Membicarakan “Terlambat di Djalan” Kumpulan Puisi Abdul Hadi WM yang
Jarang Dibicarakan
Khanafi
Di
antara penyair besar Indonesia, nama Abdul Hadi W.M (lahir, Sumenep, 24 Juni
1946) tidak mungkin disisihkan. Sebagai penyair, Abdul Hadi sangat produktif
(prolifik), terutama dilihat pada masa-masa awal kepenyairannya.
Produktivitasnya dalam menulis sajak cukup layak untuk dibicarakan lebih jauh
dan mendalam. Sebab menurut saya masih banyak segi yang belum dibicarakan dari
sosok Abdul Hadi WM ini, terutama mengenai karya-karya awalnya yang sedikit
banyak membawa nuansa impresionist dan surealis yang berbeda daripada penyair
lainnya, misalnya seperti Sapardi Djoko Damono yang terkenal dengan sajak
suasana, atau Goenawan Mohamad yang sajak-sajaknya dianggap “gelap”.
Beberapa kumpulan sajak Abdul Hadi WM yang pernah diterbitkan, antara
lain: Riwayat (1967), Terlambat di Ujung Jalan (1968), Laut
Belum Pasang (1972), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang
Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976, 1982), Tergantung
pada Angin (1977), dan Anak Laut Anak Angin (1983).
Di antara kumpulan sajak yang terbit itu, tentu ada banyak sajak yang
kuat (selain Tuhan Kita Begitu Dekat, sajak yang terkenal itu) tetapi
kurang mendapat perhatian (kurang dibicarakan). Sebab mungkin beberapa kumpulan
sajak itu selain sukar didapatkan di toko-toko buku bekas atau di perpustakaan
di kota-kota besar, juga tidak pernah dicetak banyak apalagi cetak ulang. Hal
demikian itu membuat kesulitan untuk melacak sajak-sajak awal atau sajak-sajak
yang tidak terkenal tapi kuat, dan sajak-sajak lain yang jarang dibicarakan. Saya
akan coba membicarakan salah satu kumpulan sajak yang jarang dibicarakan itu,
yaitu kumpulan sajak Terlambat di Djalan yang berbentuk stensilan
kemudian terbit ulang dengan judul Terlambat di Ujung Jalan.
Selain menulis sajak, Abdul Hadi juga banyak menulis ulasan, kritik,
telaah, dan sebagainya, dan ia juga menerjemahkan karya sastra dari luar
negeri, baik dari Asia, Eropa, dan Timur Tengah. Abdul Hadi bisa dikatakan
mengikuti perkembangan sastra ketika itu, bahkan turut mewarnai khazanah sastra
Indonesia dengan nafas sastra yang sebelumnya belum terhirup keterpengaruhannya,
yaitu sajak impresionis-surealis, sufistik “pencarian Tuhan”, dan sajak
pemikiran yang lebih akrab tinimbang sajak Subagio Sastrowardojo, misalnya,
yang referensinya cukup sukar dan struktur kata-katanya cukup sulit.
Kumpulan sajak Terlambat di Djalan berisi sajak-sajak yang
ditulis Abdul Hadi antara tahun 1967 – 1968 ketika ia berada dan berkisar
antara Yogya, Solo, Madura, Surabaya, Medan. Tetapi kebanyakan sajak sebenarnya
bertitimangsa Yogya (letaknya di awal dan di tengah-tengah), karena beliau
berkuliah di UGM ketika itu. Bisa dikatakan sajak-sajak dalam kumpulan ini
adalah sajak-sajak awal Abdul Hadi WM meniti jalan kepenyairannya, ejaannya pun
masih menggunakan ejaan lama. Terasa sekali nuansa impresionistik dan sedikit
campuran surealistik yang kuat dalam kumpulan sajak Terlambat di Djalan
ini (saya tidak akan berbicara aspek impresionistik atau surealistik di dalam
tulisan pendek ini), yang kemudian berkembang lebih kuat pada kumpulan sajak
berikutnya seperti Laut Belum Pasang dan Cermin, pada yang
disebut terakhir pengaruh haiku juga kental (karena beliau sedang kuliah di
Iowa dan tekun menerjemahkan sajak-sajak Jepang).
Stensilan Terlambat di Djalan karya Abdul Hadi WM ini tidak
tebal, tidak sampai 50 halaman, hanya 30-an halaman. Buku stensilan ini dipengantari
oleh penyair Darmanto Jatman, dan diberi catatan singkat tentang siapa Abdul
Hadi WM oleh Kuntowijoyo. Agaknya di bagian belakang terdapat keterangan bahwa
stensilan ini digunakan sebagai bahan diskusi di UGM pada tanggal 10 Agustus
1968. Copyright STUDIOGRUP MANTIKA, Jogjakarta, dan diterbitkan kembali
oleh Lingkaran Sastra & Budaja Mahasiswa Fakultas Sastra & Kebudajaan
Universitas Gadjah Mada. Dengan redaksi penyelenggara antara lain; Kuntowijoyo,
Raf’an Jusuf, Sumardi, Suharno, Siti Fiestana, sampul kulit buku dibuat oleh
Tarfi Abdullah. Agaknya tradisi diskusi ini masih terus berlanjut di UGM
mungkin setiap bulan bahasa, yaitu mendiskusikan puisi, meskipun belakangan
lebih ditekankan pembahasan melalui esai kritik, bukan menyajikan karya atau kumpulan
secara utuh seperti dulu.
Alangkah unik stensilan itu dan sungguh menarik ketika membayangkan
diskusi sastra kala itu, apalagi ada beberapa nama besar yang hingga kini masih
bersinar dalam bidang sastra dan ilmu sejarah, seperti Kuntowijoyo. Bisa dibayangkan
lingkaran sastra ketika itu di UGM diisi oleh mereka yang benar-benar
intelektuil, dan dalam ruang-ruang yang lain ada PSK, ada perkumpulan dan
komunitas lainnya, dan sebagainya, sehingga tidak heran masa-masa itu di Yogya
juga memiliki sumbu-sumbu yang membuat sastra kian bersinar walaupun dalam
ruang yang benar-benar sunyi.
Dalam pengantarnya penyair Darmanto Jatman menyebut kumpulan ini
sebagai sajak-sajak “impresionis”, kendati begitu kecenderungan surealistik dan
suasana sublim seperti pada sajak-sajak Goenawan Mohamad bercampur dengan
Sapardi Djoko Damono kentara sekali di dalam kumpulan Terlambat di Djalan
ini. Keterpengaruhan itu pun sedikit disinggung Darmanto Jatman di pengantarnya
yang pendek itu. Tetapi meski ada keterpengaruhan coraknya lain sama sekali
dengan sajak-sajak yang memengaruhi itu.
Puisi-puisi dalam Terlambat di Djalan sangat unik, tidak hanya
sajak pendek, tetapi justru sajak-sajak yang relatif agak panjang. Beberapa
sajak menghadirkan citraan alam yang sungguh memikat (sebagaimana kekhasan
Abdul Hadi WM), pelan-pelan tetapi membangkitkan jiwa pada suasana kontemplatif.
Meski kebanyakan sajak berkisar dari tahun 1967 – 1968 tetapi pokok bahasannya
tidak melulu sama.
Kumpulan sajak ini amat tipis (berisi kurang lebih 20-an sajak, 30
halaman) diawali dengan sajak Senja Susut dan Wadjahku, sajak yang
membawa napas sajak Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.
SENDJA SUSUT
DAN WADJAHKU
Lewat
djendela
Sendja
susut dalam ruang
Kau
saksikan
Aku
sendiri sajang
Dan wadjah
jang tenggelam dalam sangsai ini
Dan ketika
kudengar gaung pandjang
Bersahutan
Bersama
bajang jang berhenti
Ketika
itupun
Kau disana
Dimuka
jendela, tertegun
Dan
mentjari kerdip tjaja pada mataku
Serta sisa
debu pada kakimu, perdjalanan djauh
Jang kau
tempuh
Alangkah
gersangnja djalanan
Saatpun
bulan dan gerimis bergetaran
Ketika itu
aku tak tahu
Saat
djampun melontjat kebumi
Dan malam
jang berdjedjalpun
Menjapu
wadjahmu, menjapu kakimu
Menjapu
bajangmu jang kelabu
Dan
teramangu pada sendat gerimis lalu.
Jogja
1967
Ada frasa-frasa yang akrab dengan stylistik milik Goenawan Mohamad, seperti; susut dalam ruang, di muka jendela, dan ketika kudengar gaung pandjang, ketika itu aku tak tahu, dan seterusnya. Kemudian yang mirip dengan Sapardi Djoko Damono; menjapu wadjahmu, menjapu bajangmu jang kelabu, saat djam pun, dan malam jang berdjedjalpun, melontjat kebumi, dan seterusnya. Terlihat bahwa Abdul Hadi membaca dengan baik sajak-sajak penyair besar Indonesia sebelum dia, bukan hanya itu, Abdul Hadi membawa pelukisan yang terasa lebih “mencari” daripada melankoli seperti sajak GM atau terlalu sublim dan suasana penuh teka teki seperti SDD. Abdul Hadi memasukkan “pribadi” atau subjektivitasnya ke dalam sajaknya yang terpengaruh itu, sehingga terasa bahwa sajak ini benar-benar mewakili Abdul Hadi sendiri daripada mewakili dua penyair yang disebut tadi.
Puisi-puisi Jogjanya sebenarnya
terasa lebih merenung ketimbang puisi-puisi yang bertitimangsa kampung
halamannya; Madura. Seperti pada sajak-sajak terakhir dalam kumpulan Terlambat
di Djalan; Serenade, Di Muka Rumah, Gelisah Telah Menunggu,
atau yang Udjung Ke Kamal (Surabaya). Citraan laut kembali menguat pada
sajak-sajak kampung halamannya itu, berbeda dengan sajak yang dikutip utuh di
atas tadi, terasa digambarkan suatu tempat seperti gurun, perjalanan yang gersang,
walaupun muncul juga kata-kata alam; senja, tetapi lebih digambarkan
suatu ruang, seperti jendela, jalan, bukan lagi laut, ombak, dst.
Agaknya Abdul Hadi mencoba melukiskan pengalaman merantaunya di Jogja melalui
sajak Sendja Susut dan Wadjahku.
Pada sajak yang bertitimangsa Jogja, juga muncul kata-kata seperti kembara, lampu, ruang, jalan, jendela, kamar, dst. Seperti pada sajak Dan Angin di Luar Jendela;
DAN ANGIN
DILUAR DJENDELA
Lampu
padam
malam mati
dan angin
diluar djendela jg sayuppun
terhenti
ruang jang
berkemas kumandang hilang
lebih
dingin, Tuhan
dan
desakan langit dalam udara
dan
kemarau jang berbagi sisa
padaku
Pada
bajangan mengetjil
pada
bajangan jang tak terdengar sentuhan
terbisik
djuga sadjak dan tjeritera
tapi tak tahu
detikpun djam
bersama
musim turun perlahan
Tuhan,
sadjak jang kini termangu, dingin
abadi
terhenti
sebelum djadi
diluar,
angin, didjendela dan bulan kian biru
pudar
diatas bahuku
Tuhan,
Selamat malam.
Jogjakarta 1967
Dalam perantauan dan kembaranya,
Abdul Hadi merasa kedekatan dengan Tuhan, bahkan penyair menyapa dan
mengucapkan; selamat malam. Di sajak ini muncul gambaran ruang yang
jelas, meski diksi-diksi alam kembali menyusup dengan pelan dan tenang,
membantu melukiskan suasana yang “sunyi”. Dalam sunyi itu penyair seolah
bercakap-cakap dengan Tuhan begitu akrab, bertanya tentang sajak yang abadi
tetapi terhenti sebelum djadi. Ada kegelisahan tetapi juga tanya
yang disimpan dan terus bergerak mencari jawabnya, sampai akhirnya kembali lagi
atau dikembalikan lagi ke alam; diluar, angin, didjendela dan bulan kian
biru/pudar diatas bahuku.
Menghadapi sajak-sajak abdul hadi
kita seolah dibawa menuju suatu ruang yang “solitude”, ruang yang mungkin amat
penyair sukai atau teralami (terus menerus) dirasakan. Meskipun aku lirik
di dalam sajak-sajaknya terasa kuat, walaupun tidak bermakna sebagai
aku-si-penyair, tetapi “jejak” penyair masih terasa di sana. Mungkin ketika
Abdul Hadi menulis tentang Madura, subjek aku lirik itu bisa diasosiasikan
dengan kenyataan diri penyair itu sendiri (sebagai anak Madura), walaupun
sebenarnya ada “pesan” penting yang lebih menarik untuk ditelisik daripada
sekedar mengulik soal aku lirik itu.
Sajak-sajak Abdul Hadi adalah
sajak-sajak yang “akrab”, dan keakraban itulah yang selalu coba menyentuh
sanubari setiap pembaca sajak-sajaknya, dan menurut saya memang pribadi beliau
sendiri amat akrab dengan kemanusiaan universal. Meski Abdul Hadi adalah
seorang intelektual, tetapi ia seolah ingin sajak-sajaknya tidak terkesan sulit
dan abstrak, alih-alih rumit justru sajak-sajaknya sedari awal kepenyariannya
ingin dekat dengan kehidupan kita, kehidupan keseharian kita, kehidupan
kejiwaan kita, kehidupan spiritual kita.
Dengan bahasa yang lugas tetapi tegas, Abdul Hadi WM mengarahkan kita
dan menggelitik akal kita untuk kemudian tidak hanya hanyut tetapi turut
mempertanyakan hakikat kehidupan dari pengalaman keseharian kita. Ternyata
memang benar, Abdul Hadi yang mengakrabi alam membawa kita turut juga
menghayati alam, maka citraan-citraan alam itulah sebagai “kail” untuk
memancing perhatian kita agar bertanya “hakikat” kehidupan dan bagaimana
memaknai keseharian kita.
Diksi-diksi seperti angin, ombak,
cuaca, senja, angin, matahari, bulan, langit, kabut, dan
sederet benda-benda alami sering muncul dalam sajak-sajak Abdul Hadi WM, bahkan
pada sajak-sajaknya tentang kota, beliau menggambarkan suasana itu dengan
membandingkan dengan sifat-sifat alam; seperti gersang, kemarau, bayang,
dan seterusnya.
Sudah jelas, Abdul Hadi amat terpesona dengan unsur-unsur alam, hingga
unsur-unsur itu dipakainya sebagai alat pembanun imaji atau citra dalam
sajak-sajaknya. Khasanah alam yang gemar ia mainkan membuat suasana terasa
dekat, akrab, dan kita diajaknya berasyik masuk dengan alam itu untuk
menghayati makna-makna kata-katanya yang “menyapa” dan “ramah” itu.
Pada sajak-sajak perantauan di kumpulan Terlambat di Djalan
agaknya menjadi tanda bahwa Abdul Hadi WM masih merasa bahwa alam begitu
penting, dan sepertinya itulah tempat atau “rumah” yang menjadikannya tentram
dan damai. Kendati demikian, perhatiannya kepada alam tidak membuatnya gagap
membicarakan nasib dan kehidupan perkotaan. Justru diksi-diksi alam yang tadi
dicontohkan dalam kedua sajak yang saya kutip utuh di atas terasa padu dan
tepat, tidak terasa hal-hal janggal malah begitu akrab.
Terlambat di Djalan menjadi
titik awal yang cukup kuat, sekaligus pintu masuknya untuk keluar dari
sajak-sajak penyair terdahulu yang digandrungi Abdul Hadi WM kepada sajak-sajak
lain yang menjadi miliknya di kemudian hari, menjadi karakternya yang
benar-benar khas. Sekarang sepeninggal Abdul Hadi WM belum lama ini, terbukti
apa yang dikatakan alm. Darmanto Jatman, bahwa beliau Abdul Hadi telah
menemukan kepenyairannya yang paripurna (sejati). Wassalam.