Sepotong Kayu untuk Tuhan - Kuntowijoyo

@kontributor 8/04/2018
Sepotong Kayu untuk Tuhan

Kuntowijoyo




SASTRAMEDIA.COM - Matahari sudah tinggi di pedusunan kecil itu, ketika lelaki tua terbaring di kursi panjang, di muka rumahnya. Ia berbuat demikian sejak pagi. Tak seorang pun akan menahannya berbuat itu! Istrinya tidak di rumah. Syukurlah aku bisa bikin anak! Dan anak itu bisa bikin cucu! Perempuan tua, istrinya, beberapa hari yang lalu mengatakan padanya, bahwa ia kangen setengah mati pada cucunya. Maka pergilah perempuan cerewet itu. Ia pergi dengan kereta terpagi kemarin.

Lelaki tua itu sendiri saja. Kalau tidak, tentu istrinya telah mencarinya, bila pagi-pagi dia berbaring saja macam sekarang. “Pergi pemalas!”, kata istrinya andaikata ia di rumah. Tetapi ia tak di rumah. Lelaki tua itu menjulurkan kaki sepuasnya, menyedot pipa sampai napasnya terasa sesak. Sekaranglah ia benar-benar bebas. Sepatutnya ia pergunakan kebebasan itu untuk bermalas-malas: berbaring di kursi panjang menikmati langit, pohonan, dan kebunnya.

Rumah itu terletak di pinggir dusun, jauh dari tetangga. Tak seorang pun akan melihatnya berbaring sampai kapan pun. Dibelakang rumah adalah sungai kecil. Kebunnya melandai sampai menyentuh tepi sungai itu. Pohon-pohon meramaikan pekarangan. Alangkah berat kerjanya! kalau istri di rumah, dia akan disuruhnya membungkuk-bungkuk sepanjang kebun. Ada-ada saja. Kayu! Kayu habis! Alangkah kotor kebun kita! Ia harus bangkit cepat-cepat, kalau tidak ingin basah kuyup tubuhnya oleh siraman air istrinya. Kerja itu memang perlu, ia tahu. Hanya istrinya terlalu cerewet. Ia yang sudah seputih itu rambutnya masih saja dinilai sebagai pemalas. Persetan! Toh, istrinya tidak ada sekarang!

Aku bukan pemalas, pikir lelaki tua itu. Aku anak cucu mereka yang suka kerja keras. Aku rajin, dari ujung kaki sampai ujung rambut! Ia menyedot rokok pipa dalam-dalam. Tapi buktikanlah, Kakek, tiba-tiba ia berpikir-pikir. Ya, berkata itu mudah. Bukti itu sulit. Namun ia tak tahu kerja apa yang dapat dikerjakan pada saat seperti ini. Katakanlah, misalnya kayu bakar. Kayu bakar telah bertumpuk di dapur. Ia sendiri menumpuknya. Atau menyapu halaman. Sia-sia saja, tak seorang pun akan melihat rumahnya. Rumahnya cukup terlindung dari mata orang.

Tiba-tiba ia bangkit. “Demi Tuhan!”, ia berseru. “Celakalah yang menyiakan waktu!”. Ia ingat. Meski berbuat sesuatu. Berbaring bermalasan bukan pekerjaan muslim yang baik. Ia sudah mendengar kabar, orang kampung sedang mendirikan surau baru. Banyak orang telah menyediakan bahan. Telah terkumpul kayu, genting, kapur. Anak-anak madrasah mencari batu dan pasir ke sungai. Pantashkah baginya, muslim seumur hidup untuk bermalasan? Tidak. Berbaktilah kamu dijalan Tuhan dengan harta dan jiwamu! Ia gelisah. Kalau istrinya di rumah ia bisa mufakat. Seluruh kekayaannya, yaitu uang untuk makan, semuanya ada pada istrinya. Padanya hanya tinggal bahan-bahan makanan secukupnya sampai istrinya pulang. Apakah yang akan disumbangkan untuk pembangunan rumah Tuhan itu? Apakah karena istrinya tidak di rumah ia akan melewatkan kesempatan beramal? Tentu saja tidak. lelaki tua itu pun berpikir. Sebenarnya, pikirannya bisa pula jernih, hanya kebiasaan mendapatkan damprat dari istrinya telah membuatnya takut berpikir. Berpikir itu menyusahkan bagi lelaki tua macam dia.

Jadi, ia berdiri. Melepaskan pandangan ke seluruh alam-rumah dan pekarangannya itu disebutnya seluruh alam dan turun dari serambi. Panas matahari mempermainkan daun-daun yang lincah oleh angin. Sekali-sekali berkas sinar jatuh ke punggung, menyengat. Ia senang. Menikmati kebebasannya dengan berjalan berjingkat, melangkahi tanaman sayur. Istrinya akan mengumpat kalau ia di rumah. Selalu ia cerewet apabila dilihatnya ia berjalan disela tanaman sayur itu. Padahal dia sendirilah yang mengatur tanaman. Dibelakang rumah adalah sungai. Air yang mengalir tenang itu sangat mempesona. Mana ada kesempatan menjenguknya lama-lama kalau istrinya di rumah! Ia tak pernah jemu bermain di sungai. Hanya karena larangan istrinya, ia tak lagi bersahabat dengan air. Nanti masuk angin. Juga ia tak lagi mengail. Mengail adalah kerja bagi pemalas. Kadang-kadang istrinya menyuruh dia mencari ikan bukan dengan kail, tetapi dengan jala.

Ia berhenti. Di depannya berdiri sebuah pohon nangka. Pohon itu telah mati. Kayu itu cukup besar. Tertanam dekat pinggir sungai. Pucuknya telah mengering, tidak ada selembar daun pun tinggal. Bagus! kayu ini pantas untuk pembangunan surau itu. Kayunya kuning mengkilat. Tidak lagi perlu cat atau pelitur. Pelitur, bolehlah, sedikit saja. Dan kayu itu akan ditebangnya sendiri. Mudah saja. Kayu dikapak sampai putus. Kulitnya dikupas. Didorong ke sungai. Lewat sungai itu akan diangkutnya. Dari tepi sungai hanya perlu sebuah gerobak dorong untuk sampai ke tempat surau itu dibangun.

Istrinya tak akan tahu semuanya. Sesudah dia pulang barulah tahu, pekerjaan apa yang telah dibuat oleh suaminya! Betapa senang ia nanti, seorang perempuan tua yang saleh. Kayu itu kita sumbangkan untuk pembangunan rumah Tuhan, istriku. Istri akan senang, memuji syukur. Pada saat-saat terakhir dari hidup mereka, masih sempat juga beramal.

Ya, dia sendirilah yang menanam pohon itu. Dia sendirilah yang menyiram dengan air sungai. Alangkah suburnya dulu. Ayahnya akan memerintahkannya memanjat apabila nangka itu telah berbuah masak. Kematian pohon itu tak perlu pula disesalkan. Pohon itu akan diletakkan di suatu tempat terhormat: Rumah Tuhan. Setiap hari akan disaksikan orang-orang memuji kebesaran Tuhan dan Rasul-Nya. Itu akhir yang baik bagi sebuah kayu! Jauh lebih baik daripada masuk tungku. Apalagi tungku orang kafir, yang memasak rezeki haram! Itu sudah wajar, pohon itu ditanamnya dulu dengan mengucapkan nama Tuhan lebih dulu. Sebuah pohon nangka yang ditanam dengan tangannya, dibesarkan dengan tangannya, dan ditebang dengan tangannya! Ia akan membuktikan dengan benda yang nyata, sekali dalam hidupnya dapat juga ia menyumbang untuk Tuhan.

Seharian itu ia merenungkan, apakah ia benar-benar akan sanggup menebang pohon itu dengan tangannya. Alangkah besar, ya, tidak dua kali keliling tangan, kalau selingkar tangan, ya lebih. Menebang sendiri bisa juga, tetapi apakah tenaganya akan kuat? Mengupah orang, istrinya tidak meninggalkan uang sesen pun padanya. Hanya beras dan lauk secukupnya sampai istri itu pulang. Mengupah orang tak mungkin, apalagi memberi makan.

Melihat betapa besar pohon itu, ia mengurungkan niat untuk menebangnya sendiri. Ada cara! Dahan yang tak berguna baiklah diberikan pada penebang sebagai upah. Ia tak akan kehilangan apa pun kecuali kekotoran akibat tumpukan reranting dan dahan! Ia gembira. Telah dibayangkannya dalam khayal. Istri akan memuji-muji kebijaksanaannya itu. Amal yang demikian itu akan abadi. Pahalanya akan dihitung sampai bahan itu musnah. Seminggu lagi kalau ia di rumah akan diberitakan itu. Mula-mula akan diajaknya istrinya berkeliling kebun. Disuruh menerka pohon apa yang tidak ada. Nangka! Dan ke mana pergi pohon itu? Tidak, istrinya tak akan tahu. Surau, istriku, rumah Tuhan! Ia akan tersenyum. Tidak, tak usahlah. Begitulah cara yang paling baik menyampaikan berita pada mbok cerewet itu.

Maka ia pun mencari tukang tebang. Dibuatnya perjanjian bahwa dahan-dahannya akan menjadi upah. Dan bersihlah pekarangannya. Tanah itu akan menjadi rata kembali. Penebang itu tahu maksud lelaki tua dan menolak untuk menerima upah, tetapi lelaki tua itu menerangkan, amal itu terletak dalam niat. Adapun kayu yang akan diperoleh, itu adalah sewajarnya dalam bertetangga.

Begitulah seorang laki-laki dengan ototnya yang besar-besar bekerja di pekarangan. Pagi sekali ia telah datang, menyiapkan kapak, tali-tali dan memanjat. Lelaki tua yang tidak bisa membantu apa pun. Ia tak bisa memanjat, lagipula istrinya memesan dia dengan sangat supaya dihindari memanjat sangat rendah sekalipun. Ia sendiri sadar, tangannya telah gemetar, tak bisa lagi kuat berpegang. Itu berbahaya, akan dapat mempersingkat umur. Ia melihat kulit penebang itu, kulit yang kecokelatan berkilau oleh matahari, suara kapak yang bergema. Seluruh alam mendengar. Barangkali malaikat Tuhan telah mencatat apa yang telah dikerjakannya hari itu. Setiap gaung kapak itu memberitakan pada lelaki tua akan amal yang dibuatnya. Tidak usah menyesal tidak dapat membantu-bantu. Orang pun tahu ia sudah tua. Cukuplah mengawasi. Hari pertama dari penebang itu dilaluinya tanpa dapat menyumbangkan tenaga.

Kayu itu akan membuatnya tersenyum pada hari kematiannya. Ketika itu boleh jadi tubuhnya telah hancur oleh tanah dikuburnya. Tetapi jelaslah, kayu itu masih akan tetap menjadi saksi, ia pernah hidup dan menyumbangkan sesuatu untuk surau. Tidak, bukan orang yang akan membuatnya senang, tetapi karena Tuhan sendiri melihat itu. Kalau saja mungkin ia akan menghindari penglihatan orang. Sebab, hanya Tuhan jugalah yang diinginkannya.

Disaksikannya ranting demi ranting jatuh dari pohon. Seperti itulah manusia. Satu per satu ia akan dikuburkan. Ranting jatuh itu masih pula dapat dipergunakan. Mereka dapat masuk api dan memberi panas pada dasar periuk atau memberi panas pada mereka yang kedinginan. Tetapi apa yang disumbangkan orang mati. Tidak satu pun. Bahkan orang akan menyusahkan tetangganya, karena orang-orang lain harus mengangkutnya ke kubur, memasukkannya ke liang. Sesudahnya adalah tanggung jawabnya sendiri.

Hari berikutnya sudah mulai dapat membantu-bantu. Penebang itu sudah mulai menebang bagian bawah. Ranting-ranting sudah jatuh, berserakan. Sesungguhnya ia akan mengangkut kayu-kayu itu. Sekarang bolehlah kayu itu rebah dengan aman. Tak ada yang akan disangkutnya. Cabang-cabangnya telah bersih. Bisa saja sekarang, tergelimpang.

Dia pun ingin berbuat. Diingatnya ada kapak di rumah, kapak itu pertama-tama harus ditajamkan. Ya, ia mengeluarkan batu pengasah dan seember air. Aduh, tukang tebang itu melarangnya. Ia telah tua. Tetapi perlu diketahui bahwa untuk mengasah kapak dan memukul kapak itu pada pohon, bayi pun bisa dipercaya. Apalagi orang-orang tua! Keringatnya telah mengalir, ketika ia harus mengangkut air dari sumur. Dengan tenaganya dapatlah ia mempunyai sebuah kapak yang baik, mengkilat tajam, hanya besi tak terpatahkan oleh kapak semengkilat itu. Aduh celaka, penebang macam apa itu! Ia mengatakan kapak itu tidak akan mempan. Tentang kapak, penebang yang mana pun tak dapat mengalahkannya. Ia sudah merawat kapak-kapak sejak. Tak sangsi lagi, kapak itu pasti yang setajam-tajamnya di dunia.

Itulah sebabnya ia berjuang keras melawan ketuaannya sendiri. Ia mengayunkan kapaknya keras-keras, sehingga badannya sendiri terguncang. Penebang itu merasa terganggu dan mengatakan padanya kalau bukannya kayu yang akan putus, hanya tubuhnya saja yang kehabisan tenaga. Lagi pula kapaknya tak mengena sasarannya. “Jangan kau pukulkan kapak itu lurus, Pak. Agak miring sedikit,” kata penebang itu. Ya, soal cara menebang bisalah dia memperbaiki. Tetapi untuk menghentikan pekerjaan itu, jangan berani. Ia buktikan lelaki tua bukannya pemalas yang selalu menggantungkan hidup pada orang lain. Pahala yang didapatnya mengantarkannya sampai akhirat. Dan, mana bisa istri akan mengumpatnya dengan: pemalas. Menyumbangkan pohon nangka kekuningan, bercahaya dalam sinar matahari. Dia akan dapat berkata tentang pohon nangka itu: itulah yang ditebang dengan tanganku.

Ia merasa telah bekerja dengan sangat keras, tak seorang pun menyuruhnya. Pada hari ketiga dari pekerjaan itu, ia bangun pagi-pagi. Betapa senang ia ketika penebang itu datang dan dia dapat menunjukkan hasil tebangannya. Kapak itu telah diayunkan begitu kuatnya, membuat bekas yang dalam. Penebang itu mengatakan, “kayu ini digigit nyamuk atau ditebang dengan kapak?” Tentu saja ia keliru, tidak pernah menghitung bahwa nyamuk tak sekalipun mau menggigit pohon nangka. Ya, tentu kapak! Penebang itu tersenyum: “Sudahlah, Kakek. Sudahlah, Bapak. Sudahlah, apalagi dikatakannya. Tidak, itu kayunya sendiri. Penebang itu memberi contoh padanya bagaimana menebang dengan cara yang betul. Dan alangkah besar bekas tebangan itu! Lelaki tua tersenyum; “Itu karena kapakmu yang tajam! Dan tenagamu yang segar. Cobalah kalau kau sudah kerja sejak pagi!”

Mundur? Tidak, sekali-kali tidak. Istrinya akan benar kalau ia tak meneruskan kerjanya. Siapa pun yang mau bekerja bukannya pemalas. Jangan menilai seseorang dari hasilnya, tapi dari niatnya. Dan ia berniat menebang habis pohon nangka itu! Sesungguhnya perbuatan itu dihitung dari niatnya! Ia mengulang lagi dari niatnya. Cobalah ingat, ia mulai lebih pagi daripada penebang sebenarnya. Dan tenaganya pun lebih banyak keluar. Perkara keringat, itu karena penebang lebih banyak minum. Dan, apakah kerja diukur dengan banyaknya keringat yang keluar. Itu sungguh tidak jujur. Dapat saja keringat bercucuran tanpa bekerja.

Ia akan berusaha sungguh, supaya hanya Tuhan yang tahu kalau ia telah menyumbangkan kayu itu untuk surau. Maka ia pun berpesan pada penebang jangan membocorkan rahasia itu. Beramal baik ialah bila tangan kananmu mengeluarkan, tetapi bahkan tangan kirimu tak melihatnya! Tak perlu seorang pun tahu. Ia dan penebang itu telah berjanji supaya kayu itu datang dengan tiba-tiba saja di pembangunan surau seolah-olah datang dari langit. Alangkah bijaksana pikiran itu! Asal jangan ada perempuan cerewet yang disebut istri itu, pastilah akalnya menjadi jernih. Pada hari gelap yang tak seorang pun akan tahu, kayu itu akan terdampar di surau. Pada balok itu nanti dia akan menuliskan: Sepotong kayu untuk Tuhan. Dengan arang saja, itu cukup baik. Kayu yang tiba-tiba datang itu akan membuat seluruh kampung terkejut. Dan siapakah orang yang berpikiran bahwa dialah penyumbang yang tak mau menyebut nama itu. Tidak seorang pun. Hanya Tuhan dan malaikat-Nya! Kebanggaan yang terpendam lebih baik dari kebanggaan yang terbuka. Kebanggaan yang terpendam membuat orang tertawa. Dan senyum lebih abadi dari tertawa.

Keinginannya supaya kayu itu cepat selesai tak tertahankan. Ia tak tahu lagi umurnya, berat badannya, jumlah tenaga yang dia punya atau yang telah dikeluarkannya. Ia melambung seperti dalam sebuah mimpi yang senikmatnya. Keringat mengalir dari kulitnya. Penebang itu menegurnya. Ah, masih perlukah dia diperingatkan apa-apa oleh siapa-siapa pada umurnya yang telah lanjut itu? Tidak. Istrinya atau penebang itu tak ada hak apa pun untuk mengingatkan dia. Pikirannya adalah satu-satunya pertimbangan. Kebaikan harus dikerjakan bagaimanapun akibatnya. Dia tahu apa yang bisa dan tak bisa dikerjakannya. Dan berhak sepenuhnya akan dirinya sendiri. Sayang, tubuhnya tak dapat mendukung kemauannya. Pada siang hari itu juga, keringat banyak mengalir dari tubuhnya. Dan, ia pingsan.

Ketika lelaki tua itu menyadari dirinya kembali, orang banyak berkerumun. Tidak, tak apa-apa. Maka lelaki tua itu mengusir mereka yang berkerumun. “Pergi tak ada apa-apa. Hanya mengantuk sedikit, untuk apa kalian datang.” Mereka pun pulang.

Aduh, pastilah penebang itu telah membocorkan maksudnya itu pada mereka yang datang. Tidak, Kakek. Nah, itu baik. Rahasia itu akan bocor kalau Kakek bekerja lagi. Sebab ia akan jatuh pingsan lagi dan orang akan datang lagi. Dan menanyakan untuk apa kayu itu. Jadi, penebang itu menganjurkan untuk tidak lagi bekerja. O, ya. Siapa pun yang mengatakan, kalau perkataan itu bagus pantaslah dikerjakan.

Sejak saat itu ia tak menyentuh lagi kayu itu. Seluruhnya terserah pada penebangnya. Pohon itu tumbang. Penebang itu menjadikannya balok persegi panjang yang kuning keemasan. Tak perlu menyesal lagi tidak ikut mengerjakan. Ia sudah berusaha. Yang penting, sekarang, ialah merencanakan segalanya. Itu perlu pemikiran seorang berpengalaman. Dialah orangnya yang harus memikirkan. Perkara mengangkat-angkat cukuplah pak penebang, itu memang kerjanya. Hanya sedikit kecewa, ia tak akan bisa mengatakan bahwa dia sendirilah yang telah merobohkan makhluk kuning itu. Biarlah, masih banyak yang akan dikerjakannya dengan kayu itu. Ada lagi, yaitu mendorong sampai tepi sungai dan menghanyutkan.
Lelaki tua itu bersepakat untuk menghanyutkan kayu itu pada sore hari setelah matahari tenggelam. Di seberang timur akan ditaruhnya kayu itu dna pagi-pagi sekali penebang itu akan membawa gerobak dorong. Pagi sekali, sehingga makhluk Tuhan sebangsa manusia tak akan melihatnya.

Sore hari, langit telah memerah di bagian barat. Awan tebal menutup matahari. Tetapi dari sela-selanya membersit cahaya merah yang berbinar-binar menyerbu langit. Kedua orang itu berusaha menggulingkan kayu itu ke tepi sungai. Dengan tongkat-tongkat besar dari kayu, mereka berdua mendorongnya. Goresan yang dalam, membekas-bekas pada tanah yang terlewat. Sebentar-sebentar akan terdengar teriakan dari mulut tua itu: Bagus! Setiap gerakan akan diberinya aba: Ana ini ning! Dorong! Nah, sangat bagus. Istirahatlah sebentar.

Matahari tidak ada lagi. Hanya kemerahannya masih tergambar di langit. Maghrib, bisa ditunda sebentar. Keduanya mengikuti kayu itu. Masuk air. Taklah sulit bergaul dengan air sungai. Keduanya anak-anak desa yang bersahabat dengan air sejak Ibu mereka memandikannya yang pertama. Ada bayangan merah dalam air yang terguncang dan hilang. Air sungai itu ialah yang setenangnya yang pernah dia kenal. Agak dalam, membasah lebih sedikit dari perutnya. Balok kuning hanyut dengan lena di permukaan air. Tangan-tangan mereka menjaga arah. Arus dapat dengan mudah dihindarkan.

Bagian ini adalah tempat yang paling sepi dari dusun. Tak akan ada seorang pun melihatnya. Jauh di sana terdengar suara riuh anak-anak. Tuhan, jangan biarkan anak-anak itu sampai sungai! Sepotong kayu ini semata-mata untuk-Mu. Aduh, mereka mendekat ke sungai itu! Apa kerja mereka gelap macam ini ke sungai, anak-anak tak tahu aturan! Dan, mereka berkerumun di pinggir, menonton. Mereka bertanya. Bah! Mereka mencopot pakaian, masuk ke air. Lelaki tua itu kebingungan. Anak-anak itu dibujuknya: “Sudah gelap macam ini, pulanglah.” “Kami akan naik kayu ini, Kek” Wah, anak-anak nakal! Air berkecipak kesana kemari. Kepala, rambut, telinga, dan sekujur badan tua itu tertampar air. Seperti air es, dinginnya? Anak-anak itu kegirangan. Ya, asal jangan bertanya untuk apa! Mengusir anak-anak? Tidak. Anak-anak itu naik baloknya. Kayu itu timbul tenggelam dalam air. Lelaki tua itu ingat, kenapa ia tidak ikut naik, toh bisa saja Pak Penebang itu disuruhnya mengatur arah dan dia naik. Kepinginnya seperti anak-anak itu ditahannya. Itu akan menertawakan. Anak-anak itu membasahi tubuhnya. maka, ia pun membalas mereka. Mereka membalasnya. Riuhlah sungai itu. Dalam gelap keramaian itu seperti suara-suara setan dalam gerumbul pohonan. Kecipak air mengalahkan suara malam: binatang-binatang entah dimana dalam tanah disela rerumputan menyembunyikan suaranya yang tenang dan terus-menerus. Suara-suara itu berseling dengan suara air dan teriakan anak-anak. Yang penting, ialah tetap membungkam pada anak-anak. “Bukan untukmu, Buyung, aku menebang pohon.

Sebagai ganti jawaban, lelaki tua itu menakuti mereka dengan banjir”. Lihatlah, alangkah mendungnya. Terbawa banjir nanti, kalian. “Tak apalah, Kek. Kami ingin melihat laut”. Dasar anak-anak dusun nakal! Diingatnya, seperti itu jugalah masa kecilnya. Orang-orang tua adalah pemaaf-pemaaf. Ia menjadi senang dengan kehadiran anak-anak itu. Akhirnya anak-anak itu bosan juga. Mereka kembali ke tepi, mengenakan pakaian, dan kabur dalam gelap pohonan.

Ketika itu tak ada cahaya merah pun di air dan dilangit, sampailah iringan itu ke sebuah tempat, dekat dengan jalan ke desa-desa. Di situlah mereka aka berlabuh. Tidak terlalu sulit meminggirkan kayu itu. Untuk apa laki-laki kalau tidak bisa mengurus sepotong kayu! Mereka meminggirkan, diatas tanah berpasir itu mudah saja menarik dengan tali. Seperti kereta yang berjalan diatas tanah. Ya, kayu itu telah bergelimpang di sana. Di atas pasir yang lembut. Selamat tinggal, kayu. Sampai besok pagi.

Menjelang malam, lelaki tua telah menyiapkan makan. Alangkah nikmat makan sesudah kerja keras. Dan lagi kegembiraannya yang besar. Siapakah yang menikmati makan dalam keadaan gembira. Pohon angka itu telah di sana, di pinggir sungai. Makanlah selahapnya! Segera saja matanya mengantuk bukan main. Badannya dingin, segar. Enaknya tidur ialah dalam keadaan lelah. Segera saja tertidur: surau, balok kayu, penebang, istri, anak-anak, sungai. Ia tersenyum dalam pejam mata.

Inilah rencananya, yang sebentar diingatnya sebelum tetap yang pertama. Ia harus bangun pagi-pagi. Langsung saja ke tepian sungai itu. Kemudian akan datang penebang dengan gerobak. Mereka akan mendorong gerobak itu bersama. Dan sebelum orang terbangun, kayu itu telah tersedia di depan tumpukan tanah bakal surau itu. Tetapi hanya Tuhan dan malaikat-Nya yang akan dapat menjawab. Tidurlah.

Malam menjadi dingin. Udara lembab. Suara desir air sungai terdengar pelan. Ada suara-suara yang sangat dikenal: binatang-binatang malam di tanah, di rumputan, di air, di pohon, di udara. Pohon dusun merunduk dalam gelap. Makhluk inilah yang lebih banyak menggambarkan malam hari. Tenang dingin, daunan tertunduk. Seperti dunia ini adalah gundukan tanah dan tetumbuhan yang terlupakan. Tidak ada kehidupan diluar rumah.

Lelaki tua itu biasa bangun tepat pada waktu yang direncanakan. Orang tua dapat berbuat itu. Sarung dikerubutkan di tubuhnya, ia pun melangkah ke luar. Sesungguhnya tak akan ada yang melihat. Dia kenal betul dusunnya. Dengan mudah akan dicapainya pinggiran sungai itu. Kayu nangkaku, sebentar lagi, aku datang padamu.

Ada sebuah suara, apakah itu? Oh, kelontang gerobak. Sedikit kurang hati-hati penebang itu. Hati-hatilah, jangan dibangunkan orang. Kemudian dia senang setelah ternyata hanya sebentar gerobak itu terdengar. Dia masih juga menyesali itu, tapi tentulah bukan kesalahan pak penebang. Bagaimana pun hati-hatinya kau mendorong, dibelokkan itu pasti berbunyi juga, banyak batu-batu menyembul dari tanah. Baiklah tidak ada suara-suara orang terbangun. Di sini tempat masih akan sepi sampai orang bangun mengambil air ke kali, untuk mencuci atau mandi. Ya, lelaki tua itu sejak menjadi lebih tua, tidak lagi tahan air kali mengalir dingin di tubuhnya dalam udara pagi. Kalau dia kanak-kanak dan bukan lelaki tua, pasti dia akan merenangi sungai pagi itu.

Ia ingat istrinya. Juga andaikata dia di rumah menjelang subuh begini, dia akan membangunkannya. Sembahyang, pak muslim. Tuhan menunggumu. Panjangkanlah umurku, dalam ketuaan yang sehat. Pagi itu dia merasa sangat sehat. Sedikit pun tak ada dingin dalam tubuhnya. Itu berkat sarung, berangkali. Ya, tetapi juga, kegembiraannya menghilangkan rasa dingin dan segalanya! Lebih penting dari dingin adalah sepotong kayu.

Dia bayangkan bagaimana surau itu, dimana letak kayu dari pekarangan itu diletakkan. Tentu, orang akan suka lama-lama tinggal di surau. Kalau dipikir, tidak ada yang istimewa: Kayu itu tumbuh dari bumi Tuhan, dan sekarang kembali kepada Tuhan. Ketika itu dia masih kecil, bermain-main panjat diatas nangka. Alangkah baik dahan-dahan nangka itu dahulu untuk dipanjat. Sekarang, telah menjadi sebuah balok. Tentu kuningnya akan mengalahkan gelap malam.

Sementara orang kampung terkejut melihat kayu yang tiba-tiba datangnya itu, ia akan merokok pipanya di rumah. Lama-lama ia akan menghisapnya. Ya, kayu itu datang dari kebunku. Tetapi kalian tak boleh tahu. Kemudian kayu itu dipotong-potong jadi kecil. Atau, bukankah lebih baik digergaji besar-besar untuk tiang utama yang empat buah itu? Sesuka oranglah. Sebab, setelah kayu itu lepas dari tangannya, tak ada haknya lagi.

Kalaulah ia punya lebih banyak dari itu, akan dibawanya semua ke surau. Di pekarangannya hanya terdapat rumpun bambu dan sayuran. Seharusnyalah ia malu, hanya sedikit itulah yang dikembalikannya kepada Tuhan.

Tiba dijalan dekat pinggiran dusun, ia terus menuruni jalanan ke sungai. Wah, nanti harus mendorong kayu itu lewat jalan menanjak macam itu. Ia banyak menyimpan tenaga setelah tidur yang lelap semalaman. Gerobak itu semakin dekat, menuruni juga jalanan ke sungai. Dia ingin lebih dulu sampai, itulah sebabnya ia cepat berjalan. Jelaslah yang akan dikerjakan. Menatap kayu itu sampai lama, sebagai ucapan selamat jalan. Dalam gelap di pinggir sungai seperti upacara terakhir pemberangkatan prajurit ke medan perang. Ataukah seperti penguburan. Aduh, tololnya, pelupa! Engkau lupa menyediakan arang untuk menulis alamat kepada siapa kayu itu diberikan. Tololnya! kembali? Itu lebih tolol lagi. Pelupa ialah yang sejelek-jeleknya orang! Patut, ia memukul-mukul kepalanya. Jangan keras, nanti pening, Pak. Biarlah.

Langit masih juga gelap sebentar lagi fajar. Itu subuh akan tiba. Tanah di kakinya agak dingin, ya dekat sungai, basah. Ia terus melangkah. Gerobak itu mendekat, di belakangnya. Tiba pada bagian yang terbuka, inilah tepian sungai. Masih gelap matanya tak begitu terang. Ia mengusap matanya, mengusap sampai terang, tetapi masih juga gelap. Atau memang masih terlalu gelap. Ah, mata tua, mata tua.
Kayu itu tidak tampak. Dimana? Matanya! Pak Penebang itu datang. Agaknya telah terjadi sesuatu? Gerobak itu berhenti dekat pinggiran sungai. Ke sinilah! Tetapi sulit sampai ke pinggirnya. Tanah itu terlalu lunak. Dinginnya tnaah! Mana kayu itu? Haruskah mereka menanti fajar? Ya, baiklah begitu. Mereka pun berdiri saja di pinggiran sungai, tak tampak juga kayu itu. “Mana kayu itu, Pak Penebang?”. “Mana kayu itu, Kakek”.

Tidak ada lagi. Ketika cahaya fajar pertama datang dari celah langit, tahulah mereka kayu itu tak ada lagi. Ditepian sungai banyak sampah menambat. Dicari, dicari! Tidak usahlah. Jelas, telah banjir semalam. Kayu itu hanyut. Tuhan! Sampai kepada-Mukah?

Lelaki tua berdiri. Penebang berdiri. Sesuatu telah hilang. “Tidak, tak ada yang hilang” kata lelaki tua itu. Pak Penebang mendorong kembali gerobak. “Kakek, kita pulang”. Lelaki tua itu berdiri sejenak lagi. Tersenyum. Sampai kepada-Mukah, Tuhan?


-Sumber: Majalah Sastra Horison, Nomor  4/Th. VII/1972, hal. 100—104

Share this

Related Posts

First