ESAi
TERKINI
Ia Datang dari Hilir - Ubai Dillah Al Anshori
SajakNun, Anggrek, Nun - Wendy Fermana
CerpenNun,
Anggrek, Nun
Wendy Fermana
Masnun urung
berkebun, pagi itu.
Lipatan
pakaian dan kain-kain yang biasanya tersusun rapi di bilik-bilik lemari, kini
menumpuk di atas dipan. Masnun memeriksa kembali rak-rak lemari, mengaduk-aduk
isi laci meja tulis, serta menyelidiki setiap sudut kamar. Ia yakin benda itu
pasti ada di sekitar sini. Tadi pagi, saat ia hendak merapikan rambut dan
tengah mencari-cari sisir, ia masih melihat bros anggrek itu tergeletak di
antara benda-benda di dalam laci. Ia tilik sejenak benda mungil itu dan
lekatkan di blusnya, lalu mematut-matut diri di depan cermin, kemudian
seingatnya ia letakkan lagi, tapi di mana benda itu sekarang?
Masnun
susah hati. Tidak saja karena bros anggrek itu mahal harganya (dan ia tak akan
dapat memilikinya lagi sebab aksesori itu dibawa dari Jepang), tetapi benda itu
juga amatlah berharga bagi si empunya terdahulu. Bros itu mulanya oleh-oleh
akung untuk uti (begitulah ia menyapa kedua ndoro), dari lawatannya ke
beberapa negara Asia Timur (akung pejabat teras di Deplu, sebelum akhirnya
tersingkir dan balik ke Bulaksumur). Mata Masnun berbinar-binar saat melihat
hadiah itu berbentuk anggrek dan iri hendak memiliki sebab ia amat gandrung
dengan segala macam benda terkait anggrek (kecintaan uti pada anggrek
membuatnya ikut-ikutan kesengsem pada sang puspa penuh pesona itu). Tapi
mustahil untuk memiliki. Ia hanya dapat mengagumi keindahan bros itu saat uti
mengenakannya.
Segala
bayangan ketidakmungkinan memiliki itu sirna selepas kematian uti. Belum empat
puluh hari akung mangkat, ndoro perempuannya menyusul wafat. Tidak, Masnun
tidak mendapat waris, meski ia sudah seperti keluarga, meski ia sudah menemani
uti sejak belia, meski ia sudah membersamai segala macam suka-duka masa remaja,
masa nikah, masa uti melahirkan tiga orang anak, hingga ia turut mengasuh dan
membesarkan dan sampai ketiga anak itu menikah dan beranak pinak pula, ia telah
mengabdikan dirinya untuk tiga generasi keluarga itu, tapi tak ada bagian
buatnya di surat wasiat uti.
Hatinya
sakit saat anak-cucu keluarga besar akung-uti memutuskan untuk menitipkannya ke
rumah jompo. Ia sempat protes dan meminta agar diizinkan ikut salah seorang
dari mereka. Ia masih bisa bantu-bantu melakukan kerja rumah tangga. Semuanya
menggeleng. Tidak ada tempat buatnya. Yang sulung akan kembali kerja ke Hamburg,
yang nomor dua pulang ke New York, dan yang bungsu menerima tawaran mengajar di
Connecticut. Duhai Gusti, inikah semua ganjaran atas segala pengabdian hamba?
Ia
mengajukan permohonan agar diperkenankan membawa beberapa pot tanaman anggrek
milik uti. Setidaknya dengan merawat anggrek kesayangan itu dapat menjadi
pengingatnya pada keluarga besar akung-uti. Silakan, silakan, Mbah Nun, karena
rumah ini juga akan tinggal saja, kata sang anak perempuan, si nomor dua.
Sebelum diantar ramai-ramai ke panti wreda Rumah Kasih, dengan gemetar Masnun menyelinap
ke kamar uti, kemudian menilap bros anggrek itu ke dalam sakunya. Tak pernah ia
melakukan tindakan tak patut semacam itu sepanjang umurnya. “Maafkan aku kalau Uti
tidak berkenan,” lirih Masnun menyesali dosa kecil mengutil itu. “Anggaplah itu
hadiah buatku di tempat menjemukan ini, Uti.”
Rumah
Kasih ini betul-betul membosankan, ada orang-orang tua ringkih yang
menyenangkan, tapi tak lagi memiliki banyak energi (seperti Rohana, Hamidah,
dan Marianne, kawan barunya yang ikut keranjingan merawat tanaman), sementara
orang-orang tua menyebalkan yang gairah hidupnya bak remaja mengalami pubertas,
tingkah mereka ganjen, sesama tua bangka saling menggoda (misal Ashadi,
Indraswari, Rahardjo, atau Sedyawati), membikin Masnun jeri. Ditambah lagi
kebiasaan sebagian besar penghuni yang kerap menabung jatah sabun dan pasta
gigi mereka (lantaran tak lagi merasa perlu berwangi-wangi dan tak lagi punya gigi),
barang-barang itu dikumpulkan dan pada hari-hari tertentu, diam-diam dibawa ke
penadah di pasar terdekat yang siap menukarnya dengan barang yang amat terlarang,
seperti rokok, kopi, gula pasir, dan bumbu penyedap. Masnun tak ikut-ikutan
aksi penyelundupan itu.
Ia
merasa beruntung telah membawa tanaman anggrek uti sehingga setiap hari ia
punya kesempatan untuk melarikan diri dari kejenuhan rumah jompo. Ia bungah
saban kali memperhatikan rupa bunga yang serupa kepak kupu-kupu, meneliti
bintik-bintik di kelopak, dan menghidu harum anggrek yang tengah mekar. Merawat
anggrek membuatnya tetap terjaga dalam kewarasan. Ia tetap dapat melatih
ketelatenan kerja dengan berkebun, selama ini sepanjang hidupnya ia mengerjakan
segala macam hal. Ia ingin terus beraktivitas. Siksaan yang sesungguhnya ialah
tatkala ia hanya uring-uringan tanpa gerak di pembaringan.
Sadar
kegiatan itu semacam terapi mengatasi kebosanan masa tua, Masnun ajak penghuni
lain untuk ikut bertanam. Beberapa tertarik membantu, beberapa mencemooh.
Setiap kali Masnun bersama Rohana tengah berkutat dengan media tanam dan batang
anggrek, dan Ashadi melihat, ia pasti mulai mendekat, pura-pura memperhatikan,
dengan harapan diajak bercakap-cakap, tetapi kemudian menggerutu panjang-pendek
karena Masnun pura-pura mengganggap lelaki itu tak ada (Masnun enggan
meladeninya lagi dan kini justru menjaga jarak karena awal-awal ia pindah
kemari, Ashadi berusaha menggodanya, dan Masnun yang tak tahu apa-apa justru
dilabrak Indraswari yang cemburu dan mengamuk, menuduh Masnun mau merebut
kekasihnya. Masnun nyaris tergelak, dituding ingin merampas lelaki peyot, apa lagi
yang hendak diharapkan dari kerentaan? Ia tak butuh asmara masa tua, ia hanya
ingin hidup tenang dan bahagia, dan karena itulah ia tak mau terlibat dalam
hubungan kasih yang ruwet antara Ashadi si jelalatan dan Indraswari si mulut
besar).
***
Sepanjang
makan siang, Masnun tak banyak bersuara. Ia kehilangan selera untuk menyantap hidangan.
“Nun, Nun, kenapa kamu tak berkebun tadi pagi?” Berkali-kali dipanggil, Masnun
akhirnya sadar. Hamidah ternyata telah menghampiri, meletakkan baki makanan,
dan duduk di sebelahnya. Sejak tadi, Idah menyapa, tapi Masnun tak menanggapi,
pikirannya tengah berlayar menjaring ingatan. Di mana bros anggrek uti? Atau
jangan-jangan ada yang mencurinya?
Idah
menyuapkan sayur bening bayam ke mulut seraya terus memperhatikan kawannya. “Nun,
Nun, kenapa kamu? Sedih?”
Masnun
masih membisu.
“Nun,
Nun, kenapa kamu sedih? Kamu menyesal ya sudah menjual anggrekmu?”
Masnun
terperanjat.
“Kenapa
kamu menjual anggrekmu?”
Masnun
tidak mengerti dan meminta penjelasan.
“Lho,
kamu jangan marah ke aku, Nun. Aku kan hanya tanya. Aku tidak melihatmu di
pekarangan belakang pagi tadi. Pot-pot anggrekmu yang sedang mekar juga tak
ada, kupikir kau pergi ke pasar untuk menjualnya.”
Masnun
bangkit, meninggalkan Idah yang terperangah tidak mengerti mengapa Masnun marah
padanya. Ia tak enak hati dan jadi kehilangan nafsu makan.
Sesampai
di taman belakang, Masnun tak lagi menemukan tiga pot anggrek uti. Pondokan
teduh tempat anggrek itu biasanya bertengger kosong melompong. Ke mana kembang
kupu-kupu itu raib?
“Aku
pikir kamu membawanya ke pasar,” kata Idah yang menyusulnya.
Di
pekarangan itu, seperti anak kecil kehilangan mainan, Masnun menangis sampai terduduk,
membuat dasternya kotor oleh tanah. Idah merangkulnya dan menuntunnya ke bangku
taman sembari membersihkan bercak tanah di pakaian Masnun. Tapi amarah Masnun masih
tegak. Ia curiga semua ini ulah Ashadi! Ia bangkit dan hendak mendamprat si
lelaki jelalatan.
Belum
tiba di kamar Ashadi, di selasar ia berpapasan dengan Rohana yang tengah menghitung
lembaran uang lima puluh ribuan. Masnun tertegun. Sekejap kemudian pandangannya
gelap, ia muntab, ia menghardik-hardik Rohana yang seketika terperanjat menyaksikan
Masnun yang selama ini dikenalnya santun berubah menjadi berangasan.
Dirampasnya uang dari tangan Rohana dengan kasar. Rohana panik dan dengan
terbata-bata meminta Masnun tenang sehingga dia dapat menerangkan, tetapi
Masnun tak memberikan kesempatan, malah kemudian ia dorong tubuh Rohana hingga
perempuan itu jatuh terjengkang. Rohana terkaing-kaing kesakitan.
Masnun
tak menyangka kawan baiknya justru berkhianat demi uang.
Di
kamar, ia tersenggut-senggut, ia kecewa mendapati tak ada orang-orang baik di
dunia ini. “Pasti si Rohana juga yang sudah mencuri bros anggrekku itu!”
tuduhnya. “Awas saja kamu!” Ia buka genggaman tangannya, uang kertas itu telah
renyuk. Masnun buang gumpalan uang itu. Ia tak lagi rela tinggal di rumah jompo,
tinggal bersama orang-orang tua busuk yang rusak kelakuannya. Aku harus kabur
dan keluar dari sini, pikirnya.
Masnun
berhenti memasukkan pakaian ke dalam tas saat mendengar repetan Indraswari yang
meluap-luap. Ia menjenguk lewat jendela kamar yang terbentang. Indraswari
mengamuk sambil memukul-mukulkan gagang sapu ke punggung seorang lelaki.
“Kurang ajar kamu! Ini aku pacarmu! Aku yang suruh kamu angkut dan jual anggrek
itu, tapi malah kamu berikan uangnya pada si Rohana! Siapa Rohana itu? Pacar
barumu! Awas kau ya! Awas kau ya!”
Ashadi!
Indraswari!
Masnun
tecengang.
Dan,
Masnun makin tercengang saat ia berbalik ke belakang. Di tembok, tergantung
blus yang ia kenakan pagi tadi dan di bagian dadanya masih melekat bros anggrek
uti. Ia tak ingat telah bersalin pakaian!
Mata
Masnun memerah.
“Rohana!
Rohana!”
Bersamaan
dengan teriakan Masnun, suara sirine ambulans terdengar meraung-raung memasuki
pelataran Rumah Kasih.
Renta: Cerpen Estetik yang Minim Konflik - Akhmad Idris
EsaiRenta: Cerpen Estetik
yang Minim Konflik
Akhmad
Idris
***
Sejak kali pertama membaca bagian pembuka,
saya langsung menangkap ketakberaturan gramatikal dalam susunan kalimat sebagai
ciri khas bahasa karya sastra⸻meskipun tetap saja ada batasannya. Cerpen Renta karya Puspa Seruni yang terbit di
Sastramedia pada tanggal 31 Juli 2022 lalu ini, menampilkan kalimat pembuka
yang tidak patuh dengan kaidah-kaidah sintaksis. Kalimat itu berbunyi seperti
ini,
Lelaki
berusia 95 tahun itu, yang sedang duduk di atas kursi roda, memandangi beberapa
anak, berusia antara enam hingga sembilan tahun, yang tangannya
menunjuk-nunjuk, yang mulutnya tertawa-tawa, yang memaki kepadanya dari luar
pagar rumah
Ketakpatuhan atau ketakberaturan kalimat
pembuka tersebut meliputi penggunaan tanda koma yang disama rata, padahal
memiliki fungsi yang berbeda-beda. Ada tanda koma yang berfungsi untuk
mengidentifikasi lelaki berusia 95 tahun dan ada juga tanda koma yang digunakan
untuk menandai karakteristik anak-anak berusia 6 hingga 9 tahun. Penggunaan
tanda koma (yang sangat banyak) inilah yang membuat fungsi predikat (sebagai
fungsi yang paling penting) tampak kabur dalam kalimat tersebut. Menurut hemat
saya, kalimat yang tampak lebih teratur adalah seperti ini,
Seorang
lelaki berusia 95 tahun sedang memandangi beberapa anak berusia 6 hingga 9
tahun di atas kursi roda.
Kata “duduk” tidak perlu ditampilkan
karena secara logika tidak ada lelaki berusia 95 tahun yang akan “berdiri” di
atas kursi roda. Lazimnya penggunaan kursi roda memang untuk duduk, tidak
berdiri. Lalu dilanjutkan dengan kalimat yang mendeskripsikan sikap anak-anak
tersebut, mulai dari menunjuk-nunjuk; tertawa; hingga memaki.
Namun dalam dunia sastra, ketakberaturan
atau ketakpatuhan tersebut bisa menjadi bentuk kesengajaan pengarang yang
bersifat estetik. Sebagaimana yang disebut oleh Horace (yang kembali dijelaskan
oleh Wellek dan Warren) bahwa karya sastra (seni) memang bersifat dulce atau indah. Artinya, Puspa Seruni
memang secara sengaja mencipta ketakpatuhan untuk menyampaikan pesan tertentu
dengan wujud kode estetik. Penggunaan tanda koma dan kata “yang” yang
berlebihan dalam satu kalimat seolah ingin menunjukkan situasi antara kakek dan
anak-anak dalam satu rangkaian kejadian yang utuh. Mungkin jika dipisah (menjadi dua kalimat seperti yang saya
contohkan) secara lebih teratur, kesan keutuhan kejadian kurang bisa dirasakan.
Refleksi
Estetis atas Realita Sosial
Charles Glickberg (1967) dalam Literature and Society menyebutkan bahwa
semua karya sastra (entah bagaimanapun bentuknya) akan selalu menaruh perhatian
besar terhadap fenomena sosial. Meskipun seperti itu, para pengarang tetap akan
mendistorsi fakta-fakta sosial sesuai dengan idealismenya masing-masing. Oleh
sebab itu, karya-karya sastra yang terilhami atas fakta-fakta kemasyarakatan di
sekitarnya tidak akan menjiplak dengan ‘apa adanya’, tetapi ‘meniru’ dengan
refleksi yang estetis.
Hal semacam inilah yang saya temui saat
membaca cerpen Renta karya Puspa
Seruni dari awal hingga akhir. Puspa Seruni tampak lihai memotret fakta-fakta
sosial (yang menasional) di
sekitarnya seperti sinetron-sinetron perselingkuhan, nasib orang tua yang
ditelantarkan oleh anak dan cucunya, hingga masalah pengabdian atas dasar
warisan. Seluruh fakta-fakta sosial tersebut berhasil dikreasi dengan asyik
oleh Puspa Seruni lewat sebuah cerita yang diberi judul Renta.
Puspa Seruni menampilkan sinetron
perselingkuhan lewat ironi perkataan perempuan. Pada awalnya tokoh perempuan
berdalih jika perselingkuhan bisa diterima jika si pelakor memang jauh lebih
cantik darinya, padahal si pelakor tidak lebih baik darinya. Sayangnya ketika
beberapa tahun kemudian si suami memilih bercerai karena menuruti dalih si
perempuan (berselingkuh dengan yang lebih cantik), si perempuan tetap marah dan
tidak terima atas perselingkuhan tersebut. Puspa Seruni memertegas ironi
perkataan perempuan dengan kalimat yang berbunyi, Jaman berganti ternyata kebohongan wanita tetap sama.
Satu hal yang perlu dikritik dari bagian
ini adalah cara Puspa Seruni menempatkan posisi perempuan sebagai pihak yang
(lagi-lagi) tersubordinasi. Semoncer apapun karir perempuan, ia tetap akan
berada di pihak yang tersakiti. Sudah diselingkuhi dua kali, ditambah pula
dengan dipersalahkan atas ucapannya sendiri.
Asyik,
namun Minim Konflik
Sebagaimana yang telah saya sebutkan sejak
awal, cerpen Renta memang asyik
dengan sisi-sisi estetiknya, namun terlihat minim konflik. Tak ada dramatisasi
konflik dalam jalinan ceritanya, padahal Burhan Nurgiyantoro (2019) dalam Teori Pengkajian Fiksi telah menekankan
bahwa tiga kunci utama dalam mengembangkan plot saat menulis cerita fiksi
(cerpen) adalah peristiwa; konflik; dan klimaks. Renta seolah didesain oleh Puspa Seruni sebagai cerpen yang asyik
dengan potret fenomena sosialnya tentang perselingkuhan dan (kurangnya) kasih
sayang anak kepada orang tua, tanpa memertimbangkan ihwal naik-turun emosi
pembaca gegara sajian konflik yang sulit ditebak.
Secara garis besar, cerpen Renta dibuka dengan deskripsi lelaki
berusia 95 tahun yang direndahkan oleh anak-anak kecil. Lalu lelaki tua melihat
acara televisi yang mengisahkan perselingkuhan dan membawanya pada kenangan
masa lampau. Setelah itu, perempuan bernama Mina yang menjadi perawat lelaki
berusia 95 tahun mendapatkan telepon dari Agnes, cucu lelaki berusia 95 tahun.
Agnes melarang Mina mengambil cuti. Ujung cerita ini dapat dengan mudah
ditebak, Mina mengundurkan diri dan lelaki berusia 95 tahun akan menikmati sisa
waktu yang kata Chairil Anwar dengan dikoyak-koyak
sepi.
Akhir kata, cerpen ini memang asyik dengan
potret cerdik Puspa Seruni atas fenomena-fenomena sosial yang sedang menjadi
perbincangan hangat saat ini. Namun tetap
memiliki kekurangan dalam hal dramatisasi konflik. Cerita seolah dimulai dengan
tenang dan diakhiri dengan tenang pula, padahal yang ditunggu pembaca adalah
naik-turunnya plot cerita. Kurang lebih seperti itu hasil pembacaan saya atas
cerpen Renta. Sekian.
Renta - Puspa Seruni
CerpenRENTA
Puspa Seruni
“Dia gemetar ... dia gemetar. Lihat tangannya,” ujar anak lelaki berkaos biru dari atas sepedanya, yang disambut gelak tawa ke empat anak lainnya.
“Bibirnya juga gemetar, seperti dubur
ayam,” ucap bocah perempuan yang rambutnya di kuncir dua, sambil berusaha
menirukan bentuk bibir si lelaki tua. Ucapan mereka sahut menyahut, seperti
sengaja memancing kemarahan si lelaki renta. Suara gelak tawa mereka terdengar
hingga ke dapur.
“Heh, pergi ... pergi.”
Mina datang tergopoh-gopoh dari dalam
rumah sambil membawa sapu dan mengacungkannya kepada kelima anak itu. Anak-anak
itu kembali tertawa, melambaikan tangan kepada Mina kemudian mengayuh
sepedanya, pergi menjauhi rumah bercat putih itu.
Hampir setiap pagi, saat si lelaki tua
duduk di teras dan menikmati udara pagi, anak-anak itu akan berhenti di depan
pagar setiap kali melihat lelaki tua dan mulai meledeknya dari atas sepeda dan
mulai menertawainya. Sebenarnya, lelaki tua itu ingin menangis, miris rasanya
melihat dirinya ditertawakan oleh bocah-bocah sambil disebut-sebut sebagai
‘Kakek dubur ayam’.
Lelaki tua itu meringis, jemari tangannya
terangkat pelan-pelan kemudian meraba bibirnya. Dubur ayam adalah bagian dari
ayam yang sangat dia tidak sukai setelah leher, usus dan juga ampela. Dia
merasa jijik jika ada orang yang mau memakan tempat keluarnya kotoran itu. Dan
sekarang, anak-anak ingusan itu menjulukinya kakek dubur ayam. Betapa
malangnya.
Setelah anak-anak itu pergi, Mina
menghampiri dan memutar kursi roda, membawa lelaki itu masuk ke dalam rumah.
Mina menghentikan kursi roda di depan tivi di ruang tengah. Dia menyalakan
televisi dan memilih saluran sembarang semaunya. Lelaki tua itu tak protes, dia
menurut saja pada pilihan Mina. Mina meninggalkannya, melanjutkan memasak di
dapur dan membiarkan drama rumah tangga menenani si lelaki tua.
Dia sudah sangat lama tidak punya acara
televisi favorit, tidak seperti enam puluh tahun lalu saat dirinya masih muda
dan sangat menyukai acara yang berbau hukum dan politik. Bahkan, saat karirnya
sedang moncer, dia beberapa kali menjadi narasumber di acara bincang-bincang
pakar, menjadi pembahas topik yang sedang jadi sorotan publik, menjadi pengamat
kebijakan hukum pemerintah ataupun menjadi pembicara dengan tema lain yang tak
kalah pentingnya. Dia tidak pernah tampil mengecewakan, ulasan-ulasannya selalu
tepat sasaran, analisisnya tajam dan penyampaiannya selalu santun dan
tegas.
Tapi itu dulu, saat tubuhnya masih tegap
dan gagah, saat otaknya masih sempurna dan saat predikat pengacara terbaik
disandangnya. Akan tetapi sekarang ini, dia hanyalah pria renta tak berdaya,
yang duduk di atas kursi roda, menatap layar kaca, menyaksikan dua orang wanita
berbantah berebut suami mereka. Wanita bergincu merah, yang tubuhnya lebih
padat berisi, tampak sibuk mencecar wanita lain yang lebih kurus dengan pakaian
yang sederhana. Wanita bergincu merah mempertanyakan apa alasan suaminya
berbagi cinta dengan wanita kurus itu, yang menurutnya tidak lebih menarik
dibanding dirinya. Katanya, dia akan lebih bisa menerima jika wanita itu jauh
lebih cantik darinya. Bibir lelaki tua itu tersungging, miris.
Jaman berganti ternyata kebohongan wanita
tetap sama, ucapnya dalam hati. Dia ingat, dulu, saat usia pernikahannya baru
lima tahun dan mereka belum dikaruniai seorang anak, istrinya juga mengatakan
hal yang sama kepadanya. Dia mencerca partner kerja si lelaki tua, yang dituduh
menjadi selingkuhannya.
“Kalau selingkuhanmu lebih berkelas dari
aku, nggak masalah. Aku masih bisa terima,” ucap istrinya dengan nada marah.
Istrinya seorang dokter di sebuah rumah
sakit swasta, dia mandiri, tegas, suka memerintah, menguasai dan tidak bisa
menerima penolakan. Sedangkan si “wanita lain” itu, hanya seorang admin di
sebuah kantor hukum tempatnya bekerja-waktu itu si lelaki tua baru menapaki
karirnya dengan bergabung di sebuah firma hukum-penampilannya sederhana, tutur
katanya sopan, lembut, penuh perhatian dan tentu saja manis.
Lelaki tua, yang kala itu penghasilannya
masih dibawa istrinya, menuruti saran istrinya sepuluh tahun kemudian. Saat
karirnya sebagai pengacara mulai menanjak, seorang klien perempuan, yang
memiliki masalah dalam rumah tangganya, memiliki harta dua kali lipat dari
istrinya, terpesona pada si lelaki tua. Perempuan itu akhirnya bercerai dan
lelaki tua itu yang mengurus perceraiannya dan mereka kemudian berkasih-kasihan
dan akhirnya si istri tahu bahwa suaminya bermain gila dan dia kembali marah
dan tentu saja tidak terima meski wanita baru ini jelas lebih cantik dan lebih
segalanya dari si istri. Tidak seperti apa yang dia ucapkan sepuluh tahun lalu.
Pertengkaran dua wanita dalam drama
televisi itu mengingatkannya kepada sang istri. Dia tersenyum, sambil
membayangkan istrinya yang sedang cemberut marah.
“Makan dulu, Kek.”
Mina menghampiri dan memutar kursi rodanya
lalu mendorongnya ke meja makan. Adegan pertengkaran dua orang wanita terdengar
semakin panas. Kali ini dia tak bisa lagi menonton karena Mina menghadapkan
kursi roda ke arah meja, membelakangi televisi. Padahal dia sangat ingin
menonton, sekadar untuk membasuh kerinduannya kepada istrinya yang sudah
meninggal tiga puluh tahun lalu.
Sambil menyuapinya, pandangan Mina melotot
memperhatikan layar televisi yang semakin seru. Meski mata Mina mengarah pada
yang lain, tetapi tangannya seakan sudah hapal di mana letak mulut si lelaki
tua. Persis setelah makanan di piring habis, drama rumah tangga di televisi
juga berakhir. Mina mengusap mulut si lelaki, memberinya minum, kemudian kembali
memutar kursi roda dan mendorongnya hingga ke depan televisi.
Kali ini, Mina memilih saluran masak
memasak-sepertinya siaran ulang-yang sedang menayangkan masakan berbahan dasar
kerang, makanan yang dulu paling digemarinya. Lelaki tua itu berasal dari
pesisir dan sudah akrab dengan laut sejak masih kanak-kanak. Siaran televisi
mengantarnya ke masa lalu, mengingatkannya pada perjuangan sang ayah, hanya
seorang nelayan tetapi berhasil mengantar dirinya hingga lulus sebagai sarjana
hukum. Sayangnya, saat karirnya baru dimulai, sang ayah meninggal.
Setelah mencuci piring, membereskan dapur,
menjemur pakaian, Mina mendekati si lelaki tua. Mina mematikan televisi
kemudian memutar kursi roda. Dering ponsel membuat langkah Mina terhenti.
“Halo,” suara cempreng Mina memenuhi ruang
tengah. Beberapa saat dia tampak terdiam, mendengarkan suara dari si penelepon.
“Tapi, Mbak. Minggu depan itu acara
penting, adik bungsu saya menikah. Saya tidak ....”
Kalimat Mina terhenti, rupanya si
penelepon menyelanya. Sekali lagi Mina tampak terdiam, mendengarkan dengan
wajah menahan geram.
Tak berapa lama, telepon terputus. Mina
menoleh pada si lelaki tua yang sedang memandangnya. Lelaki tua itu bisa
menduga, si penelepon adalah Agnes, cucunya. Dan seperti biasa, Agnes akan
melarang Mina cuti dengan alasan dia sedang sibuk dan tak bisa menjaga si
lelaki tua. Ini bukan kali pertama dan tentu bukan kali terakhir.
Agnes adalah anak dari Omar, anak
sulungnya, yang meninggal lima belas tahun lalu. Lelaki tua itu hanya memiliki
dua anak, yaitu Omar dan Zayid. Zayid tinggal di luar kota bersama kedua
anaknya dan telah berusia enam puluh tahun dan sering sakit-sakitan dan sudah
tak pernah datang lagi menjenguknya.
Si lelaki tua kini hanya tinggal bersama
Mina, perempuan tambun yang disewa Agnes untuk merawatnya. Si lelaki tua memang
tak pernah mau tinggal di panti Jompo. Dalam surat pembagian harta warisnya, si
lelaki tua menulis bahwa siapa saja yang merawatnya di masa tua akan
mendapatkan pembagian sepersepuluh lebih banyak daripada yang lain. Waktu itu
Omar menyanggupinya. Namun, hingga Omar meninggal, si lelaki tua masih hidup
sehingga kewajiban mengurusnya diberikan kepada Agnes sebagai anak tertua dari
Omar. Agnes berbeda dengan Omar, dia tidak mau merawat si lelaki tua di
rumahnya dan memilih membelikannya sebuah rumah sederhana berukuran 40 meter
persegi, yang jauh lebih kecil dibanding rumahnya dulu.
Mina menoleh dan memandang si lelaki tua.
Dia menghela napas panjang. Mina menghampiri si lelaki tua dan menggenggam
tangannya dan membisikkan sesuatu kepadanya dan berdiri melanglah menuju kamarnya.
Lelaki tua tidak membantah, tidak juga mencegah. Hanya air mata yang kemudian
luruh satu persatu dari sudut matanya, mengalir ke pipi, menetes ke dada hingga
berjatuhan ke punggung tangannya.
Mina keluar dengan membawa sebuah tas besar dan melambaikan tangan kepada si lelaki tua. Lelaki tua hanya memandang Mina tanpa berkedip. Dia tak mau Mina melihat air matanya yang berjatuhan. Terkadang lelaki tua itu menyesali doa yang selalu meminta umur panjang. Teman-teman yang seusia dengannya sudah lama meninggal, bahkan istri dan anak sulungnya. Dia kini hidup sendirian, menyaksikan bagaimana orang-orang yang masih ada ikatan darah ataupun yang tidak, berbuat semena-mena kepadanya yang sudah tanpa daya.
Jembrana, 17 Juli 2022
Yang Personal dalam Puisi - Wawak RW
EsaiYang Personal dalam Puisi
Wawak RW
Menulis puisi, tanpa atau dengan disadari,
tak jarang memunculkan unsur personal penulisnya. Mungkin boleh disebut dengan
unsur ekstrinsik pada puisi, tentu telah lumrah ditemukan pada karya-karya
sastra. Namun yang membedakan adalah seberapa banyak kadar penyair menuliskan
unsur personalnya, atau seberapa handal mengungkapkan personalnya pada puisi
agar tak terjebak kalimat yang klise dan deskriptif.
Yang personal dalam
puisi, sebetulnya sangat asyik—jika dapat dinikmati oleh pembaca. Maman S
Mahayana mendukung usur personal dalam puisi: “Puisi yang dapat dinikmati
dengan baik adalah puisi yang mengandung unsur personal, namun dapat dirasakan
secara universal”. Dan agar dapat dirasakan oleh universal merupakan PR
bagi tiap penulis.
Ada istilah yang
dipopulerkan oleh Hasan Aspahani, “Mau bilang apa dengan cara bagaimana”,
menunjukkan bahwa unsur personal penting guna membangun sebuah puisi. Beliau
mengajak kepada kita lebih dari sekedar mengekspresikan diri, namun juga
kreatifitas menulis. Beliau sepakat dengan Sapardi Djoko Damono yang menuliskan
Bilang Begini Maksudnya Begitu.
Unsur Luar Puisi
Puisi memanglah sebuah
karya fiksi, namun patut diketahui bahwa ada unsur ekstrinsik, yang mana ada
unsur berasal dari luar teks, salah satunya individu penulis, misalnya seperti:
sumber bacaan, perasaan, pengalaman, dan bahkan ideologi.
Hal yang saya ingat
pada puisi Muhammad Riyadi yang terbit di Sastramedia.com (5/15/2022) dengan
judul Penyakit di Pagi Hari, Jam 6:30. Puisi tersebut merupakan
puisi yang membawa unsur personal. Saya ingat sahabat saya ini, menuliskan
puisi pada saat dirinya sedang sakit, dan mungkin ia menyuntingnya lagi ketika
sehat. Dengan unsur ekstrinsik inilah puisi dibangun Riyadi.
Penyakit di Pagi Hari,
Jam 6:30
keinginan bunuh diri
selalu meningkat menjadi 46%
dalam botol-botol cap
orang tua yang tersisa setengah,
setiap malam. ada
keributan antara perut & dapur yang
kehabisan bahan-bahan.
& aku selalu gagal memahami
kesedihan kamar mandi,
jendela pagi, & bunga-bunga.
kamar tidur adalah
bestie masa kini. Ada obat-obatan,
vitamin c, air putih,
& kehangatan kekasih yang tertinggal di
bantal guling. aku
adalah buku yang kau ambil untuk
sekadar menutupi
payudaramu, bukan hari-hari lalu
sebelum kau mengenalku.
hufft! pagi begitu cerewet pada
berita meeningkatnya
penyakit di televisi yang kau nyalakan,
tapi tak kau tonton itu.
6:30 am tubuhku adalah
cairan pocari sweat: biskuit roma
yaang tersisa satu
bungkus, pakaian kotor yang hangat. &
kepalaku yang jatuh di
pahamu, berkata kepadaku: matikan
televisi, kau akan
sembuh.
Bekasi, 2022.
Puisi yang dibangun
dengan unsur personal bukanlah serta merta hasil curhatan. Lebih dari itu,
puisi mengandung (dan terkandung) imajinasi, simbol, dll. Barangkali dalam hal
ini, puisi seperti yang pernah dikatakan seorang penyair India sekaligus tokoh
sufisme barat, Hazrat Inayat Khan ”bentuk yang telah diciptakan oleh
pikiran” ketika beliau membicarakan pikiran dan imajinasi.
Dalam puisi Muhammad
Riyadi juga terkandung imajinasi. Lihatlah bunyi “dalam botol-botol cap
orang tua yang tersisa setengah”. Meskipun puisi yang personal, namun saya
tahu, ia tidak suka alkohol. Di sinilah ia mematahkan unsur personal dengan
imajinasinya.
Berbeda dengan
puisi-puisi personifikasi yang justru memasukkan unsur personal pada
imajinasinya, ini sudah menjadi rahasia umum. Banyak puisi personifikasi (yang
barangkali) mengandung unsur personal. Dengan menghidupkan benda-benda mati,
penulis menyembunyikan dirinya. Namun dengan begitu, tak menutup kemunginan
juga puisi personifikasi adalah hasil riset dan pengamatannya kepada
kehidupan.
Kembali pada puisi
Muhammad Riyadi, ada pula bunyi “ada obat-obatan/ vitamin c, air putih,
& kehangatan kekasih yang tertinggal di/ bantal guling,” benda-benda
yang disebutkan bukanlah ikon belaka. Ia memberi kisi-kisi agar kita (pembaca)
menebak-nebak penyakit apa yang dideritanya. Barangkali pembaca sekalian sudah
bisa menebak penyakitnya—ketika awal tahun 2022, dikaitkan dengan ‘vitamin
c’.
Personal yang Universal
Ada Perkataan Subagio
Sastrowardoyo yang menjadi pegangan bagi saya: “puisi tidak dinilai dari
seberapa banyaknya air mata yang jatuh.” Kutipan ini, saya ambil dari
tulisannya yang berjudul Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri, yang
dimuat dalam Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia
yang Relevan.
Tulisan yang personal (biasanya
dalam puisi liris yang mengunakan aku lirik), yang ‘mengutamakan’ kesan dan
pesan agar pembaca juga merasakan apa yang dirasakan penulis, kadang perasaan
tersebut menjebak penulis ke dalam kalimat yang deskriptif dan prosais,
sehingga dengan penargetan demikian, keindahan bahasa menjadi tersingkirkan.
Inilah yang biasa ditemukan di media sosial, baik facebook, instagram atau
twitter—yaitu penulis yang dirasa kurang bahan bacaan, atau bahkan tidak
membaca sama sekali karya penulis lain masa kini.
Puisi personal (dengan
aku lirik) yang universal, mungkin sudah banyak ditulis. Salah satunya yang
sangat populer adalah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Aku
Ingin.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
diucapkan
Kayu kepada api yang
menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak
sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang
menjadikannya tiada
1989
Puisi tersebut bukan
hanya dapat dirasakan secara individu penulis, namun para pembaca dapat
merasakannya. Tak jarang pembaca mengapresiasi dengan cara membacakannya pada
sebuah acara, atau mempotret lalu menjadikan status di media sosialnya. Bahkan
pernah juga saya lihat puisi tersebut digunakan untuk menghiasi deskripsi foto
pernikahan Wagub terpilih Lampung, Chusnunia Chalim, dalam unggahan
instagramnya. Pernah diberitakan Tribun Lampung pada 21 Januari 2019.
Aku lirik yang
dituliskan Sapardi Djoko Damono membuat para pembaca terkagum, coba kalau tak
ditulis dengan sudut pandang orang pertama, mungkin hasilnya dan kepopulerannya
akan berbeda. Itulah kekuatan personal (aku lirik) yang dapat menyentuh
universal. Akan tetapi tidak melulu yang universal itu dapat dirasakan dengan
ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama, ada pula yang ditulis dalam
berbagai sudut pandang.
Setelah membaca puisi,
ada respon yang muncul pada perasaan pembaca, respon inilah yang barangkali
dianggap universal. Baik berupa perasaan marah, sedih, bahagia, dll. Namun
dengan kehendak penulis yang menguniversalkan puisinya, kadang menjebaknya
kepada perasaan yang hanya itu-itu saja.
Draft.doc - Imam Budiman
SajakImam Budiman
Draft.doc
doc.satu
aku daftar isi tanpa halaman.
merawat setiap bab tubuhmu,
tanpa mengenal
pengantar,
sebuah
prolog,
atau profil
pengarang.
doc.dua
aku indeks tanpa rujukan.
tak berkandang, tak tahu
jalan menawar
pulang
hanya
teks
kosong.
doc.tiga
aku sebuah manuskrip
yang lupa dirapikan
sampai hari
ini.
Ciputat, 2022