Selendang Bersulam
Putih
“Nah ini dia!”
seru Zubaedah sambil menjangkau dan mengeluarkan sebuah selendang yang tersuruk
di antara lipatan-lipatan kain dalam lemari pakaian. Selendang tersebut tampak
kusam dan terlihat beberapa noda di berbagai tempat ketika Zubaedah
membentangkannya di bawah lampu kamarnya.
Kemarin siang, surat kemenakannya dari Bukittinggi mengusik hatinya.
Biasanya kemenakannya hanya menyampaikan kabar keadaan rumah di Bukittinggi
yang dipercayakan kepadanya sejak Zubaedah pindah ke Jakarta ini untuk tinggal
bersama Syahrul, anaknya. Tetapi, surat kemarin itu juga mengabarkan tentang
berpulangnya ke rahmatullah Mande Siti Manggopoh tanggal 20 Agustus 1965, tiga
minggu yang lalu. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Terkesiap
Zubaedah membacanya.
Sudah lebih limapuluh tahun nama Mande Siti tidak pernah lagi terdengar dan
tersebut oleh Zubaedah. Dalam ingatannya, sosok Mande Siti adalah saat terakhir
beliau meninggalkan Zubaedah di suatu malam gelap di tahun 1908. Walaupun
demikian beliau selalu ada dalam hati dan doa Zubaedah.
Sekarang, air mata tak terbendung lagi mengalir di pipinya. Diamatinya
selendang putih yang telah menguning termakan usia ditangannya, sulaman benang
putih dengan corak sederhana masih terlihat jelas di sekelilingnya.
Disampirkannya selendang tersebut di pundaknya dan sambil terduduk di pinggiran
tempat tidur, Zubaedah teringat kembali bagaimana selendang itu diperolehnya
atau lebih tepatnya diambilnya. Selendang Mande Siti yang tidak pernah sempat
dikembalikannya kepada si empunya.
“Mak, Mak,” ketukan di pintu kamar mengalihkan lamunan Zubaedah.
Yuni, menantunya, muncul di pintu dengan wajah tersenyum dan berkata, “Batang
pakisnya ketemu di pasar nih.”
Sebelum Yuni sempat bertanya tentang mata sembab ibu mertuanya, Zubaedah
buru-buru bangkit. Sambil menyusut air mata di pipi dengan ujung selendang ia
berkata,”Mudah-mudahan bumbu dan kelapa kau beli juga Yun.”
“Iya, lengkap, Mak, cabai merah, bawang merah, bawang putih, lengkuas,
jahe, kunyit, sereh, juga daun salam. Kelapa, saya minta langsung diparutkan di
pasar.”
“Senang sekali hati Amak ada yang menjual batang paku di Jakarta ini,”
sambung Zubaedah. Sambil mengikuti Yuni ke dapur, ia meletakkan selendang putih
itu di sandaran kursi di meja makan.
Yuni selalu tertawa geli setiap mendengar ibu mertuanya tetap menggunakan
istilah bahasa Minang, paku, untuk pakis yang baru dibelinya. Dia teringat
guyonan ibunya sendiri yang tinggal di Surabaya, yang pasti akan berkata,
“Sejak menikah dengan orang seberang, kamu menjadi sakti ya, karena pakupun
sekarang bisa dimakan.”
Di dapur, Zubaedah langsung membersihkan daun pakis. Satu per satu batang
pakis diusap dan dibersihkan dan dialiri air keran yang mengucur.
Ketika jari-jarinya membersihkan pucuk pakis yang berpilin dan duri-duri
lunak pucuk itu menyentuh kulitnya, ingatan membawanya kembali pada saat lebih
dari limapuluh tahun yang lalu ketika Zubaedah remaja membersihkan batang paku
di pancuran di dekat rumah ladang di tengah hutan. Batang paku itu hanya
direbus dan dimakan dengan nasi seadanya atau ubi kayu yang diambil dari
ladang.
“Mak, berapa banyak lengkuasnya?” tanya Yuni sambil menyodorkan lengkuas
dan menyentakkan Zubaedah untuk kembali ke batang paku yang dibersihkannya.
“Ya sebentar, biar Amak tiriskan paku ini dulu,” jawab Zubaedah sambil
meletakkan batang paku yang sudah bersih ke dalam tirisan. Kemudian dia
mengambil pisau dan memotong lengkuas sambil berkata,”Seruas jari lengkuas,
seruas jahe, seruas kunyit.”
“Seruas jari siapa, Mak?” tanya Yuni sambil tersenyum.
“Seruas jari yang memasaknya, Yuni,” jawab Zubaedah.
“Kalau begitu, kalau orang yang masaknya tinggi langsing rasa masakannya
beda ya Mak dengan yang pendek gemuk, kan ukuran jarinya berbeda,” Yuni memang
tidak pernah mahir kalau mengikuti takaran kira-kira Zubaedah.
“Ah, kau ada-ada saja Yuni,” Zubaedah tertawa. “Ukuran seruas jari itu kan
hanya perkiraan kasar, selebihnya gunakanlah hati dan perasaanmu, dijamin
apapun yang kau masak akan lezat,” jelas Zubaedah.
“Nah, sekarang kau kupaslah bawang merah dan bawang putih dan potong-potonglah
cabai merah ini,” lanjut Zubaedah.
Sementara Yuni melakukan yang diminta Zubaedah, dia menyempatkan
bertanya,”Kenapa Amak tadi menangis di kamar?”
Zubaedah terdiam dan memandang Yuni. Alangkah bersyukurnya ia bahwa
Syahrul, anak tunggalnya, menikahi Yuni. Anak yang baik dan penuh perhatian,
tidak saja terhadap suami dan anak-anaknya, tetapi juga terhadap ibu mertuanya.
Setelah ayahnya Syahrul meninggal tiga tahun yang lalu, dan kesehatannya
sendiri juga sudah menurun, Syahrul mengajaknya tinggal bersamanya di Jakarta.
Meski awalnya Zubaedah berkeberatan meninggalkan rumah peninggalan suaminya di
Bukittinggi, tetapi Syahrul memaksa dengan alasan biar dia juga tenang kalau
ibunya berada di dekat dia dan keluarga.
“Amak teringat Mande Siti. Kau tahu, waktu Amak bersama Mande Siti di hutan
dekat Manggopoh, batang paku inilah yang selalu Amak cari di sekitar ladang di
hutan untuk jadi makanan sehari-hari, cuma inilah yang dapat kami peroleh.”
“Kenapa Amak tinggal di hutan dan siapa Mande Siti itu?” Yuni terkejut
karena tidak mengira ibu mertuanya pernah tinggal di hutan dan Yuni
juga tidak ingat suaminya pernah bercerita tentang itu.
Zubaedah kemudian bercerita, “Mande Siti itu sepupu jauh dari
orangtua Amak. Meskipun umurnya masih muda, di tahun 1908 itu beliau belum
berumur tigapuluh tahun, tapi dipanggil Mande oleh semua orang. Suaminya Bagindo
Rasyid, dan anak perempuannya Dalima masih menyusu waktu itu.
“Mande Siti adalah perempuan pintar dan tangguh. Sejak kecil sudah
pandai bapasambahan, yaitu bicara berpantun yang indah sekali,
mengaji dan bahkan jago bersilat. Tidak banyak perempuan Minang yang pintar dan
seberani beliau waktu itu.
“Bagindo Rasyid adalah pendekar juga dan Mande Siti juga ikut membantu
kegiatan Bagindo. Suatu malam di bulan Juni tahun 1908, Mande Siti, Bagindo
Rasyid dan beberapa orang di kampung Manggopoh menyerang Belanda di bentengnya.
“Amak ingat benar karena itu tidak lama setelah orangtua perempuan Amak
meninggal. Banyak Belanda mati malam itu. Tapi ternyata ada dua orang Belanda
yang sempat lolos dan mereka lari menyelamatkan diri dan melapor ke
Bukittinggi. Kabarnya Mande Siti terluka dari serbuan itu. Dan mereka, Mande
Siti, Bagindo Rasyid dan orang-orangnya lari dan sembunyi ke hutan di luar
Manggopoh.” Zubaedah menarik nafas. Sementara matanya mengawang jauh.
“Segini cukup ya, Mak,” Yuni memperlihatkan potongan bawang merah, bawang
putih, dan cabai.
“Ya, cukup, letakkan di sini.” Zubaedah kembali dengan masakannya dan
meneruskan, “Amak akan menggiling cabai dan bumbu ini, sementara itu kau
peraslah santan. Tolong ambilkan Amak batu lado ya Yun.”
Yuni mengambil cobek dan ulekan yang dimaksud Zubaedah dan meletakkannya di
atas meja pendek yang mudah dijangkau. Ibu mertuanya sengaja bersusah payah
memboyong batu lado itu dari kampung ketika pindah untuk ikut tinggal dengan
Yuni dan Syahrul di Jakarta. Katanya beliau tidak biasa menggunakan cobek dan
ulekan Yuni. Memang batu lado Minang tidak seperti cobek Surabaya Yuni yang
bulat dan bisa terbuat dalam berbagai ukuran dari batu atau tembikar, ulekannya
kayu dan memiliki gagang untuk pegangan. Sedangkan batu lado dan ulekannya
terbuat dari batu. Bentuknya lonjong dan ulekannya berbentuk bulat sebesar
genggaman tangan. Kata Zubaedah bumbu yang digiling dan digerus di batu lado
ini akan mengeluarkan rasa dan wangi yang lebih lezat. Makanya ibu mertuanya
tidak mau menggunakan yang lain selain batu lado itu.
“Kemudian, bagaimana Amak bisa tinggal di hutan dengan Mande Siti,” Yuni
teringat kembali akan cerita ibu mertuanya.
“Sejak orangtua Amak meninggal, Amak tinggal di tempat Mamak Maran, kakak
laki-laki dari orangtua perempuan Amak. Mande Siti sering datang berkunjung ke
rumah Mamak Maran menghibur Amak waktu itu.” cerita Zubaedah. “Waktu itu,
pertengahan tahun 1908 itu, di Manggopoh keadaan juga bergolak. Orang-orang
sedang ramai membicarakan belasting yang baru diterapkan
Belanda. Masa si Belanda meminta pajak untuk tanah-tanah pusaka di kampung.
Hebohlah orang kampung waktu itu. Tanah itu bukan tanahnya orang Belanda, tapi
tanah turun temurun kaum orang Minang.” Zubaedah menggelengkan kepalanya.
“Apakah santannya sudah cukup, Mak?” Yuni memperlihatkan hasil
perasannya ke Zubaedah.
“Oh ya, sudah, sudah cukup. Ini juga bumbu cabainya sudah halus. Nah,
sekarang kau jerangkanlah santan ini dan rebus dengan bumbu, daun serai dan
daun salam ini,” kata Zubaedah. “Selama santan dijerang, jangan lupa
mengaduk-ngaduknya supaya tidak pecah santan nanti. Setelah santan bergolak,
baru kau masukan batang paku yang sudah ditiriskan ini,” lanjut Zubaedah lagi.
Yuni segera mengeluarkan panci dari lemari dapur dan menghidupkan kompor.
Sementara Zubaedah melanjutkan ceritanya. “Hingga suatu hari, di
pertengahan bulan Juni tahun 1908, Amak mendengar dari orang-orang kampung, ada
pertentangan antara ninik mamak, tetua kampung, dengan orang
Belanda di Kamang. Kemudian juga orang kampung di Kamang menyerbu benteng
Belanda, tentu saja Belanda marah. Dan kemudian Amak dengar pula Bagindo Rasyid, yang
dekat dan sering bertukar pikiran dengan ninik mamak, ikut dalam penyerbuan
itu. Memang beberapa hari kemudian, Bagindo Rasyid pulang ke Manggopoh
sembunyi-sembunyi dan tidak pernah keluar siang hari, menghindari kejaran
Belanda kata orang-orang.”
“Mak, sudah mendidih santannya. Pakisnya boleh dimasukkan ya,” sela Yuni
sambil mengaduk-aduk panci di atas kompor. Uap dari panci yang berisi santan
berbumbu memenuhi dapur. Bau harumnya menerbitkan selera.
Zubaedah mendekat dan melihat ke dalam panci dan berkata,”Ya, sudah siap
ini, biar Amak yang ambilkan pakunya.” Setelah batang paku dimasukkan ke panci,
Zubaedah memperingatkan Yuni, “Jangan aduk terlalu keras supaya pakunya tidak
hancur. Dan kalau sudah matang semuanya, matikan kompor, tutup panci, dan
diamkan sebentar supaya bumbunya meresap dan tidak terlalu panas untuk
dimakan.”
Zubaedah kemudian bersiap membereskan dan menata meja makan.
Tidak lama kemudian, Yuni datang dengan membawa semangkok gulai paku,
secambung nasi hangat, kerupuk jangek, kerupuk dari kulit sapi yang dikirim
dari kampung untuk Zubaedah, dan dua potong ayam goreng.
“Marilah kita makan dulu, Mak. Gulai pakisnya sudah siap,” ajak Yuni ke
Zubaedah.
“Tidak menunggu si Syahrul dulu?” tanya Zubaedah.
“Uda Syahrul makan siang di kantor, ada rapat lagi
hari ini katanya,” jelas Yuni menggunakan kata Minang untuk menyebut suaminya
dan menyambung, “Anak-anak sudah dibuatkan ayam goreng juga untuk mereka pulang
sekolah nanti. Biar ini untuk kita saja Mak.”
Ketika Zubaedah duduk di meja, Yuni segera menyendokkan nasi ke piringnya.
Untuk lauknya Zubaedah hanya memilih gulai paku dengan banyak kuah. Gurih
santan yang dipadu dengan bumbu yang pas takarannya, tidak terlalu asin dan
tidak terlalu pedas, membuat lidah Zubaedah bergoyang. Ditambah dengan kerupuk
jangek yang ketika dicampurkan ke dalam kuah mengeluarkan bunyi mendesis
sebelum menyusut bentuk dan ukurannya. Untuk sesaat Zubaedah merasakan
kerinduannya terhadap gulai paku terbayar sudah.
Di Bukittinggi, gulai paku biasanya dimakan dengan ketupat sebagai sarapan
pagi. Disajikan dengan berbagai macam kerupuk, kerupuk jangek, kerupuk singkong
atau kerupuk merah biasanya. Kerupuk kampung. Biasanya teh tawar hangat sebagai
minumnya.
“Enak ya, Mak,” kata Yuni sambil tersenyum dan menyuap nasinya.
“Iya, Yun, enak sekali. Terima kasih sekali Amak ke Yuni.”
“Jadi bagaimana cerita Bagindo Rasyid yang katanya lari dari Kamang tadi,
Mak?” tanya Yuni setelah mereka selesai makan dan Zubaedah membantu Yuni
memindahkan piring bekas makan ke dapur.
“Setelah pulang ke Manggopoh, Bagindo Rasyid sepertinya diam-diam bersama
ninik mamak kampung menggalang kekuatan lainnya untuk melawan belasting Belanda
itu di Manggopoh. Mande Siti diajak serta atau lebih mungkin Mande yang ingin
ikut sendiri. Itulah kejadian Mande Siti ikut serta di penyerbuan benteng
Belanda itu,” Zubaedah melanjutkan ceritanya ketika mereka kembali duduk di
meja makan.
“Kapan Amak jadinya ikut Mande Siti di hutan?” tanya Yuni.
Zubaedah memandang selendang Mande Siti yang sengaja diletakkannya di
sandaran kursi di sebelah kursinya sendiri. Sekilas Zubaedah mengusap selendang
dan melanjutkan, “Amak masih teringat bagaimana terkejutnya Mande Siti ketika
Amak berhasil menemukannya di rumah ladang di hutan pertama kali” Zubaedah
tenggelam dalam ingatan sejenak sebelum meneruskan ceritanya.
“Mande Siti sedang mondar mandir di teduhan pohon cempedak. Dalima terlihat
dibawanya di dalam kain gendongan. Begitu beliau melihat Amak, beliau
berteriak, ‘Edah?! Apa yang kau kerjakan di sini?’ Sambil meraih lengan Amak,
Mande lanjut bertubi-tubi, ‘Bagaimana kau sampai ke sini?’ Sementara itu Dalima
merengek-rengek dalam gendongannya.
“Mande terlihat lelah dengan mata yang sayu dan selendang di kepalanya
tidak beraturan seperti asal menutup kepala saja, kusut masai. Dalima juga
seperti tidak nyaman, merengek-rengek dan mukanya memerah karena menangis.
“Amak berusaha membujuk Dalima menenangkan tangisnya. Tiba-tiba Dalima
mengulurkan kedua tangannya minta digendong Amak, dan Mande Siti melepaskannya.
“Mande kemudian mengajak Amak masuk ke dalam rumah dan setelah menyediakan
segelas minum yang buat Amak benar-benar menjadi pelepas haus, Amak
menceritakan apa yang terjadi ke Mande Siti.
“‘Mak Maran mengenalkan ambo dengan si Burhan, kemenakannya yang masih
saudara jauh Tek Banun, istrinya. Kalau ambo mau menikah dengan si Burhan, maka
tanah warisan amak ambo akan aman di tangan keluarga.’ Amak langsung
menceritakan apa yang ada di kepala waktu itu.
“‘Baru sebulan Amak kau meninggal, si Maran sudah panjang pikirannya ke
urusan tanah segala ya,’ kata Mande. ‘Biarpun tanah masih di tangan keluarga
besar, tapi dengan si Belanda yang seperti tukang palak, siapa yang akan
membayar belastingnya. Sanggup kau?’
“‘Tidak taulah, Mande, kalau urusan itu. Ambo belum berpikir sejauh itu.
Yang ambo rusuhkan adalah si Burhan itu. Ambo belum mau kawin, Mande. Tapi ambo
sadar tidak punya pilihan. Ambo berutang budi ke Mak Maran. Sepeninggal amak
ambo, beliau sekeluargalah yang membantu ambo.’
“‘Ya, kau sudah gadis, umur sudah tujuh belas kan? Sudah pantaslah
dikawinkan,’ kata Mande Siti.
“‘Tapi tidaklah Mande. Untuk menghindari si Burhan dan Mak Maran, ambo
sudah berencana mau ke Bukittinggi saja. Tapi sebelum sempat berangkat, kampung
kita keburu di bakar Belanda, Mande. Tidak tahu mau kemana ambo. Banyak sekali
tentara Belanda waktu itu. Katanya semua pasukan dari Agam dan Pariaman juga
datang menyerbu Manggopoh waktu itu. Juga mereka yang dari Kamang.’
“‘Bagaimana cara kau lari dari Manggopoh waktu itu dan bagaimana kau tau
Mande di sini?’ sela Mande Siti.
“‘Ambo sedang di jalan pulang dari parak waktu itu. Cerita tentang Mande
dan Bagindo Rasyid malam itu di benteng Belanda sudah jadi cerita orang kampung
sejak pagi. Ramai cerita di lapau dan setiap orang sudah berwanti-wanti bahwa
pasti akan ada balasan dari Belanda ke Manggopoh. Mereka sudah siap dengan
belati dan pisau masing-masing di pinggang.
“‘Sewaktu sudah dekat kampung, ambo mendengar teriakan-teriakan dan melihat
asap pekat mengebul, kemudian orang-orang berlarian ke segala arah. Ambo
terkejut. Ambo mencoba lari ke rumah. Tapi kampung seperti sudah terkepung api.
Belanda membakar Manggopoh, Mande. Akhirnya ambo ikut lari mengikuti orang yang
paling banyak.’
“Muka Mande berubah menjadi sangat prihatin sewaktu mendengar cerita amukan
Belanda.
“‘Bagaimana kau sampai ke sini?’ tanya Mande.
“‘Ambo lari sampai ke tepi hutan. Orang-orang yang ambo ikuti mulai
berpencar. Katanya supaya Belanda bingung, lagipula Belanda tidak tau daerah
hutan ini. Ambo juga mendengar Mande dan Bagindo Rasyid menghilang ke hutan,
meski ambo tidak terlalu jelas ke bagian mana. Jadi waktu itu ambo bergabung
dengan Mak Munah dan dua orang lain. Ambo tau Mande bersaudara dengan Mak
Munah, jadi ambo kira Mak Munah tau dimana Mande berada. Begitulah, setelah dua
hari di hutan, ambo sampai di sini dengan Mak Munah. Ijinkanlah ambo sementara
ikut Mande. Ambo bisa bantu menjaga Dalima.’
“‘Kerjaan bahaya yang kau lakukan mencariku, Edah! Tapi apa boleh buat, kau
sudah di sini. Tidak ada jalan lain selain kau tinggal di sini. Tapi di sini
juga tidak selalu aman, kita harus selalu waspada. Sewaktu-waktu Belanda bisa
muncul, aku juga mendengar mereka sudah mengerahkan pasukan dari seluruh
nagari.’”
Zubaedah berhenti sejenak dan sambil menghela napas kembali mengusap-usap
selendang putih di sandaran kursi. Selendang itu yang selalu disimpannya
baik-baik. Dia mengira masih akan bertemu dengan Mande Siti dan bisa
mengembalikannya. Tidak pernah terbayangkan olehnya selendang itulah yang
akhirnya menjadi pengganti Mande Siti di hidupnya.
Zubaedah kemudian melanjutkan, “Begitulah, Amak tinggal di rumah ladang
dengan Mande Siti. Ada beberapa perempuan kira-kira seumuran Mande dan
laki-laki berbadan tegap seperti pendekar yang juga ikut tinggal waktu itu.
Katanya mereka adalah orang-orang yang membantu perjuangan Mande Siti dan
Bagindo Rasyid.
“Kalau siang hari Bagindo Rasyid dan beberapa orang pria berkelewang
berjaga-jaga di sekitar pinggiran hutan. Sementara Mande Siti dan Amak dengan
beberapa wanita lainnya berjaga-jaga di tempat kami tinggal, rumah ladang yang
ditinggalkan penghuninya entah kenapa. Untuk memasak kami mengumpulkan kayu
bakar di sekitar rumah, ada tungku di rumah itu. Karena tidak membawa banyak
perbekalan, kami mencari apa saja yang bisa dimakan di sekitar hutan.
“Beruntung ada pohon cempedak yang buahnya mulai ranum di dekat rumah dan
agak jauh ke dalam hutan, banyak tumbuhan paku yang bisa dimasak. Kami memasak
apa adanya karena tidak banyak bahan dan bumbu yang bisa diperoleh. Untuk
minum, ada mata air di sungai yang tidak jauh dari rumah.
“Malam hari kami berkumpul di dalam rumah dengan api penerangan sekedarnya
untuk menjaga rumah dan tempat persembunyian tidak terlalu menarik perhatian
dari luar. Bagindo Rasyid mendengar bahwa setelah kampung Manggopoh dibakar dan
karena Belanda tidak menemukan dirinya dan Siti, mereka kemudian mengerahkan
pasukan lengkap dan menyusuri setiap tempat dan mulai merapatkan pencarian ke
daerah pinggiran hutan.
“Amak sehari-hari membantu Mande Siti memasak dan menjaga Dalima yang waktu
itu baru belajar berjalan. Kasihan si Dalima terpaksa ikut merasakan susahnya
hidup di pelarian dan di tengah hutan umur segitu.
“Selama di hutan Mande Siti masih rajin mengaji dan mengajarkan Al Quran ke
kami. Sesekali beliau juga mengajarkan jurus-jurus silat sederhana dan mendasar
untuk pertahanan diri. Memang Mande Siti terkenal sebagai jago silat sejak
gadisnya.
“Waktu hari kesepuluh Amak di hutan dengan Mande, tiba-tiba malam-malam dua
orang kelompok Bagindo Rasyid tergesa-gesa mendatangi Bagindo. Mereka
mengabarkan telah melihat sekelompok Belanda mulai memasuki hutan.
“Segera setelah itu, Bagindo Rasyid memerintahkan semua yang berada di
rumah dan yang berjaga di luar untuk berkemas. Amak menggendong dan menenangkan
Dalima yang mulai menangis melihat orang-orang yang sibuk berlalu lalang,
sementara Mande mengumpulkan barang-barang penting yang bisa dibawa. Bagindo Rasyid
dan para pria berkumpul dalam lingkaran di luar rumah dan terdengar seperti
bergumam sesama mereka.
“Mande Siti melarang Amak ikut dengannya. Dalima diambilnya dari gendongan
Amak lalu beliau berkata, ‘Kau, Edah, kau pergi ke hilir sungai, menyebranglah
dan langsung keluar dari sini. Jangan membantah. Kau ikuti Mak Munah dan
lainnya.’
“Malam itu Amak melihat Mande bergabung dengan Bagindo Rasyid dan lainnya
meninggalkan rumah ladang. Dalima digendong Bagindo Rasyid, Mande di
sampingnya. Mereka diikuti beberapa pria yang membawa obor. Saat itulah Amak
melihat selendang putih Mande Siti tercecer di dalam rumah. Amak kemudian
mengambilnya.
“Itulah terakhir kali Amak melihat Mande Siti. Amak mengikuti perintah
Mande. Setelah keluar dari hutan, Amak pergi ke Bukittinggi dan kemudian
tinggal dengan adik dari Apak dan keluarganya. Tidak lama kemudian, Amak
bertemu dan menikah dengan ayahnya Syahrul. Kami menetap di Bukittinggi
seterusnya.”
Zubaedah mengambil selendang bersulam putih dari sandaran kursi dan menghapus
air matanya dengan sudutnya.
“Minumlah dulu, Mak,” kata Yuni sambil menyodorkan segelas air putih.
Zubaedah meneguk air putih. “Batang paku itulah yang menjadi makanan sehari-hari waktu itu,” katanya seperti bergumam. Zubaedah bangkit. Sambil menyampirkan selendang putih yang sudah menguning itu ke pundaknya ia berkata, “Amak mau sembahyang dulu. Sembahyang untuk Mande Siti.” ***