavero memberikan catatan dari larik-larik sajak yang sempat ditulisnya.

“Kalau ia adalah seorang arwah,” jelas sahabatnya itu. “Dia masih sempat membantuku membenarkan puisiku. Padahal jiwanya telah diambil oleh Tuhan.”

Semua orang hari itu merasa telah bertemu dengan Miguel Cavero dalam waktu yang sama ketika dirinya dinyatakan meninggal.

***

Acara pemakaman Miguel Cavero berjalan lancar. Keluarganya tampak sangat bersedih saat tubuh tua Miguel Cavero dimakamkan. Aku sendiri tidak sadar telah menitikkan air mata kepada sosok sastrawan itu. Dan sebelum tanah kuburan memendam peti mati Miguel Cavero secara penuh, seorang anak maju ke sisi liang lahat.

“Ini adalah puisi yang ditulis papa sebelum sakit dan meninggalkan kita semua,” ucapnya. “Izinkan saya membacanya.”

Untuk yang kedua kalinya, aku dan beberapa orang di pinggir liang lahat itu mendengarkan puisi berjudul “Ouroboros” yang sempat dibacakan oleh Miguel Cavero di acara festival Feria del Libro.

“Papa pasti sangat bahagia puisinya didengarkan oleh teman-temannya,” jelas si anak.

Semua orang bertepuk tangan karena puisi itu. Aku juga tidak tertinggal ikut tepuk tangan. Hanya di sela-sela saat aku tepuk tangan, aku melihat Miguel Cavero di antara para peziarah. Aku ingin berteriak saat menyadari kejadian tidak masuk akal ini. Akan tetapi, ia seperti memberikan isyarat kepadaku untuk diam saja. Ia tidak ingin semua orang mengetahui keberadaanya di antara penziarah yang datang. (*)


Catatan:

Sportivo Palermo adalah tim asal Argentina  yang pernah jaya pada tahun 1920-an

Perang Falkland adalah perang tanpa deklarasi yang berlangsung selama dua bulan antara Argentina dan Inggris untuk merebutkan kepuluan Falkland dan Georgia Selatan

SAJAK