Sofa Hijau Nyonya Yoss - Iin Farliani

@kontributor 4/17/2022

Sofa Hijau Nyonya Yoss

Iin Farliani





“Kemarin Yoss datang. Dia potong semua rumput di halaman belakang. Aku tanya, apa yang kau lakukan, Yoss? Sudah lama tidak datang. Sekalinya muncul, Yoss kerja terus di halaman belakang. Yoss duduk di kursi bambu. Alas duduknya sudah rusak. Tapi dia tetap duduk enak di sana sambil menyeruput kopi. Kakinya diselonjorkan. Asyik benar.”

   “Yoss anak yang baik. Apakah dia satu-satunya putra Nyonya?”

  “Yoss tahu kursi itu tidak nyaman. Tapi dia tetap duduk di sana. Alas duduknya berkeriut. Pinggang Yoss pasti sakit.” Nyonya Yoss menatap ke arahku. Melihat dengan pandang yang seakan sedang menunggu tanggapan.

            “Kau tahu? Setiap Yoss ke sini, dia selalu pergi ke halaman belakang. Tak ada tempat di rumahku yang sempit. Tak ada kursi bagus untuk duduk. Tapi kalau ada sofa yang bisa diduduki... oh, andai saja ada sofa. Pinggang Yoss pasti tidak akan sakit!”

            Percakapan seperti itu sudah sering diulang-ulang oleh Nyonya Yoss tiap kali Yoss datang untuk membersihkan halaman belakang dan memperbaiki kandang bebek Nyonya Yoss. Ia tak pernah lupa untuk menyertai kalimat “pinggang Yoss pasti sakit!” Kalimat itu selalu bernada penuh tekanan, seolah lawan bicara Nyonya Yoss kurang memiliki pendengaran yang cukup baik untuk menangkap maksud dari perkataannya. Sudah pasti aku mengerti arah pembicaraannya. Semestinya aku berucap, “Ambillah sofa itu, Nyonya. Sofa hijau itu ambil saja kembali.” Tapi aku tidak mengatakan itu. Keadaan telah berubah menjadi rumit. Aku selalu berpura-pura tidak menangkap maksud pembicaraannya sehingga aku pun menimpali dengan berkata, “Kalau begitu, Nyonya belikanlah sofa untuk Yoss. Sofa baru. Sofa yang cukup nyaman dan tidak akan membuat pinggangnya sakit lagi.”

            Pertama kali aku berkenalan dengannya, ia memperkenalkan dirinya sebagai “Nyonya Yoss”. Aku pikir, Yoss itu nama suaminya. Ternyata bukan. Yoss itu nama putranya. Dua anaknya yang lain perempuan, sudah menikah dan jarang muncul untuk menjenguknya. Ketika aku bertanya mengapa ia tidak menyebutkan namanya saja atau nama suaminya. Ia menggeleng dengan raut wajah serius. Ia tidak suka mendengar kata “suami”. Ia sudah lama bercerai dan hidup sendiri karena suaminya memilih pergi dengan gadis muda yang ditemuinya di jalan.

            “Bayangkan dia meninggalkanku karena bertemu gadis jalanan. Seharusnya setiap laki-laki bersikap seperti Yoss. Laki-laki yang baik itu ya seperti putraku, Yoss,” ucapnya.

            Nyonya Yoss sangat ceriwis. Suaranya meninggi setiap kali ia berbicara. Setengah berteriak dan tak jarang mengentak. Bila orang lain baru mengenalnya, barangkali akan mengira bahwa Nyonya ini sedang meluapkan amarahnya. Padahal memang begitulah caranya bicara. Sulit membedakan apakah ia sedang senang atau marah karena ia selalu memasang raut wajah yang sama di setiap keadaan. Raut wajah yang terlalu serius, memberi kesan seolah ia selalu dirongrong oleh nasib buruk sehingga tak ada yang bisa ia lakukan untuk memberi tahu kepada dunia betapa berat beban yang sedang ia pikul dan betapa menderitanya ia selain melalui kerut-kerut di wajahnya yang demikian tegang itu.

            Sejak aku dan istriku, Mira, pindah ke rumah sewa miliknya, Nyonya Yoss dengan dibantu putranya membangun tembok yang cukup tinggi sebagai batas antara rumah yang disewakannya dan sebuah rumah kecil yang kini ditempatinya.

            Nyonya Yoss masih memiliki alasan untuk datang ke rumahnya yang lama oleh sebab kandang bebeknya ada di halaman rumah yang sekarang aku tempati. Kami pun jadi sering bercakap-cakap. Ia secara rutin membawakan kerak nasi dan sisa-sisa sayuran untuk bebek-bebek peliharaannya. Ia menyaksikan bebek-bebeknya makan, berbicara kepada bebek-bebek itu layaknya seorang ibu kepada anak-anaknya. Ia menggerutu sambil berlari-lari kecil tiap kali ia mengalami kesulitan untuk menggiring bebek-bebek itu kembali masuk ke kandang.

            “Kenapa kalian tidak mendengar kata-kataku? Nah, kini waktunya. Ayo cepat-cepat. Jalan cepat.” Nyonya Yoss ikut berputar-putar di halaman mengikuti bebek-bebeknya.

            Aku dan Mira tertawa geli setiap kali melihat Nyonya Yoss berurusan dengan bebek-bebeknya. “Nyonya Yoss itu sebenarnya orang baik,” ucapku. Kalau mengingat kebaikan yang ia berikan di hari pertama kami menempati rumahnya, terkadang membikin heran dan malu sendiri. Nyonya Yoss membiarkan sebagian barang-barangnya di rumah lama. Ia meninggalkan dipan, kasur, lemari kayu yang cukup besar, juga yang paling mengesankan kami; sebuah sofa berwarna hijau pandan. Nyonya Yoss kala itu sangat bersemangat memberi tahu bahwa semua perabotan yang sengaja ia tinggalkan itu boleh kami gunakan sesuka hati.

            “Termasuk sofa ini?” tanya Mira.

            “Ya. Tentu saja. Toh, aku hidup sendiri. Tidak perlu banyak perabot.”

            Mira sangat kegirangan waktu itu. Kecuali warna hijau pandannya yang benar-benar mencolok, sofa itu sebenarnya biasa saja. Tetapi entah mengapa sofa itu memberikan rasa kepemilikan yang istimewa. Barangkali karena aku dan istriku sebagai pengantin muda__yang telah menikah dalam keadaan ekonomi yang belum mapan__kehadiran sofa hijau di ruang tamu itu memberi kesan seolah kami adalah pasangan rumah tangga yang berkecukupan. Kami bisa menjamu tamu-tamu dan mempersilahkan mereka duduk di sofa hijau yang empuk itu.

            Aku dan Mira lebih sering menghabiskan waktu di ruang tamu dibandingkan kamar tidur kami. Berselonjoran di atas sofa itu membincangkan apa saja, tertawa, menyelesaikan pekerjaan kantor yang belum rampung di sana bahkan dengan sengaja membawa bantal dan selimut untuk tidur malam di atasnya. Kami menyenangi sofa hijau itu lebih daripada kami menyenangi kasur di kamar sendiri. Ketika akhir-akhir ini Nyonya Yoss secara terang-terangan menyinggung sofa hijau itu, keinginan untuk mengambilnya kembali, satu kenyataan seperti telah disibakkan. Ini memberiku kesadaran yang aneh seolah aku baru disadarkan bahwa sofa itu bukanlah milikku dan Mira. Kenyataan lama seperti terbentang di hadapan kami perihal bagaimana keadaan kami sebagai pengantin muda yang sebenarnya tidak berkecukupan. Kami tiba-tiba merasa takut, kalau-kalau tidak hanya sofa hijau itu yang akan diambil kembali, tetapi juga perabotan lain yang selama ini secara sadar atau tidak telah diam-diam kami akui sebagai pemiliknya.

            Nyonya Yoss datang lagi, mengajakku mengobrol setelah menggiring masuk bebek-bebeknya ke kandang. Wajahnya tampak memelas.

            “Di mana mereka nanti akan duduk? Mereka akan beramai-ramai datang ke sini. Satu minggu lagi. Anakku, cucuku, menantuku juga. Bukankah lebih baik kalau ada sofa? Rumahku sempit. Kasihan mereka.”

            Lalu aku menimpali, “Di mana Nyonya akan meletakkan sofa itu nantinya?”

            Nyonya Yoss terdiam menatapku. “Di halaman,” jawabnya pelan.

            “Di halaman?” Aku pura-pura terkejut mendengarnya. “Nyonya akan meletakkan sofa itu di halaman?”

            Mira tentu saja menolak. Ia menceritakan rasa kesalnya dan memintaku menyampaikannya kepada Nyonya Yoss.

            “Oh, dia wanita tua yang plin-plan. Apa dia tidak tahu malu dengan semua ucapannya dahulu? ‘Anggap saja milik sendiri. Sofa ini, gunakan untuk menyambut tamu. Tamu harus diberi tempat duduk yang nyaman, empuk, tanpa sadar mereka terlena, lalu mungkin akan tertidur di atasnya, mendengkur pulas.’ Kali ini aku mengingat semua perkataannya. Dan kesan yang sampai padaku sekarang tak lain tak bukan betapa congkak sebenarnya wanita tua itu! Dia hanya ingin pamer. Dia bahkan terlalu membanggakan sofa ‘bulukan’ ini!”

            Kata “bulukan” cukup membuatku terkejut. Mira begitu menyenangi sofa hijau itu dan duduk di sana sepanjang hari untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia pasti mengucapkan kata “bulukan” itu bukan untuk bermaksud menyatakan kebencian, melainkan semata kekesalannya saja karena menyadari bahwa sofa hijau itu memang bukan miliknya. Mendengar kata “bulukan” itu pun membuatku semakin yakin betapa rumitnya persoalan sofa hijau ini.

            Selama beberapa hari ke depan, aku dan Mira menghindari pertemuan dengan Nyonya Yoss. Nyonya Yoss tetap datang memberi makan bebek-bebeknya. Aku menyibakkan gorden sedikit, melihat apakah ia sudah selesai dengan bebek-bebeknya. Pintu diketuk berkali-kali. Aku tetap tidak menyahut. Aku berbisik pelan pada Mira, “Beri saja sofa itu. Toh ia hanya menggunakannya satu hari untuk kunjungan keluarganya.”

            Mira menarikku menjauh dari pintu, mengajakku duduk di sofa hijau. Ia terlihat tegang. “Kalau kita berikan, pasti tidak akan dikembalikan lagi! Lebih baik tak usah. Aku yakin, Nyonya Yoss lambat laun akan merasa lelah sendiri tiap kali datang ke sini.”

            Nyonya Yoss boleh saja mengambilnya kembali. Bukankah sofa itu miliknya? pikirku. Aku tahu kalau aku mengatakan hal ini pada Mira, ia tidak akan senang mendengarnya. Ia akan uring-uringan membayangkan ruang tamu tanpa sebuah sofa di dalamnya. Ia sudah terbiasa dengan sofa itu. Ia bukan orang yang mudah menerima perubahan. Akan sulit baginya menghabiskan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan dan bersantai tanpa sofa itu.

            Di hari minggu, hari kedatangan keluarga Nyonya Yoss, aku mendengar suara yang cukup riuh dari balik tembok. Suara yang banyak diisi oleh suara anak-anak. Pastilah itu cucu-cucu mungil Nyonya Yoss. Aku dan Mira melewati rumah Nyonya Yoss di sore hari. Langit sudah berwarna kuning kemerah-merahan. Kami terkejut karena kunjungan keluarga itu nyatanya belum berakhir menjelang malam. Di halaman terlihat cukup ramai anak kecil berlari-larian. Beberapa perempuan dan lelaki muda asyik bercakap-cakap sambil sesekali menyeru anak-anak mereka untuk segera masuk ke dalam. Mereka duduk di balai-balai yang atapnya masih berupa kerangka dan belum tertutupi oleh jerami. Suasana perkumpulan keluarga itu cukup hangat. Nyonya Yoss menyadari kehadiranku dan Mira. Ia bersorak memanggil, meminta kami untuk bergabung.

            Aku melihat Yoss sedang sibuk menggergaji kayu. Tubuh kekarnya berkeringat. Kakinya bertumpu di atas tumpukan batang kayu yang terlihat dari jenis kayu yang paling halus. Ia sesekali menghentikan pekerjaannya untuk menghalau anak-anak yang mencoba mendekat dan bermain dengan serbuk-serbuk kayu.

            Nyonya Yoss bercerita balai-balai itu sebentar lagi akan rampung. Yoss telah bekerja keras untuk menyelesaikannya selama beberapa hari terakhir ini. Kalau balai-balai itu telah rampung, pertemuan keluarga akan sering diadakan.

            “Kau dan Mira juga bisa ikut bergabung bersama kami. Alangkah enaknya, duduk-duduk di sini menikmati angin. Angin sepoi-sepoi.” Mata Nyonya Yoss terlihat berbinar-binar. Ia seakan lupa, belum lama waktu berselang sejak ia secara terbuka meminta sofa hijaunya kembali.

            Di rumah, aku dan Mira seperti biasa berselonjoran di atas sofa hijau. “Tak ada lagi kekhawatiran sofa ini akan diambil, bukan?” tanya Mira. Aku tidak tahu apakah harus merasa senang. Aku hanya mengingat kembali apa yang telah kusaksikan di rumah Nyonya Yoss. Ucapan Nyonya Yoss masih terngiang-ngiang di kepala, “Semestinya seorang laki-laki bersikap seperti Yoss. Laki-laki yang baik itu ya seperti Yoss. Semua laki-laki di dunia ini, tanpa terkecuali, seharusnya seperti Yoss! Yoss yang terbaik. Bukankah begitu?”

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »