TERKINI

Air Yudhistira ANM Massardi - Hikmat Gumelar

KONTRIBUTOR 3/19/2023

Air Yudhistira ANM Massardi

Hikmat Gumelar



Puisi itu seperti sungai. Sungai yang terus mengalir membawa saya hingga nun jauh ke Mesopotamia. Di situ, para sejarawan dunia bersetuju bahwa peradaban pertama kali muncul. Mulai pada sekitar 3500 SM, di daerah yang pula disebut sebagai Bulan Sabit Subur itu pertanian beririgasi berkembang, teknologi terutama terkait pertanian, peternakan, dan arsitektur dihasilkan, aksara dan tulisan diciptakan, dan kota dengan dikelilingi tembok didirikan. Semua itu bertemali dengan Mesopotamia, sebuah nama yang diberikan oleh orang Romawi dari bahasa Yunani purba yang berarti “tanah di antara dua sungai”.

Begitulah memang nyatanya. Mesopotamia adalah tanah berbentuk sabit yang diapit dua sungai. Orang Sumeria sendiri menyebut sungai di sebelah barat Uruttu, sedangkan sungai di sebelah timur disebut Idiglat. Orang modern, seperti kita, lebih mengenal kedua sungai itu Efrat dan Tigris. Lepas dari perbedaan penamaan, keduanya setahun sekali meluap. Luapannya membanjiri dataran di tepi-tepinya. Selain meninggalkan endapan lumpur, banjir tahunan ini menyapu apa-apa yang merupakan hama tanaman. Jadilah dataran tepi dua sungai itu bentangan tanah subur dan bebas hama. Tanaman pangan hasil domestikasi pun, seperti jelai dan gandum, tumbuh subur. Produktivitasnya pun meningkat menyusul penggunaan irigasi dan teknologi serta dijalankannya pembagian kerja seiring dengan diciptakannya aksara dan tulisan. Tahun ke tahun surplus produksi pangan meningkat. Populasi pun bertambah, yang berarti begitu pula dengan tenaga kerja. Inilah yang yang menjadikan air di Mesopotamia diyakini sakral, sumber hidup dan kehidupan.

Begitu pula di Mesir purba. Dalam kurun waktu hampir bersamaan, peradaban Mesir purba pun tumbuh di tepi sungai yang setahun sekali meluap. Sungainya sungai Nil, yang hulunya di pegunungan yang sekarang masuk wilayah Etiopia. Beberapa abad sesudahnya, peradaban India purba pun tumbuh di tepi dua sungai: Indus dan Gangga. Tepi sungai Kuning dan sungai Yangtze adalah tempat mula tumbuh peradaban purba Cina. Semua peradaban tersebut, yang pengaruhnya hingga kini terus turut membentuk peradaban-peradaban di dunia kita, tumbuh dengan dasar kepercayaan bahwa air itu sakral. Air itu sumber kehidupan.

Orang Indian Amerika hari ini begitu juga. “Kami percaya bahwa air adalah mahluk suci,” kata Caleen Sisk, pemimpin spiritual dan kepala suku Winnemem Wintu, yang mempraktikkan budaya dan upacara tradisional mereka di wilayah mereka di sepanjang Sungai McCloud di California Utara. “Air adalah salah satu makhluk paling kuat yang ada, dan memilih di mana harus berada.”

Puisi berjudul “Aku Tak Ingin Jadi Api” yang terdiri dari empat bait itu ditulis oleh Yudhistira ANM Massardi. Seluruh kata-katanya adalah kata-kata yang galib digunakan dalam kehidupan sehari. Tak ada satu pun kata arkaik, kata yang sudah tak galib dipakai. Tak pula ada satu kata pun yang hadir sebagai metafor. Tipografinya pun tak tampak berupa simbolik. “Aku Tak Ingin Jadi Api” pun sekilas menjadi terlihat biasa-biasa belaka. Namun, justru dengan begitu, puisi ini menjadi berdaya tinggi menghadirkan apa yang oleh Caleen diyakini sebagai “mahluk suci” dan “salah satu mahluk paling kuat” yang setiap hari senantiasa hadir, bahkan pun di dalam tubuh kita sendiri.

Memang ada narator. Namun narator “Aku Tak Ingin Jadi Api” hadir lebih untuk lebih menghadirkan air. Hadir dengan suaranya sendiri dalam konteks percakapan dengan mahluk-mahluk yang bertalian erat dengan keberadaannya; hutan, gunung, kita (manusia).

Urutan percakapannya serupa anak tangga, dari bawah ke atas, dari hutan ke gunung ke manusia. Urutan demikian menjadikan “Aku Tak Ingin Jadi Api” berhasil menyampaikan keinginan air dengan menyentakkan, yang dengan sentakan di akhir larik akhir keinginan air menjadi terasa menujah.

Judulnya adalah larik awal dari setiap bait. Repetisi ini tidak melemahkan, tapi malah menguatkan gagasan dan intensitas emosi, karena larik pertama itu pembuka percakapan dengan mitra yang berbeda-beda dan ucapan air berikutnya pun berbeda-beda serta sekaligus menambah kuat pijakan keinginan air. Biar lebih terang, mari kita baca sepenuhnya puisi yang pertama kali saya baca dalam Pameran Gatal: Gambar, Kata, Digital di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung, Sabtu, 4 Maret 2023, ini:

“Aku tak ingin jadi api,”

kata air kepada hutan yang dihabisi.

“Aku pun tak ingin jadi manusia,

yang membantai pohon-pohonku tanpa henti.”

 

“Aku tak ingin jadi api,”

air berkata lagi, kali ini kepada gunung.

“Manusia sudah memojokkan api ke dalam dusta.

Dusta akan melongsorkanku ke dalam dosa.”

 

“Aku tak ingin jadi api,”

kata air kepada kita

“Sebab semua kesucianku sudah menggenang

Sebagai noda.”

 

“Aku tak ingin jadi api.

Sembunyikan aku dalam matamu.”

Seperti telah kita baca, pada bait pertama, air berkata “kepada hutan yang dihabisi”. Pemicunya mungkin hutan yang dihabisi, yang menjadikan air sakit dan khawatir. Hal ini karena air dan hutan saling mengandaikan. Tanpa hutan, tak akan ada air tanah, mata air, air terjun, sungai, danau, rawa, laut, pun tak ada hujan. Tanpa air, tak akan ada hutan. Maka, kepada hutan yang gundul, yang mungkin tinggal hamparan tunggul-tunggul bekas gergaji dan / atau kobaran api, setelah mengatakan “Aku tak ingin jadi api,”, air menegaskan, “Aku pun tak ingin jadi manusia, / yang membantai pohon-pohonku tanpa henti.”

Pohon-pohon disebutnya “pohon-pohonku”. Sebutan tersebut menampakkan kesadaran air bahwa keberadaannya dimungkinkan dan memungkinkan pepohonan. Keberadaan mereka serupa sumsum dan tulang. Hutan pun tentu saja tak akan ada kalau tak ada pepohonan. Akan tetapi, manusia, yang mustahil hidup tanpa air, membantai pepohonan tanpa henti.

Pada bait kedua, air berkata lagi, kali ini kepada gunung. Selain memulai dengan mengatakan yang dikatakannya kepada hutan, air pun mengatakan alasan kenapa ia tak ingin jadi api: “Manusia sudah memojokkan api ke dalam dusta. / Dusta akan akan melongsorkanku ke dalam dosa.” Di sini api malih, dari sumber cahaya ke sumber kegelapan, dari sumber pencerahan ke sumber penyesatan. Jika air mengalami kejadian seperti api, ia longsor ke dalam dosa. Penggunaan kata dosa, yang berasal dari ranah agama (spritual), menyiratkan bahwa air adalah mahluk suci. Penyampaian ini ke gunung pun adalah sepatutnya. Seluruh sungai di dunia berhulu di gunung. Di kaki gunung-gunung pula memancur mata air-mata air.

Dari tersirat, perasaan air sebagai mahluk suci menjadi tersurat pada bait ketiga. Ketika berkata kepada kita, selain mengatakan lagi “Aku tak ingin jadi api,”, air menyatakan alasan lain lagi, yakni bahwa “semua kesucianku sudah menggenang / sebagai noda.“ Teranglah air sebagai mahluk suci tak ingin ternoda. Devaluasi ini biang penyebabnya adalah kita, manusia.

“Banjir”, puisi Yudhistira yang pula dipajang dalam Pameran Gatal, meneguhkan itu. Puisinya yang terdiri dari tujuh bait ini menghadirkan air yang menjadi banjir, menjadi “seperti dosa / mencemaskan ruh”, menjadi “Seperti pembunuh”, mabuat “Lumpur dan bau mengunci semua pintu / Kasur dan sofa, lemari baju dan dapur / menjadi perahu tersungkur / Kebahagiaan terkubur.” Tragedi ini akibat ulah manusia yang membangun “kota-kota yang angkuh / sunga-sungai yang jorok dan kampung-kampung / yang membiarkan got-gotnya mampet.”

Memandang tragedi demikian sebagai peristiwa biasa saja dapat membuat kita lupa. Lupa bahwa, misalnya, peradaban besar seperti Mesopotamia, yang antara lain menadai dirinya dengan epik spektakuler Gilgamesh dan menara Babel, porak-poranda oleh luapan bah. Luapan yang bukan dari sungai benar, namun terutama dari kedangkalan, keserakahan, dan keangkuhan manusia.

Karena mereduksi air, menjadikannya hanya sebagai komoditas, India, Cina, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam kini juga berkepanjangan dilanda banjir dan kekeringan eksterm sekaligus. Begitu juga dengan hampir semua negara Eropa dan Amerika Serikat. Indonesia tentu saja bukan kekecualian. Kian banyak kota di negara ini menjadi langganan banjir dan kekuaran air bersih.

Meski demikian, air Yudhistira tidak membenci manusia. Sebagai mahluk suci, airnya tetap saja mencintai manusia, menyayangi kita. Saya merasakan ini dari permintaannya pada larik akhir “Aku Tak Ingin Jadi Api”: “Sembunyikan aku dalam matamu.”

Kalau air tak meluap dari pelupuk kita, kita tak terluka, tak berduka, tak kehilangan. Kita amat mungkin bahagia. Inilah mimpi air Yudhistira.

Untuk mewujudkannya, secara tersirat, Yudhistira seperti menggemakan Sidharta dalam novel Herman Hesse. Ketika ke tepi sungai untuk mengantar pulang Govinda, Sidharta diminta untuk memberinya nasihat. Sidharta memenuhi permintaan sahabat masa kanaknya itu dengan mengucapkan, “Dengarkanlah sungai karena sungai menyimpan seribu suara.”   

Manzil - Syadza Z. Nufus

KONTRIBUTOR 3/19/2023

Manzil

Syadza Z. Nufus



Badanku seperti terlempar. Aku terpaksa bangun dari tidur.

Aku menoleh ke televisi. Seorang penyiar berita terkenal, Maira Koeswoyo, membacakan berita mengenai tuntutan warga perkotaan untuk pembukaan lapangan pekerjaan baru akibat penutupan pertambangan batubara. Aku menghela napas karena termasuk salah satu warga yang membutuhkan pekerjaan. Tetapi, aku tidak memilih melakukan demo di depan kantor pemerintah seperti kawan-kawan seperjuangan.

            Tenggorokanku terasa gatal. Kemudian, aku memilih bangkit lalu menuju dapur untuk mengambil segelas air. Untungnya aku masih bisa membeli air yang ketersediaannya juga tergolong langka di kota ini. Aku mengetukkan gelas di meja. “Ahh…lega!”   

            Enam bulan sudah berlalu sejak aku mengalami PHK. Ya, aku adalah salah satu karyawan di perusahaan pertambangan kota ini. Perusahaan yang besar. Beberapa petinggi perusahaan malah termasuk dalam jajaran pemerintahan negara. Televisi memutar kembali rekaman orang-orang yang turun ke jalan. Orang tua, muda, hingga anak-anak aku lihat turut memperjuangkan haknya. Keluhannya sangat jelas membutuhkan lapangan pekerjaan baru. Orang-orang itu meminta pemberian insentif sebagai stimulus penggerak perekonomian kembali. Urusan perut memang sudah tak bisa ditawar.

Sebagai korban, aku punya pandangan yang sangat berbeda. Menurutku, pihak perusahaan tidak salah langkah. Tak ada lagi lahan yang dapat dikeruk. Cadangan batubara sudah habis tepat di tahun ini, 2035. Aku memejamkan mata sembari merebahkan tubuh. Bayangan wajah Supri mulai terlihat dalam kepalaku. Supri adalah teman dekatku di kantor. Dia orang yang paling vokal dan berhasil mengajak kawan-kawan lain untuk turun ke jalan. Kecuali aku. Aku menolak dengan halus. Entahlah, aku merasa pesimis. Aku merasa telah berkhianat dengan ajaran guruku. Suara beliau terngiang kembali dalam benakku saat membacakan arti dari sebuah ayat dalam kitab suci. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Tuhan menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”

Begitulah penyesalan selalu datang terlambat. Akibat mengabaikan ajaran guruku, aku harus menganggur hari ini. Rasanya tak ada lagi harapan yang tersisa. Ingatanku melompat lebih jauh lagi, saat aku menerima pengumuman diterima sebagai karyawan di perusahaan tambang batubara. Aku tersenyum lebar ketika memberitahukan kabar ini lewat telepon kepada Mamak. Pertanyaan Mamak hari itu cukup membuatku tersentak, “Kau yakin mengambil pekerjaan ini, Nak?”

Aku juga ingat berhasil meyakinkan Mamak. Dugaanku, Mamak bertanya seperti itu karena aku sangat suka bermain di hutan. Mamak mungkin punya keyakinan aku tak akan mampu merusak hutan, tempat bermainku, hanya demi uang. Tapi begitulah manusia. Uang adalah alat tercepat untuk memutarbalikkan hati. Padahal, sepuluh tahun yang lalu seharusnya aku memilih bercocok tanam saja. Walaupun pada akhirnya kotaku akan sekarat juga. Karena tak akan kehabisan pekerja yang bersedia sebagai pengeruk alam, setidaknya aku tak harus dilanda perasaan bersalah seperti ini.

            Aku melangkah menuju teras balkon. Rasanya malam ini sangat gerah. Sejak tadi mesin AC sudah menunjukkan suhu yang paling rendah. Tapi, naiknya suhu lingkungan dan kelembapan semakin menguatkan udara kering di sekitar. Kotaku telah rusak. Dan aku pun turut ambil bagian di dalamnya.

            Telepon genggamku berdering di atas meja. Aku bergeming. Rasa malas begitu menggerogotiku hari ini.

            “Paling itu telepon dari Cania.”

            Aku melemparkan pandangan ke langit. Diam-diam berharap kekacauan di luar sana segera berakhir.

***

Suara ketukan pintu membangunkanku. Aku merasa enggan untuk melangkahkan kaki ke depan pintu. Namun, semakin lama aku menunda, frekuensi ketukannya semakin nyaring.

            “Iya, sebentar!” aku memekik nyaring dari balkon. Kemudian, aku berlari kecil menuju pintu depan. Saat membuka pintu, kurir itu mencoba tersenyum kepadaku. Walaupun, aku yakin wajahku tampak kesal padanya.

“Mas, ini ada paket,” ucap Kurir.

            Aku mengernyitkan dahi sembari menerima paketnya. “Dari siapa?”

            Kurir itu pun memberikan aku selembar kertas sebagai tanda terima. “Kurang tahu, Mas. Tolong tanda tangan di sini.”

            Setelah aku memberi tanda tangan, kurir pun bergegas memacu motornya kembali. Awalnya, aku merasa ragu untuk menerima paket ini. Tapi, kalau aku tolak malah akan memberatkan pekerjaan sang kurir.

            Aku menaruh paket tersebut di atas meja. Kedua mataku tak lepas mengamatinya. Paket ini tidak terlalu besar. Ukurannya hanya seperti kotak sepatu. Lapisan luarnya dibungkus dengan plastik berwarna hitam. Hal menarik lain terdapat selembar kartu ucapan yng ditempel pada bagian luar. Aku mencoba mengambil kartu ucapan tersebut. Banyaknya lapisan isolasi bening di atas kartu ucapan menyulitkanku untuk membukanya.

            Akhirnya, kartu ucapan itu dapat dilepaskan dari kotaknya. Aku membaca dengan perlahan. “Untuk penjaga manzil, masih ada waktu untuk memutar semuanya kembali.”

            Rasa penasaranku terhadap isi paket itu semakin membuncah. Aku bergegas mengambil gunting di dalam laci meja untuk membuka paket ini. Seberkas sinar terang keluar memancar saat kotak paket terbuka.

            “Paket apa ini?”

            Aku melompat dari kursi. Perlahan aku melangkah mundur menjauhi meja. Paket ini tak berisi rangkaian peledak. Tapi, aku merasa bingung dengan sinar terang yang dipancarkannya. Butuh waktu lama, sinar yang terang itu untuk meredup. Aku masih takut. Walaupun aku juga mengintip isinya dari kejauhan.

            “Bibit pohon?”

            Aku mengeluarkan bibit tersebut dari dalam kotak lalu membawanya ke atas. Banyak pertanyaan-pertanyaan muncul dalam kepalaku. Seperti, siapa yang mengirimnya atau jenis bibitnya.

            Kemudian, aku berlari menuju kamar untuk mengambil buku identifikasi tumbuhan. Aku belajar biologi di bangku perkuliahan. Hal seperti ini tentu mudah untukku. Langkah pertama yang aku lakukan adalah melihat bentuk morfologi daun. Aku menyisir tiap baris kalimat pada halaman dengan teliti. Namun, tak ada satu pun yang sesuai dengan bibit pohon ini.

Aku tak menyerah. Langkah kedua yang aku lakukan adalah melihat bentuk akarnya. Hasilnya tetap sama. Tak ada satu pun keterangan yang dapat membantuku mengenali bibit pohon ini.

Aku merebahkan badan kembali. Mataku memandangi langit-langit ruangan. Anehnya, aku ingin menyalakan televisi. Sebuah gambar muncul di hadapanku. Reporter perempuan sedang bertanya pada narasumbernya. Aku membaca tulisan di bawah gambar tersebut. “Kemunculan bibit pohon ajaib.”

Narasumber bercerita kalau dia mendapatkan bibitnya di pagi ini. Seseorang mengirimkannya melalui kurir. Dia juga bercerita kalau bibit ajaib itu memancarkan sinar yang terang. Persis seperti bibit di hadapanku.

Tanganku bergetar saat memencet tombol pengendali untuk mematikan televisi.

“Mungkinkah ini bibit yang sama?”

Aku memutuskan menelepon Supri untuk membantuku menanam ini.

***

            Hari sudah sangat larut. Aku dan Supri belum juga sampai ke rumah Mamak di kampung. Musibah menimpa kami berdua hingga harus menyerahkan mobil kepada para begal di sekitar perkebunan sawit ini.

            Aku mengajak Supri untuk duduk sebentar. Supri pun menghentikan langkahnya. “Kamu baik-baik saja?”

            “Iya, Sup. Mobil itu juga masih harus dibayar cicilannya. Aku senang tak perlu membayar cicilan lagi karena kejadian ini.”

            Supri mengambil bibit dari genggamanku. “Gara-gara bibit ini. Seberapa yakin kamu kalau ini bibit sakti?”

            “Yakin, Sup. Ciri-cirinya mirip dan bukan hanya aku saja yang mendapatkan bibit ini di kota. Kamu bisa lihat, kanan-kiri hanya ada tanaman sawit. Kampung ini harus mendapatkan tuah yang sama dari bibit itu.”

            “Iya, aku mengerti. Bibit ini sangat bernilai. Aku yakin banyak orang yang mau membelinya di luar sana.” Supri tak mendebat perkataanku.

Angin malam terasa menusuk hingga ke tulang. Rasa lelah mulai menghinggapi kami berdua. Bayang-bayang seberkas sinar terlihat dari kanan. Sinar itu semakin mendekat. Kemudian, mobil itu berhenti tepat di hadapan kami. Sebuah truk bermuatan kelapa sawit.

“Kalian mengalami pembegalan, ya?” Supir itu bertanya pada kami. Dia mengeluarkan kepalanya dari jendela.

“Iya, Pak. Kami mengalami musibah,” sahut Supri.

“Ya sudah, kalian ikut saya. Masih kuat untuk naik, kan?”

Aku mengangguk. “Kuat, Pak.”

Pak Sopir menginjak pedal gas dan truk yang kami tumpangi kembali melaju di jalan. Dia tak bertanya apa-apa pada kami berdua. Namun, sesekali menawarkan minuman dan beberapa makanan ringan yang dimiliki untuk kami. Supri tertidur. Dia  memaksakan diri saat melawan para begal untuk mempertahankan mobilku.

“Kasihan sekali kalian berdua. Dari kota ya?”

“Iya, Pak.”

“Situasi di kota pasti kacau. Warga di sini juga mengalami kelaparan. Lahan-lahan pertanian mulai tergerus karena sawit-sawit ini. Tapi, rasanya warga kota sangat barbar untuk urusan perut ya?”

Aku menelan ludah. Omongan Pak Sopir itu ada benarnya. Manusia yang katanya berbudaya itu berubah menjadi manusia rakus yang mengutamakan kepentingannya sendiri. “Begitulah, Pak. Makanya saya ingin kembali ke rumah untuk bertemu dengan Mamak.”

“Baiklah, saya akan mengantarkanmu dan temanmu hingga depan gerbang kampung.”

Keheningan menyeruak di antara kami. Aku berusaha agar tak tertidur. Rasanya kurang sopan setelah diberi tumpangan malah tertidur. Tetapi, mrasa kantukku semakin tak tertahankan. Perlahan, suaranya terdengar sayup-sayup.

***

            “Bangun. Kita sudah sampai.” Supri menggoyangkan tubuhku beberapa kali. Aku mengucek mata berulang kali. Gerbang kampungku sudah terlihat jelas di depan mata. Aku langsung turun keluar truk.

            “Sup, kamu tidak ikut?”

            Supri menggeleng. “Aku langsung menumpang balik ke kota. Ingin melanjutkan berdemo. Tak enak sebagai koordinator malah menghilang.”

            “Baiklah.”

            Aku pun berpamitan dengan Pak Sopir dan Supri. Kemudian melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki ke rumah. Rumahku tak jauh dari gerbang kampung. Rumah berwarna biru dengan halaman yang luas. Sebelum aku berangkat ke kota, rumahku sangat rimbun dengan tanaman. Namun, setelah perluasan lahan sawit di kampung sepertinya mempengaruhi kualitas tanah. Mamak bercerita kalau tanamannya tampak kerdil dan daun-daunnya sedikit. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur pada Tuhan saat melihat rumahku terutama melihat Mamak yang sedang menyapu di halaman. Senyum lebar terpasang di wajahnya.

            Mamak memelukku erat. “Akhirnya, kamu sampai dengan selamat. Mamak sudah menyiapkan sarapan di meja. Menu kesukaanmu, oseng pakis.”

            “Terima kasih, Mak. Tapi, ada yang harus aku lakukan.”

            Mamak melirik ke arah bibit yang aku bawa. “Soal bibit itu?”

            “Iya.”

            “Ya sudah. Mamak mau mandi dulu.” Mamak bergegas masuk ke dalam rumah.

Aku pun tak sabar langsung membongkar bibit dari dalam tas. Bibit yang aku dilindungi dengan segenap harta benda berupa mobil cicilan. Perasaan ragu mulai muncul saat melihat warna polybag yang berbeda. Saat aku membuka paket di rumah, polybag berwarna kuning. Sekarang berubah menjadi warna hitam. Kecurigaan-kecurigaan muncul di kepala. Mungkin Supri yang menukarnya. Mungkin juga Pak Sopir.

“Ah, tidak mungkin.”

Kemudian, aku langsung menggali tanah dengan sekop kecil yang diselipkan pada pagar. Lubang yang kubuat tidaklah besar. Kira-kira berdiameter 25 cm dengan kedalaman 10 cm. Aku mengeluarkan bibit pohon tersebut dari polybag dan memasukkannya dalam lubang. Terakhir, lubang itu aku tutupi lagi dengan tanah di atasnya. Aku menunggu dengan sabar. Sepuluh menit berlalu, dua puluh menit berlalu, hingga tiga puluh menit tak ada keajaiban yang muncul di hadapan.

“Mungkinkah kecurigaanku benar?”

Aku memungut kembali polybag yang tergeletak di tanah. Mataku mencari informasi tertentu yang mungkin saja melekat pada polybag.

“Made In China,” ucapku terbata-bata. Aku geram. Seketika aku ingin sekali meninju wajah Supri dengan keras.

Foto Sepeda Masa Kecilku - Romzul Falah

KONTRIBUTOR 3/19/2023
Romzul Falah
FOTO SEPEDA MASA KECILKU




Biarlah itu seperti seruan senjata api yang
menembaki anak-anak di kamp pengungsi,

melempar aku ke hari-hari yang dilumpuhkan—
kini, & ruji-ruji yang menjadi jarum arloji.

2005, di sadel sepeda kecilku, ada tangan ibu
dari masa depan memegang rahasia musim

perang & gita puja yang baru kutahu maknanya,
ransel Spider-Man milikku menyalakan cahaya

cinta dari punggungnya, & melalui tangan itu,
separuh dari usiaku pergi menuju rumah dalam

buku gambar: membersihkan kesepian di dapur,
menonton sinetron & kampung terbakar di TV,

mengenakan baju keluarga bertulis “Happy Family”
yang tidak pernah menjadi masa kini & masa lalu.

Biarkan sepeda itu menjaga album foto-foto ibuku
juga seorang lain menggendong bayi yang masih merah

tomat. Garis-garis wajah mereka dibungkam laras panjang—
tidak, di kepalaku semuanya terus menangis, seperti yang

ingin dilupakan kota: di trotoar & kolong jembatannya.
Biarlah itu sebagai penanda masa kecilku & suara

semua orang memanggil namaku yang tidak lagi
terdengar, tidak lagi diingat atau diketahui siapapun,

hilang bersama jeritan perempuan memeluk
hidupnya sambil mengucap ribuan maaf.

Dan Segala Ketabahannya - Hari Alfiyah

KONTRIBUTOR 3/19/2023
Hari Alfiyah 
Dan Segala Ketabahannya




panggilan khasnya
masih terasa akrab,
meski bertahun sudah
temu ditimbun pisah.

lapang dadanya sempat aku rasakan
menjadi tempat bermain yang nyaman,
tak ada batu yang bakal membuat hati jadi ngilu.
dialah taman sekaligus teman bermain
saat seluruh kesalku semakin susah diterjemahkan.

tak ada siang yang bakal membakar rambutku.
sepenuhnya adalah pagi yang tenang.
dan dia adalah bahasa santun yang dikirim Tuhan
untuk menjinakkan seluruh liarku yang binatang.

perlahan alif yang tegak menghadap langit kueja
hingga tulang-tulang mengeras ditempatnya.
pelan dan pasti sampan ba’ tanpa tiang layar kubaca
hingga darah menjadi amuk gelombang yang memanas. 

keluh ditubuhnya menjadi benih yang tak sempat tumbuh.

dan dengan ketidaktahuanku 
berusaha kupahami detak jantungnya
meski yang datang kepadaku
hanyalah tanda tanya. 
hanyalah tanda tanya.

Apakah Ini Kita Sedang Makan Malam - Ngadi Nugroho

KONTRIBUTOR 3/19/2023
Ngadi Nugroho
APAKAH INI KITA SEDANG MAKAN MALAM




Di atas meja tersaji lauk hari kemarin yang selalu dihangatkan. Tak tersentuh denting piring, sendok & garpu. Tak tersentuh lidah dan kecup bibirmu. Kamu selalu saja pulang larut dengan wajah kusut. Aku kehilangan tubuhmu juga nyawamu.  Telah lama sepasang matamu kamu tinggalkan, di layar komputer meja kerja kantormu sepi sendirian. Hatimu telah kamu simpan di dalam sebuah flashdisk mungil warna hitam pekat.  Kamu simpan rapat-rapat dengan kata-sandi yang susah untuk kuingat. Kecupmu pun telah lama hanya milik tepian penutup amplop-amplop surat warna coklat. Selalu saja, aku membayangkan kamu duduk di hadapanku dengan kulit serupa warna kayu. Diam tak bergerak terpaku di kursi itu. Melebur menjadi satu. Memenggal putaran waktu. Dengan rambut yang menjuntai menyentuh dasar ubin yang dingin & beku. Dan matamu, seperti rembulan yang semakin meninggi, mengamati malam-malam kita tanpa bicara. Menidurkan malam yang dini ini di atas meja makan keluarga.

Kaliwungu, 2023

Pesan Universal Tokoh Utama ala Jessica Brody - Sapta Arif N.W.

KONTRIBUTOR 3/12/2023

Sapta Arif N.W.

Pesan Universal Tokoh Utama ala Jessica Brody



Keberadaan karya sastra sebagai refleksi realitas memang benar adanya. Malah kadangkala kita membayangkan sebuah kehidupan ideal yang ada di dalam karya sastra. Meski seringkali, dari karya sastra pula kita menemukan konflik permasalahan yang bahkan tidak pernah kita bayangkan di kehidupan nyata. Itulah sebabnya, ketika menelurkan karya, seorang sastrawan tidak main-main dalam melakukan riset. Diperlukan renungan hingga melancong ke tempat jauh untuk menemukan yang sesuatu disebut dengan ilham. Tidak sampai di situ, untuk merangkai jalinan kalimat yang enak dan apik, mereka harus berjibaku dengan beragam hal. Mulai dari kesulitan teknis, hingga non teknis. Jadi, jika pun, seorang penulis tidak memikirkan pesan/ amanat dalam proses kreatifnya, sesungguhnya secara otomatis telah tersemat dalam karya. Menyatu seperti bagian tubuh telur yang berisi cangkang, putih telur, dan kuning telur.

Dalam seni menulis cerita, peran tokoh utama atau akrab disebut dengan tokoh protagonis memiliki peran vital dalam jalannya cerita. Jessica Brody, dalam buku “Save The Cat! Writes a Novel” edisi terjemahan penerbit Noura, mengatakan bahwa hero/ tokoh utama adalah panduan penulis untuk berjalan menuju dunia fiksinya. Si tokoh utama inilah yang akan digunakan pembaca untuk melacak kemajuan cerita.

Ketidaksempurnaan karakter tokoh utama seolah menjadi pakem menciptakan karakter yang kuat. Mari kita simak tokoh Ahmadi si Kumis tebal yang menyebalkan dalam novel ‘Lampuki’ karya Arafat Nur. Melalui sudut pandang narasi dari tokoh Tengku, Arafat Nur menceritakan bagaimana tabiat buruk Ahmadi. Penulis berdarah Aceh ini menciptakan bias mengenai siapa tokoh protagonisnya. Apakah Ahmadi atau si narator? Dalam menjalani hidup, Ahmadi seringkali menemukan kesulitan-kesulitan. Selain karena dia adalah seorang pemberontak, tabiat buruknya menjadikan Ahmadi dijauhi warga desa. Belum lagi karakter istrinya yang tak kalah kejam dan menyebalkan.

Mari kita juga menengok tokoh Ajo Kawir dalam novel ‘Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas’ karya Eka Kurniawan. Tokoh utama digambarkan sebagai lelaki maskulin yang sayangnya memiliki ‘aib’. Burungnya tidak bisa berdiri! Hal ini menciptakan konflik internal di batin Ajo Kawir. Hingga puncaknya, dia diselingkuhi oleh istrinya. Iteung—istri Ajo Kawir—hamil! Sedangkan Ajo Kawir tak bisa ‘ngaceng’. Kita juga mengenal sosok Jeng Yah garapan Ratih Kumala dalama Gadis Kretek. Atau sosok Magi Diela dalam Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam garapan Dian Purnomo. Dan masih banyak lagi contoh karakter dalam novel yang berhasil digambarkan secara matang oleh penulisnya.

Secara ringkas, Jessica Brody berargumen bahwa tokoh utama yang baik adalah tokoh yang benar-benar ‘layak diceritakan’. Lalu apa indikator tokoh itu layak diceritakan? Pertama, tokoh utama harus memiliki masalah. Masalah yang terjadi pada tokoh utama tidak harus dalam permasalahan secara fisik atau eksternal. Novel yang memiliki daya ulik yang dalam, biasanya menyuguhkan konflik batin yang kuat. Atau Jessica Brody menyebutnya dengan si tokoh utama yang memiliki kekurangan dan harus memperbaikinya. Permainan konflik psikologi tokoh acapkali menjadi senjata penulis dalam meramu jalinan kisah.

Kedua, keinginan. Keinginan berkaitan tujuan yang akan dikejar oleh tokoh utama. Ketiga, kebutuhan. Yang ketiga ini berkaitan erat dengan pelajaran hidup yang mesti disadari. Atau lebih hemat dikatakan begini, tokoh utama yang layak diceritakan adalah tokoh yang memiliki masalah, namun berkeinginan menyelesaikan masalahnya, hingga dia menyadari satu hal penting dalam dirinya di akhir cerita.

Pembaca Haruki Murakami akrab dengan pola tiga babak dalam bercerita. Pola ini diakuinya diadaptasi dari penulis yang difavoritkan, Raymond Chandler. Pola tiga babak ala Murakami dikenal sebagai berikut: kehilangan, mencari, dan menemukan hal baru. Kehilangan dalam hal ini berkenaan dengan konflik internal tokoh utama. Novel-novel Murakami dikenal memiliki konflik pencarian jati diri yang kuat. Di samping gesekan anak konflik yang saling anyam membentuk konflik utama yang kompleks.

Baik pola Murakami maupun Jessica Brody, kita menemukan satu persamaan bahwa konflik internal yang kuat diperlukan penulis untuk membangun kekuatan cerita. Kekuatan karakterisasi dari pengarang tentu sudah menjadi hal yang wajib. Dalam bukunya, Jessica Brody malah menurunkan konflik internal ini menjadi sepuluh pelajaran universal yang bisa dijadikan opsi oleh calon penulis.

Pertama, pengampuan. Baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Kedua, cinta, yaitu bisa cinta pada diri sendiri, cinta keluarga atau cinta romantis. Ketiga, penerimaan, bisa terhadap diri sendiri, orang lain, pada dunia, atau bahkan pada Tuhan. Keempat, keyakinan, bisa pada diri sendiri, pada orang lain, pada dunia, atau bisa juga pada Tuhan. Kelima, ketakutan. Dalam hal ini tokoh akan menghadapinya, menaklukannya, dan bisa juga menemukan keberanian sejati. Keenam, kepercayaan. Ketujuh, ketahanan hidup. Kedepalapan, penaklukan ego. Kesembilan dan kesepuluh adalah tanggung jawab dan penebusan.

Pelajaran universal yang dikemukakan Jessica Brody ini berkaitan erat dengan kebutuhan internal atau kebutuhan batin tokoh. Sebuah kebutuhan yang awalnya tidak disadari hingga menciptakan solusi-solusi yang bersifat semu. Hingga tokoh itu belum menyadari nilai pelajaran universal yang dihadapi/ didapatkannya maka kisahnya tidak akan menemukan ujung cerita. Jessica Brody mengatakan bahwa tokoh utama yang baik adalah dia yang mengalami transformasi diri. Perubahan internal pada diri tokoh utama dalam hal ini layak untuk digarisbawahi. Maka, secara otomatis jika kita berbicara transformasi diri, nilai atau pesan kehidupan sudah pasti melekat. Begitulah cara pengarang menyisipkan nilai/ pesan/ amanat dalam ceritanya.  []

Hakikat Kampung Halaman - Ilham Nuryadi Akbar

KONTRIBUTOR 3/12/2023
Ilham Nuryadi Akbar
Hakikat Kampung Halaman




di kampung halaman
gumpalan awan membelah diri menjadi cermin
para ibu mengernyitkan dahi dengan setumpuk rumput di pundaknya
anak-anak berlari lebih cepat dari tenggelamnya matahari
sedang remaja, utas mengatur pintu segala sibuk.

tanpa tawar-menawar, tanpa diskusi, tanpa tapi,
ada banyak hal yang membuat kau setuju
yang membuat kau merasa takjub 
yang membuat kau lupa diri
hingga kau mengucap ingin
mati di tanah kelahiran sendiri.

Bekasi, 20 Februari 2023.

SAJAK