Gerakan
Golongan Putih
Kurnia Gusti Sawiji
Pesan itu muncul melalui salah satu media
sosial saya, dan isinya terlalu panjang untuk dikatakan sebagai surat pembaca.
Terlalu rumit, kaku, dan teoretis; ia lebih mirip sebuah esai. Mengintip profil
si pengirim pesan, yang saya temukan adalah foto seorang wanita muda anggun
berusia 20 pertengahan bernama Aina Maiazora. Dari cara berpakaian dan
tatapannya, saya bisa menafsir bahwa dia orang berpendidikan. Pesannya
merupakan ulasan kepada cerpen saya yang berjudul Gerakan Golongan Putih, dimuat di salah satu koran nasional dua
pekan lalu. Mungkin karena bertepatan dengan tahun politik, cerpen itu kini
ramai diperbincangkan dan didiskusikan.
Cerpen
itu adalah karya pertama saya bertema politik. Di situ saya membayangkan sebuah
peradaban masa depan di mana memilih kepala negara adalah kewajiban, bukan hak.
Tokoh utama adalah seorang anarkis yang mengajak masyarakat ramai-ramai tidak
memilih, karena ceritanya di antara calon-calon yang ada, semua baginya tidak
layak memimpin negara. Hal ini membuat dia menjadi sasaran aparat. Bagian akhir
cerita saya biarkan terbuka, dan saya pastikan tidak ada keberpihakan ke mana
pun.
Pesan
dari si Aina ini merupakan salah satu ulasan terlengkap yang saya baca mengenai
cerpen itu. Alhasil, kami pun banyak berdiskusi tentang keterkaitan di antara
gagasan dalam cerpen dengan realita yang ada. Saya sampaikan bahwa sebenarnya
inspirasi cerpen ini muncul karena saya belum bisa memastikan ke mana hak suara
saya akan dilayangkan beberapa bulan ke depan. Turut saya beberkan beberapa
proses kreatif dan interpretasi pribadi saya, dan dia membalasnya dengan sangat
cerdas. Ada ajakan untuk saling bertemu, namun tentu saya tolak. Hubungan
antara penulis dan pembaca cukuplah seperti ini: mendiskusikan karya tanpa perlu
saling mengenal.
***
Saya
baru sadar bahwa percakapan saya dengan Aina Maiazora berakhir pukul 1 dini
hari. Hasil dari ini adalah tertidurnya saya sampai pukul 8 pagi, dan baru terbangun
ketika ketukan terdengar di depan rumah. Saya pikir itu loper koran, tetapi
ketika ketukan terdengar berkali-kali seolah di balik pintu adalah orang paling
tidak sabaran di dunia, mau tidak mau saya beranjak. Saya belum mandi, belum
sarapan, dan masih berpakaian tidur.
Saya
cukup kaget ketika melihat dua pria besar melalui lubang intip di pintu. Si
besar yang satu lebih ke arah gemuk, sementara si besar yang lainnya lebih ke
arah tegap, seperti jenderal. Saya membukakan pintu, dan mereka memperkenalkan
diri; saya semakin kaget ketika tahu mereka dari kepolisian. Tetapi mereka
cepat-cepat menyampaikan bahwa mereka hanya ingin bersilaturahmi dan sedikit ngobrol.
Mereka mengajak saya masuk ke dalam rumah saya sendiri, dan meminta saya
menutup pintu sembari mereka masuk. Saya masih berharap mereka tidak akan
bertindak ekstrem.
“Ingin
saya buatkan sesuatu?” tanya saya. Keduanya menolak dengan sopan. Tahu bahwa
saya sedang waswas, mereka mencoba mencairkan suasana.
“Kami
berpikir seorang penulis sekelas Anda akan tinggal di tempat yang lebih mewah,”
ujar si besar gemuk. Saya tertawa kecil. Saya tetap membuatkan teh untuk mereka,
karena saya pikir itu akan menimbulkan kesan baik.
“Perkenalkan,
saya Dori,” ujar si besar tegap, “Dan saya Bogi,” ujar si besar gemuk. Mereka
lanjut memperkenalkan diri sebagai bagian dari divisi keamanan siber kepolisian
di kota tempat saya tinggal.
“Untuk
bapak berdua datang langsung menemui saya, tentu ada perkara besar. Meskipun
saya tidak tahu apa yang diinginkan kepolisian dari seorang penulis sederhana
seperti saya,” kata saya.
“Yah,
atasan memang menginginkan kami membawa Anda langsung ke kantor polisi dan
menjalankan proses interogasi sesuai prosedur, tetapi kami juga mengatakan hal
yang sama; Anda hanya seorang penulis sederhana. Oleh karena
itu, di sinilah kita,” balas Bogi. Saya agak kecut. Tetapi Dori langsung
menambahkan.
“Tenang
saja, Pak. Anggap ini acara bedah karya yang biasa Anda hadapi. Kali ini, kita
akan membedah cerpen Anda, Gerakan
Golongan Putih yang terbit di Harian M dua pekan lalu.”
Ah,
lagi-lagi cerpen jahanam itu. Tidakkah ia sudah terlampau banyak menarik
perhatian? Apakah makna yang terkandung dalam cerpen itu dianggap aparat
berbahaya? Seharusnya tidak. Saya tidak menyinggung siapa-siapa, dan cerpen itu
murni hasil imajinasi saya, tidak saya dasarkan ke keadaan nyata.
“Begini,
Pak. Bagaimana proses kreatif Anda menulis cerpen itu?” Tanya Dori. Dan saya
jawab sebagaimana saya sampaikan kepada dewan pembaca beberapa paragraf yang
lalu: saya bingung menentukan paslon mana yang akan saya coblos, dan dari situ
saya terinspirasi membuat cerpen itu.
“Berarti
bukan karena memang Anda tidak mau mencoblos, ya?” tegas Dori. Saya katakan:
jelas tidak. Untuk apa saya punya hak suara kalau tidak saya pakai. Mendengar
hal itu, Dori dan Bogi memandang saya agak intens. Hal ini membuat saya kagok
dan menanyakan mengapa mereka memandang saya seperti itu. Bogi bersandar sambil
meregangkan perut, Dori yang menjawab.
“Maksud
Anda kewajiban bersuara, kan?”
“Maaf,
apa?”
“Kewajiban
bersuara, Pak. Bukan hak bersuara. Anda wajib memilih salah satu di antara
paslon yang ada, dan negara berhak mengawasi Anda sepanjang prosesi pemilihan
umum. Negara bisa tahu jika Anda sengaja tidak memilih, atau mencoblos kertas
suara tidak sesuai prosedur, dan mempidanakan Anda. Bukankah setiap lima tahun
begitu prosedurnya, sejak Anda punya KTP?” balas Bogi.
Saya
mulai menyadari ada yang tidak beres. Tetapi naluri saya mengatakan bahwa saya
harus menyetujui apa pun ucapan mereka berdua, dan mengatakan bahwa saya baru
bangun, sehingga saya masih separuh sadar. Hal ini tidak serta-merta membuat
mereka meredakan intensitas pandangan mereka ke saya, namun saya bisa merasakan
hawa longgar di udara ketika Dori tersenyum simpul dan mengajak saya menyeruput
teh kembali.
“Sekali
lagi kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, Pak. Belakangan ini, kami menangkap
banyak konten kampanye negatif tentang setiap paslon yang ada. Hal ini
menimbulkan sebuah persepsi lebih baik tidak memilih, jika pilihan yang ada
kenyataannya tidak ada yang baik,” jelas Dori.
“Sialnya,
pembuat konten-konten ini berlindung dengan menggunakan akun berbasis
kecerdasan buatan; AI. Sehingga banyak konten yang tidak dapat kami telusuri dari
mana jejak asalnya,” lanjut Bogi.
“Dan
saya hanya penulis sederhana. Anda tahu siapa saya, Anda bisa menemukan rumah
saya. Dengan kelemahan seperti ini, saya akan terlihat bodoh kan, jika ingin
membuat konten-konten yang melanggar aturan?” pungkas saya. Bogi terdiam, lalu
memandang Dori, dan secara sistematis keduanya tersenyum.
“Mohon
dipahami, yang berpikir seperti itu adalah atasan kami. Di sini, kami hanya
menjalankan tugas. Menurut atasan, adanya konten atau persepsi seperti itu
tentu karena ada gagasan di sebaliknya. Yah, kebetulan salah satu yang
tertangkap di radar adalah karya tulis Anda. Tetapi jangan salah paham, Pak;
cerpen itu bagus! Walaupun saya polisi, saya cukup menikmati karya sastra. Nah,
makanya kami ke sini ingin mengklarifikasi kembali proses kreatif di sebalik
cerpen itu,” balas Dori.
Yang
selanjutnya terjadi adalah percakapan singkat (namun lebih dalam) tentang
cerpen itu. Setelah semua selesai, dan itu memakan waktu kurang lebih 90 menit,
mereka berdua bergegas pergi dengan meninggalkan secara tersirat pesan jelas:
saya bebas berkarya apa pun, tetapi mata mereka telah menangkap saya. Bagi
seorang penulis, hal itu adalah bencana besar. Lantas saya pun menghubungi
editor saya setelah memastikan dua aparat itu sudah benar-benar tidak ada di
kawasan saya.
“Kita
sudah diskusikan ini kan, Mas? Tapi sampean
bilang lanjut, ya kukatakan lanjut,” ujar Mufa enteng. Dia adalah editor
novel-novel saya, dan saya selalu berdiskusi dengannya sebelum menulis sesuatu.
“Tapi
kata mereka itu lho, Mas. Masa mereka bilang pemilu itu kewajiban? Pemilu dari
dulu sampai sekarang kan hak,” sanggah saya.
“Ya
nggak, Mas. Bukannya periode lalu sudah berubah? Masa pean lupa,” balasnya. Dan terjadilah perdebatan antara dia dan
saya. Akhir perdebatan dibiarkan terbuka, karena Mufa ada urusan lain dan saya
masih tidak percaya akan apa yang terjadi.
“Di
kotaku sedang ada demo besar-besaran. Biasa, tentang AI. Mau kuliput,”
ungkapnya. Selain editor, Mufa bekerja sebagai wartawan partikelir di sebuah
media alternatif berbasis di Surabaya. Saya tahu demo yang dimaksudnya. Belakangan
ini, muncul semacam kabar burung bahwa penelitian negara di bidang AI telah
berkembang sampai ke tahap menggunakannya untuk mengendalikan pikiran manusia.
Meskipun saya penulis sastra, saya dulu sempat kuliah di jurusan informatika.
Hal mengenai AI mengendalikan pikiran manusia tidak lebih dari fiksi sains yang
kurang ilmiah.
Seusai
berbicara dengan Mufa, saya cepat-cepat mandi dan menyiapkan sarapan. Bisa jadi
sekarang ini saya masih bermimpi, dan semesta cerita yang saya bangun menjadi
latar mimpi saya lantaran betapa asyiknya mendiskusikan cerpen itu bersama si
Aina Maiazora. Setelah puas saya menjalankan semuanya dan yakin bahwa kenyataan
ini tempat saya berpijak, saya membuka laptop dan berselancar di internet.
Apa
yang saya temukan di internet membuat saya mengulang-ulang kembali pencarian
saya. Lima tahun silam, di tahun akhir jabatan Presiden N, terbit undang-undang
baru yang menyatakan pemilihan kepala negara bukan lagi sebuah hak, namun
kewajiban. Latar belakang undang-undang ini adalah demonstrasi besar-besaran yang
disebut sebagai Gerakan Golongan Putih: sebuah ajakan masif untuk tidak
mencoblos lantaran paslon yang ada dinilai tidak mewakili rakyat maupun nilai luhur
bangsa. Waktu itu ada tiga paslon, dan ketiganya memiliki rekam jejak buruk:
penggusuran, pelanggaran HAM berat, korupsi, KKN, dan lainnya yang tidak diusut
negara. Hasil dari gerakan ini begitu kentara: perhitungan suara di KPU sudah
mencapai 70 persen, tetapi lebih dari 80 persennya adalah suara tidak sah. Stabilitas
politik negara goyah, dan desakan dari petinggi-petinggi partai untuk merevisi
dasar hukum pemilihan kepala negara meningkat.
Alhasil,
ketentuan pemilu pun berubah. Prosedurnya sama seperti yang disampaikan Bogi:
ketika seseorang akan mencoblos, dia masih bebas untuk tidak membocorkan siapa
paslon pilihannya kepada orang lain, kecuali kepada negara. Artinya, dia wajib
membuktikan kepada negara bahwa dia telah memilih, dan negara punya hak penuh
mengetahui paslon mana yang dia pilih. Seorang pemilih akan masuk ke ruang
khusus yang dipantau CCTV, dan melakukan proses pencoblosan seperti biasa. Seusai
mencoblos sesuai prosedur, dia wajib menunjukkan kertas suara yang sudah
dicoblos ke CCTV sebagai bukti pendataan bahwa warga negara sekian telah
mencoblos paslon sekian. Prosedur ini sementara hanya berlaku untuk pemilihan
kepala negara, dan belum diberlakukan untuk pemilihan kepala daerah ataupun
anggota legislatif.
Belum sempat
saya menyimpulkan penemuan ini, gawai saya berbunyi. Pesan dari Aina Maiazora.
Dipikir-pikir kembali, kejanggalan ini muncul setelah percakapan dengannya
kemarin. Tidak ada salahnya saya coba bertanya kepadanya. Saya buka pesan, dan
isinya adalah permohonan untuk menjadikan cerpen saya bahan penelitian skripsinya.
Dia meminta waktu untuk bisa berkorespondensi melalui panggilan video. Saya
pikir ini waktu yang tepat, dan mengatakan bahwa saya bersedia melakukannya
sekarang.
Aina membuka
percakapan dengan sangat sopan, dan gayanya berbicara mengingatkan saya kepada gaya
tutur penyiar berita atau narator video. Dia berpakaian persis seperti fotonya,
namun kini saya hanya bisa melihat bagian atas tubuhnya. Saya ceritakan
kejadian pagi ini, dan Aina menyimaknya secara saksama.
“Saya pikir
cerita Anda tidak janggal, namun kenyataannya memang tidak sesuai dengan apa
yang Anda katakan. Tetapi Anda tidak perlu khawatir. Kenyataan dapat diubah
sesuai keperluan yang diminta,” balasnya sambil tersenyum. Video terputus-putus
karena statik jaringan. Belum sempat saya menanyakan makna jawaban janggal itu,
ketukan di pintu kembali terdengar berkali-kali, seolah di balik pintu adalah
orang paling tidak sabaran di dunia. Dan kali ini saya tahu itu bukan Dori dan
Bogi.
Tangerang, Februari 2024