Membaca Seratus Tahun Kesunyian
Marquez
Juli Prasetya
Diawali
dengan “Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak yang akan
mengeksekusinya, Kolonel Aureliano Buendia jadi teringat suatu sore, dulu
sekali, ketika diajak ayahnya melihat es” (hlm.9)
Dan
diakhiri dengan “Sebab sudah diramalkan bahwa kota penuh cermin (atau
khayalan) akan dienyahkan angin dan terhapus dari ingatan manusia tepat ketika
Aureliano Babilonia selesai membaca perkamennya dan bahwa apa yang tertulis
takkan bisa diulang sejak awal waktu sampai selamanya. Sebab bangsa yang
dikutuk seratus tahun kesunyian tak akan memperoleh kesempatan kedua di bumi
ini.” (hlm.482)
Begitulah
sepenggal cerita awal dan akhir dari novel Cien Anos De Soledad atau One
Hundred Years of Solitude atau Seratus Tahun Kesunyian (Terj.
Djokolelono, Gramedia Pustaka Utama, 2018) karangan Gabriel Garcia Marquez,
seorang penulis dan peraih nobel sastra dari Aracataca, Colombia.
Dalam
Macondo, Para Raksasa, dan Lain-lain Hal karangan Ronny Agustinus, Gabo
(panggilan akrab Marquez) sendiri mengaku bahwa Novel Seratus Tahun Kesunyian
ini adalah novel pertama yang ia tulis saat usianya 16 tahun, hal ini terungkap
dalam wawancara bersama sahabatnya Vargas Llosa saat membahas tentang proses
kreatif Gabo
Gabo
: Begini aku mulai menulis Seratus Tahun Kesunyian ketika berusia enam belas
tahun
Vargas:
Mengapa kita tidak mulai dari buku pertamamu? Yang paling pertama
Gabo : Yang pertama justru Seratus Tahun
Kesunyian […] aku sendiri tidak percaya akan apa yang akan aku ceritakan, maka
aku pun menyadari bahwa kesulitan itu semata-mata teknis, yakni aku tidak memiliki unsur-unsur teknis
dan bahasa untuk membuatnya kredibel, bisa dipercaya. Aku pun pergi menggarap
empat buku lain sementara waktu itu. Kesulitan besarku selalu adalah menemukan
nada dan bahasa agar bisa dipercaya (hlm. 68)
Seratus
Tahun Kesunyian berkisah tentang takdir yang telah selesai keluarga Buendia
selama tujuh turunan yang telah diramalkan dan ditulis dengan bahasa Sansekerta
oleh seorang Gipsi pengembara, mistikus (saya menyebutnya mistikus karena ia
berani menembus batas ilmu pengetahuan manusia), sekaligus seorang penemu
bernama Melquiades. Semua tokoh di dalam cerita ini mendapatkan porsi yang
berbeda namun tidak kehilangan bobot penceritaannya, seperti Jose Arcadio
Buendia sang petualang, ilmuwan, dan gila karena gagal menjadi alkemis lalu
diikat di pohon Kastanye dan mati di sana. Lalu Ursula Iguaran seorang
perempuan tangguh, pembuat permen berbentuk hewan warna-warni, yang menjadi
kepala keluarga Buendia selama berpuluh-puluh tahun menggantikan suaminya dan
tidak pernah menyerah dengan usia tua, kebutaannya, dan hanya mengumpat satu
kali pada dunia yang brengsek dan takdir keluarganya yang memukau, sampai pada
kematiannya yang ia ramalkan setelah hujan selama 4 tahun 11 bulan dan 2 hari
di Macondo mereda.
Dan
tentu saja sang tokoh utama di novel ini adalah Kolonel Aureliano Buendia yang
tak pernah memenangkan 32 pertempuran dalam perang-perang yang dilaluinya
bersama 21 kawan seperjuangannya, dan memilih melupakan semua kenangannya dan
melakukan terapi seumur hidupnya di kamar kerjanya untuk meredakan guncangan
jiwa akibat perang dan kepahitan hidup dengan menulis berjilid-jilid puisi dan
membuat kerajinan ikan hias dari logam. Yang ketika kerajinan ikan hias itu
telah selesai ia akan meleburkannya kembali dan mengulang pekerjaannya dari
awal.
Pertama
kali saya membeli novel ini pada tahun 2019 di Toko Buku Gramedia di Jakarta.
Saat pertama membacanya tentu saja merasa bingung dan aneh, ada ya cerita
tentang keluarga turun temurun dengan nama yang berulang, selain itu tentu saja
saya merasa banyak keanehan dan kemustahilan yang disajikan di dalam novel ini,
sehingga pelan-pelan saya membaca, dan lambat laun saya takjub sendiri dengan
ceritanya yang magis, tapi juga begitu tampak nyata. Saya seperti dipaksa untuk
menuntaskan novel ini. Lalu pembacaan kedua saya lakukan beberapa hari yang
lalu, dan saya memulai untuk menuliskan ulasan ini dengan nuansa dan daya baca
yang tentu saja berbeda dari saat pertama kali saya membacanya.
Kita
bisa belajar proses kreatif dan kepengrajinan Marquez dari novelnya ini, bagaimana
ia menyelipkan satu potongan cerita di satu bab, yang nanti akan juga kita
temukan di bab berikutnya dan kita menjadi penasaran memang apa yang akan
terjadi selanjutnya, jadi Marquez memainkan suspense cerita untuk menarik rasa
penasaran pembaca. Lalu kemudian bagaimana ia mencampuradukan antara masa lalu
masa kini dan masa depan. Bagaiamana ia membaurkan antara yang terjadi, mungkin
terjadi, dan kemustahilan. Hal-hal biasa di tangan Marquez menjadi tampak luar
biasa, hal ini tidak lepas dari pengaruh neneknya yang suka mendongeng dengan
melebih-lebihkan ceritanya. Dan teknik inilah yang kemudian digunakan oleh
Marquez dalam novel Seratus Tahun Kesunyian-nya.
Cerita
pertama pada novel ini sebenarnya menceritakan tentang perkembangan peradaban
dunia, dari mistik ke ilmu pengetahuan bagaimana penemuan-penemuan magnet, kaca
pembesar, gramofon, pianola, Daguerrortype, listrik dan kereta
api di Macondo yang dianggap luar biasa di masa itu. Kemudian bagaimana
setiap suku memiliki kekhasannya sendiri dalam melakukan perjalanan, adat
istiadat, mitos dan kepercayaan-kepercayaan tentang leluhur, dan tentu saja ada
satu pantangan tentang pernikahan sedarah yang akan melahirkan anak dengan ekor
babi, ini adalah satu pantangan yang paling terkenal di keluarga Buendia namun lambat
laun dilupakan.
Keluarga Buendia dari generasi ke generasi
memiliki takdirnya sendiri-sendiri yang terjalin begitu kompleks, rumit, dan
aneh. Cerita-cerita unik aneh dan luar biasa ini tentu saja menjadi hiburan
tersendiri bagi pembaca. Selain itu di sini Marquez menulis secara sembarang
saja, semau dan sebebas dia mau memulai dari mana, mencampuradukan antara masa
lalu dan masa kini, namun hal itu tidak memisahkan jalinan cerita yang tampak
menyebar dan ngawur, tapi cerita itu malah tetap bisa dinikmati menjadi satu
kesatuan karena kesemrawutannya itu, tetap bisa dinikmati meskipun penceritaan
dan teknik berceritanya sebebas dan seelastis itu.
Di
dalam novel ini cerita yang paling menarik menurut saya adalah saat Macondo
terkena wabah penyakit tak bisa tidur. Sebuah penyakit yang mengakibatkan
orang-orang Macondo tak bisa tidur dan terjaga selama berbulan-bulan, dan
akibat atau efek dari penyakit ini selain tak bisa tidur adalah perlahan mereka
akan melupakan segalanya. Pertama-tama lupa akan nama suatu benda, kemudian
fungsinya, kemudian mereka akan lupa pada kenangannya sendiri, dan melupakan
siapa diri mereka, dan melupakan orang lain. Namun penyakit wabah tak bisa
tidur ini kemudian berhasil diatasi saat Melquiades yang telah dilupakan datang.
Ia yang dikira telah mati terkena demam di Pantai Singapura dan jasadnya
dilarung di Laut Jawa secara ajaib tiba-tiba datang ke kediaman Buendia, dan
tersinggung karena orang-orang melupakannya, tapi kemudian ia tahu bahwa memang
ada yang tidak beres di Macondo sehingga ia membuka peti bersisi ramuan ajaib
yang dibawanya dan membebaskan Macondo dari penyakit tak bisa tidur dan tentu
saja dari lupa.
Di
sini kita tidak akan menemukan perasaan sentimentil dan rasa aneh dengan cerita-cerita
yang sebenarnya luar biasa dan aneh itu, Marquez akan menuntun kita untuk
menerima semua ceritanya yang meyakinkan bahwa cerita tentang pembantaian 3000
orang pekerja buruh perkebunan pisang, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang
ditembaki dengan senapan mesin oleh tentara di dekat stasiun itu benar-benar
terjadi dan pernah ada.
Seratus
tahun kesunyian tidak hanya menjadi sebuah cerita tentang sebuah keluarga yang sudah
diramal takdirnya akan berakhir dengan kutukan seratus tahun kesunyian, yang
dialami oleh keturunan Buendia dari generasi ke generasi, tapi secara simbolis juga
menjadi pelajaran bahwa kehidupan, sejarah, dan takdir manusia itu tidak
berjalan dengan linier tapi sirkular, berputar, dan berulang. Serta sebagai pengingat
agar kita tidak melakukan hal-hal yang di luar batas perikemanusiaan, bahwa
pernah ada sebuah bangsa yang pernah ada di muka bumi ini namun karena
melakukan hal-hal yang di luar batas, maka kemudian sebuah bencana
menghancurkannya, sebagaimana angin tornado datang meluluhlantakan Macondo dan
tidak memberikan kesempatan kedua di bumi ini, hilang dari sejarah, hilang dari
peta, namun tetap tersimpan dan mengendap dalam ingatan dan hati pembaca.