Sastra Daerah: Posisi dan Sumbangannya pada Sastra Indonesia - Tjahjono Widarmanto

@kontributor 4/10/2022

SASTRA DAERAH: POSISI DAN SUMBANGANNYA PADA SASTRA INDONESIA

Tjahjono Widarmanto





Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang secara langsung mempengaruhi terciptanya suatu bentuk kesusastraan. Tanpa adanya bahasa, tak akan pernah lahir susastra. Bahasa merupakan medium ekspresi kesusastraan. Kesusasteraan merupakan salah satu ragam karya seni yang bertumpu pada eksplorasi bahasa untuk mencapai daya estetis tertentu.

Undang-undang Republik Indonesia mengakui keberadaan dua ragam bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun bahasa daerah adalah bahasa lokal yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah sama-sama memiliki hak hidup dan berkembang di bumi Indonesia. Bahasa Indonesia  melahirkan sastra Indonesia, sedangkan bahasa daerah melahirkan sastra daerah.

Teori sastra secara umum mengkategorikan kesusastraan dalam tiga macam, yaitu sastra dunia, sastra nasional dan sastra daerah. Pengkategorian itu tampaknya berdasar pada kewilayahan atau penyebaran karya-karya sastra tersebut.

Sastra dunia (world literature) adalah karya-karya sastra yang sudah dianggap atau diakui milik bangsa-bangsa seluruh dunia. Karya sastra yang diakui sebagai sastra dunia tak hanya memiliki jangkauan pembaca yang amat luas, bahkan tak lagi mengenal batas kewilayahan. Karya sastra-karya sastra yang dianggap sebagai sastra dunia tak hanya dianggap memiliki estetika yang adiluhung, namun pun karena nilai-nilai dan gagasan humanisme yang universal dan tak terbatasi batas dan wilayah. Karya sastra yang menjadi sastra dunia karena memiliki sumbangan yang besar terhadap kemanusiaan umat manusia di dunia. Karya-karya sastra dunia dianggap sebagai memori dunia yang memiliki sumbangsih besar terhadap kebudayaan dan peradaban dunia. Tentu saja, karena diakui  sebagai milik seluruh bangsa-bangsa yang ada di dunia, maka sastra dunia telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa yang diakui secara internasional. Sastra dunia ini contohnya adalah Mahabarata, Ramayana, Iliad, Hamlet, Oedipus, La Galigo, dan sebagainya.

Sastra nasional adalah bentuk-bentuk karya sastra yang lahir dan dimiliki satu negara atau bangsa (nation) yang ditulis dengan menggunakan bahasa nasional yang dipakai negara atau bangsa tersebut. Pendek kata, sastra nasional ini diakui keberadaannya dalam ruang lingkup kewilayahan suatu negara. Contohnya, adalah sastra nasional bangsa Inggris adalah sastra Inggris; sastra nasional bangsa Indonesia adalah sastra Indonesia.

Jadi, sastra Indonesia adalah sastra nasional bangsa Indonesia. Secara lebih spesifik bisa dirumuskan bahwa sastra Indonesia adalah sastra milik orang dan bangsa Indonesia yang dituis oleh warga negara Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Adapun sastra daerah adalah hasil-hasil kesusastraan yang ditulis dengan menggunakan bahasa daerah. Keadaan bangsa Indonesia yang plural yang memiliki berbagai suku bangsa dan memiliki aneka ragam bahasa daerah otomatis memiliki kekayaan sastra daerah yang tak terhitung. Suku Jawa yang memiliki bahasa daerah yaitu bahasa Jawa memiliki sastra Jawa (dengan berbagai sub-etniknya, misalnya sastra Jawa Timur Surabayaan, sastra Jawa subetnik Tegal, sastra Jawa subetnik Padalungan, sastra Jawa subetnik Osing, dll), suku Sunda yang berbahasa daerah Sunda memiliki Sastra Sunda, suku Bali memiliki Sastra Bali, suku Aceh dengan sastra Aceh, Sastra Gayo,  dan sebagainya.

Secara lebih rinci, sastra daerah memiliki ciri karakteristik sendiri. Ciri-ciri sastra daerah tersebut adalah ditulis dengan menggunakan bahasa daerah atau bahasa lokal, mencerminkan nilai-nilai sosiokultural sesuai masyarakatnya, lebih banyak memunculkan persoalan kejiwaan dan sosial masyarakat lokal, mencerminkan lokalitas tertentu dan menjadi miniatur masyarakat lokal tersebut. Perlu digarisbawahi, walaupun sastra daerah ditulis dengan menggunakan bahasa daerah (bahasa lokal), mencerminkan lokalitas tertentu, dan merupakan miniatur masyarakat lokal, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bisa saja universal bahkan sangat universal.

Berkaitan dengan keberadaan sastra daerah, Suripan Sadi Hutomo (1991) membedakan sastra daerah menjadi dua bentuk, yaitu sastra daerah lisan dan sastra daerah tulis. Sastra daerah lisan adalah sastra daerah yang disampaikan secara lisan, penyebarannya pun secara lisan, dan menggunakan bahasa daerah tertentu. Sastra daerah lisan terdiri atas empat macam bentuk yaitu (1) ungkapan tradisional, pepatah, peribahasa, (2) pertanyaan tradisional atau teka-teki tradisional (cangkriman), (3) puisi rakyat, misalnya pantun, bidal, gurindam, parikan, dan (4) prosa rakyat (berbentuk dongeng, mite, legenda).  

Sedangkan sastra daerah tulis adalah sastra yang ditulis dengan menggunakan media bahasa daerah tertentu. Sastra daerah tulis penyebarannya secara tertulis. Sastra daerah tulis dibagi atas dua macam, yaitu sastra daerah tulis tradisional dan sastra daerah tulis modern. Sastra daerah tulis tradisional bisa berbentuk wiracarita, kakawin, suluk, serat, babad atau kidung. Sastra daerah tulis modern berbentuk puisi bebas (geguritan) atau prosa bebas (cerkak, novel).

Sastra daerah dan sastra Indonesia jelas memiliki perbedaan. Perbedaan yang paling tampak adalah penggunaan bahasa. Sastra Indonesia menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan sastra daerah menggunakan bahasa daerah. Perbedaan lain yang kentara adalah sastra daerah pasti mengandung lokalitas atau warna lokal, sedangkan sastra Indonesia tidak selalu memiliki warna lokal.

Walau memiliki perbedaan, sastra daerah dan sastra Indonesia memiliki tautan yang berat. Sastra daerah dan sastra Indonesia bisa dimetaforakan sebagai dua saudara kandung. Sebagai saudara kandung, maka sastra daerah dan sastra Indonesia saling menginspirasi, saling melengkapi dan saling mempengaruhi.

Sastra Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari sastra daerah. Hal ini dipicu oleh beberapa sebab. Sebab yang pertama, sastra Indonesia lahir dari rahim sastrawan Indonesia yang hidup dalam milliu kultur lokal-etnik. Milliu kultur lokal-etnik ini termasuk di dalam khazanah sastra daerah, sikap hidup, tradisi, dan sebagainya yang mempengaruhi sastra Indonesia baik dari segi isi maupun bentuknya. Sastra Indonesia acap kali menggarap ulang bentuk-bentuk sastra daerah (baik konten maupun struktur).

Sebab kedua, sastra Indonesia dilahirkan oleh sastrawannya yang sebagian besar berada dalam keadaan dwilingual atau kedwibahasaan. Posisi kedwibahasaan ini, kebanyakan sastrawan Indonesia memposisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, sedangkan bahasa pertamanya adalah bahasa ibu yang identik dengan bahasa daerah. Dalam posisi ini maka dimungkinkan kosa kata, frase, simbol, diksi dalam bahasa dan sastra daerah bisa masuk dalam sastra Indonesia. Pendek kata, sastra Indonesia memasuki situasi diglosia yang memungkinkan terjadinya alih kode, campur kode, dan interferensi. Apalagi realitanya, diksi, simbol, kosa kata dalam bahasa dan sastra daerah kadang-kadang tak terwakili ekspresi dan daya ungkap estetisnya dalam bahasa Indonesia sehingga munculnya peluang alih kode metaforis. Situasi semacam itu bisa dilihat dengan kasat mata pada karya-karya Darmanto Jatman, Umar Kayam, Suminto A. Sayuti, Oka Rusmini, Goenawan Mohamad, Rendra, Gus Tf Sakai, Darman Monir, Ibrahim Sattah, Sutardji Calzoum Bachri, Muttaqin, Sena Gumira Ajidarma, Arswendo, dan sebagainya.

Di sisi lain, sastra daerah tak bisa melepaskan diri dari sastra Indonesia. Sastra Indonesia yang lebih dulu bergaul dan menggauli sastra-sastra dunia dan lebih awal mengadopsi teori-teori dan aliran-aliran sastra modern, banyak mempengaruhi bentuk-bentuk sastra daerah utamanya sastra daerah tulis modern. Situasi semacam itu bisa dilihat pada karya-karya para penulis sastra Jawa modern, seperti Djayus Pete, Bonari Nabonenar, Widodo Basuki, Turio Ragil Putra, Danar Pangeran, Keliek Eswe, Bene Sugiarto, Titah Rahayu, dan sebagainya.

Sebagai saudara kandung, sastra daerah dan sastra Indonesia wajar bila memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan melengkapi. Keduanya saling memberi inspirasi, saling menawarkan bentuk, saling memperkaya tema, saling memperkaya ungkapan batin, saling memperkaya dan meminjam kosa kata, serta saling menjadi sumber khazanah.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »