Sofa
Hijau Nyonya Yoss
Iin
Farliani
“Kemarin Yoss datang. Dia potong semua rumput di halaman belakang. Aku tanya, apa yang kau lakukan, Yoss? Sudah lama tidak datang. Sekalinya muncul, Yoss kerja terus di halaman belakang. Yoss duduk di kursi bambu. Alas duduknya sudah rusak. Tapi dia tetap duduk enak di sana sambil menyeruput kopi. Kakinya diselonjorkan. Asyik benar.”
“Yoss anak yang baik. Apakah dia satu-satunya putra Nyonya?”
“Yoss
tahu kursi itu tidak nyaman. Tapi dia tetap duduk di sana. Alas duduknya
berkeriut. Pinggang Yoss pasti sakit.” Nyonya Yoss menatap ke arahku. Melihat
dengan pandang yang seakan sedang menunggu tanggapan.
“Kau
tahu? Setiap Yoss ke sini, dia selalu pergi ke halaman belakang. Tak ada tempat
di rumahku yang sempit. Tak ada kursi bagus untuk duduk. Tapi kalau ada sofa
yang bisa diduduki... oh, andai saja ada sofa. Pinggang Yoss pasti tidak akan
sakit!”
Percakapan
seperti itu sudah sering diulang-ulang oleh Nyonya Yoss tiap kali Yoss datang
untuk membersihkan halaman belakang dan memperbaiki kandang bebek Nyonya Yoss. Ia
tak pernah lupa untuk menyertai kalimat “pinggang Yoss pasti sakit!” Kalimat
itu selalu bernada penuh tekanan, seolah lawan bicara Nyonya Yoss kurang
memiliki pendengaran yang cukup baik untuk menangkap maksud dari perkataannya.
Sudah pasti aku mengerti arah pembicaraannya. Semestinya aku berucap, “Ambillah
sofa itu, Nyonya. Sofa hijau itu ambil saja kembali.” Tapi aku tidak mengatakan
itu. Keadaan telah berubah menjadi rumit. Aku selalu berpura-pura tidak
menangkap maksud pembicaraannya sehingga aku pun menimpali dengan berkata,
“Kalau begitu, Nyonya belikanlah sofa untuk Yoss. Sofa baru. Sofa yang cukup
nyaman dan tidak akan membuat pinggangnya sakit lagi.”
Pertama
kali aku berkenalan dengannya, ia memperkenalkan dirinya sebagai “Nyonya Yoss”.
Aku pikir, Yoss itu nama suaminya. Ternyata bukan. Yoss itu nama putranya. Dua
anaknya yang lain perempuan, sudah menikah dan jarang muncul untuk
menjenguknya. Ketika aku bertanya mengapa ia tidak menyebutkan namanya saja
atau nama suaminya. Ia menggeleng dengan raut wajah serius. Ia tidak suka
mendengar kata “suami”. Ia sudah lama bercerai dan hidup sendiri karena
suaminya memilih pergi dengan gadis muda yang ditemuinya di jalan.
“Bayangkan
dia meninggalkanku karena bertemu gadis jalanan. Seharusnya setiap laki-laki
bersikap seperti Yoss. Laki-laki yang baik itu ya seperti putraku, Yoss,” ucapnya.
Nyonya
Yoss sangat ceriwis. Suaranya meninggi setiap kali ia berbicara. Setengah
berteriak dan tak jarang mengentak. Bila orang lain baru mengenalnya,
barangkali akan mengira bahwa Nyonya ini sedang meluapkan amarahnya. Padahal memang
begitulah caranya bicara. Sulit membedakan apakah ia sedang senang atau marah
karena ia selalu memasang raut wajah yang sama di setiap keadaan. Raut wajah
yang terlalu serius, memberi kesan seolah ia selalu dirongrong oleh nasib buruk
sehingga tak ada yang bisa ia lakukan untuk memberi tahu
kepada dunia betapa berat beban yang sedang ia pikul dan betapa menderitanya ia
selain melalui kerut-kerut di wajahnya yang demikian tegang itu.
Sejak
aku dan istriku, Mira, pindah ke rumah sewa miliknya, Nyonya Yoss dengan
dibantu putranya membangun tembok yang cukup tinggi sebagai batas antara rumah
yang disewakannya dan sebuah rumah kecil yang kini ditempatinya.
Nyonya
Yoss masih memiliki alasan untuk datang ke rumahnya yang lama oleh sebab
kandang bebeknya ada di halaman rumah yang sekarang aku tempati. Kami pun jadi sering
bercakap-cakap. Ia secara rutin membawakan kerak nasi dan sisa-sisa sayuran
untuk bebek-bebek peliharaannya. Ia menyaksikan bebek-bebeknya makan, berbicara
kepada bebek-bebek itu layaknya seorang ibu kepada anak-anaknya. Ia menggerutu
sambil berlari-lari kecil tiap kali ia mengalami kesulitan untuk menggiring
bebek-bebek itu kembali masuk ke kandang.
“Kenapa
kalian tidak mendengar kata-kataku? Nah, kini waktunya. Ayo cepat-cepat. Jalan
cepat.” Nyonya Yoss ikut berputar-putar di halaman mengikuti bebek-bebeknya.
Aku
dan Mira tertawa geli setiap kali melihat Nyonya Yoss berurusan dengan
bebek-bebeknya. “Nyonya Yoss itu sebenarnya orang baik,” ucapku. Kalau
mengingat kebaikan yang ia berikan di hari pertama kami menempati rumahnya,
terkadang membikin heran dan malu sendiri. Nyonya Yoss membiarkan sebagian
barang-barangnya di rumah lama. Ia meninggalkan dipan, kasur, lemari kayu yang
cukup besar, juga yang paling mengesankan kami; sebuah sofa berwarna hijau
pandan. Nyonya Yoss kala itu sangat bersemangat memberi tahu
bahwa semua perabotan yang sengaja ia tinggalkan itu boleh kami gunakan sesuka
hati.
“Termasuk
sofa ini?” tanya Mira.
“Ya.
Tentu saja. Toh, aku hidup sendiri. Tidak perlu banyak perabot.”
Mira
sangat kegirangan waktu itu. Kecuali warna hijau pandannya yang benar-benar
mencolok, sofa itu sebenarnya biasa saja. Tetapi entah mengapa sofa itu
memberikan rasa kepemilikan yang istimewa. Barangkali karena aku dan istriku
sebagai pengantin muda__yang telah menikah dalam keadaan ekonomi
yang belum mapan__kehadiran sofa hijau di ruang tamu itu memberi
kesan seolah kami adalah pasangan rumah tangga yang berkecukupan. Kami bisa
menjamu tamu-tamu dan mempersilahkan mereka duduk di sofa hijau yang empuk itu.
Aku
dan Mira lebih sering menghabiskan waktu di ruang tamu dibandingkan kamar tidur
kami. Berselonjoran di atas sofa itu membincangkan apa saja, tertawa,
menyelesaikan pekerjaan kantor yang belum rampung di sana bahkan dengan sengaja
membawa bantal dan selimut untuk tidur malam di atasnya. Kami menyenangi sofa
hijau itu lebih daripada kami menyenangi kasur di kamar sendiri. Ketika
akhir-akhir ini Nyonya Yoss secara terang-terangan menyinggung sofa hijau itu,
keinginan untuk mengambilnya kembali, satu kenyataan seperti telah disibakkan.
Ini memberiku kesadaran yang aneh seolah aku baru disadarkan bahwa sofa itu
bukanlah milikku dan Mira. Kenyataan lama seperti terbentang di hadapan kami
perihal bagaimana keadaan kami sebagai pengantin muda yang sebenarnya tidak berkecukupan.
Kami tiba-tiba merasa takut, kalau-kalau tidak hanya sofa hijau itu yang akan
diambil kembali, tetapi juga perabotan lain yang selama ini secara sadar atau
tidak telah diam-diam kami akui sebagai pemiliknya.
Nyonya
Yoss datang lagi, mengajakku mengobrol setelah menggiring masuk bebek-bebeknya
ke kandang. Wajahnya tampak memelas.
“Di mana
mereka nanti akan duduk? Mereka akan beramai-ramai datang ke sini. Satu minggu lagi.
Anakku, cucuku, menantuku juga. Bukankah lebih baik kalau ada sofa? Rumahku
sempit. Kasihan mereka.”
Lalu
aku menimpali, “Di mana Nyonya akan meletakkan sofa itu nantinya?”
Nyonya
Yoss terdiam menatapku. “Di halaman,” jawabnya pelan.
“Di
halaman?” Aku pura-pura terkejut mendengarnya. “Nyonya akan meletakkan sofa itu
di halaman?”
Mira tentu
saja menolak. Ia menceritakan rasa kesalnya dan memintaku menyampaikannya
kepada Nyonya Yoss.
“Oh,
dia wanita tua yang plin-plan. Apa dia tidak tahu malu dengan semua ucapannya
dahulu? ‘Anggap saja milik sendiri. Sofa ini, gunakan untuk menyambut tamu.
Tamu harus diberi tempat duduk yang nyaman, empuk, tanpa sadar mereka terlena,
lalu mungkin akan tertidur di atasnya, mendengkur pulas.’ Kali ini aku
mengingat semua perkataannya. Dan kesan yang sampai padaku sekarang tak lain
tak bukan betapa congkak sebenarnya wanita tua itu! Dia hanya ingin pamer. Dia
bahkan terlalu membanggakan sofa ‘bulukan’ ini!”
Kata
“bulukan” cukup membuatku terkejut. Mira begitu menyenangi sofa hijau itu dan
duduk di sana sepanjang hari untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia pasti
mengucapkan kata “bulukan” itu bukan untuk bermaksud menyatakan kebencian,
melainkan semata kekesalannya saja karena menyadari bahwa sofa hijau itu memang
bukan miliknya. Mendengar kata “bulukan” itu pun membuatku semakin yakin betapa
rumitnya persoalan sofa hijau ini.
Selama
beberapa hari ke depan, aku dan Mira menghindari pertemuan dengan Nyonya Yoss.
Nyonya Yoss tetap datang memberi makan bebek-bebeknya. Aku menyibakkan gorden
sedikit, melihat apakah ia sudah selesai dengan bebek-bebeknya. Pintu diketuk
berkali-kali. Aku tetap tidak menyahut. Aku berbisik pelan pada Mira, “Beri saja
sofa itu. Toh ia hanya menggunakannya satu hari untuk kunjungan keluarganya.”
Mira
menarikku menjauh dari pintu, mengajakku duduk di sofa hijau. Ia terlihat
tegang. “Kalau kita berikan, pasti tidak akan dikembalikan lagi! Lebih baik tak
usah. Aku yakin, Nyonya Yoss lambat laun akan merasa lelah sendiri tiap kali
datang ke sini.”
Nyonya
Yoss boleh saja mengambilnya kembali. Bukankah sofa itu miliknya? pikirku. Aku
tahu kalau aku mengatakan hal ini pada Mira, ia tidak akan senang mendengarnya.
Ia akan uring-uringan membayangkan ruang tamu tanpa sebuah sofa di dalamnya. Ia
sudah terbiasa dengan sofa itu. Ia bukan orang yang mudah menerima perubahan.
Akan sulit baginya menghabiskan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan dan
bersantai tanpa sofa itu.
Di
hari minggu, hari kedatangan keluarga Nyonya Yoss, aku mendengar suara yang
cukup riuh dari balik tembok. Suara yang banyak diisi oleh suara anak-anak.
Pastilah itu cucu-cucu mungil Nyonya Yoss. Aku dan Mira melewati rumah Nyonya
Yoss di sore hari. Langit sudah berwarna kuning kemerah-merahan. Kami terkejut
karena kunjungan keluarga itu nyatanya belum berakhir menjelang malam. Di
halaman terlihat cukup ramai anak kecil berlari-larian. Beberapa perempuan dan lelaki
muda asyik bercakap-cakap sambil sesekali menyeru anak-anak mereka untuk segera
masuk ke dalam. Mereka duduk di balai-balai yang atapnya masih berupa kerangka
dan belum tertutupi oleh jerami. Suasana perkumpulan keluarga itu cukup hangat.
Nyonya Yoss menyadari kehadiranku dan Mira. Ia bersorak memanggil, meminta kami
untuk bergabung.
Aku
melihat Yoss sedang sibuk menggergaji kayu. Tubuh kekarnya berkeringat. Kakinya
bertumpu di atas tumpukan batang kayu yang terlihat dari jenis kayu yang paling
halus. Ia sesekali menghentikan pekerjaannya untuk menghalau anak-anak yang
mencoba mendekat dan bermain dengan serbuk-serbuk kayu.
Nyonya
Yoss bercerita balai-balai itu sebentar lagi akan rampung. Yoss telah bekerja
keras untuk menyelesaikannya selama beberapa hari terakhir ini. Kalau
balai-balai itu telah rampung, pertemuan keluarga akan sering diadakan.
“Kau
dan Mira juga bisa ikut bergabung bersama kami. Alangkah enaknya, duduk-duduk
di sini menikmati angin. Angin sepoi-sepoi.” Mata Nyonya Yoss terlihat
berbinar-binar. Ia seakan lupa, belum lama waktu berselang sejak ia secara terbuka
meminta sofa hijaunya kembali.
Di
rumah, aku dan Mira seperti biasa berselonjoran di atas sofa hijau. “Tak ada
lagi kekhawatiran sofa ini akan diambil, bukan?” tanya Mira. Aku tidak tahu
apakah harus merasa senang. Aku hanya mengingat kembali apa yang telah
kusaksikan di rumah Nyonya Yoss. Ucapan
Nyonya Yoss masih terngiang-ngiang di kepala, “Semestinya seorang laki-laki bersikap
seperti Yoss. Laki-laki yang baik itu ya seperti Yoss. Semua laki-laki di dunia
ini, tanpa terkecuali, seharusnya seperti Yoss! Yoss yang terbaik. Bukankah
begitu?”