Membaca Seratus Tahun Kesunyian Marquez - Juli Prasetya

@kontributor 6/09/2024

Membaca Seratus Tahun Kesunyian Marquez

Juli Prasetya

 


Diawali dengan “Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak yang akan mengeksekusinya, Kolonel Aureliano Buendia jadi teringat suatu sore, dulu sekali, ketika diajak ayahnya melihat es” (hlm.9)

Dan diakhiri dengan “Sebab sudah diramalkan bahwa kota penuh cermin (atau khayalan) akan dienyahkan angin dan terhapus dari ingatan manusia tepat ketika Aureliano Babilonia selesai membaca perkamennya dan bahwa apa yang tertulis takkan bisa diulang sejak awal waktu sampai selamanya. Sebab bangsa yang dikutuk seratus tahun kesunyian tak akan memperoleh kesempatan kedua di bumi ini.” (hlm.482)

Begitulah sepenggal cerita awal dan akhir dari novel Cien Anos De Soledad atau One Hundred Years of Solitude atau Seratus Tahun Kesunyian (Terj. Djokolelono, Gramedia Pustaka Utama, 2018) karangan Gabriel Garcia Marquez, seorang penulis dan peraih nobel sastra dari Aracataca, Colombia.

Dalam Macondo, Para Raksasa, dan Lain-lain Hal karangan Ronny Agustinus, Gabo (panggilan akrab Marquez) sendiri mengaku bahwa Novel Seratus Tahun Kesunyian ini adalah novel pertama yang ia tulis saat usianya 16 tahun, hal ini terungkap dalam wawancara bersama sahabatnya Vargas Llosa saat membahas tentang proses kreatif Gabo

Gabo : Begini aku mulai menulis Seratus Tahun Kesunyian ketika berusia enam belas tahun

Vargas: Mengapa kita tidak mulai dari buku pertamamu? Yang paling pertama

Gabo  : Yang pertama justru Seratus Tahun Kesunyian […] aku sendiri tidak percaya akan apa yang akan aku ceritakan, maka aku pun menyadari bahwa kesulitan itu semata-mata teknis,  yakni aku tidak memiliki unsur-unsur teknis dan bahasa untuk membuatnya kredibel, bisa dipercaya. Aku pun pergi menggarap empat buku lain sementara waktu itu. Kesulitan besarku selalu adalah menemukan nada dan bahasa agar bisa dipercaya (hlm. 68)

Seratus Tahun Kesunyian berkisah tentang takdir yang telah selesai keluarga Buendia selama tujuh turunan yang telah diramalkan dan ditulis dengan bahasa Sansekerta oleh seorang Gipsi pengembara, mistikus (saya menyebutnya mistikus karena ia berani menembus batas ilmu pengetahuan manusia), sekaligus seorang penemu bernama Melquiades. Semua tokoh di dalam cerita ini mendapatkan porsi yang berbeda namun tidak kehilangan bobot penceritaannya, seperti Jose Arcadio Buendia sang petualang, ilmuwan, dan gila karena gagal menjadi alkemis lalu diikat di pohon Kastanye dan mati di sana. Lalu Ursula Iguaran seorang perempuan tangguh, pembuat permen berbentuk hewan warna-warni, yang menjadi kepala keluarga Buendia selama berpuluh-puluh tahun menggantikan suaminya dan tidak pernah menyerah dengan usia tua, kebutaannya, dan hanya mengumpat satu kali pada dunia yang brengsek dan takdir keluarganya yang memukau, sampai pada kematiannya yang ia ramalkan setelah hujan selama 4 tahun 11 bulan dan 2 hari di Macondo mereda.

Dan tentu saja sang tokoh utama di novel ini adalah Kolonel Aureliano Buendia yang tak pernah memenangkan 32 pertempuran dalam perang-perang yang dilaluinya bersama 21 kawan seperjuangannya, dan memilih melupakan semua kenangannya dan melakukan terapi seumur hidupnya di kamar kerjanya untuk meredakan guncangan jiwa akibat perang dan kepahitan hidup dengan menulis berjilid-jilid puisi dan membuat kerajinan ikan hias dari logam. Yang ketika kerajinan ikan hias itu telah selesai ia akan meleburkannya kembali dan mengulang pekerjaannya dari awal.

Pertama kali saya membeli novel ini pada tahun 2019 di Toko Buku Gramedia di Jakarta. Saat pertama membacanya tentu saja merasa bingung dan aneh, ada ya cerita tentang keluarga turun temurun dengan nama yang berulang, selain itu tentu saja saya merasa banyak keanehan dan kemustahilan yang disajikan di dalam novel ini, sehingga pelan-pelan saya membaca, dan lambat laun saya takjub sendiri dengan ceritanya yang magis, tapi juga begitu tampak nyata. Saya seperti dipaksa untuk menuntaskan novel ini. Lalu pembacaan kedua saya lakukan beberapa hari yang lalu, dan saya memulai untuk menuliskan ulasan ini dengan nuansa dan daya baca yang tentu saja berbeda dari saat pertama kali saya membacanya. 

Kita bisa belajar proses kreatif dan kepengrajinan Marquez dari novelnya ini, bagaimana ia menyelipkan satu potongan cerita di satu bab, yang nanti akan juga kita temukan di bab berikutnya dan kita menjadi penasaran memang apa yang akan terjadi selanjutnya, jadi Marquez memainkan suspense cerita untuk menarik rasa penasaran pembaca. Lalu kemudian bagaimana ia mencampuradukan antara masa lalu masa kini dan masa depan. Bagaiamana ia membaurkan antara yang terjadi, mungkin terjadi, dan kemustahilan. Hal-hal biasa di tangan Marquez menjadi tampak luar biasa, hal ini tidak lepas dari pengaruh neneknya yang suka mendongeng dengan melebih-lebihkan ceritanya. Dan teknik inilah yang kemudian digunakan oleh Marquez dalam novel Seratus Tahun Kesunyian-nya.

Cerita pertama pada novel ini sebenarnya menceritakan tentang perkembangan peradaban dunia, dari mistik ke ilmu pengetahuan bagaimana penemuan-penemuan magnet, kaca pembesar, gramofon, pianola, Daguerrortype, listrik dan kereta api di Macondo yang dianggap luar biasa di masa itu. Kemudian bagaimana setiap suku memiliki kekhasannya sendiri dalam melakukan perjalanan, adat istiadat, mitos dan kepercayaan-kepercayaan tentang leluhur, dan tentu saja ada satu pantangan tentang pernikahan sedarah yang akan melahirkan anak dengan ekor babi, ini adalah satu pantangan yang paling terkenal di keluarga Buendia namun lambat laun dilupakan.

 Keluarga Buendia dari generasi ke generasi memiliki takdirnya sendiri-sendiri yang terjalin begitu kompleks, rumit, dan aneh. Cerita-cerita unik aneh dan luar biasa ini tentu saja menjadi hiburan tersendiri bagi pembaca. Selain itu di sini Marquez menulis secara sembarang saja, semau dan sebebas dia mau memulai dari mana, mencampuradukan antara masa lalu dan masa kini, namun hal itu tidak memisahkan jalinan cerita yang tampak menyebar dan ngawur, tapi cerita itu malah tetap bisa dinikmati menjadi satu kesatuan karena kesemrawutannya itu, tetap bisa dinikmati meskipun penceritaan dan teknik berceritanya sebebas dan seelastis itu.   

Di dalam novel ini cerita yang paling menarik menurut saya adalah saat Macondo terkena wabah penyakit tak bisa tidur. Sebuah penyakit yang mengakibatkan orang-orang Macondo tak bisa tidur dan terjaga selama berbulan-bulan, dan akibat atau efek dari penyakit ini selain tak bisa tidur adalah perlahan mereka akan melupakan segalanya. Pertama-tama lupa akan nama suatu benda, kemudian fungsinya, kemudian mereka akan lupa pada kenangannya sendiri, dan melupakan siapa diri mereka, dan melupakan orang lain. Namun penyakit wabah tak bisa tidur ini kemudian berhasil diatasi saat Melquiades yang telah dilupakan datang. Ia yang dikira telah mati terkena demam di Pantai Singapura dan jasadnya dilarung di Laut Jawa secara ajaib tiba-tiba datang ke kediaman Buendia, dan tersinggung karena orang-orang melupakannya, tapi kemudian ia tahu bahwa memang ada yang tidak beres di Macondo sehingga ia membuka peti bersisi ramuan ajaib yang dibawanya dan membebaskan Macondo dari penyakit tak bisa tidur dan tentu saja dari lupa. 

Di sini kita tidak akan menemukan perasaan sentimentil dan rasa aneh dengan cerita-cerita yang sebenarnya luar biasa dan aneh itu, Marquez akan menuntun kita untuk menerima semua ceritanya yang meyakinkan bahwa cerita tentang pembantaian 3000 orang pekerja buruh perkebunan pisang, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang ditembaki dengan senapan mesin oleh tentara di dekat stasiun itu benar-benar terjadi dan pernah ada.

Seratus tahun kesunyian tidak hanya menjadi sebuah cerita tentang sebuah keluarga yang sudah diramal takdirnya akan berakhir dengan kutukan seratus tahun kesunyian, yang dialami oleh keturunan Buendia dari generasi ke generasi, tapi secara simbolis juga menjadi pelajaran bahwa kehidupan, sejarah, dan takdir manusia itu tidak berjalan dengan linier tapi sirkular, berputar, dan berulang. Serta sebagai pengingat agar kita tidak melakukan hal-hal yang di luar batas perikemanusiaan, bahwa pernah ada sebuah bangsa yang pernah ada di muka bumi ini namun karena melakukan hal-hal yang di luar batas, maka kemudian sebuah bencana menghancurkannya, sebagaimana angin tornado datang meluluhlantakan Macondo dan tidak memberikan kesempatan kedua di bumi ini, hilang dari sejarah, hilang dari peta, namun tetap tersimpan dan mengendap dalam ingatan dan hati pembaca.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »