Imaji Penyair tentang Proklamator - S. Prasetyo Utomo

@kontributor 9/10/2023

Imaji Penyair tentang Proklamator

S.Prasetyo Utomo



IMAJI dalam puisi tentang proklamator menjadi pertaruhan untuk mengekspresikan pengalaman indera dan intuisi penyair. Dari beberapa puisi yang mengangkat sosok proklamator, saya memilih lima yang populer. Lima puisi ini dicipta dengan intensitas imaji untuk memberi makna pergerakan dalam kemerdekaan. Saya tertarik pada lima puisi yang mengekspresikan ketajaman imaji penyair untuk menyingkap berbagai etos nasionalisme dalam mewujudkan dan menjaga kemerdekaan.

            Kelima puisi itu adalah “Aku Serdadumu” karya Ali Hasjmy, “Persetujuan dengan Bung Karno” karya Chairil Anwar, “Surat Bertanggal 17 Agustus 1946” karya Saini K.M., “Pemimpin Sejati” karya Sutrisno Martoatmojo, dan “Proklamasi, 2” karya Hamid Jabbar. Kepekaan imaji menjadi kekuatan para penyair untuk menyingkap perjuangan kemerdekaan dalam konfrontasi kolonialisme. Kelima penyair ini menyingkap pengalaman indera yang berbeda tentang konfrontasi kolonialisme, dan bagaimana mengisi kemerdekaan.

            Dengan kekuatan imaji, diksi, dan bahasa simbol, kelima penyair ini mencipta keluhuran makna pengorbanan dan dekonstruksi tentang kesejahteraan bangsa pascakolonial. Berkembanglah tafsir puisi tentang proklamator yang memiliki etos dan pengorbanan terhadap negeri ini. Saya terkesima dengan pandangan otentik penyair seperti Hamid Jabbar untuk menemukan pengucapannya sendiri terhadap proklamator bangsa dengan bahasa satire.

                                 ***

            DALAM puisi “Aku Serdadumu” karya Ali Hasjmy, proklamator merupakan sosok panutan dalam melawan kolonal, yang membakar semangat untuk berjihat. Bung Karno telah menggerakkan hasrat perlawanan terhadap kaum kolonial. Ia memberi inspirasi bagi segenap kalangan untuk menghidupkan semangat bertempur melawan penjajah: Bung Karno/ Pacu kuda jihadmu/ Jangan mundur lagi/ Kami turunan Iskandar Muda/ Tetesan darah Ratu Safiah/ Anak cucu Mujahit Tiro/ Kemenakan Umar Pahlawan/ Telah siap bertempur/ Kami sedang menggempur//. Dalam larik puisi selanjutnya dikisahkan bahwa perlawanan senjata terhadap kaum penjajah merupakan bagian dari perjuangan Hikayat Perang Sabi, yang menerima imbalan surga.  

            Selaras dengan Ali Hasjmy, Chairil Anwar memuja sosok Bung Karno, sebagai proklamator, yang memiliki ketulusan dalam proses kemerdekaan, dalam puisi “Persetujuan dengan Bung Karno”. Semangat perjuangan, sugesti tentang kemerdekaan, pidato yang membakar konfrontasi terhadap kaum kolonial, menjadi api semangat, ideologi yang merasuk ke dalam sanubari, dan kebesaran jiwa masyarakat. Penyair memanfaatkan simbol “api” sebagai semangat konfrontasi terhadap dominasi kekuasaan kaum kolonial dan simbol “laut” untuk mengekspresikan imaji tentang keluasan jiwa nasionalisme: Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji/ Aku sudah cukup lama dengar bicaramu/ dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu// Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945/ Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu/ Aku sekarang api aku sekarang laut//.  Dalam larik berikutnya, penyair menyingkap simbol integritas penyair ke dalam ideologi proklamator dalam mengarungi kehidupan dan menyandarkan harapan tentang kemerdekaan.  

            Etos proklamasi dan nasionalisme diekspresikan dalam puisi Saini K.M. dalam “Surat Bertanggal 17 Agustus 1946”. Ia tidak menyebut nama Bung Karno sebagai sosok proklamator, tetapi semangat pembebasan diri dari dominasi kekuasaan kaum kolonial, telah menjadi jiwa puisi ini. Anak-anak muda memiliki ketangguhan untuk menjaga tanah air dari perenggutan tangan kolonial. Konfrontasi bersenjata melawan kaum kolonial merasuki kehidupan anak muda: Hari ini pemuda-pemuda mengganti hati mereka dengan baja/ Agar bisa tidur berbantal batu dan berselimut angin/ Sedang bagi gadis-gadis kami hadiahkan mawar api/ Kembang di ujung senapan, bau mesiu alangkah wangi!//.

Penyingkapan etos perlawanan terhadap dominasi kekuasaan kaum kolonial menjadi roh penciptaan puisi “Pemimpin Sejati” karya Sutrisno Martoatmojo. Proklamator menjadi tokoh panutan bagi penyair, yang ikhlas dalam melakukan perjuangan. Keluasan jiwa, semangat, ketangguhan menghadapi konfrontasi terhadap dominasi kekuasaan, merupakan teladan sosok proklamator: bung Karno/ jiwamu ada di dalam laut lepas menggelora/ gemuruh/ menggelegar/ membuih pecah berderai/ beriak penuh relung senyum di tengah badai//.

 Cara pandang yang menyimpang terhadap proklamator dilakukan Hamid Jabbar dalam puisi “Proklamasi, 2”. Ia memandang proklamasi di sebuah zaman baru, ketika Bung Karno tak lagi berkuasa. Puisi ini dicipta penyair pada zaman Orba, ketika persoalan kehidupan mulai bergeser, bukan lagi berhadapan dengan kaum kolonial, melainkan berhadapan dengan hak asasi manusia dan kesejahteraan hidup: Kami bangsa Indonesia/ dengan ini menyatakan/ kemerdekaan Indonesia/ untuk kedua kalinya// Hal-hal yang mengenai/ hak asasi manusia/ utang piutang/ dan lain-lain/ yang tak habis-habisnya/ insya-Allah/ akan habis/ diselenggarakan/ dengan cara saksama/ dan dalam tempo/ yang sesingkat-singkatnya//. Ia telah mendekonstruksi tokoh proklamator dengan menyebut: Atas nama nangsa Indonesia/ Boleh Siapa Saja//.

                         ***

            SATIRE yang diekspresikan Hamid Jabbar membedakannya dengan puisi penyair lain yang mengukuhkan mitos kepahlawanan Bung Karno sebagai proklamator. Saya memilah dua pandangan penyair terhadap proklamator. Pertama, pandangan penyair yang memanfaatkan diksi dan simbol untuk menciptakan etos tentang nasionalisme dan perlawanan terhadap dominasi kekuasaan kolonial. Kedua, penyair yang melihat etos proklamator dari sisi kurun waktu rezim yang berbeda, yang berhadapan dengan tantangan hak asasi manusia dan kesejahteraan di hadapan bangsa lain.

            Kelima penyair ini menyampaikan sugesti tentang proklamasi untuk mencipta dialog batin tentang keteladanan moral, etos, dan ketulusan jiwa. Puisi mereka mengekspresikan identitas, kedaulatan, perjuangan, kebebasan demokrasi dan kesejahteraan bangsa. Kelima penyair ini sedang menarik kita – dengan kekuatan diksi masing-masing – untuk merenung, berdialog batin, dan menemukan kearifan. Kekuatan imaji mereka membangkitkan kesadaran pembaca agar waspada terhadap makna kemerdekaan dalam konteks zaman yang terus bergeser. ***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »