Kreativitas Menolak AI
Efen Nurfiana
Berbicara
mengenai kemajuan dan kemudahan teknologi, sekaligus membawa kepala kita menuju
kemungkinan kelahiran dan kematian kreativitas. Ini sebuah pertarungan, antara
gerak kreativitas dan pola-pola yang telah disediakan teknologi untuk
memalsukannya.
Konsep menulis menggunakan AI, bertentangan dengan
segala sesuatu yang tampak jelas dan “alami” dari sebuah kreativitas. Analogi
sederhana, pikiran manusia bergerak, baik melalui pengulangan atau membuahi
ide-ide dari sebuah entitas. Kemudian, teknologi itu muncul dengan membuat
salinan, atau memetakan kemungkinan arah berpikir manusia dengan mengambil
data-data yang tercetus dalam medium mekanis. Mungkinkah, kita akan sampai pada
tahap keaktifan ide?
Namun, perlu dicatat, bahwa ada semacam “daya tarik”
dari teknologi yang menanti kita di masa depan. Bagaimana tidak, keperluan kita
didesain dan dirancang di sepanjang garis virtualisasi. Antisipasi semacam ini
perlu, namun seperti dua bagian yang sulit dipecah, antara kebutuhan hidup dan
hasrat mencipta kita.
Membaca Cyber Graffiti (Situmorang
and dkk 2004) kita akan disajikan argumentasi tentang
sastra cyber yang kian meruncing, wacana yang perlu didiskusikan. Kehadiran
internet dan dunia perkembangannya menunjukkan prematur pemikiran dalam ranah
penciptaan ide. Oleh karenanya, harus dilakukan evaluasi dan perkembangannya
harus disiasati. Sifat generasi terkini, cenderung bermain-main dan secara
langsung memanfaatkan jaringan untuk menciptakan kreativitas instan.
Kreativitas, dalam versi yang diperluas, pada esensinya
merupakan fungsi keseimbangan kebebasan dan menggunakan kebebasan itu. Namun
kebebasan di sini, tidak lantas dapat kita maknai sebagai kebebasan menggunakan
perangkat teknologi untuk menyadur kreativitas. Simulasi pemikiran yang dihasilkan
perlu kita perhitungkan sebagai nilai produksi karya.
Tentu saja, lenyapnya kerja kreativitas pada akhirnya
sangatlah gawat, akan tetapi menutup keseimbangan kemajuan teknologi dan budaya
juga tidak kalah gawat. Seturut definisinya, menciptakan karya sastra
menggunakan AI, khususnya puisi, sebagai hal yang sepenuhnya modern merupakan
pelanggaran terhadap kreativitas. Boleh dibilang, apapun tujuan menulis
menggunakan AI, tidak akan sama persis dengan aslinya.
Masalah AI, pada kenyataannya, dapat mempertanyakan
sejumlah hal, tidak sulit membayangkan potensial konflik yang ditimbulkan dari
penggunaan AI pada ranah kreativitas. Misalkan, seorang mahasiswa yang
menggunakan AI dalam mengerjakan tugas dari dosen-dosennya, yang bagaimanapun
upaya fatal ini mengungkapkan kepada kita kematian-kematian kreativitas. Jadi,
tidak ada gagasan pemikiran yang diidealkan tentang hukum semacam ini. Itulah
ironis dari situasi kita saat ini.
Perkara ini, mengingatkan saya pada buku Ilusi
Vital karya Jean Baudrillard, di mana berbicara mengenai dunia virtual dan
spesies buatan tertentu seperti klon. Baudrillard mengatakan, manusia adalah
sesuatu yang tidak dapat diperdagangkan sebagai mata uang untuk spesies buatan
tertentu, seperti klon, bahkan kalaupun klon berkinerja lebih baik, adalah
“nilai yang lebih baik.” Sebagaimana pemikiran, karena pemikiran adalah hal
lain yang tidak dapat ditukar, baik untuk sejumlah kebenaran objektif (seperti
dalam sains) atau untuk kebenaran buatan, seperti kecerdasan buatan. (Baudrillard
2021, 25)
Tamsil ini mempersepsi situasi modern kita sebagai
bentuk campur tangan teknologi digital. Sesungguhnya, banyak di antara kita
yang mempertahankan proses-proses instan dengan dalih kemajuan teknologi.
Insiden ini menjadi ilusi yang gawat, ketika pasokan karya yang kita punya,
tanpa kita sadari bukan menjadi kepunyaan kita, melainkan produksi kecerdasan
buatan yang didesain hanya memenuhi permukaan penciptaan, bukan kreativitas.
Begitulah fenomenanya, apakah kita berbicara tentang
proses kreatif, pergerakannya, pertumbuhannya, atau hanya mempertahankan
eksistensi keberadaannya. Kendati, dengan analogi proses penciptaan melalui
prosedur yang canggih seperti AI, kita tidak dapat hanya berbicara hipotesis
teknis semacam ini. Akan tetapi, mengacu kepada ilmu pengetahuan tentang jalan
keluar.
Jika kita tengok, website AI berjamuran di internet
seperti perplexity, consensus, Elicit dan lainnya. Penggunaan website AI dapat
berupa menjawab pertanyaan, membuat pernyataan, menciptakan gagasan, argumen
atau lainnya. Polemik ini yang perlu kita urai dan diskusikan lebih jauh,
bagaimana proses kreatif dan penciptaan ide, kemudian melibatkan kecerdasan
buatan seperti AI.
Melalui pemahaman yang amat sekilas, dengan terobosan
penciptaan ide demikian, tentunya kita akan menjadi pribadi yang dimusuhi Rollo
May. Pertama-tama mari kita perhatikan, wawasan mengenai kreativitas telah
dipikirkan secara rasional olehnya, ditulis dalam buku Kreativitas dan
Keberanian (May 2019) setebal 252 halaman, kemudian kita lebih nyaman
berada dalam suatu keadaan yang penuh keganjilan-keganjilan, yang tidak masuk
akal mengenai penemuan ide.
Dalam pergulatan yang dinamis, persoalan ini lebih
menyerupai sebuah pertempuran (jika saya boleh menyebutnya demikian). Namun, di
kemudian hari terobosan penciptaan ide menggunakan AI akan semakin membuktikan
keguncangan kreativitas. Pada momen lahirnya terobosan penciptaan ini, muncul
suatu pemikiran instan dan mungkin ada ide yang sepenuhnya tertimbun dalam
pemikiran kita. Kelangsungan intelektual kita kemudian lahir dalam bentuk rasa
bersalah terhadap kerja kreatif, rasa puas dan kegembiraan berpartisipasi dalam
sebuah penciptaan akan semakin samar. Inilah yang disebut Rollo May sebagai
kebenaran kreatif.
Pada titik krusial, karya yang dibuat melalui AI hanya
mampu memverifikasi dan memproyeksikan pengetahuan umum, tidak memunculkan
perluasan ide. Sebab prinsip dan dalilnya bersifat ilusi, muncul dalam bentuk
jejak virtual, tidak terjadi melalui tindakan kritis dan murni. Bahkan ketika
itu menjadi suatu bencana, satu-satunya kebenaran untuk menulis adalah berpikir
dan melalui proses-proses kreatif, yang murni dan memiliki kesadaran logis.
Sebagaimana Rollo May, yang memandang kreativitas
harus dilihat melalui kerangka kerja ilmuwan atau seniman, pemikir juga ahli
estetika; dan orang tidak perlu menghilangkan luasnya makna kreativitas seperti
yang tercermin dalam diri tokoh-tokoh teknologi modern. Selain itu, Webster
juga menyebutkan, hakikat kreativitas sebagai proses penciptaan atau menjadikan
suatu menjadi ada. (May 2019, 75)
Bagian ini, mengantarkan kita kepada mekanisme
tindakan-tindakan kreativitas yang muncul berbarengan dengan kesadaran atas
potensi-potensi yang dimiliki manusia. Seorang profesor bidang ilmu pendidikan
bahasa dan sastra Indonesia dari salah satu universitas di Purwokerto,
menampilkan sebuah wacana realitas yang mungkin dapat membantu menjelaskan
kepada kita tentang formula penciptaan. Pada mulanya, penciptaan sebuah karya
(baca: puisi) dengan membuat-buat ekspresi, mengondisikannya, menunggu, dan
mencari ilham. Proses pencarian ilham pada konsep ini tidak hanya berhenti pada
kata “menunggu,” akan tetapi mencari melalui satu-dua kata, menuliskannya, dan
mencorat-coretnya, sampai menemukan hikmah puisi yakni indah dan bermanfaat. (Wachid
B. S 2022)
Sekarang, kita sampai pada satu perbedaan antara
kreativitas dan penciptaan melalui kecerdasan buatan, seperti AI. Kreativitas
merupakan usaha-usaha mengaktifkan tindakan kreatif, seperti yang sering
dikatakan oleh Rollo May, kreativitas asli selalu ditandai oleh suatu
intensitas kesadaran. (May 2019, 82) Sementara itu, penciptaan yang diperoleh
melalui AI bukanlah intensitas yang dikendalikan oleh kesadaran. Akhir kata,
betapa kreativitas begitu kuat ketika dilahirkan dari suatu kerja intelektual
yang penuh gairah. Intensifikasi kesadaran ini memberi kapasitas berpikir yang
lebih tajam, termasuk proses pengindraan dan penajaman persepsi.