Tuhan, Cinta, dan Puisi - Agus Manaji

@kontributor 9/04/2022

Tuhan, Cinta, dan Puisi

Agus Manaji

 




Pada mulanya adalah cinta, yang menjelma Cahaya

-puisi Rahman Rahim Cinta (1)

 

 

1/

Rahman Rahim Cinta, buku puisi Emha Ainun Nadjib teranyar, menjadi buku istimewa yang terbit menjelang Ramadhan tahun ini. Buku setebal 289 halaman ini, ujar penyair Iman Budhi Santosa dalam kata pengantar, adalah kado buat kemanusiaan dan budaya. Nyaris seluruh puisi dalam buku ini mengungkap cinta lengkap dengan serba-serbi dan energy yang dapat timbul dari perasaan cinta. Melalui puisi-puisinya Emha berbagi pengalaman dan renungan dalam mencari dan menemukan cinta: kepada Tuhan, sesame manusia dana lam semesta.

 

Kita mafhum, cinta sering tidak bisa tepat diuraikan dengan teori. Cinta akan lebih pas untuk dijalani dan dialami. Pengalaman dan konsep cinta setiap orang boleh jadi tak sama, meski mungkin dari pengalaman-pengalaman itu ada tampak semacam keserupaan. Kita mengingat pesan cinta Jalaluddin Rumi (dalam buku Lagu Seruling Rumi, penerjemah Abdul Hadi W.M., Penerbit Mahatari, tahun 2004) dalam matsnawi:

 

            Pena begitu gegabah menulis tentang cinta

            Namun begitu menggapai cinta, kata-kata pecah berkeping-keping

            Untuk menguraikan cinta, akal tak berdaya bagai keledai jatuh di lumpur

            Cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan kisah cinta

 

Sebagaimana Rumi sendiri kepayang dalam cinta dan menari berputaran melantunkan puisi, Emha Ainun Nadjib memilih puisi sebagai medium yang lebih lentur untuk berbagi pengalaman cintanya. Ia pun kerap membacakan dan bahkan menyanyikannya dengan khusyuk bersama gamelan Kiai Kanjeng. Tentunya Emha Ainun Nadjib menyadari problematika cinta yang tadi diungkapkan Rumi :

 

Kutulis puisi-puisi cinta     

……

Tetapi begitu kucoba puisi yang pertama

Selalu yang muncul adalah kata-kata

Yang aku sendiri kurang memercayainya

(puisi Gagal Menemukan wujudnya)

 

Ternyata cinta sejati tidak berdasarkan kalkulasi

(Puisi Cinta Azali)

 

Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi dan kebanyakan kaum sufi memandang cinta sebagai alasan Tuhan menciptakan manusia dana lam semesta. Sebuah hadis qudsi yang kerap dikutip para sufi, juga oleh Ibnu ‘Arabi dalam Futuhat al Makkiyah, berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan terpendam yang belum dikenal; Aku ingin agar dikenal, maka Kuciptakan Makhluk”. Penghambaan tiada lain ialah mengenal dan mencintai Tuhan, itulah spirit penciptaan dan kehidupan. Penyair Emha Ainun Nadjib meyakini hal ini:

           

Tidaklah cinta itu sebagaimana kehidupan dan kebahagiaan

            Karena disebabkan cinta Tuhan menciptakan kehidupan

            (Puisi Yang Ia Sendiri Memujinya)

 

Sebagai spirit kehidupan, cinta menjadi denyut gerak kehidupan alam semesta:

           

Sedangkan semua alam, hewan dan tetumbuhan

            Yakni kakak-kakaknya makhluk bernama manusia

            Hidup hanya karena cinta dan digerakkan olehnya

            Para malaikat menjaga qadha-qadhar mereka semua

            (puisi Raungan tak Terkira)

 

            Cintalah yang mendorong bumi mengitari matahari

            Sehingga waktu menelusuri pagi hingga pagi lagi

            Cintalah yang menggiring semua benda-benda semesta

            Berputar pada porosnya, patuh meniti garis lingkarnya

            Sehingga kehidupan berlangsung seakan tanpa disangga

            (puisi Jembatan antara Ada dan Tiada)

