Tuhan,
Cinta, dan Puisi
Agus
Manaji
Pada mulanya adalah cinta, yang
menjelma Cahaya
-puisi
Rahman Rahim Cinta (1)
1/
Rahman Rahim Cinta, buku puisi Emha Ainun
Nadjib teranyar, menjadi buku istimewa yang terbit menjelang Ramadhan tahun
ini. Buku setebal 289 halaman ini, ujar penyair Iman Budhi Santosa dalam kata
pengantar, adalah kado buat kemanusiaan dan budaya. Nyaris seluruh puisi dalam
buku ini mengungkap cinta lengkap dengan serba-serbi dan energy yang dapat
timbul dari perasaan cinta. Melalui puisi-puisinya Emha berbagi pengalaman dan
renungan dalam mencari dan menemukan cinta: kepada Tuhan, sesame manusia dana
lam semesta.
Kita
mafhum, cinta sering tidak bisa tepat diuraikan dengan teori. Cinta akan lebih
pas untuk dijalani dan dialami. Pengalaman dan konsep cinta setiap orang boleh
jadi tak sama, meski mungkin dari pengalaman-pengalaman itu ada tampak semacam keserupaan.
Kita mengingat pesan cinta Jalaluddin Rumi (dalam buku Lagu Seruling Rumi, penerjemah Abdul Hadi W.M., Penerbit Mahatari,
tahun 2004) dalam matsnawi:
Pena
begitu gegabah menulis tentang cinta
Namun
begitu menggapai cinta, kata-kata pecah berkeping-keping
Untuk
menguraikan cinta, akal tak berdaya bagai keledai jatuh di lumpur
Cinta
sendirilah yang menerangkan cinta dan kisah cinta
Sebagaimana
Rumi sendiri kepayang dalam cinta dan menari berputaran melantunkan puisi, Emha
Ainun Nadjib memilih puisi sebagai medium yang lebih lentur untuk berbagi
pengalaman cintanya. Ia pun kerap membacakan dan bahkan menyanyikannya dengan
khusyuk bersama gamelan Kiai Kanjeng. Tentunya Emha Ainun Nadjib menyadari
problematika cinta yang tadi diungkapkan Rumi :
Kutulis puisi-puisi cinta
……
Tetapi begitu kucoba puisi yang pertama
Selalu yang muncul adalah kata-kata
Yang aku sendiri kurang memercayainya
(puisi Gagal Menemukan wujudnya)
Ternyata cinta sejati tidak berdasarkan kalkulasi
(Puisi Cinta Azali)
Jalaluddin
Rumi, Ibnu Arabi dan kebanyakan kaum sufi memandang cinta sebagai alasan Tuhan menciptakan
manusia dana lam semesta. Sebuah hadis qudsi yang kerap dikutip para sufi, juga
oleh Ibnu ‘Arabi dalam Futuhat al
Makkiyah, berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan terpendam yang belum
dikenal; Aku ingin agar dikenal, maka Kuciptakan Makhluk”. Penghambaan tiada
lain ialah mengenal dan mencintai Tuhan, itulah spirit penciptaan dan
kehidupan. Penyair Emha Ainun Nadjib meyakini hal ini:
Tidaklah cinta itu
sebagaimana kehidupan dan kebahagiaan
Karena
disebabkan cinta Tuhan menciptakan kehidupan
(Puisi Yang Ia Sendiri Memujinya)
Sebagai
spirit kehidupan, cinta menjadi denyut gerak kehidupan alam semesta:
Sedangkan semua alam,
hewan dan tetumbuhan
Yakni
kakak-kakaknya makhluk bernama manusia
Hidup
hanya karena cinta dan digerakkan olehnya
Para
malaikat menjaga qadha-qadhar mereka semua
(puisi Raungan tak Terkira)
Cintalah
yang mendorong bumi mengitari matahari
Sehingga
waktu menelusuri pagi hingga pagi lagi
Cintalah
yang menggiring semua benda-benda semesta
Berputar
pada porosnya, patuh meniti garis lingkarnya
Sehingga
kehidupan berlangsung seakan tanpa disangga
(puisi Jembatan antara Ada dan Tiada)
Semua
makhluk, kecuali agaknya kebanyakan manusia, menyadari hal ini. Karenanya
kemudian, masih di puisi yang sama, penyair menyindir manusia mengkhianati
cinta :
Sementara
manusia yang amat dimanja oleh Sang Pencipta
Memenuhi
dunia dengan khianat dan tidak setia
Sepanjang
sejarah menyakiti hati Tuhan semena-mena
Sampai
dating hari mereka menangis dengan raungan tak terkira
2/
Tuhan, Cinta, dan puisi
Cinta
adalah relasi dua pribadi: pencinta dan Sang Kekasih yang menuju kepada kesatuan.
Karenanya pengalaman pencarian jati diri (pribadi) juga menjadi pengalaman
cinta. Man arafa nafsahu, arafa rabbahu,
demikian bunyi sebuah Hadits, barang siapa yang mengenal dirinya, mengenal
Tuhan-Nya. Seyyed Hossein Nasr (dalam buku Mereguk
Sari Tasawuf, Mizan, 2010) mengomentari hadits tersebut: “Artinya
pengetahuan diri akan mengantarkan pada pengetahuan tentang Tuhan”. Pencarian Jati
Diri berjalin berkelindan satu nafas dengan proses pengenalan Tuhan. Emha Ainun
Nadjib secara apik menggambarkannya dalam puisi Shahibu Baiti :
Para pejalan sunyi
Para
pengelana shafi
Para
pendamba al-‘Aliy
Membimbingku
ke ruang sunyi
Di
dalam diri
Agar
kutemukan diri sejati
Aku
gelandangan kabur kanginan
Bertamu
ke diriku sendiri
Kuketuk
pintunya lima kali sehari
Ambruk
tak terperi
Mengemis
tak henti
Kepada
Maha Tuan Rumah diri ini
Di akhir
puisi penyair menyadari bahwa pencarian jati dirinya hanya mungkin terwujud
dengan berguru kepada guru azali yakni Tuhan Sang Rahman Rahim itu sendiri.
Tiada guru azali
Tiada diri sejati
Kecuali Rahman Rahin ini sendiri
Demikian, puisi
pembuka Emha Ainun Nadjib telah memberi kata kunci untuk memasuki pengalaman
cinta melimpah dalam buku Rahman Rahim Cinta.
Terdapat
dua Puisi berjudul sama dengan judul buku ini. Pada puisi pertama, Rahman Rahim
Cinta (1) penyair bahwa cinta berasal dari asma dan sifat Rahman dan Rahim
Tuhan yang menurutnya jiwa utama Allah. Penyair berujar:
Dari
kandungan Rahman Rahim itulah dilahirkan cinta
Untuk
bekal utama hidup kita menjalani suka duka dunia
Rahman
Rahim jiwa utama Allah, ikon utama kepribadian-Nya
Cinta
yang maha meluas, cinta yang maha mendalam
Tak
mungkin ada kata hasil karya kebudayaan manusia
Yang
mencakup maknanya dan memuat kandungannya
Maka
yang diajarkan kepada Adam bapak semua manusia
Pun
hanya asma. Hanya nama-nama, satuan paling sederhana
…….
Di bait
ketiga, terakhir, penyair menggaris bawahi apa itu cinta seraya menyebut puisi
dan penyair:
Cinta
bukan kata yang kau pungut suatu siang dari tepian jalan
Dari
puisi penyair yang tertulis di sobekan kertas koran
Cinta
bukan rerasanan yang tercantum di footnote kaum ilmuwan
Pada puisi
selanjutnya Rahman Rahim Cinta (2), menempatkan cinta di tengah-tengah
kehidupan. Meski cinta adalah spirit kehidupan namun coal cinta bukan untuk
dipermainkan:
Tolong jangan main-mainkan cinta menjadi camilan kesenian
Atau kau rekayasa menjadi slogan politik dan kebudayaan
Kemudian dalam agama jadi mazhab saling salah paham
Di bait
terakhir cinta meluas lagi lingkupnya ke kerajaan dan negara. Penyair
mengingatkan bahwa di atas kemakmuran ekonomi maka prasyarat sebuah keluarga,
bahkan negara adalah mewujudkan rahmah menjadi berkah, dan syaratnya adalah
cinta :
Rumah tangga, komunitas, masyarakat, kerajaan, atau negara
Kebutuhan utamanya adalah mewujudkan rahmah menjadi berkah
Apapun saja pilihan jalanmu, cinta untuk bersama adalah
kuncinya
Adalah
menarik bahwa Emha Ainun Nadjib kerapkali menggali perihal trilogy Tuhan,
Cinta, dan Puisi dalam puisi-puisinya. Karenanya tiga hal ini bisa menjadi
salah satu jalan bagi pembaca untuk memahami buku ini dan selanjutnya sosok
penyair Emha Ainun Nadjib. Mari kita simak petikan puisi Setiap Huruf Keasyikan-Nya :
Puisi-puisi
ini kupersembahkan
Setelah
kuminta dari kemurahan Tuhan
Aku
mengais sepanjang pengembaraan
Bersujud
dan rebah memohon kasih saying
Sebab aku ini sendiri seluruhnya
Azalinya seakan ada namun tiada
Andaikan Tuhan tak ingin bercinta
Tidaklah lantas ia menciptakan makhluknya
….
Juga aku mohon maaf kepadamu semua
Puisi-puisi ini tidak asli segala sesuatunya
Aku sekedar menyampaikan dan menikmatinya
Kesungguhan setiap huruf keasyikan-Nya.
Puisi ini
menyebut kata ‘Tuhan’, ‘cinta’, dan ‘puisi’ dan menjabarkannya dalam satu
tarikan nafas. Penyair mengatakan jika puisi-puisi yang ia tulis adalah karena
kemurahan Tuhan setelah pengembaraan sujud sembahyang. Selain itu penyair juga
mengakui jika hanya karena cinta Tuhan maka ia (manusia) diciptakan dan (hanya
seolah saja) ada. Penyair ingin menjadi manusia, dan kelak anak cucunya tahu
akan ikhtiar itu. Karenanya penyair tidak berambisi muluk dalam sastra dan
tidak memaksudkan puisi-puisinya diakui sebagai khazanah sastra. Dan akhirnya,
penyair menginsyafi bahwa puisi-puisinya tidak asli.
Puisi-puisi
yang lahir dari kemurahan Tuhan tidak lantas baik-baik saja. Puisi bagi penyair
tak lain medium usaha menghadirkan, merengkuh Tuhan, dan menyebarkan cinta.
Namun maksud luhur tidak lantas kemudian menjadikan puisi itu indah dan tidak
dikeliru arti. Puisi Larut Oleh Cinta-Nya
mengungkapkan dilemma ini:
Kalau
Tuhan dicantumkan dalam puisi
Manusia
menyebut itu puisi religious
Tuhan
adalah bagian dari kegiatan manusia
….
Kalau
puisi menyebut-nyebut kata cinta
Tak
ada teknologi atau ilmu pengetahuan besertanya
Tak
ada kaitannya dengan politik dan penindasan
Tuhan dan
cinta yang disampaikan melalui puisi akan tidak sempurna dan mudah
disalahpahami karena keterbatasan pemahaman manusia (penyair maupun pembaca),
sehingga lanjut penyair, dua hal itu menjadi ‘terasing dan kesepian sepanjang
masa’. Meski demikian beruntunglah, sebab Tuhan tidak mengundurkan diri-Nya.
Dilemma
‘Tuhan, Cinta, dan Puisi’ tidak berhenti sampai di situ. Melalui jalan puisi
dan cinta, penyair kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Tuhan. Ketika
puisi-puisi cinta disalahpahami oleh orang lain, maka cinta itu sendiri menjadi
harapan sekaligus dan jalan menghampiri Tuhan. Puisi Kalau Kubilang Cinta, tampak seperti curhatan penyair, mengungkap
hal ini :
Kalau kubilang ini puisi-puisi cinta
Bisa jadi kau bilang itu dusta
Kalau kukatakan ini semua adalah cinta
Kau hakimi sebagai omong kosong sastra
….
Tapi aku memang sangat bernafsu kepada cinta
Maka aku sedang berusaha merayunya
….
Kutemukan hidup adalah ujian cinta
Siang dan malam sowan ke hadapan-Nya sepanjang usia
Seakan
melanjutkan puisi Kalau Kukatakan Cinta,
maka dalam puisi Penerimaan penyair
menyatakan sikapnya. Relasi Tuhan, Cinta, dan puisi semakin mengental dan
menampakkan posisi penyair atasnya. Kita simak cuplikan puisi Penerimaan :
Kalau
puisi-puisi cintaku ditolak oleh manusia
Dengan
sujud sembahku, ya Tuhan, kumohon engkau menerimanya
Yang kupersembahkan ini bukan keindahan kata-kata
Bukan pula mutu, dan kedalaman isinya
Melainkan sekedar upaya ikhlasku menjalani hidup ini dengan
cinta
Kalau puisi-puisi cintaku ini dihardik oleh dunia
Harapanku tinggal kelembutan dan presisi dan pandangan-Mu
kepadanya
……
Apakah ini puisi atau bukan, apakah ini cinta atau
kepalsuan
Kepada Lathif Khabir-Mu aku pasrah bongkokan
3/
Puisi Sejati dan Pujangga Sejati
Penyair telah menyatakan puisi-puisinya
‘tidak asli’ (dalam puisi Setiap Huruf
Keasyikan-Nya), lalu di lain waktu penyair juga berseru:
Telah kutulis puisi beribu-ribu jumlahnya
Tapi terus terang aku sendiri tidak mengakuinya
Tolong jangan bilang kepada para cendikiawan dan pujangga
(puisi Di Almari Rahasia)
Bahkan
penyair mewanti-wanti pembaca :
Jangan terlalu dalam peduli kalau pujangga bilang cinta
…..
Tapi waspadalah juga kepada cinta yang kugoreskan dengan
pena
Aku sendiri melintasi ribuan laut mendayung perahu
duga-duga
(puisi Kalau Bilang Cinta)
Lalu,
sesungguhnya bagaimanakah sesungguhnya (konsep) puisi menurut Emha Ainun Nadjib?
Emha Ainun Nadjib agaknya terus bergulat untuk merumuskan hakikat puisi dan
Kita bisa menlengkapi jawabnya dengan membaca puisi-puisinya. Sebelum mencari
jawab pertanyaan ini baik kita pahami bahwa di antara trilogy Tuhan, cinta, dan
puisi, penyair menyadari posisi puisilah yang paling lemah:
Di antara cinta dan Tuhan
Puisilah yang terlemah energinya
Sebab cinta berasal dari Tuhan
Sedangkan puisi karangan manusia
…
Maka amanah dan kewajiban para pujangga
Adalah merawat hakiki puisi
(Puisi Paling Lemah)
Menambah keterangan dari puisi-puisi yang sudah kita
singgung di atas, puisi-puisi lain seperti puisi Meskipun Tidak Esa, Tapi Maha, puisi Menjelma Puisi Kekal Abadi, Puisi Tak Sedalam Pujangga, puisi Kalau
Bilang Cinta, puisi Jangan Menagih
Puisi, juga bisa kit abaca untuk melihat pandangan penyair atas puisi. Yang
pasti, penyair memandang perpuisian tidak sebatas perkara menulis bagi penyair
dan membaca bagi pembaca. Puisi juga bukan sekedar kata dan keindahan. Penyair
menegaskan :
Apakah
puisi itu milik para pujangga
Hak
mutlak pada penulisnya
Atau
milik semua manusia
……
Siapakah
yang berhak menentukan ini puisi dan itu bukan
Para
pujangga sendiri, kaum pengamat yang mengawal mereka
Atau
Malaikan, Jin, Hantu atau…
Dunia
puisi seperti urusan politik atau agama dari Tuhan
Punya
banyak golongan dan aliran-aliran
Yang
saling berpaling, menyalahkan dan merendahkan
Tapi
kita percaya bahwa puisi adalah pencuci dan pemurni jiwa
(puisi Milik Siapa)
Baiklah, kita
simak puisi Lubuk yang Terdalam dari Jiwa
yang menguraikan konsep puisi:
Aku
yakin puisi adalah yang paling mengendap di dasar jiwa
Perasaan
terdalam, keperihan yang tak muncul di permukaan
Sejak
lama kubilang kusembunyikan puisi dari kata-kata
Semua
yang kutulis hanyalah bocoran dan kecelakaan belaka
Dari
beban dan hentakan yang aku tak mampu menahannya
Kalau
sampai kuungkap puisi jiwa yang sebenarnya
Tak
kan pernah kau akan bisa pahami kata-katanya
Tak
kan sanggup dunia mewadahi ledakan-ledakannya
Maka
kujalani hidup dengan jubah dan selimut rahasia
Sudah
kumintakan izin dan perkenan dari Tuhan pemiliknya
Puisi ini
(juga puisi-puisi lainnya) meneguhkan Jalan
Sunyi yang pernah dinyatakan penyair sekian tahun lampau. Menjenguk lagi ke
belakang, Emha Ainun Nadjib pernah berujar dalam puisi Jalan Sunyi, “puisi yang kusembunyikan dari kata-kata”.
Puisi ini setidaknya pernah muncul 2 kali publikasi cetak, yakni dalam buku
puisi Abracadabra, Kita Ngumpet terbitan
Bentang Budaya, tahun 1994, dan dalam buku Puisi Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta, Sebuah Trilogi
terbitan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2001. Ada hal menarik dalam dua kali
publikasi itu. Pada edisi Abracadabra
puisi Jalan Sunyi terdapat kata kepada Umbu Landu Paranggi, Guru Emha saat di
kelompok Persada Studi Klub, sedangkan pada Buku puisi Trilogi Mencabut Kutukan, tidak tercantum nama Umbu Landu Paranggi.
Puisi ini juga pernah dilagukan oleh penyairnya bersama kelompok Kiai Kanjeng
dan termuat dalam album Tombo Ati. Agaknya, yang semula Puisi Jalan Sunyi merupakan penggambaran
penyair Emha Ainun Nadjib atas sosok sunyi misterius Guru Umbu Landu Paranggi,
namun di kemudian hari Sang Penyair melebur Sang Guru dalam sunyi dengan
menghapus namanya dari puisi. Tak hanya itu, puisi itu ternyata menjadi nubuwat
atas dirinya yang juga memakmumi sang guru menempuh jalan sunyi. Itulah mengapa
nama Umbu tak lagi muncul dalam Buku Puisi ‘Trilogi Mencabut Kutukan’, dan
bahkan ‘jalan sunyi’ kemudian dijelaskan lagi dalam puisi (yang lebih kemudian)
Lubuk yang Terdalam dari Jiwa.
Kita baca lengkap
satu lagi puisi Jangan Menagih Puisi
:
Jangan penagih puisi
kepada pujangga sejati
Ia
bukan petugas sastra atau pelayan kebudayaan
Ia
adalah pujangga kehidupan
Karena
hidup adalah puisi yang disamarkan
Hidupnya
itu sendirilah puisi
Usia
dan sejarahnya memuat bait-baitnya
Perilaku
siang malamnya menyembunyikan cahaya
Supaya
engkau mencarinya
Bahkan
pun antara yang mencintai dengan yang dicintai
Tak
ada jaraknya, satu yang tak pernah mendua
Al-‘Abid
wal-ma’bud, yang mengabdi dengan yang diabdi
Bertauhid
menjadi satu keindahan Azza wa Jalla
Penyair menerangkan
lebih lanjut konsep puisinya. Bahwa puisi menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan. Puisi tak lain esensi dan inti dari laku kehidupan. Puisi menjadi
kesatuan spiritualitas rasa Cintanya kepada Tuhan.
4/
Posisi Puisi
dalam Islam sungguh rawan, meski taka da larangan untuk berpuisi. Al Quran
Surah Asy Syu’ara’ ayat 224-227 menyebut, “Dan para
penyair, mereka diikuti orang-orang tersesat. Tidakkah kau lihat, bahwa mereka
mengembara di setiap lembah. Dan bahwa mereka mengatakan apa yang tiada mereka
kerjakan? Kecuali (penyair) yang beriman dan beramal saleh, banyak mengingat
Allah”. Selain itu Surah Yasin ayat 69 juga menegaskan, “Tiada kami ajarkan syair kepadanya
(Muhammad), hal itu tiada pantas baginya….”. Nabi Muhammad sendiri, meski
bukan penyair, menghargai syair/puisi, “Dalam puisi terdapat hikmah, dan hikmah
seperti unta yang hilang”. Agama Islam mengedepankan kejujuran dan
kebermanfaatan. Emha Ainun Nadjib mengerti betul hal ini, sehingga
mengedepankan kejujuran dan suara nurani dalam berpuisi. Dalam beberapa
kesempatan bahkan ia mengecam puisi kata-kata indah semata. Dalam konteks
kehidupan social, Emha Ainun Nadjib menolak kehidupan yang materialistis (palsu)
dan mengabaikan makna spiritualitas. Ia pun menyindir para pemimpin yang
mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.
Pada puisi-puisi seorang Emha Ainun
Nadjib membayang kepada kita akan sosoknya. Sulit membaca puisi-puisi Emha
sebagai sekedar pokok, karena ke‘tokoh’annya justru membantu dan melengkapi
penafsiran. Terlebih puisi-puisinya adalah puisi suara hati. Penyair pernah
berujar ‘hidupnya (penyair) itu sendirilah puisi’. Puisi cinta penuh gelora kepada
Tuhan, sesame manusia dana lam semesta. Diksi dalam puisinya terang, seolah
hendak menggarisbawahi kejujuran, upaya meminimalkan bias salah tafsir.
Puisi-puisi melimpah dari hati sebagai buah permenungan penyair atas kehidupan.
Tuhan, Cinta dan puisi menjadi tak terpisahkan dalam diri penyair.
Rasa cinta kepada Tuhan, dan limpahan
Cinta Tuhan kepada sang pencinta (baca: penyair) menjadi spirit menjalani hidup
dan membuahkan puisi-puisi. Puisi menjadi pernyataan sikap hidup penyair.
Bahkan sikap kritis pada dan penolakan sesuatu berlandaskan atas rasa cinta
penyair akan kebenaran dan kesejatian. Dan parallel dengan Spirit Al Qur’an yang
dibuka dengan persoalan akidah (kesejatian, Ketuhanan, dan jati diri) dalam
surah al Fatihah dan kemudian diakhiri dengan surah An Nas (kemanusiaan,
muamalah, kepedulian social), penyair pun membuka kumpulan puisinya dengan
puisi Shahibu Baiti dan menutupnya
dengan puisi Bala Tentara Allah yang
sarat dengan kritik sosial :
Penjajahan
kini adalah tipu daya nilai-nilai
Wilayahnya
akal pikiran penduduk semua negeri
Umat
manusia dituangi minuman-minuman lupa diri
Bahkan
membayar mahal ke sekolah untuk dikebiri
…
Manusia
bukan yang dulu dikonsepkan dalam penciptaan
Manusia
adalah kuda-kuda larat ke daerah yang tolol
Sungguh
benar kata Tuhan: ulaa-ika kal-an’am bal hum adhall
Seluruh
dunia membangun dunia tapi tidak membangun manusia
Tuhan, cinta dan puisi menjadi satu
kesatuan kesadaran, sebagaimana Penyair Emha Ainun Nadjib sendiri nyatakan
dalam Epilog buku Rahman Rahim Cinta. Penyair menulis: Itulah sebabnya sampai serenta apa pun usia saya, tak berhenti saya
menulis puisi. Sebab tanpa puisi, negara, kebudayaan, dan agama: kehilangan
manusia. Meski untuk itu ia pun agaknya sadar kadang tak mampu menghindar
untuk berseru:
Wahai Tuhan betapa jauh, wahai cinta betapa
tak terjangkau
Wahai
puisi rinduku sampai luruh.
(puisi Sedang Rasa Begini Dekat)
Kita membaca cinta dengan membaca
puisi-puisi dalam buku ini. Kita berguru kepada cinta pada Sang Guru Cinta Emha
Ainun Nadjib.
Ijinkan
saya melanjutkan petikan larik pembuka puisi di atas.
Pada mulanya adalah cinta, yang menjelma
cahaya
Kemudian kepada Malaikat Bapa Adam
belajar menuturkannya
Muntilan, 30 Juni 2022.