Pohon Arwah
Dody Widianto
Kakek yang berjarak dua puluh langkah kaki dari tempat tinggal kami, ditemukan tewas. Tiga hari sebelum ia ditemukan oleh warga sudah tak bernyawa di rumah gubuk berdinding anyaman bambu, di samping tanjakan jalan menuju sekolah, sebelum mati, ia sering mengeluh pada kami pinggang dan kepalanya sering sakit dan ngilu. Pernah pula berkata padaku, katanya dengan kartu di tangannya itu pelayanan kesehatan dipermudah. Memperlihatkan sebuah kartu kesehatan untuk masyarakat miskin.
“Kalau tahu dengan kartu ini saya masih disuruh antre berjam-jam, disuruh menunggu, ditanyain ini itu yang membuat pusing kepala, lebih baik minum jamu beras kencur, beres. Tak sembuh-sembuh tak apa. Setidaknya waktuku tidak terbuang percuma dan bisa lebih banyak menghasilkan anyaman dinding bambu. Toh, kartu ini dulu keluar katanya biar banyak yang milih gubernur itu. Rakyat kecil kok dijadikan mainan.”
Aku sudah paham jika birokrasi di negeri ini memang begitu. Entah rumit, entah ruwet, entah lama, entah lebih dulu mengutamakan yang membayar dengan uang, ya memang begitu keadaannya. Kita cenderung diam saja karena merasa biasa. Merasa tak ada yang aneh.
Kabar kematian kakek itu akhirnya sampai juga ke istriku. Sore itu, ketika sinar matahari yang redup baru saja hendak turun di pelataran makam, dalam wajah yang tempias oleh sinar merah tembaga di antara rimbun daun jati dan kamboja, sambil tetap berdiri memperhatikan para pelayat, ia terus saja mendengar dengung ayat-ayat kematian yang mengantar sang kakek menuju perjalanan abadi.
“Jadi
kakek itu mati?”
“Warga
menemukannya sudah tak bernyawa di atas dipan bambu dengan mulut berbusa. Untuk
negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini aku harus bilang ia
tewas. Kata meninggal dan wafat hanya pantas untuk mereka yang mati secara
terhormat.”
“Kamu
selalu sinis dengan semua keadaan.”
“Di
kepalaku tersimpan semua catatan sebab kematian semua warga di sini. Aku tahu
mana yang mati dengan terhormat dan tidak.”
“Barangkali
keracunan. Itu bukan kejahatan. Namun, sebuah kemalangan.”
“Petugas
forensik menemukan bakteri di lambungnya sama persis dengan bakteri bekas nasi
yang sudah tak layak makan di mejanya. Tak ada bekas luka di tubuhnya. Ia murni
mati dan bukan dibunuh. Aku tak bisa bilang apakah ia mati bunuh diri. Jika kau
ingin bilang bukankah pemerintah akhir-akhir ini sudah sering menjalankan
bantuan pangan dan uang ke masyarakat miskin, menurutmu tolok ukur kemiskinan
itu seperti apa? Banyak di antara kita disebut miskin saat ia tak punya
apa-apa. Hanya sebagai buruh pabrik atau penggarap lahan dan kebun milik orang.
Namun, rumahnya bagus. Berdinding beton, berlantai keramik, punya kendaraan
motor dua. Entah semua kemewahan itu didapat dengan kredit atau apa pun.
Kebalikannya jika aku bilang ia miskin karena rumahnya hanya berdinding anyaman
bambu dan reyot. Anaknya banyak. Saudaranya juga banyak yang tak punya. Harus
menanggung tubuhnya yang sakit-sakitan. Tak punya barang mewah apalagi
kendaraan, tetapi sawah dan ladangnya mengelilingi kampung kita. Lalu ia dalam
kategori miskin atau kaya? Banyak hal di negara ini yang masih harus dikaji dan
dipelajari.”
“Kamu
mirip Pak Lurah. Pandai menerangkan.” Istriku tersenyum meledek.
“Kesepian
selalu dekat dengan kematian. Kakek itu makhluk soliter. Ia penyendiri. Kuharap
para jomlo yang membaca ucapanku ini tidak langsung mengambil kesimpulan untuk
buru-buru menikah. Ada banyak hal yang harus diperhitungkan untuk menikah
selain kesiapan mental dan finansial.”
“Kalau ada perempuan tidak matre, bisa dipastikan ia sudah tidak bernapas.”
Aku nyengir. Mengalihkan dengan sebuah data aktual kalau di makam ini penghuninya lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan. Itu artinya, di bumi ini lebih banyak janda daripada duda. Sebab apa? Dari kecil, laki-laki sudah sering diomeli ibunya karena kenakalannya dan sering duel bersama teman-temannya, tak mau kalah dalam permainan. Saat dewasa ia suka berkelana dan mencari hal-hal menantang. Ketika bekerja kadang harus bertaruh nyawa. Saat menikah ia sering diomeli istrinya ketika gajian tak pulang-pulang. Di bagian mana hidup laki-laki bisa merasa tenang dan teristimewakan?
Wajah istriku mengisut. Bilang kalau ucapanku di luar penjelasan yang ia minta. Pokok permasalahan awal bukankah akan lebih bijaksana menyebut kakek itu meninggal?
Kubalas dengan lengkung bibir ke atas semanis bulan sabit. Perlahan, aku mulai menjelaskan tentang seorang laki-laki yang mencuri, ya anggaplah mencuri, jamur pohon karet di area perkebunan milik perusahaan besar di tempat kami.
Petugas keamanan kemudian menyeretnya, berusaha melaporkannya kepada pihak berwajib untuk dihukum. Laki-laki itu terus menangis. Bilang ia dan keluarganya sudah tak makan dua hari. Butuh waktu lama laki-laki itu terus berdebat dan mempertahankan pendapatnya. Merasa tidak bersalah karena hanya mengambil jamur dari pohon karet yang tumbang dan lapuk. Bukan mencuri getah atau kayunya. Namun, petugas keamanan itu berdalih ia telah memasuki area perkebunan dengan sembarangan dan tanpa izin.
Sebenarnya aku tak ingin bercerita tentang kesadisan itu, tetapi demi sebuah realitas dalam ceritaku ini, aku tahu ketika puluhan polisi datang, mereka menemukan lehernya tidak menyatu sempurna. Arit dan sidik jarinya sendiri yang akhirnya berbicara di kantor kepolisian.
Istriku tak percaya dengan apa yang kukatakan. Memang, dari nama-nama yang tertulis di batu nisan, sejujurnya lebih banyak nama laki-laki di sana. Ada yang mati terlindas truk. Ada yang mati dengan santainya di pembaringan setelah selesai minum kopi. Ada yang mati overdosis obat terlarang setelah putus cinta dengan kekasihnya. Ada yang mati karena menginjak pecahan beling lalu terinfeksi. Dan masih banyak lagi. Ia sudah paham jasad siapa saja yang tertanam di sana. Dengan seribu cerita cara kematian di dalamnya.
“Kau
ingin mendengar ceritaku?”
“Asal jangan menyudutkan perspektif wanita.”
Aku tersenyum. Padahal, memang ini cerita tentang wanita. Seminggu sebelum kakek itu tewas, satu gadis cantik datang ke tempatku. Namanya Adenia. Perempuan penghias dunia. Ia merasa telah mati hanya karena merasa cerpennya tak pernah bisa tayang di surat kabar terkenal. Sejak terus terbebani dengan apa yang dicita-citakannya, aku memang tak pernah bertemu dengannya lagi. Padahal dulu-dulu ia selalu datang ke tempatku demi menuliskan semua cerita yang keluar dari mulutku.
Wajah istriku mengerut lagi. Lebih parah dari tadi. Mirip kulit jeruk yang terjemur seminggu. Bertanya apakah Adenia ini benar-benar mati atau hanya rekaan dalam ceritaku. Istriku tahu aku jago membual. Juga pandai merayu. Ia tak percaya. Kenapa tiba-tiba bercerita tentang Adenia.
“Adakah kematian hanya kepura-puraan?”
Kujelaskan padanya tidak semua perempuan tercipta dengan jiwa yang lemah. Tidak semua perempuan juga tercipta dengan jiwa yang kuat. Satu penolakan, dua penolakan, bahkan seribu penolakan tidak membuat dunia ini jadi berhenti berputar. Bukankah kegagalan membuat jiwa kita makin kuat? Membuat belajar mengambil hikmah dan pelajaran?
“Nama
Adenia belum terkenal. Kenapa tak memakai nama yang terkenal semisal Mawar,
Melati, atau Kamboja. Pasti cerpennya cepat dimuat di surat kabar.”
“Di luar selera redaktur, apakah takdir Tuhan bisa dijangkau logika manusia?”
Istriku mengangguk. Seolah setuju sambil mengunyah sesuatu di dalam kepalanya. Cerita tentang sebab kematian Adenia ini tak kuteruskan lagi setelah puluhan buldoser tiba-tiba berdatangan dan berusaha mengeruk tanah areal pemakaman. Kami terdiam seketika. Orang-orang itu kemudian saling tukar pendapat. Bilang ingin memindahkan pohon-pohon di area ini demi mendirikan fasilitas umum setelah mengantongi izin dari berbagai pihak terkait. Dan kami masih tetap berdiri di antara rimbun daun jati.
“Kau
sering membaca cerpen-cerpen milik Adenia?”
“Ya.
Satu yang kusesalkan, ia tak percaya pada kemampuannya sendiri. Lagi pula jika
cerpen milik Adenia itu dikirim ke media dengan mencantumkan nama Mawar agar
bisa cepat dimuat, apakah itu etis?”
“Tidak
etis itu hanya dapat ucapan terima kasih dari redaktur yang memuat cerpen kita.
Paket data internet saja sekarang mahal. Kasihan juga nanti para
penulis-penulis itu. Kita tak pernah tahu mereka sangat berharap honor dari
cerpen itu untuk membayar hutang, misal.”
“Kamu
sosialis sekarang.”
Kami
tak melanjutkan debat. Toh, waktu selalu bisa menjawabnya. Kami hanyalah
pohon-pohon yang berusaha menyimpan ceritanya masing-masing dari setiap jasad
yang tertanam dalam kaki kami, tubuh kami, rahim kami, serta bunga-bunga di
kepala. Aku melihat tubuh istriku tiba-tiba telah tercabut dari atas tanah
makam sambil digotong belasan orang. Puluhan bunga berkelopak putih ikut
bergelimpangan di atas nisan. Sungguh, aku masih merasa beruntung sebab takdir
seolah selalu mendekatkan kami berdua. Tubuhku juga ikut dinaikkan ke atas
truk. Terbaring di sebelahnya. Setelah tanah makam itu rata, aku tak tahu siapa
lagi yang akan menyimpan cerita dari para jasad manusia di sana jika mulai
membusuk nanti.
Di
antara deru truk yang terus menyusur jalan, angin yang menggugurkan bunga-bunga
di kepala, istriku masih saja terus bertanya di mana Adenia, apakah ia
baik-baik saja, apakah tak lebih baik jika temannya yang mungkin ikut andil
dalam cerpen-cerpennya bisa saja mereka menampilkan nama mereka berdua sebagai
cerpen kolaborasi?
Aku menjawabnya entah. Seperti truk ini yang masih terus melaju menuju entah. Satu hal yang selanjutnya kukatakan padanya jika cerpen tanpa pesan moral hanyalah sampah. Itu saja.