Membangun Ulang Realita - Riri Satria

@kontributor 4/17/2022

MEMBANGUN ULANG REALITA

Riri Satria

 


"Perception molds, shapes, and influences our experience of our personal reality. Perception is merely a lens or mindset from which we view people, events, and things. In other words, we believe what we perceive to be accurate, and we create our own realities based on those perceptions. And although our perceptions feel very real, that doesn’t mean they’re necessarily factual.”

 

~ Linda Humphreys, PhD,

a psychologist and spirituality coach.

 

Kutipan di atas mengingatkan kita tentang keterbatasan kita sebagai manusia. Betapa tidak, ternyata yang dimaksud realitas dalam pikiran kita bukanlah realitas yang sesungguhnya. Pikiran kita membangun sebuah persepsi tentang realitas (perceived reality) yang sesungguhnya, dan realitas yang dipersepsikan itulah yang kita anggap sebagai realitas (factual reality). Jadi, selalu ada jarak antara realitas sesungguhnya dengan realitas yang kita persepsikan atau yakini dalam pikiran kita. Seberapa besar jarak itu, tiada yang tahu persis, termasuk diri kita sendiri.

Bagaimana jika kemudian kita berhadapan dengan realitas yang tidak menyenangkan? Kemungkinan besar kita akan marah, jengkel, mungkin menyalahkan keadaan, menyalahkan diri sendiri, dan jangan-jangan ada yang sampai komplain kepada Tuhan. Ini berarti kita “terjebak” dalam realitas yang kita persepsikan itu. Ini sah-sah saja dan sangat manusiawi tentunya.

Namun banyak juga yang akhirnya berusaha untuk keluar dari semua itu dan tidak mau terjebak dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mereka mencoba melakukan kontemplasi yang mendalam dan memikirkan soal realitas ini. Jangan-jangan pikiran kita yang salah mempersepsikan situasi. Jangan-jangan kenyataan sesungguhnya bukan demikian. Jangan-jangan ada hal lain yang tidak kita ketahui yang mampu menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaan kita selama ini.

Jika kita lakukan perenungan atau kontemplasi yang mendalam, bukankah selalu ada jarak antara realitas yang sesungguhnya dengan realitas yang kita bangun dalam pikiran kita yang disebut dengan persepsi? Artinya selalu terbuka kemungkinan kita dalam mempersepsikan sesuatu, atau setidaknya tidak lengkap. Kesalahan atau ketidaklengkapan tersebut membawa kita kepada kesalahan dalam bersikap, menyimpulkan, dan membuat keputusan.

Inilah yang dilakukan oleh Any Tris Septiani dalam bukunya Paingkrak, Jeritan dalam Gaduh yang Anda baca ini. Any tidak mau terjebak dalam persepsi yang mungkin saja keliru sehingga menyisakan trauma batin pada dirinya. Jangan-jangan apa yang dipikirkan selama ini keliru? Bisa saja kan? Sekali lagi, bukankah selalu ada jarak antara realitas yang sesungguhnya dengan realitas yang kita bangun dalam pikiran kita yang disebut dengan persepsi?

Dalam sebuah kesempatan ngopi santai di sebuah café, saya mencoba menggali apa yang sebenarnya terjadi dalam diri Any. Kesimpulan saya, ternyata Any sedang membangun ulang realitas yang ada di dalam pikirannya. Any mengatakan bahwa, jangan-jangan realitas yang ada di dalam pikirannya atau persepsinya selama ini tidak tepat. Maka, dia perlu melakukan “perombakan” dalam pikirannya, dan mencoba menata ulang realitas tersebut dengan mengumpulkan berbagai fakta lain dan memandangnya dari perspektif yang berbeda. Inilah yang menarik dari cara Any untuk melakukan trauma healing pada dirinya. Any membangun ulang realitas dalam pikirannya.

Proses ini tentu tidak mudah, karena manusia pada umumnya tidak suka mempertanyakan, membantah, apalagi mempertanyakan ulang dirinya sendiri. Namun Any mencoba untuk membuat jarak dengan apa yang di pikirkan selama ini, apa yang dia yakini sebagai realita, kemudian membangun realita baru. Nah, realita baru inilah yang dia tuliskan dalam buku Paingkrak, Jeritan dalam Gaduh. Akibatnya, dari rasa kesal, semua berubah menjadi empati dan cinta.

Any berhasil mentransformasikan realita dalam pikirannya, menghapus trauma-trauma masa lalu, berdamai dengan situasi, dan akhirnya memunculkan aura baru yang jauh lebih positif. Ini yang saya baca dan pahami dari buku ini ditambah dengan ngobrol bersama Any. Ya, mungkin Any belum sepenuhnya berhasil, tetapi setidaknya sudah berhasil mengalahkan ego dirinya sendiri sehingga membuka ruang-ruang baru untuk memahami situasi dengan penuh empati dan cinta.

Membaca buku ini kita akan menyelami pikiran Any membangun ulang realitas tersebut. Persepsi Any tentang sosok Ibu benar-benar dibangun ulang atau direkonstruksi dengan memahami fakta-fakta tentang sosok Ibu, yang mungkin saja selama ini tidak diketahuinya atau bisa saja ditafsirkan dengan kurang tepat.

Perceptions are mental formations based on the five senses for vision, hearing, touch, smell and taste, and a so-called sixth-sense that is a fusion of the five unique senses. Human perceptions are driven by facts, myths, traditions, customs, and beliefs, and a sense of reasoning that help to align the conscious attributes towards the desired vision. Recognizing that seeing is believing and that everything has a cause and an effect, one must see facts to assure the truth-value in decision making, (Nadiphuram Prasad, 2020). Ini menunjukkan kepada kita bahwa membangun ulang persepsi itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Saya sangat yakin, Any mengalami pergulatan batin yang sangat berat untuk melakukan semuanya. Bayangkan, membangun ulang realitas! Tanpa kekuatan mental yang tinggi, mustahil ini bisa dilakukan.

Akhirnya, saya mengucapkan selamat untuk Any. Selamat untuk terbitnya buku ini, dan yang jauh lebih penting adalah selamat karena sudah mampu mengalahkan ego diri sendiri dan berupaya membangun ulang realitas. Any mengatakan bahwa proses ini memang belum selesai dan masih berlangsung. Namun saya yakin, dengan niat yang baik dan hati yang bersih, cahaya indah akan muncul di ujung perjalanan. 

Cibubur, 7 Desember 2021

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »