Sajak-Sajak Pilihan Subagio Sastrowardoyo

@kontributor 4/16/2020
Sajak-Sajak Pilihan Subagio Sastrowardoyo







Nada Awal

Tugasku hanya menterjemah
gerak daun yang bergantung
di ranting yang letih. Rahasia
membutuhkan kata yang terucap
di puncak sepi. Ketika daun
jatuh tak ada titik darah. Tapi
di ruang kelam ada yang merasa
kehilangan dan mengaduh pedih.


Motif IV

Aku ingin beli walkman
atau radio kecil yang cukup
keras bunyinya. Asal bisa
kutentang kemana aku pergi.
Aku butuh bunyi selalu
entah gedebung musik atau
omongan orang. Sebaiknya
pidato yang hingar bingar
atau rock yang memekakkan
telinga. Aku mabuk dalam bising.
Biar terus gaduh, sebab
aku takut kepada sunyi.
Aku takut kepada suara hati.
Tuhan, kapan engkau bakal mati?


Bulan Ruwah

Kubur kita terpisah dengan tembok tinggi
Sebab aku punya Tuhan, dia orang kapir.

Di Yaumul-Akhir
roh kita dari kubur
akan keluar berupa kelelawar
dan berebut menyebut nama Allah
dengan cicit suara kehausan darah.

Kita sudah siap dengan daftar tanya:
Tuhan Ya Robbil-alamin!
adakah kau islam atau keristen
apakah kitabmu; kor’an atau injil
apakah bangsamu: seorang Rus, Cina atau Jawa?

Orang Rus itu komunis yang menghina nabi dan agama.
Orang Cina suka makan babi. Itu terang jadi larangan.
Orang Jawa malas sembahyang dan gemar pada mistik.

Apakah bahasamu, apakah warna kulitmu, apakah asalmu?
Apakah kau pakai peci dan sarung pelekat
atau telanjang seperti budak Habsyi hitam pekat
- atau seperti bintang pilem berpotret di kamar mandi?
antara tanda kurung: adakah dia punya Tuhan? -

Daftar tanya kita tandai dengan cakaran hitam
seribu tangan

Tetapi kalau Tuhan tinggal diam seperti tugu

kita akan bertindak desak keputusan:
kita rubuhkan batu bisu
dengan kutuk dan serapah.

Kita kembali bergantung di dahan
dan bermimpi tentang sorga dan Tuhan
yang mirip rupa kita sejak semula:
kelelawar bercicit kehausan darah.


L’education Sentimentale

Untuk mempelajari warna
aku kembali kepada bunga
di musim tumbuh –
merah, kuning, ungu – dan hijau
dari rumput
di sela hitam tanah
untuk kilau cahaya aku belajar
dari sinar mata dan perang rambut
seperti emas, dan putih
ah, dari langit yang telanjang
atau dari tubuhmu yang kukasih
atau dari maut
semua putih
aku kumbang yang melayang
demi gairah menuntut
dan sanggup hidup sehari.


Dua Sejoli

      Kami bercumbuan di halaman candi. Siang itu masih sepi,
belum ada pengunjung lain. Kami duduk dekat puing
gerbang batu, terlindung dari jalan yang lewat di dekatnya.
     Mula-mula ia menolak, tapi kemudian membiarkan aku
membuka kancing bajunya. Aku lantas mencium mesra
susunya.
      Aku tak mungkin melupakan peristiwa itu selama
hidupku. Dan itu terjadi empat puluh tahun yang lalu.
      Kini kami sudah tua. Kami sebagai suami-istri, tetapi
sudah padam api birahi. Kusentuh tubuhnya tak bergerak
nafsu.
     Kami dua sejoli yang tidak peduli akan perbedaan
perempuan-lelaki. Kami seperti kakak-adik bersaudara.
     Kami segan berangkulan. Tetapi kalau kebetulan
berlintasan pandangan, dengan tidak sadar mengalir air
mata di pipi.


Kata

Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi

Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata

Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa.


Sajak

Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk,
bau vicks dan kayu putih
melekat di kelambu.
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan sehari.
Kalau terbayang pantalon
sudah sebulan sobek tak terjahit.
Apakah arti sajak ini
Kalau saban malam aku lama terbangun:
Hidup ini makin mengikat dan mengurung.
Apakah arti sajak ini:
Piaraan anggerek tricolor di rumah atau
pelarian kecut ke hari akhir?

Ah, sajak ini,
mengingatkan aku kepada langit dan mega.
Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.

-Sumber: Dan Kematian Makin Akrab, Subagio Sastrowardoyo, Jakarta: Grasindo, 1995

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »