Sajak-Sajak Pilihan Leon Agusta

@kontributor 4/15/2020
Sajak-Sajak Pilihan Leon Agusta






SUASANA

Waktu datang membawa gerimis
Ingatan kabur
Rindu terpaku dalam sepatu tua
Tak tahu angan kemana mau beranjak

Ada dendang masa kanak
Mengusir kecemasan
Sebelum tidur
Akankah esok masih datang pagi

Membawa salam
Dari nama yang terabaikan?
Semua sudah dimaafkan
Sebab kita pernah bahagia


YA, KITA MEMERLUKAN SEORANG KEKASIH

Bila sungai-sungai bermuara ke lautan
Laut manakah muara bagi sungai dalam hatiku
Bila burung-burung terbang bebas di cakrawala
Manakah cakrawala tempat mengembangkan sayap
Bagi rindu yang menggelepar dalam dadaku
Bila taman-taman pun juga punya pengasuh
Siapakah pengasuh jiwaku yang buncah ini?

Ya, kita memerlukan seorang kekasih
Hatinya bagai lautan dadanya cakrawala
Budinya lembut buat mengasuh dan menjinakkan
Ya, kita memerlukan seorang kekasih untuk
menemani kita membaca kisah-kisah
menampung kecewa dan meredakan gelisah
membukakan pintu di malam larut

Bila angin berlari pepohonan melambaikan jari-jarinya
Siapakah yang melambai bila aku sedang berkelana
Akar pohon-pohon berpegang erat pada tanah dan batu
Tapi jiwaku yang gamang kemanakah hendak berpegang
Akan terkatungkah aku, mencari atau menunggu
Kamarku yang suram merindukan seorang tamu

Ya, kita memerlukan seorang kekasih
Lengan-lengan yang membelai, memagut jadi satu
Menyalakan lampu, mendoa dan menyulam impian
Malaikat-malaikat sorga pun melayang rendah
Ketika Tuhan merestui satu percintaan
Hingga bumi pun simpati, turut serta orang-orang lalu
Sebab demikianlah alam, Tuhan telah ciptakan

1967


SURAT-SURAT BUAT LISA AGUSTA

1.
Malam temaran tanpa angin
Sunyi tergenang di seluruh dataran
Begitu tenang, ketika kudengar kembali
pesanmu sebelum pamit dari kunjungan
menjelang senja:

tulislah
dan kembali
bacalah

tentang kisah-kisah yang terpendam di jalan buntu
tentang nafas yang reda sehabis kecewa
tentang segala yang tak sempat mencatatkannya
yang sesekali melintas samar
bagai jalinan bayang-bayang di siang lengang
tercelup warna hitam keabuan

Ya
Serasa masih ada yang dapat ditiupkan
Pada kejauhan masing-masing, ketiadaan kita
Sebab belum ada jawaban
Di manakah kita telah bertanya
Sebab kita belum mengerti
Sebab kita belum sampai
dalam saat-saat yang teduh
Dan di tembok-tembok yang utuh
Di atas gugus-gugus yang dipertahankan
Awan tergantung beku bersama malam hari

Setelah kembali membacanya, kugoresi
yang harus dilupakan
Belenggu kenangan memabukkan

Belenggu kemanjaan, atau impian
mengambang ke dunia impian yang menjauh
Sebab bila seketika langit merendah
Bumi pun kembali mendebarkan hidup
Busur-busur pun bergetar gempita
terbangkan panah-panah kilatan cahaya
Menembus awan tergantung beku
Menembus malam hari
Menembus rahasia waktu yang diperebutkan

Sementara kita pun ditinggal dan meninggalkan
Mengenang dan dilupakan
Sebelum fana jadi abadi

2.
Lisa. Bukan semata nasib yang memisah
Tapi adalah keliaranku semata
Sedang kau begitu jinak
Kelelaan dan kehinaan hidupku
Kau rangkul tanpa memberi tara
Hingga aku terpaut pada belenggu
keselarasanmu dalam derita

Kini, dalam tak bisa saling menyatukan sunyi
Kita pun jadi tergoda-mungkin
untuk cemas atau mengutuki
Inilah bahasa rindu percintaan kita
Bahasa sepi yang nakal
Gendangnya menikam-nikam

Kemboja di halaman rumah kita dulu
Ditanam bukan buat perpisahan atau menunggu
Kini jadinya begini:
Semuanya tak lagi melengkapkan kita
Kemboja di halaman, kebun cengkeh di belakang
Menjadi pohon airmata

3.
(Api menjilat-jilat dalam mimpiku
hingga aku terbangun
bantal di kepalaku terbakar)

Kabut jatuh dalam jiwaku yang kosong
Hujan tengah malam mulai reda, ketika padaku
mimpi itu mulai menggoda
menampar jantungku jadi gempar
Kilatan warna hitam putih saling melebur
mengendap ke dalam arus menunggu pagi

Selengkapnya adalah nyanyian duka semata
Bergetar pada tonggak-tonggak kenangan padamu.
Jejaknya membekam senantiasa
Penuh aneka permainan
Antara purnama yang kukejar
dan bayang-bayang yang mengejarku

4.
Memang tak perlu saling membujuk lagi
Namun adalah rasa kehilangan
Atas pertemuan yang tak tersesalkan
dunia yang tak tertinggalkan
perpisahan yang tak terucapkan

Berapa kali purnama datang
Kuhitung dengan nafas semakin dingin
Udara kian renggang dalam terali besi

Diamkanlah segala sedih pada yang lain
Jika pun sempat janji sudah tiada.
Sebelum lengkap pesona
Khianat sudah sedia
Sebelum terbuka suara
Pengembara sudah sampai, di sana

Penjara Tanah Merah, Pekanbaru, 1970


PERTEMUAN

Bila tak ada kata untuk dikatakan lagi
Sedikit senyum kan jadi bulan dan matahari

1973


GENDANG PENGEMBARA
: Soeryo Adiwibowo

Sudah sejauh mana pengembaraan kita, cintaku
Negeri-negeri tua sudah kita lintasi. Antara hamparan
rimba kita temukan gua-gua, seperti tertera pada peta
Kota-kota nenek moyang tak pernah tua, tak pernah tua
Selalu dipuja dalam lagu dan kenangan masa kanak

Gedung-gedung baru menggapai langit, ada pula sisa-sisa
pemusnahan. Cerita zaman, prahara berdatangan dan berlalu

Segera setelah senja, sayangku, kita bisa istirahat
Menjemput cerita baru, menyanyikan senandung pengembara

Kita berada di negeri yang sudah lama kehilangan malam
Mendung punya ceritanya sendiri, menghentak jantung
Langit tersedu dalam kesepian yang renta.

Saksikanlah
Orang-orang berkelompok, melupakan nama masing-masing
Mereka adalah kafilah, jemaah pengungsi kehilangan tujuan
Sepanjang perjalanan mereka bertemu berhala-berhala baja
Mereka tak berhenti mengutuknya, sampai ke dalam mimpi
Dalam kumandang lagu yang membuat mereka kesurupan

"Kami tak berani hidup lagi, ya Tuhan.
Berilah kami malam bagi segala malam
Biar mentari tak terbit lagi"
Mereka melolong, sampai jadi tuli, ada yang jadi buta

Mari berpuasa, cintaku, dan panjatkan doa buat mereka

Setiap berbuka kita makan tubuh sendiri sambil bercinta
Diiringi kumandang dukana lagu kafilah pengembara

"Bagaimana harus kupikul dosa pada rakyatku?"

Pertanyaan itu semata kegilaan
Igauan dalam kesurupan
Sebab seperti kau tahu, cintaku
Kita tak punya rakyat laiknya raja-raja atau pun penguasa
Kita sudah menyaksikan derita para jemaah
Kemudian jadi penghuni gua di tepi rimba dekat kota lama
Di mana kita bercinta dengan mimpi dan gema-gema

Sama seperti dulu, saat pertama kali kita berjumpa
Sebelum kita mendengar senandung pengembara dinyanyikan
Dengan mahaduka oleh kafilah yang putus asa
Sementara kita tak pernah berhenti bercinta, sayang
Masih akan terus berpuasa dan berdoa. Menjelang maut
Setiap berbuka kita makan lagi tubuh kita sendiri
Karena hanya dengan demikian kita merasakan hidup
dan cinta seadanya, sentana gendang pengembara

Jakarta, 2006


PEMANDANGAN

Bila kau tak tahu berapa jarak
sebuah bintang dari matamu
aku pun juga tak tahu
Tapi aku lebih tak tahu
berapa jarak tindakan dengan ucapan
yang menyebutkan nama-nama kehidupan

Hingga aku tak bisa berhenti bertanya

Telah kuserahkan resah pada badai
sementara aku tak tahu berapa usianya matahari
Seribu badai mengembalikan resah kepadaku
sementara aku tak tahu kapan padamnya matahari
Semuanya engkau pun tak tahu
Tapi engkau lebih tak tahu
Siapa saja yang ikut mencoret sajakku

Mataku jadi putih
menyaksikan pemandangan yang kita lintasi
sambil memberikan sentuhan-sentuhan kecil

Padang, 1975


SUARA

Kau mengira suaramulah yang menjelmakan angin
Padahal anginlah yang membuat suaramu kedengaran
Dan mengajarmu berbisik, berkata dan bercerita
Tentang risau dan desah yang tak pernah berakhir

Angin tidur di jantungmu dan bermain di hatimu
Hingga ia dapat bercerita tentang kerinduanmu
Untuk diabadikan bagai sebuah kisah yang selalu
dipentaskan dan pemainnya dihidupkan kematian
Seperti Romeo & Juliet menghibur dukacita dunia


KISAH-KISAH BERTABURAN

Kebahagiaan, katamu, pulau mungil dalam gelombang
Pelaut berkayuh kian jauh, istri menyulam doa penantian
Ada pengembara mencari alamat dititipkan kenalan lama
Di sebuah kampung di lereng gunung, sahabat tak terduga
Tapi ia tak sampai ke sana; lereng gunung habis terbakar

Di sepanjang jalan ia selalu mendengar perbincangan:
Apa kisah hari ini? Sudah lama, sama seperti dulu
Para pendekar tajam lidahnya, ditempa merah si bara api

Di televisi, politisi seakan-akan, menyanyikan lagu cinta
Ada pula yang asyik onani tanpa buka celana
Penonton sudah tahu di akhir kisah semua mendengkur

Kami inginkan sebuah epik yang indah; semerdu suara sungai
Dari seribu gunung melintasi hutan-hutan
dan bukit-bukit berliku
Berbisik ke seantero negeri nenek moyang
sambil terus mengalir
Mengantarkan berbagai kisah dari suatu masa
ke masa yang lain

Kini kami ingin dengar sebuah episode dari epik masa kini:
"Kisah-kisah perjalanan uang!"
O, betapa indahnya, persilatan para taipan dan serigala

Dari hulunya, sejak awal bendungan dibuka, kisahkanlah
Dari mana datangnya? Ke mana mengalirnya?
Di ranah mana rimba mana hewan-hewan menyergapnya

Kisahkan pada kami tentang serigala, rubah dan musang
Tikus-tikus berkeliaran, giginya teramat tajam
Kambing-kambing hitam, korban dalih perkilahan

Yang mengembara dari lorong ke kolong yang lain, melolong
Menyaksikan kisah tipu daya yang tak pernah berakhir
Wajah kota megapolitan semakin angkuh, semakin kejam

Dendang dan lagu anak jalanan siang malam tak pernah sepi
Juga ada mahasiswa dan mahasiswi, penjaja seks dan pemabuk
-kisah sehari-hari-
Mereka datang dan pergi, pengembara yang tersesat,
sampai jauh

Ada yang menodong pegawai kantor di dalam bis kota,
Ada penganggur mencat tubuhnya
dengan minyak beckas di pabrik,
Ada yang mati rebutan makanan dengan tikus di tong sampah
Merayakan pembiaran semesta nasib dalam senandung malam

11.02.10

-Sumber: Gendang Pengembara, Leon Agusta, Jakarta: Pustaka Eidos, 2012


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »