TERKINI

Narasi Ketidakbahagiaan (Tribut untuk Joseph Conrad) - Sarita Rahel Diang Kameluh

@kontributor 11/26/2023

Narasi Ketidakbahagiaan (Tribut untuk Joseph Conrad)


Sarita Rahel Diang Kameluh





Tak ada yang abadi.

Wanita itu menganggap dirinya titisan Bunda Maria. Ia lahir tanpa ibu, konon dagingnya hanya dari selangkangan seorang tuan tanah yang bersenggama dengan oak. Alkisah, pohon itu adalah makam peri sungai Thames, yang diyakini merupakan titisan Frigg dari kepercayaan purba orang Saxon. Sang tuan tanah, seorang Earl, takut jika putri oak itu lahir tanpa rahim sebab ia tak lahir dari rahim. Ketika ia lahir, bintang kejora bergemerlap dan lidah api melintas di langit Croydon, menyihir malam menjadi senja abadi. Langit terus bercorak darah, menyembur lembayung memar. Ia diberi nama yang musiman: Cathy, Katya. Katharos. Murni.

Sewaktu kecil ia kerap iba menyaksikan ayahnya berderu air mata, bertubuh dirasuki sais sekaligus kuda di hadapan Penebus, bergumam bahasa kuburan dan reruntuhan Venonis, menyeka luka di punggungnya sendiri. Ia berkata bahwa dosanya mesti membunuhnya, tetapi karena tuan kami maha baik, budak mesti disiksa saja.
"Banyak yang mati seperti lalat terpapar asap," imbuhnya lirih. Dosa apa, gadis itu tak tahu. Waktu itu. Para gadis berkerudung putih di Gumley House juga tetap perawan, berpuasa, membasuh kaki para komandan doa, menafsir lisan Langit, memetik mawar dan memangkas duri. Pemimpin barak ini juga tak segan melecut-lecut jika tak senang dengan kuda betinanya.

Ketika tahun pertama ia datang bulan, ia bermimpi, dengan langit dicarik komet yang sama seperti hari lahirnya, bahwa dia akan melahirkan bayi penebus dosa. Mungkin ini mimpinya karena tak tega melihat ayahnya menjadi kuda di tubuhnya sendiri, atau kawan-kawan berkerudungnya, di hadapan ukiran kayu oak Penebus. Ia yakin bahwa lelaki itu budiman, alumni Eton dan sedang belajar teologi di tepi Isis, lalu menjadi diaken di Westminster, anggota mimbar atas yang merangkai hukum surgawi di parlemen.
"Bukan hanya ayah. Seluruh negeri ini berdosa". Barulah ketika ia beranjak dewasa, saat ia bertemu seorang pengacara berdarah Galilea dari Vienna, yang menyusu dan bersemi di kawasan
Neuilly di Paris, perempuan itu dihadapkan gelagat ayahnya yang mengerahkan pasukan penginjil James di perkebunan kayu putih.

“Ayahmu, nona, adalah lintah di bumi selatan. Ia dan para mualimnya menghisap darah anak-anak Bantu,” sang pengacara menerangkan tuntutan pada sang ayah.

Sang gadis tak habis pikir dan terperanjat bahwa seorang pekabar, utusan singa bermahkota dan sabda Tuhan Thames, adalah lintah haus darah hingga anak-anak dan para ibu mati melahap debu di Selatan, di kawasan bernama Xhosa. Di kawasan itu hidup orang-orang berselimut merah yang hidup di gubuk sarang lebah. Serikat sabda ayahnya memiliki tanah untuk membangun rumah ibadah, namun serikat dagang membeli dan menanam benih pohon kayu putih. Pepohonan itu menghama tanah Xhosa, memperbudak, menyedot sumur dan darah hingga desa-desa kering kerontang. Penyebaran sabda dipasok oleh derita, karena tanpa derita kebun, tak ada sterling untuk membentangkan sabda. Ayah, yang mengasihi anaknya yang tak beribu, mengangkat bocah-bocah yang luput dari wabah kentang di tanah Eire ke altarnya, menyumbang harta untuk membangun sekolah dan rumah ibadah, adalah seorang pembunuh yang mempertuan manusia?

“Apakah ayahmu tak pernah berbicara soal dosa? Dosa di gelondong kayu-kayu putih?” sahut kembali lelaki itu menahan geram. Lelaki itu, ia tampak mengenalnya. Bau nafasnya seperti opium dan anggur. Tubuhnya berbau air mawar, keringat, minyak fenor dan kamper. Rupa pucat, gelagatnya tampak ingin menancap belati, sekaligus mengasihi yang dilukai. Baginya orang tertindas semestinya marah memberontak, dan ia menyuarakan derita ribuan mereka di bawah naungan panji salib St.George. Apa ia datang dari mimpinya? Gadis itu menjawab bahwa sang ayah kerap melecut diri di hadapan salib kayu, seperti anak-anak Xhosa yang bergelimang, dilecut. Para wali ini adalah anak-cucu Wilberforce dan Newton, pendeta yang membubarkan kepemilikan manusia lima dekade silam.

Dan siapa yang ia tuntut? Kami termasuk yang mengutuk mengekang manusia seperti kuda, pikir gadis itu gelisah. Tetapi kawanan ayahnya tidak mengutuk, sebab mereka bukan saudara. Dan kita yang telah dibaptis ke dalam persekutuan, dibungkus oleh Dia. Mereka tidak dibaptis. Ayah diam saja sebab ia budak serikat penyabda. Ia juga budak himne, kaca patri dan wiruk. Budak firman. Bukankah firman adalah wujud pula?

“Aku menuntut Tuhanmu,” tanggap lelaki itu lagi,

“aku akan membunuh untuk membebaskan tanah berkayu putih.”

Ia salah, manusia seperti anjing adalah hasil serikat firma, bukan firman. Mengapa ia dibutakan oleh kobaran benci? Tanpa benci, takkan ada pergulingan kuasa. Sejarah tak berroda tanpa benci. Lalu di pekarangan Croydon milik ayahnya, di mana sang pengacara menetap untuk mengistirahatkan paru-parunya dari jelaga kepul London, seorang diaken muda Nguni dari Cape Town berkunjung.

Namanya, atau nama baptis semenjak setahun, adalah Samuel Ajayi. Ia mengenakan jubah Sarum berkancing ganda. Di lehernya, yang dua tahun lalu tergantung jerat serabut di perkebunan kayu putih, kini bergelantung Lelaki itu. Berdarah dengan enamel perak. Cathy tak tahu apa yang diperbincangkan, tetapi jika si pengacara mengulurkan tangan pada si diaken, ia pasti mempersenjata. Pembebasan Samuel dari pengabdian paksa adalah karena ia mau bersalut, lalu menjadi penyabda di bawah naungan serikat ayah Cathy.

“Semua ini takkan terjadi jika mereka bersalut tuhan orang Inggris, katamu?”

“ya, aku adalah bukti hidupnya,” jawab Samuel tegas. Duka dan gusarnya meminta uluran tangan si pengacara untuk menuntut serikat dagang dan penyabda. Tetapi, dengan dibalutnya salut ini, tidakkah ia milik seorang tuan baru? Mereka yang dilepas belenggunya, menjadi budak Langit Britania.

“Tapi aku tak mau membenci dan berdarah lagi. Aku berusaha mencintai penyelamatku sekarang.”

******

 

            Cathy berhadapan muka dengan ayahnya, yang malam itu berpendar bersimbah anggur merah dan air mata setelah membaca kabar Samuel. Tangannya terikat, ujarnya lesu, namun pancaran matanya tetap mengkilat api dan kibar salib merah. Ia juga seketika mengakui merangkai dongeng kelahiran putrinya.

“Kau tak lahir di kayu oak dan tanpa ibu. Tak ada komet di langit. Kau adalah buah pencabulan. Sebelum mengenakan salib Celtic ini, aku menistakan banyak wanita. Salah satu dari mereka mengandung. Ketika kau lahir, ibumu yang seorang buruh belaka meminta tebusan untuk biaya dokter dan bidan. Ia juga memeras sebab kita tak mungkin menikah. Aku menolaknya dengan bengis. Wanita itu menenggelamkan dirinya di Thames, meninggalkanmu di keranjang buah di Jembatan Richmond. Tangisanmu mengoyakku hingga aku menjadi abdi gereja sekarang.”

Ia terguncang dengan pengakuan mabuk. Mereka berkata in vino veritas, ada kebenaran di dalam anggur. Anggapan dirinya titisan Bunda Perawan rupanya ia sendiri lahir dari pemerkosaan. Angan-angannya bahwa dia akan melahirkan seorang penebus rupanya ia bertemu lelaki yang ingin memberantas penebusan. Ia ingin membenci ayahnya, sabda dan aroma minyak kayu putih yang menghuni tanah asing. Gelondong kayu itu menjajah, mencacah, meracuni tanah, menghisap air, darah dari bentangan akarnya, membunuh pepohonan ibu pertiwi, menyusun pemukiman dan rumah doa baru sembari menggusur teratak orang-orang berselimut merah. Teratak yang disusun dari ranting kayu dan rumput kering sudah jarang berdiri, semenjak rerumputan mati dan seluruh empulur kayu digerus menjadi bubur kertas. Tanpa kertas, pengetahuan dan budaya akan sirna. Eropa tak akan tercatat, dan sabda tak akan tersebar. Tanpa minyak tirisan daunnya, Eucalyptus, ramuan ajaib itu, tak ada pembasmi hama dan tak ada urapan untuk demam, nyeri dan sesak Eropa.

 

            Lelaki Nguni berkalung salib itu terus bersikeras pada lelaki Galilea pembedah hukum. Bulir air mata terus menghiasi lesung pipi sembari bibir menggumamkan doa peranakan antara sembahan lama dan baru yang berasal dari penjajahnya, menghantui tembok naungan dengan tari jilat api dari kegelapan.

“Tuntut ayahnya. Tuntut naungannya. Keluarga. Firman. Kristus...”

“Tidak! apa salah gadis itu? Kita akan menghancurkan hidupnya, kita akan melumatkan surga kecil ini!” seru sang pengacara letih. Nafasnya pendek menciut. Dadanya terasa terhimpit oleh hantu-hantu dan luka tak tampak. Ia sadar bahwa tuntutan Samuel akan mengoyak Croydon.

“Beberapa waktu lalu kau bergairah untuk berperang, kini kau melunak, lesu, tumbang jika berbicara gadis itu. Siapakah ia bagimu? Naungan? pelarian dari kenyataan bahwa saudaramu menanam derita bagi saudaraku?”

“Ia lugu. Hanya kasih sayang yang terpancar, tak ada benci...”

“Ah, ia perwujudan bunga tidur! Ia adalah mimpi Elysium! Belahan dunia lain terbakar, diracuni, dijagal dan ia tetap pulas tidur mencium bunganya! Mengapa kau tak menyodorkan bercak dari tangan ayahnya? Ia pikir darahku hitam dan tak pantas disebut manusia? Berapa banyak darah mesti tumpah untuk menyadarkan bahwa warnanya sama merahnya dengan darah kalian? Warna ini tetap lembayung, kirmizi seperti jubah Kristus.”

 

Ia tak ingin mati, maka gadis itu adalah naungannya: penawar nyeri, seperti minyak kayu putih yang menjarah tanah Selatan. Terkadang tulang rusuknya retak, atau uratnya tercabik, atau seluruh isi dadanya ingin tumpah ruah. Biasanya guncangan dan nyeri tertusuk mereda ketika sekujur dadanya diusap dan dipijit oleh tangan lembut sang gadis yang berlumuran minyak itu. Minyak iblis. Tetapi gadis itu tak di sini. Minyak diperas dari rebusan daun terkutuk, seperti darah orang Nguni diperas dari tubuhnya.        

“Ah, lukamu terbuka lagi. Lihatlah ludah berdarah itu, apa kau sudah kenyang mengunyah sanak saudaraku, wahai orang Eropa?”

*****

Jantung merah langit ini adalah pendar terakhir yang ia saksikan. 

“Firman itu... firman kasih sayang. Mengapa engkau membunuh?”

Cathy merintih di dalam hati mendengar kisah Samuel melalui suara parau dan lunglai lelaki Galilea. Kini ia tak bisa hidup tanpa perempuan Abergine, yang kini sudah bukan gadis lagi. Ketika ia yakin hidupnya tak lama lagi, ia menikahinya dan bersenggama di luar kehendak sang ayah.

“Ingatlah, kau bukan Bunda Perawan lagi... dan kau bukan milik ayahmu. Kau milikku.”

Musim panas berlalu dan anaknya lahir setelah mengejan selama dua hari. Sang ibu mengalami kejang dan tenaganya terkuras habis. Nyawanya terenggut dan bersemayam di bayi yang baru dibersihkan ari-arinya itu. Sang lelaki semakin geram pada tuhan ayahnya, tapi ia lalu teringat bahwa beginilah cara ia melawan dan memberontak pada naungan Tuan Abergine yang berbau kemenyan dan puji-pujian bahasa Saxon,

“kau memangsa dan membunuh putriku: benih imanku kepada sabda. Tapi tidak sepenuhnya padam karena sebagian jiwanya sudah tersemat di dalam dirimu. Sadarkah kau bahwa Ia hidup di dalam hatimu? Tubuhmu yang menjijikan, yang terkoyak penyakit, dan jiwamu yang menciut oleh racun Peradaban. Aku tak pernah mengerti mengapa ia memilihmu sebagai wadah untuk menyimpan warisan Kasihnya,” sang ayah meracau dalam dukanya. Air matanya ruah tapi ia tak terisak. Hanya muntahan kata-kata pedih berpadu yang ditujukan pada lelaki ringkih itu. Ia dilarang menangis karena lendir dan air mata dapat mencekiknya hingga mati.

Semoga kau mati sesak kehabisan minyak urap.

Ia teringat kata-kata terakhir ayah mertuanya itu setelah pengadilan negeri menjatuhkan sangsi penjara. Tetapi sesuai perkataannya, Tuan Abergine membubarkan seluruh darah daging hidupnya. Kelompok penginjil Raja James sudah mangkat dari Xhosa, tetapi dengan naifnya ia tidak menyadari bahwa pemegang senar utama perkebunan itu adalah cabang East Indian Company di Zambia dan Sierra Leone, berdagang berbagai komoditas bumi Selatan. Niaga dan tanam paksa tetap berlajut, tapi tidak ada lagi yang takut pada Tuhan. Di pantai timur benua ini, di tanduk, mereka berjaya menanami pohon kemenyan untuk disadap getahnya menjadi aroma misa minggu dan minyak suci yang menjelmakan para raja sebagai ilahi di muka bumi. Para raja dan kaisar diurapi dari cucur getah Semenanjung Somalia. Tak lama setelah itu, penyabda itu ditemukan terkapar, seperti tidur terlalu dalam, dengan sebotol minyak Eucalyptus terpampang kosong di meja riasnya, tepat di hadapan ranjang di mana tubuhnya tergeletak.

Dan begitulah bagaimana lelaki Galilea, pembedah hukum dan pemberantas derita di Xhosa, menjadi orang yang paling terkutuk dan tak bahagia. Ia tak kunjung mati.

 

Draft pertama kali ditulis di St.Ermin’s Hotel, Hyde Park, London, 2 November 2022

diselesaikan dan disunting di Surabaya, 20 November 2023

Perawan Tua - Iin Farliani

@kontributor 11/26/2023
Iin Farliani
Perawan Tua




terimalah
lauk tanpa serat
di meja makan yang terbuat
dari punggung ibumu

di hadapan patung yang menangisi
batu-batu yang menyusunnya
usia memekik panjang
menghirup napas orang-orang mati
tubuhmu kini kuburan paling dalam
bagi kelampauan yang tumbuh menjulang

hanya kasih sayang yang mampu melunakkan
tulang-tulang kering yang menancap bagai pagar
mengelilingi rumah jiwa di sepi gurun

gelap mengungsi ke tubuhmu
menjelma gaun malam untuk kaukenakan
ke dalam dapur ibu

temuilah!
yang tercemar ludah curut
lendir sayur
remuk kepala unggas
di atas piring berbunga

dapur ini menyeberangkan dendam
dari dinding ke dinding
tak pernah sungguh-sungguh mati,
dendam ini,
batu yang bergerak-gerak
di palung kehitaman jiwamu

2023

Variasi Malam - Ompi

@kontributor 11/26/2023
Ompi
Variasi Malam




I.
Kedut matanya yang lusuh kembali menyala. 
         di hari-hari ganjil
     kesepiannya terbakar.
     Ia berkemah di hutan bakau
bersama ribuan kembang api.

(I took my baby on a Saturday bang
Boy, is that girl with you?
Yes, we’re one and the same
Now, I believe in miracles
And a miracle has happened tonight)

Black or White mengajaknya berjoget
Nelson Mandela, Abraham Lincoln
Mahatma Gandhi, dan Martin Luther King Jr
meniup kembang malam.

Moonwalk! serunya
25 Maret 1983 menyulap waktu
seakan-akan ini konser pertamanya.

II.
Di malam-malam jeruk purut,
kanak-kanak menyergap demammu.
Kau diajak bermain petak-umpet
menghitung waktu yang terus berjalan.

Hompimpa! kali ini kau menang.
mereka menghitung sampai sembunyi
ditelan hari.

Hong mulai berlumut,
menjalar di antara bibir.
Tentu saja kau 
tak mau tertangkap lagi.

III.
Kita berdua meminum duka
Di perapian malam yang kian jingkat.
Lintah terburai dalam usus.
Cacing pita, cacing kremi, 
cacing tambang, bergetar.
Ke mana kami harus pergi? tanyanya.

Kau tersenyum memandang usiaku.
Tak usah jijik, sayang!
Sedih yang parasit
kehilangan iba.

Kita berdua, mengecup waktu.

Mengolah Fakta dan Data secara Kreatif menjadi Puitis - Riri Satria

@kontributor 11/26/2023

MENGOLAH FAKTA DAN DATA SECARA KREATIF MENJADI PUITIS:

Sebuah Catatan Kuratorial untuk Antologi Puisi Menolak Korupsi 9, Mencari Presiden Anti Korupsi

Riri Satria

 


Menulis puisi tematik buat Sebagian penyair memang tidak mudah. Penyair yang terbiasa berpikir bebas tiba-tiba ruang berpikirnya dibatasi oleh sebuah tema tertentu. Ini sudah merupakan persoalan tersendiri. Apalagi jika tema itu merupakan sesuatu yang harus dicermati dengan baik fakta dan datanya, maka semakin lengkaplah tingkat kesulitannya. Bamun ini sekaligus menjadi tantangan dalam menulis puisi tematik seperti ini.

Puisi memang bukanlah laporan jurnalistik yang harus jelas deskripsi kejadian atau fenomenanya. Secara generik, proses penciptaan puisi itu melewati empat tahapan, yaitu (1) observasi, (2) kontemplasi, (3) penyaringan emosi, serta (4) komposisi atau konstruksi. Semuanya dilakukan dengan melibatkan rasa, hati, dan pendalaman batiniah oleh manusia. Itulah yang membuat puisi memiliki daya gugah yang tinggi. Penyair yang baik itu memiliki pengetahuan tentang dunia nyata dan imajinasi atau the knowledge of reality and imagination ketika membuat puisi. Puisi bukanlah sekadar konstruksi bahasa semata, melainkan memberi roh kepada bahasa tersebut melalui realitas dan imajinasi, supaya memiliki daya gugah yang tinggi ketika dibaca.

Saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa yang paling mahal dari seorang penyair itu adalah cara pandang, dan yang paling berat dari seorang penyair itu adalah menulis, yaitu bagaimana mengungkapkan apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, apa yang dilihat, apa yang didengar, dengan kata-kata yang tepat yang puitik dan memiliki daya gugah yang tinggi. Itulah sesungguhnya tugasnya penyair. Sepintas lalu terlihat tugasnya sederhana, tetapi sesungguhnya berat. Intinya bagaimana seorang penyair dituntut mengungkapkan apa yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui kata-kata secara tepat, tentu saja maksudnya kata-kata yang puitik, sehingga orang mengerti.

Dengan demikian, ketika seorang penyair ingin menulis puisi dengan tema mencari Presiden Anti Korupsi, dia dihadapkan kepada tantangan awal, yaitu fakta dan data, observasi, serta cara pandang atau perspektif. Buat sebagian penyair, ini tidaklah mudah. Jika mereka gagal menangkap fakta dan data, tidak bagus melakukan observasi, serta tidak memiliki cara pandang yang menarik atau bahkan berbeda dengan orang lain, maka tentu puisi yang dihasilkan hanya klise, walaupun secara estetika bahasa sangat puitik.

Tantangan kedua adalah ketika menuliskan puisi itu sendiri. Tentu saja ini adalah keahlian para penyair, namun sebagian penyair masih memiliki masalah dengan hal ini. Katakanlah mereka berhasil menangkap fakta dan data melalui observasi yang baik, serta cara pandang atau perspektif yang baik pula, namun tidak terlalu bagus dalam mengungkapkan atau menuliskan dengan estetika bahasa yang puitik. Maka yang dihasilkan mirip-mirip dengan naskah pidato yang format penulisannya berbentuk sajak, namun tidak puitik.

Salah satu buku kumpulan puisi tematik yang sangat bagus menurut saya, di mana si penyair mampu melakukan semua proses di atas dengan baik adalah Potret Pembangunan Dalam Puisi karya Rendra yang terbit pada tahun 1980. Puisi-puisi dalam buku tersebut sangat luar biasa, mampu menggabungkan antara fenomena sosial berupa pembangunan ekonomi dengan segala persoalannya ke dalam bahasa yang sangat menggugah, keras dan tegas, ada kemarahan, namun sangat puitik. Menurut saya, tidak mungkin seorang Rendra mampu menulis puisi seperti itu jika tidak berhasil menangkap fakta dan data melalui observasi yang baik, serta membangun cara pandang atau perspektif tersendiri mengenai pembangunan ekonomi, pendidikan, persoalan sosial, dan sebagainya.

Ketika melakukan proses kurasi untuk ratusan puisi yang dikirimkan para penyair untuk antologi Puisi Menolak Korupsi 9, Mencari Presiden Anti Korupsi, saya melakukan dua kali iterasi. Proses iterasi pertama adalah terkait kesesuaian tema, yaitu ‘Mencari Presiden Anti Korupsi’. Ada dua kata-kata kunci di sini, yaitu ‘Presiden Anti Korupsi’ dan ‘Mencari’. Nah, bagaimana penyair melakukan elaborasi kedua kata-kata kunci tersebut. Sebagian penyair mengungkapkan optimis bahwa sosok presiden seperti itu ada, namun sebagian lain penyair mengungkapkan kegelisahan bahkan rasa putus asa bahwa mencari presiden seperti itu adalah hal yang mustahil. Apapun itu, demikianlah cara pandang khas masing-masing penyair. Sah-sah saja bukan?

Kemudian terkait konstruksi puisi, ini tentu tidak hanya sekadar menempelkan kata-kata ‘Presiden Anti Korupsi’ dalam tubuh puisinya. Bahkan dalam beberapa puisi, kata-kata ini seolah dipaksakan untuk ditempelkan, sementara tidak menghasilkan suatu bangun yang utuh atau kohesivitas dengan bagian-bagian lain pada puisinya.

Akhirnya, sebagai orang yang juga berkecimpung di dunia sains dan teknologi, saya menyadari bahwa puisi ini bukanlah sepenuhnya ilmu eksakta yang dapat dijelaskan secara deterministik seperti halnya matematika. Puisi bukanlah sekadar rekayasa kata-kata atau word engineering, juga bukan sekadar bermanis-manis kata seperti word salad. Ada roh di sana dalam wujud rasa yang mampu memberikan daya gugah yang kuat. Kalau sudah berbicara rasa, maka muncul unsur subjektivitas.

Itulah sebabnya menilai puisi tidak dapat dilakukan secara eksak seperti permainan sepak bola atau bulu tangkis di mana skor dapat dihitung secara eksak. Menilai puisi itu mesti dilakukan dengan pendekatan proxy, seperti halnya menilai lomba loncat indah dan senam gimnastik, di mana ada unsur subjektivitas di sana. Itulah sebabnya kurator puisi itu harus beberapa orang supaya terjadi saling koreksi dalam penilaian bersifat proxy tersebut.

Seperti halnya penilaian proxy lainnya, seperti juri menilai lomba loncat indah, senam gimnastik, hasil pertandingan tinju yang tidak KO, selalu ada silang pendapat, bahkan perbedaan pendapat. Untuk itulah catatan kuratorial ini dibuat untuk menjelaskan bagaimana proses yang dilakukan oleh seorang kurator dalam menilai puisi. Harapannya subjektivitas kolektif para kurator akan mendekati objektivitas, namun selalu ada ruang untuk perbedaan pendapat dan perdebatan. Ini adalah hal yang wajar.

Saya mengucapkan selamat kepada para sahabat penyair yang karyanya lolos kurasi untuk buku Antologi Puisi Menolak Korupsi 9: Mencari Presiden Anti Korupsi ini. Semoga apa yang kita lakukan ini memperkuat gerakan moral untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Puisi memang tidak bisa memberantas korupsi. Undang-undang dengan sanksi yang tegas sekalipun tidak membuat takut para koruptor, apalagi puisi. Namun puisi dapat menjadi wahana penggugah untuk menyadarkan masyarakat betapa bahayanya korupsi tersebut dan mengajak untuk tidak melakukannya.

Demikianlah, terima kasih. Satu hati, tolak korupsi.

Bogor, 14 September 2023

Puan, 4 - Faustina Hanna

@kontributor 11/19/2023
Faustina Hanna 
Puan, 4

//mati tidak mencengkeram api//




ketika perempuan menolak untuk menjatuhkan air matanya,
bisa jadi karena ada beberapa hati yang mesti dilindunginya.

bukan lidah-lidah kesunyian yang hendak dibebatnya. bukan!
melainkan ia yang menyusup dan menjalar, sembunyi-sembunyi. 

− sebab mati terdahulu tidak mencengkeram api – meski ia yang
kini ditengarai sebagai gelegak didih yang melumat tenggorokmu.

2023

Playground - Yuris Julian

@kontributor 11/19/2023
Yuris Julian 
Playground




Kunjungilah pulau es krim itu
sebelum masa anak-anakmu
disulap papan catur
menjadi tumpukan kecemasan

Masih terdengar sampai sini
cerita-cerita kaum Borjuis 
yang berjalan limbung
saban pulang dari kakus umum

Memang tidak masuk akal
semua akan kesal dan berkata: 
"bunuhlah langit dan bumi
yang tersedia di atas meja
sehabis sarapan pagi!"

Sebuah perjalanan panjang
malu untuk ditertawakan
bukan karena merasa bersalah
tapi lebih baik luluh lantak
ketimbang retak dalam kenangan

2023

Hidup Terbuat dari Perkara-Perkara yang Nyaris Puitis - Emi Suy

@kontributor 11/19/2023

Emi Suy

Hidup Terbuat dari Perkara-Perkara yang Nyaris Puitis

: Pembacaan atas Perkara-Perkara Nyaris Puitis Hilmi Faiq

 


Membicarakan buku puisi Hilmi Faiq “Perkara-Perkara Nyaris Puitis” (Gramedia Pustaka Utama, 2023) cetakan pertama -- dengan tampilan sampul unik berwarna hijau toska dan gambar bermacam benda tenggelam dalam kaleng mirip sarden -- ini sungguh menarik dan menggugah. Buku ini memuat sajak-sajak tanpa disertai nomor urut dan keterangan letak halaman, bisa jadi ini strategi penulis dan penerbit agar supaya pembaca dibuatnya makin penasaran. Buku ini juga hanya menyertakan judul dan gambar di sampul (bagian depan) tanpa disertai nama penulis juga keterangan genre buku (puisi) yang biasa terletak di pojok kanan bawah halaman belakang buku, tepatnya di bawah barcode.

Tapi saya tidak akan melakukan penafsiran atas tampilan visual (fisik) buku Hilmi Faiq yang unik tersebut menggunakan teori semiotik, misalnya. Saya lebih tertarik untuk menilik lebih jauh beberapa puisi (batin bukunya) di dalamnya dengan interpretasi bebas sebagai konsekuensi pembacaan yang kreatif. Kita tahu bahwa menulis sajak atau puisi adalah suatu kegiatan kreatif juga sebuah upaya memuliakan kehidupan, mengatasi rasa tidak baik-baik saja -- demi menjaga kewarasan dan keseimbangan dalam hidup. Kata-kata memang bisa hilang, tapi tulisan akan dikenang dan dibaca ulang serta bisa memberikan pelajaran tentang kepekaan, empati dan inspirasi pada semua orang.

Puisi ialah milik semua orang, seperti udara bersih atau pemandangan langit malam, meski bagi setiap orang puisi dirasakan dan diterima (maknanya) dengan cara berbeda-beda. Termasuk perkara-perkara dalam hidup juga milik masing-masing orang dengan perbedaan penerimaannya. Tidak semua perkara dalam hidup kita maknai dengan puitis, meski nyaris. Mungkin hanya penyair atau penikmat puisi sejati yang dapat sampai pada momen puitik itu, tetapi orang awam pun bukan tidak mungkin sampai pada penghayatan yang puitis, mungkin bisa dikatakan nyaris, artinya tidak benar-benar tepat.

Menurut saya menulis puisi ialah salah satu upaya memeluk diri sendiri -- memaknai proses menulis puisi sebagai upaya memeluk “luka” sendiri untuk menyembuhkannya. Syukur-syukur puisi dapat memeluk atau paling tidak dapat menyentuh ruang batin orang-orang yang membacanya -- mendengarkan suara-suara yang diungkapkan oleh penulisnya kemudian tercerahkan, itu sebuah harapan yang besar. Saya kira puisi-puisi Hilmi Faiq telah melakukan tugas puisi dengan baik, yaitu menyentuh batin pembacanya, setidaknya bagi saya sendiri.

Puisi adalah bentuk seni yang telah ada selama berabad-abad. Bahwa puisi begitu penting dalam kehidupan ini, itu jelas. Betapa banyak orang yang mengaku setelah membaca puisi Jokpin merasa ditumbuhkan kembali harapan hidupnya yang sebelumnya porak poranda. Puisi juga dapat meningkatkan empati dan pengertian terhadap orang lain. Puisi memiliki kekuatan untuk menyentuh hati dan pikiran kita, mempunyai kelebihan sebagai media untuk mengekspresikan diri dengan cara yang sehat dan bisa membuat kita seolah katarsis -- mengalami suatu pencerahan.

Perkara-perkara dalam hidup seringkali kita alami, kita jumpai saban hari, ia melintas, bahkan singgah dalam hidup kita. Kita berada di tengah arus kehidupan yang bukan hanya kadang-kadang, tetapi seringkali tidak baik-baik saja. Cuaca iklim politik saat ini relevan sekali dengan sajak-sajak dalam buku “Perkara-Perkara Nyaris Puitis”, dengan kalimat pembuka semacam BAB: Tuhan Tak Mati dan Yang Dekat-Dekat. Katanya, setelah ini kita tahu hidup perlu ditertawakan bersama, sebab sudah lama dia menertawakan kita.

Segala kisah di lini kehidupan disajikan dengan sangat menarik dan saya kerap merasa "makjleb" dihunjami tusuk-tusukan tepat di ceruk hati oleh sajak-sajak Hilmi Faiq, terutama melalui sajaknya yang berjudul Negeri Jerami.

Hilmi Faiq telah berhasil menggunakan puisi sebagai media untuk menyampaikan kritikan terhadap permasalahan sosial yang terjadi antara pemerintahan dengan masyarakat (negara dan rakyat). Mengenai kenyataan-kenyataan, baik tentang rasa pahit, manis, getir, asin, asem, bahkan pedas, tidak hanya dijumpai di rumah makan atau di warung Tegal, namun tidak perlu jauh mencarinya sebab saban hari kita menyaksikannya dan sebagian kita lalui tanpa sadar. Seperti tampak dalam sajak berjudul Nyamuk.

Nyamuk

 

Seekor nyamuk hinggap di paha yang terlupa

: kau biarkan terbuka menggoda.

Sudah lama kiranya dia di sana,

Sampai kembung minta ampun.

 

Sekonyong-konyong kau sambar buku

: berkhotbah tentang kebaikan manusia.

Buk! Lalu tinggal tersisa merah saga.

 

Buku tentang kebaikan manusia

kau ajak sekongkol untuk membunuh.

 

2020

 

Betapa sederhana sajak Nyamuk di atas, kita seperti baru tersadar bahwa di hadapan seekor nyamuk kita hanyalah manusia yang mudah lalai dan kejam. Kita sering menggunakan buku -- yang bisa dimaknai sebagai kitab atau apa saja yang mengajarkan kebaikan dengan ganjaran pahala, misalnya – untuk mengajari orang lain tentang keharusan ini dan itu, tetapi dalam praktiknya kita justru menggunakannya untuk memukul seekor nyamuk yang lapar dan haus, nyamuk yang tengah meminum darah kita untuk meredakan derita lapar-hausnya, seakan kita menolak untuk mengamalkan kebaikan alih-alih lebih suka mengkhotbahkannya kepada orang lain.

Hal yang sama berlaku dalam kehidupan sosial kita, betapa sering kita mendengar dan melihat orang mengkhotbahkan agar kita bersikap adil dan jujur, misalnya, ‘jangan korupsi karena itu kejahatan’ (kata pejabat A), tetapi faktanya yang menganjurkannya malah suka berbohong dan koruptif.

Kondisi ketidakpedulian dan ketidakpekaan sosial yang secara faktual terjadi di sekitar kita juga tampak dalam puisi berjudul Pemancing Lapar, di sana penyair menggunakan metafor “buah segar” untuk menggambarkannya. Ketidakpedulian sosial itu terlihat di tiga baris penghabisan sajak Pemancing Lapar:

Tetapi itu tabiatmu sejak dulu

               : Berbagi harum.

               Tak pernah menyuguhkan buah ranum.

 

2022

 

Membaca puisi Hilmi Faiq membuat saya seperti tengah menonton film pendek tentang ketimpangan sosial, menjumpai hal-hal yang mengenaskan, terjadi di sekitar kita. Seperti dalam sajak yang lain, gambaran seorang remaja yang lusuh, rambut gimbal, berhari-hari tidak mandi, mungkin aroma itulah yang mengundang lalat silih berganti menghinggapi tubuhnya. Ia tak lagi khawatir dengan lapar, sebab ia bisa tidur pulas dan tenang, meski saya mencurigai si Bana menghisap aroma aibon sebelum terlelap. Tak peduli panas dan hujan si Bana tetap tenang.

Puisi-puisi Hilmi Faiq juga banyak yang menyinggung soal peran negara dan pemerintah yang absen. Seperti terjadi di negara kita yang para elit politiknya sudah duduk lupa berdiri, yang para aparatur negaranya korupsi dan tidak amanah. Cerita ini saya temukan dalam sajak Di Bawah Lindungan Tuhan, Tentang Seorang Polisi Ibukota, Jaga Jarak, dan Hikayat Seorang Wakil Rakyat.

Sekeras-kerasnya batu gunung, mungkin lebih keras hidup ini yang saban hari banyak kali dinamika hidup sosial dan politik yang acap menggembleng, membentur-benturkan hidup kita yang akan melahirkan banyak luka mengendap dalam perasaan-perasaan dan pikiran kita. Bagaimana pun kita tetap berusaha menjaga kewarasan di segala cuaca ini. Mungkin sebuah doa menjadi penguat -- menjadi penyemangat bahwa apa pun hidup ini mesti berlanjut, hal ini saya jumpai di sajak Kepala Batu. Sebuah doa untuk menguatkan diri di tengah iklim politik yang tidak baik-baik saja.

Suara yang hilang, jeritan yang lama-lama tak terdengar dan tak lagi didengar, namun terus bergerak -- kendati babak belur, tapi tidak sendirian digencet aturan-aturan yang kian mencekik -- ia terus berjuang, tak peduli tubuhnya yang menyala akan dipadam oleh pengendali kuasa dalam sebuah permainan. Cerita ini saya temukan pada sajak Di Negeri Saya.

Ada kalanya perasaan-perasaan gelisah -- misalnya, saat melihat ketimpangan sosial -- itu muncul, tapi tak jarang sebagian kita lebih suka bereaksi apa adanya atas realita sehari-hari, malah sebagian lain memilih sikap cuek daripada empati. Menjaga nyala “kegelisahan etis” itulah yang hendak dilakukan oleh puisi, dan Hilmi Faiq berupaya melakukannya.

Alangkah lebih indah jika “pesan” sajak yang dimaksud itu tak sebatas (pen-)citraan atau kemunafikan, tapi suatu kebenaran yang dinarasikan dengan jujur dan tepat, seperti kejadian-kejadian yang saya temukan di dalam buku kumpulan puisi Hilmi Faiq ini. Buku puisi yang memuat potret realita sosial yang dikemas dalam sajak-sajak yang setelah kita baca ada ledakan di penghujung kata, bukan ledakan emosi, namun ledakan tawa dan ledakan inspirasi.

Kiranya hanya hati yang jernih dan pikiran yang bersih yang mampu membaca potret realita dan menuangkannya ke dalam sajak-sajak humor yang menggelitik, mencerahkan dan secara langsung dapat memengaruhi -- mengubah paradigma dan perspektif kita. Buku puisi tanpa daftar isi dan kata pengantar ini menarik bahkan telah membawa saya pada arus kegelisahan penulisnya. Yang mahal dari buku ini adalah cara pandang dan gagasan yang dituliskan begitu asik, dengan diksi-diksi yang bertenaga, ringan tapi nendang, konyol dan lucu tanpa melupakan pesan kritik sosial yang ingin disampaikan pada pembaca.

Jika puisi-puisi itu terluka, saya ingin menjahitnya dengan ulasan yang solutif. Namun, ada juga saya menemukan sajak yang belum selesai, seperti masih menyisakan ambigu dan tanda tanya besar, salah satunya sajak yang berjudul Pneumonia.

 

Pneumonia

 

Dadaku terdiri dari senin dan kamis

 

Pneumonia adalah infeksi atau peradangan paru-paru, dadanya yang terkena radang terdiri dari senin dan kamis? Apakah nafasnya yang senin kamis ataukah keriuhan di dadanya yang berlangsung dari senin sampai kamis? Ini ambigu. Kalau napasnya yang senin kamis pastilah yang mengidap pneunomina sudah meninggal dunia. Jadi saya gagal mencerna -- meresapi sajak tersebut.

Buku “Perkara-Perkara Nyaris Puitis” layak dimiliki dan dibaca, mengapa? Membaca buku ini kita tak perlu mengernyitkan dahi, bahkan tidak akan sakit kepala karena diksi-diksinya mengalir. Ada yang dikemas dengan humor (humor gelap), walaupun kerap menemukan kata-kata yang menendang atau menampar kita atas rekam kejadian yang ada di dalamnya.

Di halaman 27, sajak yang berjudul Beda Keyakinan telah digubah Mas Ananda Sukarlan menjadi partitur -- not balok. Puisi yang menceritakan tentang perjumpaan dengan seseorang yang menawan yang menyebabkan terjangkitnya korona.

Dari semua sajak, ada sajak yang paling saya suka. Saya kutipkan utuh di sini, sajak yang berjudul Kaleng Khong Guan:

 

Kaleng Khong Guan

: Untuk Jokpin

 

Tak ada yang lebih tabah

daripada kaleng Khong Guan

Dia tetap senang diisi kerupuk, kacang

Peyek maupun rengginang

 

2021

 

Mengingatkan pada buku Jokpin yang berjudul “Perjamuan Khong Guan”, sajak Kaleng Khong Guan mengangkat realita yang terjadi di bulan Lebaran. Bahwa saat lebaran kerap terjadi banyak penipuan yang halal, yang tidak mengandung unsur pidana, yakni penipuan yang legal karena hampir sudah menjadi tradisi di setiap rumah yang anggota keluarganya merayakan lebaran dan menunggu sungkeman tetangga atau sanak saudara. Kaleng Khong Guan yang tersaji adalah kaleng refil dari tahun ke tahun dengan isi bervariasi sesuai selera -- bukanlah isi biskuit seperti asli pada umumnya dan paling atas ada wafer yang kerap jadi rebutan. Tapi kaleng berisi kerupuk, kacang, peyek dan rengginang. Sajak yang menggelitik, mengandung humor tapi serius ini sejatinya di dalamnya menyimpan makna yang lain, bahwa saat lebaran bukanlah ditandai dengan kemewahan baju baru, makanan mewah, dan segala sesuatu yang glamor. Lebaran ditandai oleh kemenangan kembali pada fitrah-Nya -- setelah sebulan penuh kita berpuasa, kita merayakan dengan kesederhanaan dengan kemenangan sejati, kebersihan hati dan jiwa. Di sisi lain, kumpulan sajak Khong Guan milik Jokpin dimaksudkan mengangkat perihal pentingnya toleransi antar umat beragama, terutama antar manusia.

Bait-bait dalam sajak-sajak Hilmi Faiq tidak hanya membuat saya tenggelam di kedalaman makna namun turut hanyut oleh derasnya arus suasana batin penulisnya. Dari berbagai sudut pandang bahkan dengan kacamata seorang jurnalis Hilmi Faiq telah berhasil mengungkapkan suara-suara batin, kegelisahan dan menerjemahkan lanskap kehidupan kota lewat sajak-sajak yang asik untuk dibaca.

Hilmi Faiq mampu menjadikan sajak sebagai ruang penghubung yang mempertemukan suara-suara batin -- kegelisahan penulis dengan realita yang dipotretnya melalui sebuah proses kristalisasi, kontemplasi jiwa dan mengungkapkan kembali peristiwa nyata itu dengan begitu apik dan estetik. Puisi itu sendiri sebagai ruang sunyi -- ruang yang sarat dengan perenungan dan permenungan. Puisi sebagai cermin, sebagai mozaik, sebagai instrumen, sebagai puzzle, sebagai alarm, sebagai embun, sebagai sari pati kehidupan, sebagai jembatan, sebagai jalan sunyi, sebagai arus deras yang menghayutkan. Puisi sebagai apa yang kita pikirkan dan rasakan, sebagai kehidupan itu sendiri.

Saya teringat Seno Gumira Ajidarma yang mengatakan bahwa, "Setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur, karena kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya sendiri. Puisi memang tidak bisa menunda kematian manusia yang sampai kepada akhir hidupnya, tapi puisi jelas menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang masih hidup."

Akhirnya saya jatuh hati berkali-kali dan bertubi-tubi pada buku “Perkara-Perkara Nyaris Puitis”, mengapa? Sebab hidup saya juga puitis -- kiranya perlu dan penting dirayakan dengan membaca buku puisi ini. Selamat menunaikan perkara-perkara yang puitis. Salam.

Jakarta, 31 Oktober 2023

SAJAK