Gerakan Golongan Putih - Kurnia Gusti Sawiji

@kontributor 6/09/2024

Gerakan Golongan Putih

Kurnia Gusti Sawiji

 


Pesan itu muncul melalui salah satu media sosial saya, dan isinya terlalu panjang untuk dikatakan sebagai surat pembaca. Terlalu rumit, kaku, dan teoretis; ia lebih mirip sebuah esai. Mengintip profil si pengirim pesan, yang saya temukan adalah foto seorang wanita muda anggun berusia 20 pertengahan bernama Aina Maiazora. Dari cara berpakaian dan tatapannya, saya bisa menafsir bahwa dia orang berpendidikan. Pesannya merupakan ulasan kepada cerpen saya yang berjudul Gerakan Golongan Putih, dimuat di salah satu koran nasional dua pekan lalu. Mungkin karena bertepatan dengan tahun politik, cerpen itu kini ramai diperbincangkan dan didiskusikan.

            Cerpen itu adalah karya pertama saya bertema politik. Di situ saya membayangkan sebuah peradaban masa depan di mana memilih kepala negara adalah kewajiban, bukan hak. Tokoh utama adalah seorang anarkis yang mengajak masyarakat ramai-ramai tidak memilih, karena ceritanya di antara calon-calon yang ada, semua baginya tidak layak memimpin negara. Hal ini membuat dia menjadi sasaran aparat. Bagian akhir cerita saya biarkan terbuka, dan saya pastikan tidak ada keberpihakan ke mana pun.

            Pesan dari si Aina ini merupakan salah satu ulasan terlengkap yang saya baca mengenai cerpen itu. Alhasil, kami pun banyak berdiskusi tentang keterkaitan di antara gagasan dalam cerpen dengan realita yang ada. Saya sampaikan bahwa sebenarnya inspirasi cerpen ini muncul karena saya belum bisa memastikan ke mana hak suara saya akan dilayangkan beberapa bulan ke depan. Turut saya beberkan beberapa proses kreatif dan interpretasi pribadi saya, dan dia membalasnya dengan sangat cerdas. Ada ajakan untuk saling bertemu, namun tentu saya tolak. Hubungan antara penulis dan pembaca cukuplah seperti ini: mendiskusikan karya tanpa perlu saling mengenal.

***

            Saya baru sadar bahwa percakapan saya dengan Aina Maiazora berakhir pukul 1 dini hari. Hasil dari ini adalah tertidurnya saya sampai pukul 8 pagi, dan baru terbangun ketika ketukan terdengar di depan rumah. Saya pikir itu loper koran, tetapi ketika ketukan terdengar berkali-kali seolah di balik pintu adalah orang paling tidak sabaran di dunia, mau tidak mau saya beranjak. Saya belum mandi, belum sarapan, dan masih berpakaian tidur.

            Saya cukup kaget ketika melihat dua pria besar melalui lubang intip di pintu. Si besar yang satu lebih ke arah gemuk, sementara si besar yang lainnya lebih ke arah tegap, seperti jenderal. Saya membukakan pintu, dan mereka memperkenalkan diri; saya semakin kaget ketika tahu mereka dari kepolisian. Tetapi mereka cepat-cepat menyampaikan bahwa mereka hanya ingin bersilaturahmi dan sedikit ngobrol. Mereka mengajak saya masuk ke dalam rumah saya sendiri, dan meminta saya menutup pintu sembari mereka masuk. Saya masih berharap mereka tidak akan bertindak ekstrem.

            “Ingin saya buatkan sesuatu?” tanya saya. Keduanya menolak dengan sopan. Tahu bahwa saya sedang waswas, mereka mencoba mencairkan suasana.

            “Kami berpikir seorang penulis sekelas Anda akan tinggal di tempat yang lebih mewah,” ujar si besar gemuk. Saya tertawa kecil. Saya tetap membuatkan teh untuk mereka, karena saya pikir itu akan menimbulkan kesan baik.

            “Perkenalkan, saya Dori,” ujar si besar tegap, “Dan saya Bogi,” ujar si besar gemuk. Mereka lanjut memperkenalkan diri sebagai bagian dari divisi keamanan siber kepolisian di kota tempat saya tinggal.

            “Untuk bapak berdua datang langsung menemui saya, tentu ada perkara besar. Meskipun saya tidak tahu apa yang diinginkan kepolisian dari seorang penulis sederhana seperti saya,” kata saya.

            “Yah, atasan memang menginginkan kami membawa Anda langsung ke kantor polisi dan menjalankan proses interogasi sesuai prosedur, tetapi kami juga mengatakan hal yang sama; Anda hanya seorang penulis sederhana. Oleh karena itu, di sinilah kita,” balas Bogi. Saya agak kecut. Tetapi Dori langsung menambahkan.

            “Tenang saja, Pak. Anggap ini acara bedah karya yang biasa Anda hadapi. Kali ini, kita akan membedah cerpen Anda, Gerakan Golongan Putih yang terbit di Harian M dua pekan lalu.”

            Ah, lagi-lagi cerpen jahanam itu. Tidakkah ia sudah terlampau banyak menarik perhatian? Apakah makna yang terkandung dalam cerpen itu dianggap aparat berbahaya? Seharusnya tidak. Saya tidak menyinggung siapa-siapa, dan cerpen itu murni hasil imajinasi saya, tidak saya dasarkan ke keadaan nyata.

            “Begini, Pak. Bagaimana proses kreatif Anda menulis cerpen itu?” Tanya Dori. Dan saya jawab sebagaimana saya sampaikan kepada dewan pembaca beberapa paragraf yang lalu: saya bingung menentukan paslon mana yang akan saya coblos, dan dari situ saya terinspirasi membuat cerpen itu.

            “Berarti bukan karena memang Anda tidak mau mencoblos, ya?” tegas Dori. Saya katakan: jelas tidak. Untuk apa saya punya hak suara kalau tidak saya pakai. Mendengar hal itu, Dori dan Bogi memandang saya agak intens. Hal ini membuat saya kagok dan menanyakan mengapa mereka memandang saya seperti itu. Bogi bersandar sambil meregangkan perut, Dori yang menjawab.

            “Maksud Anda kewajiban bersuara, kan?”

            “Maaf, apa?”

            “Kewajiban bersuara, Pak. Bukan hak bersuara. Anda wajib memilih salah satu di antara paslon yang ada, dan negara berhak mengawasi Anda sepanjang prosesi pemilihan umum. Negara bisa tahu jika Anda sengaja tidak memilih, atau mencoblos kertas suara tidak sesuai prosedur, dan mempidanakan Anda. Bukankah setiap lima tahun begitu prosedurnya, sejak Anda punya KTP?” balas Bogi.

            Saya mulai menyadari ada yang tidak beres. Tetapi naluri saya mengatakan bahwa saya harus menyetujui apa pun ucapan mereka berdua, dan mengatakan bahwa saya baru bangun, sehingga saya masih separuh sadar. Hal ini tidak serta-merta membuat mereka meredakan intensitas pandangan mereka ke saya, namun saya bisa merasakan hawa longgar di udara ketika Dori tersenyum simpul dan mengajak saya menyeruput teh kembali.

            “Sekali lagi kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, Pak. Belakangan ini, kami menangkap banyak konten kampanye negatif tentang setiap paslon yang ada. Hal ini menimbulkan sebuah persepsi lebih baik tidak memilih, jika pilihan yang ada kenyataannya tidak ada yang baik,” jelas Dori.

            “Sialnya, pembuat konten-konten ini berlindung dengan menggunakan akun berbasis kecerdasan buatan; AI. Sehingga banyak konten yang tidak dapat kami telusuri dari mana jejak asalnya,” lanjut Bogi.

            “Dan saya hanya penulis sederhana. Anda tahu siapa saya, Anda bisa menemukan rumah saya. Dengan kelemahan seperti ini, saya akan terlihat bodoh kan, jika ingin membuat konten-konten yang melanggar aturan?” pungkas saya. Bogi terdiam, lalu memandang Dori, dan secara sistematis keduanya tersenyum.

            “Mohon dipahami, yang berpikir seperti itu adalah atasan kami. Di sini, kami hanya menjalankan tugas. Menurut atasan, adanya konten atau persepsi seperti itu tentu karena ada gagasan di sebaliknya. Yah, kebetulan salah satu yang tertangkap di radar adalah karya tulis Anda. Tetapi jangan salah paham, Pak; cerpen itu bagus! Walaupun saya polisi, saya cukup menikmati karya sastra. Nah, makanya kami ke sini ingin mengklarifikasi kembali proses kreatif di sebalik cerpen itu,” balas Dori.

            Yang selanjutnya terjadi adalah percakapan singkat (namun lebih dalam) tentang cerpen itu. Setelah semua selesai, dan itu memakan waktu kurang lebih 90 menit, mereka berdua bergegas pergi dengan meninggalkan secara tersirat pesan jelas: saya bebas berkarya apa pun, tetapi mata mereka telah menangkap saya. Bagi seorang penulis, hal itu adalah bencana besar. Lantas saya pun menghubungi editor saya setelah memastikan dua aparat itu sudah benar-benar tidak ada di kawasan saya.

            “Kita sudah diskusikan ini kan, Mas? Tapi sampean bilang lanjut, ya kukatakan lanjut,” ujar Mufa enteng. Dia adalah editor novel-novel saya, dan saya selalu berdiskusi dengannya sebelum menulis sesuatu.

            “Tapi kata mereka itu lho, Mas. Masa mereka bilang pemilu itu kewajiban? Pemilu dari dulu sampai sekarang kan hak,” sanggah saya.

            “Ya nggak, Mas. Bukannya periode lalu sudah berubah? Masa pean lupa,” balasnya. Dan terjadilah perdebatan antara dia dan saya. Akhir perdebatan dibiarkan terbuka, karena Mufa ada urusan lain dan saya masih tidak percaya akan apa yang terjadi.

            “Di kotaku sedang ada demo besar-besaran. Biasa, tentang AI. Mau kuliput,” ungkapnya. Selain editor, Mufa bekerja sebagai wartawan partikelir di sebuah media alternatif berbasis di Surabaya. Saya tahu demo yang dimaksudnya. Belakangan ini, muncul semacam kabar burung bahwa penelitian negara di bidang AI telah berkembang sampai ke tahap menggunakannya untuk mengendalikan pikiran manusia. Meskipun saya penulis sastra, saya dulu sempat kuliah di jurusan informatika. Hal mengenai AI mengendalikan pikiran manusia tidak lebih dari fiksi sains yang kurang ilmiah.

            Seusai berbicara dengan Mufa, saya cepat-cepat mandi dan menyiapkan sarapan. Bisa jadi sekarang ini saya masih bermimpi, dan semesta cerita yang saya bangun menjadi latar mimpi saya lantaran betapa asyiknya mendiskusikan cerpen itu bersama si Aina Maiazora. Setelah puas saya menjalankan semuanya dan yakin bahwa kenyataan ini tempat saya berpijak, saya membuka laptop dan berselancar di internet.

            Apa yang saya temukan di internet membuat saya mengulang-ulang kembali pencarian saya. Lima tahun silam, di tahun akhir jabatan Presiden N, terbit undang-undang baru yang menyatakan pemilihan kepala negara bukan lagi sebuah hak, namun kewajiban. Latar belakang undang-undang ini adalah demonstrasi besar-besaran yang disebut sebagai Gerakan Golongan Putih: sebuah ajakan masif untuk tidak mencoblos lantaran paslon yang ada dinilai tidak mewakili rakyat maupun nilai luhur bangsa. Waktu itu ada tiga paslon, dan ketiganya memiliki rekam jejak buruk: penggusuran, pelanggaran HAM berat, korupsi, KKN, dan lainnya yang tidak diusut negara. Hasil dari gerakan ini begitu kentara: perhitungan suara di KPU sudah mencapai 70 persen, tetapi lebih dari 80 persennya adalah suara tidak sah. Stabilitas politik negara goyah, dan desakan dari petinggi-petinggi partai untuk merevisi dasar hukum pemilihan kepala negara meningkat.

            Alhasil, ketentuan pemilu pun berubah. Prosedurnya sama seperti yang disampaikan Bogi: ketika seseorang akan mencoblos, dia masih bebas untuk tidak membocorkan siapa paslon pilihannya kepada orang lain, kecuali kepada negara. Artinya, dia wajib membuktikan kepada negara bahwa dia telah memilih, dan negara punya hak penuh mengetahui paslon mana yang dia pilih. Seorang pemilih akan masuk ke ruang khusus yang dipantau CCTV, dan melakukan proses pencoblosan seperti biasa. Seusai mencoblos sesuai prosedur, dia wajib menunjukkan kertas suara yang sudah dicoblos ke CCTV sebagai bukti pendataan bahwa warga negara sekian telah mencoblos paslon sekian. Prosedur ini sementara hanya berlaku untuk pemilihan kepala negara, dan belum diberlakukan untuk pemilihan kepala daerah ataupun anggota legislatif.

Belum sempat saya menyimpulkan penemuan ini, gawai saya berbunyi. Pesan dari Aina Maiazora. Dipikir-pikir kembali, kejanggalan ini muncul setelah percakapan dengannya kemarin. Tidak ada salahnya saya coba bertanya kepadanya. Saya buka pesan, dan isinya adalah permohonan untuk menjadikan cerpen saya bahan penelitian skripsinya. Dia meminta waktu untuk bisa berkorespondensi melalui panggilan video. Saya pikir ini waktu yang tepat, dan mengatakan bahwa saya bersedia melakukannya sekarang.

Aina membuka percakapan dengan sangat sopan, dan gayanya berbicara mengingatkan saya kepada gaya tutur penyiar berita atau narator video. Dia berpakaian persis seperti fotonya, namun kini saya hanya bisa melihat bagian atas tubuhnya. Saya ceritakan kejadian pagi ini, dan Aina menyimaknya secara saksama.

“Saya pikir cerita Anda tidak janggal, namun kenyataannya memang tidak sesuai dengan apa yang Anda katakan. Tetapi Anda tidak perlu khawatir. Kenyataan dapat diubah sesuai keperluan yang diminta,” balasnya sambil tersenyum. Video terputus-putus karena statik jaringan. Belum sempat saya menanyakan makna jawaban janggal itu, ketukan di pintu kembali terdengar berkali-kali, seolah di balik pintu adalah orang paling tidak sabaran di dunia. Dan kali ini saya tahu itu bukan Dori dan Bogi.

Tangerang, Februari 2024

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »