Surat
Ilham Wahyudi
Teman semasa kuliah
saya dulu mengirim surat elektronik. Sepertinya dia sedang dalam kesusahan
hidup yang parah pasca dua tahun diterjang tsunami pandemi. Tapi isi suratnya
tidak serta-merta mengisyaratkan hal itu. Dia malah tipis-tipis mengkritik saya
sambil mengungkit-ungkit masa lalu kami. Sehingga dia pun terlihat semacam tidak
terima jika kemiskinan yang menimpanya saat ini akibat pilihannya pada jalur yang
lurus, sedangkan saya menurutnya telah jauh menyimpang.
Saya
manggut-manggut saja, cerita yang sudah jamak terdengar sambil bertanya-tanya, kenapa
mau minta tolong saja pakai mengkritik saya lebih dulu.
Berikut
isi suratnya kepada saya.
”Apa kabar, Kawan seperjuangan? Mungkin saat ini kau sedang duduk manis
di kursi komisaris sebuah perusahaan negara. Atau paling tidak, kau pastilah
sudah menikmati proyek-proyek pembangunan dari alokasi anggaran yang jumlahnya
sangat wow.”
Aneh!
Paragraf awal suratnya saja sudah membuat saya muak dan ingin muntah. Tapi
mengingat dia adalah teman baik saya dulu, maka saya pun memutuskan terus membaca
ke bagian selanjutnya.
”O,
ya, Kawanku, dulu kita seingatku sama-sama mengagungkan nilai-nilai sosialis. Tapi
sekarang sepertinya wangi uang kapitalis telah memabukkan kau. Untuk itu aku
ucapkan selamat kepadamu. Namun Kawan, ucapan selamat tidak dapat disampaikan
kepada para buruh yang dulu kita bela sama-sama dalam demo yang mendebarkan,
mungkin juga menakutkan. Mereka masih tetap di sana, Kawan, menanggung beban
undang-undang dan inflasi (yang kalau aku pikir-pikir lagi seperti dibuat-buat
saja inflasi itu) yang membuat upah mereka semakin tinggi, namun uang mereka
juga semakin tak bernilai.
Ucapan selamat juga tidak dapat diberikan pada keluarga miskin yang menanggung
kebijakan ekonomi-moneter dan utang publik yang makin tak genah manfaatnya. Kau
juga pasti mengikuti kalau privatisasi kesehatan dan pendidikan pun makin
kehilangan asas kegotong-royongan, atau soal-soal subsidi umum yang kian
menipis macam kulit bawang demi melepaskan tanggung jawab negara terhadap
bangsa.”
Sekarang
saya mulai paham kenapa dia harus pakai surat elektronik ketimbang WA untuk
minta bantuan atas kesusahan hidupnya. Terlalu rumit memang bila dia menulis
semua keluh-kesahnya melalui media WA yang gampang disadap, pikir saya.
Urusan perut (kemiskinan) memang terkadang membuat orang menjadi kreatif dan
mendadak mahir menulis atau berkata-kata. Padahal dulu semasa kuliah, kawan
saya itu malas sekali menulis atau bicara. Sayalah sebenarnya yang dulu selalu
tampil bicara, atau selalu menghantam kekuasaan melalui tulisan.
Maka,
demi melihat perkembangan pesatnya dalam tulis-menulis, saya teruskan membaca
surat elektroniknya yang semakin memuakkan, mencoba (mungkin) memahami keluh
kesah kemiskinannya.
”Kawan, apakah benar bahwa pikiran dan arah perjuangan akan dibedakan
menurut kursi-kursi saja? Bila ini masih sebuah hipotesa, maka kau adalah bukti
nyata. Lantas, apa beda antara ketika kau masih menjadi anjing jalanan dengan
setelah kau menjadi anjing istana? Kawan, perlu kau tahu, anjing tetaplah
anjing, kecuali perbedaan hanya pada bulu dan rantainya saja.
Sesungguhnya, peran memang akan selalu berubah. Begitu pula dengan
kekuasaan, ia juga pasti akan berganti (dipergilirkan). Bukankah kau yang
selalu mengatakan bahwa tiap-tiap kekuasaan harus kita curigai? Apakah
buku-buku usangmu telah lama kau jual ke tukang loak, Kawan? Sehingga kini
koleksimu pun telah berubah menjadi buku-buku motivasi beraroma sup ayam atau
mungkin kau sudah pula senang membaca buku-buku kajian moral tingkat tinggi?”
Alis
saya mendadak terangkat otomatis. Anjing istana? Bagus betul dia memilih
metafora untuk menilai saya saat ini. Dengan alis yang masih terangkat, saya
teruskan lagi membaca surat teman baik saya itu.
”Hehehe...
aku sangat mengenalmu, Kawan. Cepat sekali revolusimu berakhir, dan singkat
sekali ingatanmu pada pelajaran-pelajaran yang kita curi malam-malam dari
diskusi-diskusi panjang kita bersama senior-senior kita.
Akan tetapi semuanya memang telah menjadi benar. Hanya saja pesanku,
Kawan, tidak perlulah membuka aurat setelanjang-telanjangnya di hadapan
khalayak. Malu kita jadinya, kan?
Baiklah Kawanku, kupikir sudah dulu suratku kepadamu. O, ya, sesekali
perlu juga kita bertemu sambil menghisap cerutu. Mata tahu romantisme masih
bisa sedikit membantu. Tenang Kawan, aku tidak akan meminta cerutu yang kau
hisap. Cerutuku lebih nikmat, sebab aku gulung dari tembakau-tembakau hasil
perkebunan tembakau di kampung kita yang aroma dan rasanya sudah masyhur sampai
ke Benua Biru. Jadi jangan terlalu repot kau membawa cerutumu bila nanti kita
bertemu,” begitu teman baik saya mengakhiri surat
elektroniknya.
Jujur
saya sangat mengapresiasi perkembangan teman baik saya itu dalam menulis.
Kata-kata serta susunan kalimat yang dia rangkai dalam surat elektroniknya itu
sama sekali tidak mencerminkan jika dia dulu seorang yang sama sekali tidak
pandai menulis.
Saya
benar-benar kagum pada perubahan drastis teman baik saya itu. Pribadinya yang
kalem dan pemalu senyata jauh berubah melampaui derajat-derajat perubahan.
Jangankan menulis seperti itu, mengatakan perutnya lapar saja, dia dulu sangat
sungkan. Padahal saya tahu, dia itu anak mama yang tidak bisa sedikit
saja telat makan. Sehingga saya sering membagi jatah makan saya, atau uang pribadi
saya untuk membeli makan bila dia kelaparan saat kami larut dalam
diskusi-diskusi panjang di kampus. Apa jangan-jangan dia kini sudah menjadi
sastrawan?
Mungkin
sebenarnya maksud surat itu bukan ingin minta uang secara langsung kepada saya
sebagai usahanya memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin parah dan mencemaskan,
melainkan semacam kecerdasan dalam membujuk saya menjadi sponsor buku kumpulan
puisi atau cerpennya. Atau bisa juga sebenarnya dia bukan sedang meminta pada saya,
tapi melalui saya memohon untuk mencarikannya koneksi dari teman-teman separtai
saya, maupun teman-teman pejabat yang saya kenal untuk ikut terlibat membantu
produksi bukunya. Ah, saya jadi jatuh kasihan padanya.
Baiklah,
demi efektifitas dan efisiensi solusi, sepertinya saya telepon saja dia
langsung, Jangan dibikin repot. Hitung-hitung silahturahmi setelah
sekian lama tidak bertukar kabar. Akan tetapi, persis saat mau meneleponnya,
saya mendadak punya pikiran lain. Apa saya balas saja surat elektroniknya
dengan sebuah puisi atau cerpen yang menceritakan bagaimana saya saat ini, dan
bagaimana menyikapi keterbatasan dana dalam memproduksi sebuah buku sastra?
Maka
saya pun mencoba menulis puisi.
”.....”
Hampir
satu jam saya duduk di hadapan laptop, tidak satu kata pun berhasil saya
temukan untuk saya jadikan kata pertama bagi puisi yang ingin saya kirim
kepadanya. Kata-kata kok sepertinya enggan menghampiri. Apa ini sebuah tanda
dari alam semesta kalau teman seperti teman saya itu hari-hari ini memang banyak
di luar sana, dan seharusnya tidak perlu ditanggapi serius. Alias buang-buang
waktu. Mending saya merancang rencana-rencana pembangunan yang nantinya
bermanfaat bagi rakyat yang memilih saya.
Akhirnya,
setelah lelah saya menunggu. Kemudian berlanjut dengan kembali mempertimbangkan
manfaat dan mudaratnya (sambil membaca berulang-ulang isi surat teman baik saya
itu) saya pun bulat memutuskan menghapus surat elektronik
teman baik saya itu dari kotak surat elektronik saya yang penuh dengan proposal
pengajuan sponsor acara-acara seminar di kampus saya dulu.
Selesai
memencet ‘Delete’. Segera saya ambil ponsel dan mengirim WA ke salah
satu menteri teman saya, “Brother, arah politik kian tak menentu, kita
harus buru-buru cari sekoci, kalau tidak ingin tenggelam!”
Dalam hati saya menyeletuk. Untung teman lugu saya itu mengingatkan saya sebelum semuanya tenggelam diterjang badai perubahan.
Akasia, 2023