SEMANGAT CHAIRIL ANWAR DI ERA MASYARAKAT 5.0
Riri Satria
Sejak beberapa bulan yang lalu, ada satu pertanyaan yang selalu muncul dalam pikiran saya terkait dengan dunia kepenyairan. Mengapa kita memperingati satu abad penyair legendaris Indonesia, Chairil Anwar? Apakah ini sekadar peringatan? Apakah semangat yang perlu kita teladani dari sosok Chairil Anwar untuk menghadapi era digital atau masyarakat cerdas 5.0 ini? Masih relevankah membicarakan Chairil Anwar di era teknologi kecerdasan buatan, robotik, blockchain, dan sebagainya?
APAKAH MEMPERINGATI SATU ABAD CHAIRIL ANWAR HANYA IDENTIK DENGAN MEMBACAKAN SAJAK BELIAU SEPERTI “KARAWANG BEKASI”, “AKU”, DAN SEBAGAINYA? ATAU SEKADAR MEMAJANG FOTO DI MEDIA SOSIAL MIRIP DENGAN GAYA CHAIRIL ANWAR YANG SEDANG MENGISAP SEBATANG ROKOK?
Saya yakin, tentu bukan itu! Saya berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang lebih mendasar untuk kita pahami dan resapi tentang sosok Bung Chairil – jika boleh saya memanggil beliau begitu – yang lebih fundamental atau lebih mendasar yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, alias semangat yang abadi sepanjang zaman.
Bapak, Ibu, serta Hadirin yang saya hormati...
Untuk menjawab itu semua saya mencoba untuk membahas sosok Chairil Anwar dengan menggunakan pisau analisis growth mindset yang digagas oleh Carol S. Dweck serta konsep masyarakat cerdas atau smart society 5.0 yang sedang berkembang saat ini.
Dweck meneliti perihal mereka yang ‘berjalan cepat’ dengan yang ‘jalan di tempat’. Kata kuncinya satu, yaitu mindset atau mungkin terjemahan bebasnya adalah kurang lebih paradigma berpikir. Dalam bukunya Mindset: The New Psychology of Success, Dweck mem-perkenalkan dua jenis mindset, yaitu growth mindset dan fixed mindset. Pendekatan inilah yang akan saya pergunakan untuk memotret apakah membahas Chairil Anwar ini masih relevan dengan perkembangan zaman saat ini?
MANUSIA YANG MEMILIKI GROWTH MINDSET SELALU TERINSPIRASI DENGAN KISAH-KISAH KEBERHASILAN ORANG LAIN DAN MENCOBA UNTUK MENEMUKAN JALAN TERBAIK UNTUK DIRINYA. SEMENTARA ITU, MEREKA YANG MEMILIKI FIXED MINDSET SELALU MERASA DIRINYA YANG PALING HEBAT DAN MENGANGGAP KEBERHASILAN ORANG LAIN ITU TAK ADA ARTINYA, BAHKAN JANGAN-JANGAN CENDERUNG IRI MELIHATNYA.
Mereka yang hanya ‘jalan di tempat’ adalah mereka yang memiliki fixed mindset. Menganggap tantangan sebagai sebuah beban, sesuatu yang menakutkan, sehingga dihindari. Mereka juga tidak terbuka terhadap berbagai masukan serta kritik dari orang lain. Ibaratnya, fixed mindset ini adalah paradigma ‘katak di dalam tempurung’.
Mereka sulit melihat hal-hal baru atau kemajuan, bahkan sering terperangkap dalam romantisme masa lalu. Melakukan kesalahan dianggap sebagai suatu keterbata-san dan bukan sebagai proses belajar, bahkan dianggap sebagai sebuah “dosa”.
Kita bisa saja hebat di masa lalu, tetapi belum tentu saat ini, apalagi di masa depan. Nah, dengan memiliki growth mindset kita akan senantiasa mengembangkan diri dan mampu mengikuti perubahan zaman. Namun sebalik-nya, fixed mindset akan membuat kita menjadi stagnan, malah mungkin digilas perubahan.
MENGAPA MINDSET INI PENTING? KATA DWECK, KARENA INILAH YANG MENGATUR SEMUA PIKIRAN SERTA PERBUATAN KITA SEHARI-HARI. APAKAH KITA AKAN MENJADI PRIBADI YANG BERKEMBANG ATAU SEBALIKNYA.
Namun Dweck juga mengingatkan bahwa pada kenyataannya tidak ada manusia yang 100% memiliki growth mindset, demikian pula sebaliknya, tidak ada juga yang memiliki 100% fixed mindset. Setiap manusia berada di antara spektrum keduanya, somewhere in between, tetapi memiliki sebuah kecenderungan ke salah satunya.
Sementara itu, masyarakat atau society 5.0 yang juga dikenal dengan istilah smart society merupakan penyempurnaan dari konsep-konsep yang ada sebelum-nya. Masyarakat 1.0 adalah masyarakat di mana manusia masih berada di era berburu dan baru mengenal tulisan. Lalu masyarakat 2.0 adalah era pertanian di mana manusia sudah mampu melakukan cocok tanam. Sedangkan masyarakat 3.0 adalah manusia pada era industri di mana manusia sudah menggunakan mesin untuk membantu aktivitas sehari-hari.
Kemudian masyarakat 4.0 adalah masyarakat di mana manusia sudah mengenal komputer digital dan internet untuk berbagi informasi antar sesama manusia. Sedangkan yang terakhir, masyarakat 5.0 era di mana semua teknologi digital dan perkembangannya adalah bagian dari manusia itu sendiri, internet atau dunia siber bukan hanya digunakan untuk sekadar berbagi informasi melainkan untuk menjalani kehidupan.
Komponen utama masyarakat cerdas 5.0 tetaplah manusia –bukan teknologi- yang mampu menciptakan berbagai manfaat dan nilai-nilai baru melalui teknologi serta dapat meminimalisir kesenjangan pada manusia dan masalah sosial ekonomi di kemudian hari. Memang rasanya sulit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia karena di negara kita ini semua bentuk masyarakat yang kita bahas tadi ada semua.
Era masyarakat cerdas 5.0 akan ditandai dengan penggunaan algoritma secara masif menjadi bagian dari kehidupan manusia bahkan menjadi “pengatur” untuk kontrak sosial kehidupan manusia, seperti yang diung-kapkan oleh Brian Christian serta Tom Griffiths dalam buku mereka Algorithms to Live By: The Computer Science of Human Decisions (2016) serta oleh Flynn Coleman dalam bukunya A Human Algorithm: How Artificial Intelligence Is Redefining Who We (2019).
Bapak, Ibu, serta Hadirin yang saya hormati...
Di sisi lain, berbicara tentang puisi, saya sangat berkeyakinan bahwa puisi –yang merupakan bagian dari dunia sastra- adalah sesuatu yang besar. Ada hadiah Nobel untuk sastra, sama dengan ilmu Fisika, Ilmu Kedokteran, Ilmu Ekonomi, dan sebagainya. Betapa terhormatnya posisi sastra dalam peradaban manusia.
Sastra sejajar dengan ilmu pengetahuan atau sains yang membentuk peradaban manusia. Dengan demikian puisi beserta karya sastra lainnya adalah karya intelektual yang mengawal bahkan ikut serta membentuk peradaban.
Jadi, tidak berlebihan dan tidak salah jika puisi juga tidak dapat dipisahkan dari masyarakat cerdas 5.0 supaya perkembangan teknologi yang membentuk masyarakat cerdas 5.0 tidak kebablasan dan mengikis nilai-nilai kemanusiaan kita. Puisi menjaga kita tetap memiliki nurani kemanusiaan dalam kepungan teknologi.
Banyak yang mengatakan bahwa dengan perkembangan teknologi digital dan siber saat ini, aspek-aspek kemanu-siaan mulai memudar. Ini diamini oleh banyak pakar dan budayawan. Namun Chris Skinner – penulis buku Digital Human- memandangnya dari sisi lain, di mana aspek kemanusiaan tidak memudar. Namun bertransformasi menuju fourth revolution of humanity yang dikenal dengan istilah digital human. Chris Skinner memisahkan dua hal, yaitu antara nilai-nilai dasar kemanusiaan serta aspek-aspek teknis dalam kehidupan.
Nah, nilai-nilai dasar seperti cinta kasih, kebersamaan, dan sebagainya, tidak akan hilang. Namun wujud teknisnya sehari-hari itulah yang mengalami perubahan. Misalnya kebersamaan atau gotong royong dalam meringankan beban sesama. Dulu dilakukan dengan mengumpulkan donasi atau barang-barang bantuan di balai desa, sedangkan saat ini dilakukan melalui crowd-funding dengan memanfaatkan media sosial. Prinsip dasarnya sama, hanya teknis operasionalnya yang berubah akibat perkembangan teknologi.
Setiap munculnya teknologi baru, pasti akan menimbul-kan kegamangan atau anxiety dari para generasi yang merasa itu sudah bukan zaman mereka lagi. Ada perasaan takut tersingkir. Bahkan dulu di kampung saya di Padang, televisi sempat dianggap barang haram karena dianggap menjauhkan anak-anak dari masjid, karena sore hari disiarkan film kartun Scooby Doo bertepatan dengan jam anak-anak ngaji di masjid. Namun seiring berjalannya waktu, tatanan baru akan terbentuk, dan hal-hal baru menjadi sesuatu yang biasa.
Dulu televisi membuat orang lupa waktu dan bisa berlama-lama duduk di depan layar kaca itu. Lama-kelamaan bosan juga dan ditinggalkan. Televisi sudah tak menarik lagi. Nah, sekarang muncul internet. Kondisinya kurang lebih sama, tetapi nanti juga akan membosankan.
NAH, SEJALAN DENGAN PEMIKIRAN CHRIS SKINNER, MAKA PUISI DAPAT MENJADI SALAH SATU PENGAWAL FOURTH REVOLUTION OF HUMANITY ATAU DIGITAL HUMAN TERSEBUT, DI MANA NILAI-NILAI DASAR KEMANUSIAAN TIDAK MATI. NAMUN HANYA BERTRANSFORMASI DALAM WUJUD LAIN MENYESUAIKAN DENGAN PERKEMBANGAN, YAITU ERA DIGITAL ATAU MASYARAKAT CERDAS 5.0.
Namun, walaupun tidak menggunakan istilahnya secara eksplisit, Chris Skinner mengatakan bahwa era digital human membutuhkan growth mindset untuk bisa beradaptasi dengan semua perubahan yang terjadi.
Bapak, Ibu, serta Hadirin yang saya hormati...
Saya sudah menjelaskan growth mindset dan dan masyarakat cerdas 5.0. Lantas apa kaitan semua itu dengan sosok Chairil Anwar?
Tokoh sastra legendaris Indonesia HB. Jassin pernah mengatakan – seperti yang dikutip dari buku Chairil Anwar: Hasil Karya dan Pengabdiannya yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2009, mengatakan bahwa melalui sajak "Aku"-nya tersebut Chairil Anwar kemudian terkenal dengan sebutan "Si Binatang Jalang" di kalangan teman-temannya.
DALAM MENULISKAN SAJAK-SAJAKNYA CHAIRIL MEMBAWA PERUBAHAN YANG RADIKAL. IA MEMPERGUNAKAN BAHASA INDONESIA YANG HIDUP, BERJIWA. BUKAN LAGI BAHASA BUKU MELAINKAN BAHASA PERCAKAPAN SEHARI-HARI YANG DIBUATNYA BERNILAI SASTRA.
Bentuk dan iramanya jauh dari pantun, syair, soneta, ataupun sajak bebas Pujangga Baru. lsinya seperti dibuat berisi listrik. lni adalah pemberontakan yang terjadi dalam jiwa. Ukuran-ukuran lama dilemparkan semua. Kesombongan yang dilarang orang-orang tua mencapai puncaknya, maut ditantang dan dikesampingkan.
HB Jassin melanjutkan bahwa dengan demikian sajak-sajak Chairil memberi udara baru yang segar bagi kesusasteraan Indonesia. Padahal waktu itu bangsa Indonesia sedang di bawah kekuasaan Jepang yang tidak memberikan kebebasan berpikir, juga dalam seni dan budaya. Namun justru saat itulah Chairil Anwar membuat suatu revolusi dalam kesusastraan Indonesia. Chairil memang terpengaruh. oleh penyair-penyair Belanda seperti Marsman, Du Perron, Ter Braak, yaitu sastrawan-sastrawan angkatan sesudah Perang Dunia I yang menghantam Angkatan 80, seperti juga Chairil Anwar menghantam Pujangga Baru.
Chairil Anwar membawa suatu aliran yang disebut ekspresionisme, yaitu suatu aliran seni yang menghendaki kedekatan pada sumber asal pikiran dan keinsafan. Pikiran dan keinsafan dalam pertumbuhan yang pertama, belum lagi diatur dan disusun, dipengaruhi pikiran dan keinsafan dari luar, pengolahan dan pembetulan dari luar. Dalam ekspresionisme pikiran dan keinsafan dalam tingkat pertama itu masih sangat dekat pada perasaan dan jiwa asal, dan itulah yang sejelasnya dilontarkan atau lebih tepat melontar dalam hasil ciptaan. Demikianlah buah ciptaan bukan lukisan kesan pada jiwa, teriakan jiwa itu sendiri.
Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa Chairil Anwar adalah orang yang memiliki growth mindset seperti yang diungkapkan Carol S. Dweck dan juga seorang agent of change yang tidak takut membawa perubahan dan menjawab tantangan-tantangan baru dalam perkemba-ngan zaman.
Bapak, Ibu, serta Hadirin yang saya hormati...
Karakter growth mindset Chairil Anwar juga terlihat pada komentar Subagio Sastrowardoyo pada buku yang sama, di mana dia mengatakan bahwa Chairil Anwar sebagai seorang yang konsekuen, berpaling ke budaya Barat menantang generasi saat itu dengan aspek tradisional dan feodal dalam masyarakatnya. Namun tanpa mengin-jakkan kakinya di benua Barat, dan karena itu hanya mengenal dalam abstraksi. Ini adalah sikap pembelajar atau learning ability yang tinggi.
Perkembangan zaman saat ini di mana peradaban memasuki era masyarakat cerdas atau society 5.0 membutuhkan manusia-manusia dengan karakter seperti ini, yaitu growth mindset – terutama sikap pembelajar (learning ablility yang tinggi) serta berjiwa agent of change dengan membuat terobosan dan perubahan untuk menjawab tantangan zaman.
Kita membutuhkan semangat Chairil Anwar seperti ini untuk menjawab tantangan industrial revolution 5.0, smart society 5.0, sustainable development goals (SDG) 2030, artificial intelligence, internet of things, blockchain termasuk cryptocurrency dan non-fungible token atau NFT, dan sebagainya.
Pada buku yang sama tertulis bahwa Artati Sudirdjo, dalam majalah Karya
Th. Ill No. 5, Mei 1949, berpendapat bahwa sebagai seorang yang
pertama-tama merintis jalan dan membentuk aliran baru dalam kesusasteraan
Indonesia, ia dapat dikatakan orang yang terbesar pengaruhnya dari Angkatan 45.
Sajak-sajaknya meng-embuskan jiwa, semangat dan cita-cita muda, bukan dalam arti tidak
masak, masih hijau, tetapi dalam arti terus-terang, bersifat membaharui, dalam
arti segar bugar, vital, penuh hidup, bergerak dan menggerakkan.
Bagi Chairil, hidup itu berarti hidup, dan bukan memikirkan atau membicarakan saja. Nafsu hidup jiwanya itu demikian mendorongnya, sehingga Chairil itu sama dengan paham hidup, paham selalu bergerak.
Maka mudah dimengerti pula, bahwa kadang-kadang ia menimbulkan kesan, seakan-akan ia takut untuk menjadi tua, tua bukan dalam usianya, tetapi dalam pendiriannya dan cita-citanya, karena tua berarti menjadi statis, kaku, beku.
Chairil sungguh seorang yang tinggi cita-citanya, terutama dalam hal menggerakkan dan mengembang-kan jiwa budaya bangsa kita. Akibat revolusi atau jiwa budaya ini diramalkannya lebih besar dari pada akibat-akibat politis. la mempunyai keinsafan bahwa bangsa Indonesia harus meninjau ke buah kesusastraan bangsa-bangsa lain daripada bangsa Belanda, agar kesusastraan Indonesia dapat bersemi baru. la sendiri telah mencurahkan tenaganya menyalin berbagai karangan dan syair dari bahasa asing.
Dari pendapat Artati Sudirdjo tersebut dapat disimpulkan bahwa Bung Chairil adalah seorang visioner yang dinamis. Dia memiliki sebuah pemikiran dan gambaran tentang masa depan yang harus dicapai dan tidak mau terkungkung oleh belenggu masa lalu. Buat Chairil, masa depan itu dinamis dan senantiasa bergerak.
Bapak, Ibu, serta Hadirin yang saya hormati...
Sebelum saya mengakhiri orasi ini, saya ingin menyimpulkan, apa semangat Chairil Anwar yang perlu kita adopsi untuk menghadapi perkembangan zaman di era masyarakat cerdas 5.0 ini?
1. Semangat GROWTH MINDSET, terutama LEARNING ABILITY yang tinggi.
2. Semangat AGEN OF CHANGE yang berani melakukan terobosan dan perubahan untuk menjawab tantangan zaman.
3. Semangat VISIONER yang DINAMIS, memiliki sebuah gambaran tentang masa depan serta tidak mau terkungkung dengan pemikiran masa lalu.
Tiga semangat inilah yang kita perlukan untuk menghadapi tantangan dalam era masyarakat cerdas 5.0 ini.
Untuk itu, kita berutang kepada Bung Chairil.
Demikianlah Bapak, Ibu, serta Hadirin sekalian. Terima kasih.
Jakarta,
23 Juli 2022