 

Semua makhluk, kecuali agaknya kebanyakan manusia, menyadari hal ini. Karenanya kemudian, masih di puisi yang sama, penyair menyindir manusia mengkhianati cinta :

 

            Sementara manusia yang amat dimanja oleh Sang Pencipta

            Memenuhi dunia dengan khianat dan tidak setia

            Sepanjang sejarah menyakiti hati Tuhan semena-mena

            Sampai dating hari mereka menangis dengan raungan tak terkira

 

 

2/

Tuhan, Cinta, dan puisi

Cinta adalah relasi dua pribadi: pencinta dan Sang Kekasih yang menuju kepada kesatuan. Karenanya pengalaman pencarian jati diri (pribadi) juga menjadi pengalaman cinta. Man arafa nafsahu, arafa rabbahu, demikian bunyi sebuah Hadits, barang siapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhan-Nya. Seyyed Hossein Nasr (dalam buku Mereguk Sari Tasawuf, Mizan, 2010) mengomentari hadits tersebut: “Artinya pengetahuan diri akan mengantarkan pada pengetahuan tentang Tuhan”. Pencarian Jati Diri berjalin berkelindan satu nafas dengan proses pengenalan Tuhan. Emha Ainun Nadjib secara apik menggambarkannya dalam puisi Shahibu Baiti :

     

Para pejalan sunyi

            Para pengelana shafi

            Para pendamba al-‘Aliy

            Membimbingku ke ruang sunyi

            Di dalam diri

            Agar kutemukan diri sejati

 

            Aku gelandangan kabur kanginan

            Bertamu ke diriku sendiri

            Kuketuk pintunya lima kali sehari

            Ambruk tak terperi

            Mengemis tak henti

            Kepada Maha Tuan Rumah diri ini

 

Di akhir puisi penyair menyadari bahwa pencarian jati dirinya hanya mungkin terwujud dengan berguru kepada guru azali yakni Tuhan Sang Rahman Rahim itu sendiri.

           

Tiada guru azali

Tiada diri sejati

Kecuali Rahman Rahin ini sendiri

 

Demikian, puisi pembuka Emha Ainun Nadjib telah memberi kata kunci untuk memasuki pengalaman cinta melimpah dalam buku Rahman Rahim Cinta.

Terdapat dua Puisi berjudul sama dengan judul buku ini. Pada puisi pertama, Rahman Rahim Cinta (1) penyair bahwa cinta berasal dari asma dan sifat Rahman dan Rahim Tuhan yang menurutnya jiwa utama Allah. Penyair berujar:

 

            Dari kandungan Rahman Rahim itulah dilahirkan cinta

            Untuk bekal utama hidup kita menjalani suka duka dunia

            Rahman Rahim jiwa utama Allah, ikon utama kepribadian-Nya

            Cinta yang maha meluas, cinta yang maha mendalam

            Tak mungkin ada kata hasil karya kebudayaan manusia

            Yang mencakup maknanya dan memuat kandungannya

           

            Maka yang diajarkan kepada Adam bapak semua manusia

            Pun hanya asma. Hanya nama-nama, satuan paling sederhana

            …….

 

Di bait ketiga, terakhir, penyair menggaris bawahi apa itu cinta seraya menyebut puisi dan penyair:

 

            Cinta bukan kata yang kau pungut suatu siang dari tepian jalan

            Dari puisi penyair yang tertulis di sobekan kertas koran

            Cinta bukan rerasanan yang tercantum di footnote kaum ilmuwan

 

Pada puisi selanjutnya Rahman Rahim Cinta (2), menempatkan cinta di tengah-tengah kehidupan. Meski cinta adalah spirit kehidupan namun coal cinta bukan untuk dipermainkan:

 

Tolong jangan main-mainkan cinta menjadi camilan kesenian

Atau kau rekayasa menjadi slogan politik dan kebudayaan

Kemudian dalam agama jadi mazhab saling salah paham

 

Di bait terakhir cinta meluas lagi lingkupnya ke kerajaan dan negara. Penyair mengingatkan bahwa di atas kemakmuran ekonomi maka prasyarat sebuah keluarga, bahkan negara adalah mewujudkan rahmah menjadi berkah, dan syaratnya adalah cinta :

 

Rumah tangga, komunitas, masyarakat, kerajaan, atau negara

Kebutuhan utamanya adalah mewujudkan rahmah menjadi berkah

Apapun saja pilihan jalanmu, cinta untuk bersama adalah kuncinya

 

Adalah menarik bahwa Emha Ainun Nadjib kerapkali menggali perihal trilogy Tuhan, Cinta, dan Puisi dalam puisi-puisinya. Karenanya tiga hal ini bisa menjadi salah satu jalan bagi pembaca untuk memahami buku ini dan selanjutnya sosok penyair Emha Ainun Nadjib. Mari kita simak petikan puisi Setiap Huruf Keasyikan-Nya :

 

            Puisi-puisi ini kupersembahkan

            Setelah kuminta dari kemurahan Tuhan

            Aku mengais sepanjang pengembaraan

            Bersujud dan rebah memohon kasih saying

 

Sebab aku ini sendiri seluruhnya

Azalinya seakan ada namun tiada

Andaikan Tuhan tak ingin bercinta

Tidaklah lantas ia menciptakan makhluknya

….

Juga aku mohon maaf kepadamu semua

Puisi-puisi ini tidak asli segala sesuatunya

Aku sekedar menyampaikan dan menikmatinya

Kesungguhan setiap huruf keasyikan-Nya.

 

Puisi ini menyebut kata ‘Tuhan’, ‘cinta’, dan ‘puisi’ dan menjabarkannya dalam satu tarikan nafas. Penyair mengatakan jika puisi-puisi yang ia tulis adalah karena kemurahan Tuhan setelah pengembaraan sujud sembahyang. Selain itu penyair juga mengakui jika hanya karena cinta Tuhan maka ia (manusia) diciptakan dan (hanya seolah saja) ada. Penyair ingin menjadi manusia, dan kelak anak cucunya tahu akan ikhtiar itu. Karenanya penyair tidak berambisi muluk dalam sastra dan tidak memaksudkan puisi-puisinya diakui sebagai khazanah sastra. Dan akhirnya, penyair menginsyafi bahwa puisi-puisinya tidak asli.

 

Puisi-puisi yang lahir dari kemurahan Tuhan tidak lantas baik-baik saja. Puisi bagi penyair tak lain medium usaha menghadirkan, merengkuh Tuhan, dan menyebarkan cinta. Namun maksud luhur tidak lantas kemudian menjadikan puisi itu indah dan tidak dikeliru arti. Puisi Larut Oleh Cinta-Nya mengungkapkan dilemma ini:

 

            Kalau Tuhan dicantumkan dalam puisi

            Manusia menyebut itu puisi religious

            Tuhan adalah bagian dari kegiatan manusia

            ….

            Kalau puisi menyebut-nyebut kata cinta

            Tak ada teknologi atau ilmu pengetahuan besertanya

            Tak ada kaitannya dengan politik dan penindasan

 

Tuhan dan cinta yang disampaikan melalui puisi akan tidak sempurna dan mudah disalahpahami karena keterbatasan pemahaman manusia (penyair maupun pembaca), sehingga lanjut penyair, dua hal itu menjadi ‘terasing dan kesepian sepanjang masa’. Meski demikian beruntunglah, sebab Tuhan tidak mengundurkan diri-Nya.

 

Dilemma ‘Tuhan, Cinta, dan Puisi’ tidak berhenti sampai di situ. Melalui jalan puisi dan cinta, penyair kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Tuhan. Ketika puisi-puisi cinta disalahpahami oleh orang lain, maka cinta itu sendiri menjadi harapan sekaligus dan jalan menghampiri Tuhan. Puisi Kalau Kubilang Cinta, tampak seperti curhatan penyair, mengungkap hal ini :

 

Kalau kubilang ini puisi-puisi cinta

Bisa jadi kau bilang itu dusta

Kalau kukatakan ini semua adalah cinta

Kau hakimi sebagai omong kosong sastra

….

Tapi aku memang sangat bernafsu kepada cinta

Maka aku sedang berusaha merayunya

….

Kutemukan hidup adalah ujian cinta

Siang dan malam sowan ke hadapan-Nya sepanjang usia

 

Seakan melanjutkan puisi Kalau Kukatakan Cinta, maka dalam puisi Penerimaan penyair menyatakan sikapnya. Relasi Tuhan, Cinta, dan puisi semakin mengental dan menampakkan posisi penyair atasnya. Kita simak cuplikan puisi Penerimaan :

            Kalau puisi-puisi cintaku ditolak oleh manusia

            Dengan sujud sembahku, ya Tuhan, kumohon engkau menerimanya

Yang kupersembahkan ini bukan keindahan kata-kata

Bukan pula mutu, dan kedalaman isinya

Melainkan sekedar upaya ikhlasku menjalani hidup ini dengan cinta

 

Kalau puisi-puisi cintaku ini dihardik oleh dunia

Harapanku tinggal kelembutan dan presisi dan pandangan-Mu kepadanya

……

Apakah ini puisi atau bukan, apakah ini cinta atau kepalsuan

Kepada Lathif Khabir-Mu aku pasrah bongkokan

3/

Puisi Sejati dan Pujangga Sejati

Penyair telah menyatakan puisi-puisinya ‘tidak asli’ (dalam puisi Setiap Huruf Keasyikan-Nya), lalu di lain waktu penyair juga berseru:

 

Telah kutulis puisi beribu-ribu jumlahnya

Tapi terus terang aku sendiri tidak mengakuinya

Tolong jangan bilang kepada para cendikiawan dan pujangga

(puisi Di Almari Rahasia)

 

Bahkan penyair mewanti-wanti pembaca :

 

Jangan terlalu dalam peduli kalau pujangga bilang cinta

…..

Tapi waspadalah juga kepada cinta yang kugoreskan dengan pena

Aku sendiri melintasi ribuan laut mendayung perahu duga-duga

(puisi Kalau Bilang Cinta)

 

Lalu, sesungguhnya bagaimanakah sesungguhnya (konsep) puisi menurut Emha Ainun Nadjib? Emha Ainun Nadjib agaknya terus bergulat untuk merumuskan hakikat puisi dan Kita bisa menlengkapi jawabnya dengan membaca puisi-puisinya. Sebelum mencari jawab pertanyaan ini baik kita pahami bahwa di antara trilogy Tuhan, cinta, dan puisi, penyair menyadari posisi puisilah yang paling lemah:

 

Di antara cinta dan Tuhan

Puisilah yang terlemah energinya

Sebab cinta berasal dari Tuhan

Sedangkan puisi karangan manusia

Maka amanah dan kewajiban para pujangga

Adalah merawat hakiki puisi

(Puisi Paling Lemah)

 

Menambah keterangan dari puisi-puisi yang sudah kita singgung di atas, puisi-puisi lain seperti puisi Meskipun Tidak Esa, Tapi Maha, puisi Menjelma Puisi Kekal Abadi, Puisi Tak Sedalam Pujangga, puisi Kalau Bilang Cinta, puisi Jangan Menagih Puisi, juga bisa kit abaca untuk melihat pandangan penyair atas puisi. Yang pasti, penyair memandang perpuisian tidak sebatas perkara menulis bagi penyair dan membaca bagi pembaca. Puisi juga bukan sekedar kata dan keindahan. Penyair menegaskan :

 

            Apakah puisi itu milik para pujangga

            Hak mutlak pada penulisnya

            Atau milik semua manusia

            ……

            Siapakah yang berhak menentukan ini puisi dan itu bukan

            Para pujangga sendiri, kaum pengamat yang mengawal mereka

            Atau Malaikan, Jin, Hantu atau…

            Dunia puisi seperti urusan politik atau agama dari Tuhan

            Punya banyak golongan dan aliran-aliran

            Yang saling berpaling, menyalahkan dan merendahkan

            Tapi kita percaya bahwa puisi adalah pencuci dan pemurni jiwa

            (puisi Milik Siapa)

 

Baiklah, kita simak puisi Lubuk yang Terdalam dari Jiwa yang menguraikan konsep puisi:

 

            Aku yakin puisi adalah yang paling mengendap di dasar jiwa

            Perasaan terdalam, keperihan yang tak muncul di permukaan

            Sejak lama kubilang kusembunyikan puisi dari kata-kata

            Semua yang kutulis hanyalah bocoran dan kecelakaan belaka

            Dari beban dan hentakan yang aku tak mampu menahannya

 

            Kalau sampai kuungkap puisi jiwa yang sebenarnya

            Tak kan pernah kau akan bisa pahami kata-katanya

            Tak kan sanggup dunia mewadahi ledakan-ledakannya

            Maka kujalani hidup dengan jubah dan selimut rahasia

            Sudah kumintakan izin dan perkenan dari Tuhan pemiliknya

 

Puisi ini (juga puisi-puisi lainnya) meneguhkan Jalan Sunyi yang pernah dinyatakan penyair sekian tahun lampau. Menjenguk lagi ke belakang, Emha Ainun Nadjib pernah berujar dalam puisi Jalan Sunyi, “puisi yang kusembunyikan dari kata-kata”. Puisi ini setidaknya pernah muncul 2 kali publikasi cetak, yakni dalam buku puisi Abracadabra, Kita Ngumpet terbitan Bentang Budaya, tahun 1994, dan dalam buku Puisi Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta, Sebuah Trilogi terbitan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2001. Ada hal menarik dalam dua kali publikasi itu. Pada edisi Abracadabra puisi Jalan Sunyi terdapat kata kepada Umbu Landu Paranggi, Guru Emha saat di kelompok Persada Studi Klub, sedangkan pada Buku puisi Trilogi Mencabut Kutukan, tidak tercantum nama Umbu Landu Paranggi. Puisi ini juga pernah dilagukan oleh penyairnya bersama kelompok Kiai Kanjeng dan termuat dalam album Tombo Ati. Agaknya, yang semula Puisi Jalan Sunyi merupakan penggambaran penyair Emha Ainun Nadjib atas sosok sunyi misterius Guru Umbu Landu Paranggi, namun di kemudian hari Sang Penyair melebur Sang Guru dalam sunyi dengan menghapus namanya dari puisi. Tak hanya itu, puisi itu ternyata menjadi nubuwat atas dirinya yang juga memakmumi sang guru menempuh jalan sunyi. Itulah mengapa nama Umbu tak lagi muncul dalam Buku Puisi ‘Trilogi Mencabut Kutukan’, dan bahkan ‘jalan sunyi’ kemudian dijelaskan lagi dalam puisi (yang lebih kemudian) Lubuk yang Terdalam dari Jiwa.

 

Kita baca lengkap satu lagi puisi Jangan Menagih Puisi :

           

Jangan penagih puisi kepada pujangga sejati

            Ia bukan petugas sastra atau pelayan kebudayaan

            Ia adalah pujangga kehidupan

            Karena hidup adalah puisi yang disamarkan

 

            Hidupnya itu sendirilah puisi

            Usia dan sejarahnya memuat bait-baitnya

            Perilaku siang malamnya menyembunyikan cahaya

            Supaya engkau mencarinya

 

            Bahkan pun antara yang mencintai dengan yang dicintai

            Tak ada jaraknya, satu yang tak pernah mendua

            Al-‘Abid wal-ma’bud, yang mengabdi dengan yang diabdi

            Bertauhid menjadi satu keindahan Azza wa Jalla

 

Penyair menerangkan lebih lanjut konsep puisinya. Bahwa puisi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Puisi tak lain esensi dan inti dari laku kehidupan. Puisi menjadi kesatuan spiritualitas rasa Cintanya kepada Tuhan.

 

4/

Posisi Puisi dalam Islam sungguh rawan, meski taka da larangan untuk berpuisi. Al Quran Surah Asy Syu’ara’ ayat 224-227 menyebut, “Dan para penyair, mereka diikuti orang-orang tersesat. Tidakkah kau lihat, bahwa mereka mengembara di setiap lembah. Dan bahwa mereka mengatakan apa yang tiada mereka kerjakan? Kecuali (penyair) yang beriman dan beramal saleh, banyak mengingat Allah”. Selain itu Surah Yasin ayat 69 juga menegaskan, “Tiada kami ajarkan syair kepadanya (Muhammad), hal itu tiada pantas baginya….”. Nabi Muhammad sendiri, meski bukan penyair, menghargai syair/puisi, “Dalam puisi terdapat hikmah, dan hikmah seperti unta yang hilang”. Agama Islam mengedepankan kejujuran dan kebermanfaatan. Emha Ainun Nadjib mengerti betul hal ini, sehingga mengedepankan kejujuran dan suara nurani dalam berpuisi. Dalam beberapa kesempatan bahkan ia mengecam puisi kata-kata indah semata. Dalam konteks kehidupan social, Emha Ainun Nadjib menolak kehidupan yang materialistis (palsu) dan mengabaikan makna spiritualitas. Ia pun menyindir para pemimpin yang mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.

 

Pada puisi-puisi seorang Emha Ainun Nadjib membayang kepada kita akan sosoknya. Sulit membaca puisi-puisi Emha sebagai sekedar pokok, karena ke‘tokoh’annya justru membantu dan melengkapi penafsiran. Terlebih puisi-puisinya adalah puisi suara hati. Penyair pernah berujar ‘hidupnya (penyair) itu sendirilah puisi’. Puisi cinta penuh gelora kepada Tuhan, sesame manusia dana lam semesta. Diksi dalam puisinya terang, seolah hendak menggarisbawahi kejujuran, upaya meminimalkan bias salah tafsir. Puisi-puisi melimpah dari hati sebagai buah permenungan penyair atas kehidupan. Tuhan, Cinta dan puisi menjadi tak terpisahkan dalam diri penyair.

 

Rasa cinta kepada Tuhan, dan limpahan Cinta Tuhan kepada sang pencinta (baca: penyair) menjadi spirit menjalani hidup dan membuahkan puisi-puisi. Puisi menjadi pernyataan sikap hidup penyair. Bahkan sikap kritis pada dan penolakan sesuatu berlandaskan atas rasa cinta penyair akan kebenaran dan kesejatian. Dan parallel dengan Spirit Al Qur’an yang dibuka dengan persoalan akidah (kesejatian, Ketuhanan, dan jati diri) dalam surah al Fatihah dan kemudian diakhiri dengan surah An Nas (kemanusiaan, muamalah, kepedulian social), penyair pun membuka kumpulan puisinya dengan puisi Shahibu Baiti dan menutupnya dengan puisi Bala Tentara Allah yang sarat dengan kritik sosial :

 

Penjajahan kini adalah tipu daya nilai-nilai

Wilayahnya akal pikiran penduduk semua negeri

Umat manusia dituangi minuman-minuman lupa diri

Bahkan membayar mahal ke sekolah untuk dikebiri

 

Manusia bukan yang dulu dikonsepkan dalam penciptaan

Manusia adalah kuda-kuda larat ke daerah yang tolol

Sungguh benar kata Tuhan: ulaa-ika kal-an’am bal hum adhall

Seluruh dunia membangun dunia tapi tidak membangun manusia

 

Tuhan, cinta dan puisi menjadi satu kesatuan kesadaran, sebagaimana Penyair Emha Ainun Nadjib sendiri nyatakan dalam Epilog buku Rahman Rahim Cinta. Penyair menulis: Itulah sebabnya sampai serenta apa pun usia saya, tak berhenti saya menulis puisi. Sebab tanpa puisi, negara, kebudayaan, dan agama: kehilangan manusia. Meski untuk itu ia pun agaknya sadar kadang tak mampu menghindar untuk berseru:

 

            Wahai Tuhan betapa jauh, wahai cinta betapa tak terjangkau

            Wahai puisi rinduku sampai luruh.

            (puisi Sedang Rasa Begini Dekat)

 

Kita membaca cinta dengan membaca puisi-puisi dalam buku ini. Kita berguru kepada cinta pada Sang Guru Cinta Emha Ainun Nadjib.

 

            Ijinkan saya melanjutkan petikan larik pembuka puisi di atas.

            Pada mulanya adalah cinta, yang menjelma cahaya

Kemudian kepada Malaikat Bapa Adam belajar menuturkannya

 

Muntilan, 30 Juni 2022.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »