Ini “Teman Duduk” Kita Sekarang, bukan “Teman Duduk”nya M. Kasim - Arbi Tanjung

@kontributor 4/07/2024

Ini “Teman Duduk” Kita Sekarang, Bukan “Teman Duduk”nya M. Kasim

(Membaca Cerpen Bulan Maret di Sastramedia.com )

Arbi Tanjung



Sebelum perang dunia kedua, cerita pendek di Indonesia di rintis oleh M.Kasim dan Suman Hs. Keduanya, memulai menulis cerita pendek dengan cerita lucu-lucu saja, sebagaimana dongeng-dongeng lucu yang dimiliki hampir semua suku bangsa di Indonesia. Cerita pelipur lara, yang seolah-olah cuma mengajak para pendengar (pembacanya) tertawa melupakan kesukaran dan penderitaan hidup sehari-hari. Khusus karya M. Kasim, cerita-cerita itu pula kemudian dihimpun dan diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam sebuah buku: Teman Duduk (1936). Begitu sejarah mencatat awal cerita pendek di Indonesia tumbuh, kemudian berkembang menjadi seperti yang kita kenal sekarang.

Cerita pendek adalah teman duduk. Ia lahir dari galian cerita-cerita yang masih hidup dari mulut ke mulut dalam keseharian. Atau cerita baru dengan bahan lama, kadang-kadang cerita yang sama sekali baru yang ditukik dari pergaulan keseharian.

Sebagai salah satu penyedia tetap rubrik cerpen sejak November 2021, Sastramedia.com tentu punya cara dan pilihannya sendiri untuk menentukan apa dan bagaimana cerpen sebagai “teman duduk” yang akan disuguhkan kepada pembaca. Apakah masih cerita sekadar pelipur lara sebagaimana awal tumbuhnya di masa M. Kasim dan Suman Hs?

Khusus edisi Maret 2024, apakah setelah membaca cerpen karya Iin Farliani, Didik Wahyudi, Rici Swanjaya, Yin Ude dan Bonie Chandra yang terbit di Sastramedia masih membuat pembaca tertawa mengakak sampai-sampai kulit perut kita sakit seperti efek membaca kumpulan cerita “Teman Duduk”nya M. Kasim?

Benarkah cerita ular, kucing mati, parasit, arwah, penyakit tbc yang mengisi penuh rubrik cerpen Sastramedia bulan Maret 2024 membuat orang-orang yang membacanya tertawa terpingkal-pingkal? Begitukah!

Semengerikan dan semenyeramkan inikah keseharian kita akhir-akhir ini, sampai-sampai cerita “teman duduk” pun adalah deretan binatang, makhluk gaib, dan penyakit yang penuh ancaman, semisal: ular, kucing mati, parasit, arwah dan penyakit tbc?

Cerita pendek, karena bentuknya, dapat dengan cepat merefleksikan kenyataan di sekitar kita secara lebih cepat dan lebih beragam dibanding dengan novel misalnya. Inilah sebabnya cerpen banyak dipakai oleh para pengarang untuk berbicara. Begitu tulis Jakob Sumardjo empat puluh sembilan tahun silam dalam esainya Mencari Tradisi Cerpen Indonesia yang terhimpun dalam buku Cerpen Indonesia Mutakhir (1983).

Ular, binatang yang menakutkan dan mengerikan bagi banyak orang, terutama anak-anak menjadi topik “teman duduk” pembaca dalam cerpen Esyil dan Ular Ayah (3/3/2024) yang ditulis Iin Farliani. Karena ular, seorang anak perempuan menderita depresi berat sejak umur 7 tahun hingga ia remaja. Ayahnya yang berprofesi sebagai penyamak kulit ular, memaksa Esyil untuk membantunya memegang pisau dan menguliti kulit ular. Karena hal itu, ia menanggung derita mental terus menerus.

“Coba kau bayangkan, anak kecil diminta untuk memegang pisau pengulit dan menguliti ular itu satu-persatu.Waktu itu aku baru berumur tujuh tahun. Ayahku akan memang gilku dengan suara yang menggelegar, memaksaku untuk memegang pisau pengulit, dan ia mulai membentangkan ular itu, dan memintaku untuk mengulitinya. Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun dipaksa menguliti ular. Gila, bukan?” Begitu curhatan tokoh Esyil kepada tokoh aku. Tokoh-tokoh yang ada dalam cerpen ini dominan perempuan: Esyil, Aku, Ibu Aku, Ibu Esyil. Perempuan-perempuan yang keceriaan dan kebahagiaannya di “lahap” oleh tingkah ayah dan ularnya. Ibu Esyil, perempuan yang kerap menerima kekerasan fisik dan kata dari ayahnya. Ibuku, perempuan yang bekerja sebagai pembantu di rumah Esyil turut menanggung beban karena perlakuan ayah Esyil. Esyil, perempuan yang selalu ketakutan saat ayah ibunya bertengkar akan menghisap habis perhatian ibuku kepadanya. Dan aku? Perempuan yang cemburu karena perhatian ibuku tersedot habis untuk Esyil.

Esyil tak berhenti bercerita kepadaku “Kadang aku berpikir ular-ular itu tak jauh nasibnya dengan diriku. Di tangan ayahku, aku dan ular-ular itu memiliki nasib yang serupa. Kami sama-sama dikuliti. Dikuliti! Begitulah.Perlakuan kejam ayahku kepadaku sejak dulu seperti mengulitiku hidup-hidup. Menjelma tekanan mental yang tak sembuh-sembuh”

Lewat cerita Iin Farliani, tak ada ruang dan celah untuk bisa tertawa. Tawa tak bisa menyusup dalam kesadisan. Bagaimana dengan cerita kucing mati?

 

Lain Ular, Lain Kucing Mati

Jika Iin Farliani, merefleksikan kenyataan ‘gangguan’ mental manusia karena ular, Yin Ude melalui cerpen Kucing Mati (24/3/2024) mengingatkan kemanusiaan manusia lewat seekor kucing mati. Kematian seekor kucing karena lapar usai melahirkan, jauh lebih penting dari pembahasan memperjuangkan kemanusiaan korban perang di Palestina.

Burhan dan enam rekan aktivis kemanusiaan sibuk membahas perjuangan kemanusiaan untuk Palestina, tetapi abai kepada seekor kucing yang kelaparan di hadapan mereka. Kucing itu akhirnya mati. Tokoh aku sangat mengutuk dan kecewa kepada suaminya (Burhan) dan kawan-kawannya. “Sebelum rapat kami melihat kucing itu di sudut pekarangan kita. Mengeong-ngeong lemah sekali. Kami pikir karena lapar. Tak kami pedulikan. Lalu saat rapat, ia melintas di ruang tamu. Jalannya limbung dan sempat kuhardik. Lalu masuk ke ruang dalam…”

Tokoh aku mengakui “Ya, ingin kucetuskan sesuatu yang merayapi dadaku semalam, yang hari ini kian bergolak, dalam bentuk teriakan, “ Palestina terlalu jauh, Kak! Kemarin ada seekor kucing, makhluk Tuhan juga, yang kelaparan, butuh bantuan, di dekat Kakak, tapi tak Kakak bantu!”

Sekali lagi, bila kita tetap ingin membanding-bandingkan masa awal tumbuhnya cerita pendek di Indonesia dengan cerita ini, maka ini bukan cerita lucu-lucuan. Ini kisah ambruknya kemanusiaan manusia. Akibat keambrukan itu, manusia bisa mengganggu manusia atau makhluk lainnya. Semisal parasit, mungkin.

 

Parasit “teman duduk” yang Mengganggu

Dari kelima cerpen bulan Maret di Sastramedia.com, cerpen Parasit (17/3/2024) karya Rici Swanjaya merupakan ”teman duduk” yang cukup mengganggu pembaca (atau jangan-jangan hanya aku saja). Gangguan yang paling terasa (mungkin hanya bagiku) adalah kesulitan untuk memahami isi cerita. Itu aku alami, jika membacanya hanya sekali. Beda bila dibaca berkali-kali. Gangguan lain yaitu kalimat atau kata yang terkesan “dipaksa” harus ada dalam tulisan. Semisal: (1) semacam mekanisme pertahanan diri…(2) Dengan penuh determinasi aku bersumpah…(3) Bertengger bersama kantuk dan residu mimpi buruk…dan lain sebagainya.

Tokoh aku tak kuasa atas dorongan diluar dirinya untuk meminum darah dari apa dan siapa saja, terutama manusia. Tak terkecuali mertuanya sendiri. Dorongan yang tak menentu waktu datangnya.

Dunia sekitar dan dunia dalam dirinya menjadi sumber yang kaya bagi manusia yang menjalani hidupnya, tiap manusia mempunyai pengalamannya sendiri-sendiri tentang alam dan kejadian. Di dalam cerita-ceritalah kita melihat kehidupan angan-angan dan pikiran, kekayaan alam rohani yang dibentuk oleh pengalaman manusia, begitu tulis H.B. Jassin dalam esainya “Kisah: Bulanan-Cerpen Pertama di Indonesia” (1959). Sebagaimana yang disebutkan Jassin, Rici Swanjaya merangkai cerita ‘parasit’nya entah lewat angan atau lewat pikiran atau kekayaan alam rohani pengalamannya. Parasitkah segala penyakit yang diidap manusia?

 

Penyakit TBC dan Arwah yang Melihat Bapak Tidur

Tbc atau tuberculose adalah salah satu penyakit langganan masyarakat di Hindia Belanda, begitu Deddy Arsya menulis dalam bukunya Wabah, Rempah, Sejarah (Jbs, 2023, h.41). Penyakit yang banyak mengantarkan pengidapnya ke pintu kematian. Pintu yang memanggil dan membawa masuk tokoh aku dalam cerpen Melihat Bapak Tidur (10/3/2024) karya Didik Wahyudi. Penyakit yang juga menyerang Pace David, tokoh dalam cerpen Darah yang Tercecer di Nabunage (31/3/2024) karya Bonie Chandra. Penyakit tuberculose merupakan penyakit yang mencemaskan dan mengancam sejak masa silam hingga hari ini.

Tokoh aku mati karena tbc, kemudian arwahnya masih harus menyaksikan derita yang dialami bapaknya. Bapak yang selalu tidur dan sering menangis sejak kematian istri dan aku (anak lelaki satu-satunya). Bapak, seorang lelaki ringkih yang dikepung beban.

Didik Wahyudi menulis “Sekarang bapak sedang tidur berselimut beban sekali lagi. Dan aku tak bisa membantunya sama sekali. Dia butuh uang dengan segera. Pemilik rumah di pinggir jalan itu beberapa kali datang. Mereka minta bapak segera melunasi pembayarannya. Rumah itu rumah waris. Hasil penjualannya dibagikan kepada para ahli waris yang tak semuanya mau sabar menunggu bapak. Ditambah lagi biaya untuk pengacara dan ongkos penyelesaian sengketa tanah yang berlarur-larut. Habis. Dan tak seorang pun yang diharapkan bisa membantu… Bapak masih tidur. Ini sama sekali tidak biasa. Sebab, bapak sendiri pernah berkata, hanya orang bobrok yang tidur pada jam-jam seperti saat itu”

Berbeda dengan tokoh aku, tbc yang menggerogoti Pace David dalam cerpen Darah yang Tercecer di Nabunage belum sampai merenggut nyawanya. Namun, penyakit itu menjauhkan ia dari pelanggan-pelanggan yang biasa membeli pinang, sirih dan kapur dagangannya. Dagangan yang menjadi sumber utama memenuhi kebutuhan hidup Pace David. Berawal dari ketidaksengajaan tokoh aku menyebut di hadapan kawan-kawannya (Od, Musa dan Enek) bahwa batuk berkepanjangan yang selama ini menjangkiti Pace David pertanda penyakit tbc. Penyakit yang menular. Penyakit yang dijadikan senjata ‘utama’ bagi sesama penjual (khususnya Musa dkk) untuk melumpuhkan kepercayaan pelanggan membeli pinang, sirih dan kapur kepada Pace David.

Bonie menulis “Saat sedang ramai-ramainya pembeli di lapak mereka, Musa datang dan menyampaikan ke orang-orang bahwa Pace David mengidap penyakit tbc yang menular. Ia juga menyebut bahwa aku juga sudah tertular. Musa menghasut agar orang-orang mengusirku dan Pace David dari pasar itu. Sejak itu, kios yang biasa Aku dan Pace David sewa, diminta oleh pemiliknya. Sakit Pace David semakin bertambah. Sementara, Aku dan ia tak lagi bisa berjualan pinang demi makan dan pembeli obatnya. Akhirnya, aku menjual pinang dalam bentuk bungkusan kecil yang dititipkan ke kios-kios di Tolikara, sebagaimana yang pernah dilakoni Pace David merintis usaha jual pinangnya”

Kelima cerpen bulan Maret 2024 yang terbit di Sastramedia.com ini jelas sebagai “teman duduk” kita masa sekarang, yang jauh dari cerita-cerita lucu. Ini cerita nasib dan wajah takdir manusia masa kini. Nasib dan takdir yang sungguh merindukan keriangan dan keceriaan yang bisa melipur lara sebagaimana dalam buku “Teman Duduk”nya M. Kasim. Begitu! 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »