AKU
BINATANG JALANG, MAKA AKU MENJADI
:Membaca Kembali Dunia Chairil dalam Sajak “Aku”
Oleh
Yana Risdiana
Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia. Dunia
yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. (Chairil Anwar, Pidato
Radio, 1946)[1]
The becoming-animal of the human being is real, even
if the animal the human being becomes is not; and the becoming-other of the
animal is real, even if that something other it becomes is not. (Gilles Deleuze, Félix Guattari)[2]
______________________________
Kematian penyair Chairil Anwar tidak menghentikan dunia yang telah diciptakannya. Dunia dalam sajak Chairil, sajak dalam dunia Chairil. Keduanya tidak berbicara pribadi Chairil, ruang di luar sajak. Sebutan “Binatang Jalang” begitu melekat sebagai julukan pada penyair ini, namun sebagaimana akan diuraikan dalam tulisan ini, julukan ini hanya merupakan konstruksi dari dunia sajak yang ditata Chairil. Anggapan sajak “Aku” sebagai pencerminan pribadi Chairil sama-sekali mitos.
Untuk keperluan tersebut, strategi tulisan akan mengupas struktur dunia sajak yang dibentuk Chairil, bagaimana Chairil memiliki pijakan puitik yang berbeda dari generasi sebelumnya (Poedjangga Baroe) dan melakukan pembacaan kembali atas sajak “Aku” sekaligus memberikan kritik pada beberapa kajian yang dipandang khusus atas sajak tersebut.
Antara Biografi Penyair dan Sajak: Sebelum Memasuki Dunia Chairil
Para Penafsir sajak “Aku”-nya Chairil Anwar begitu melimpah. Rata-rata berujung pada kesimpulan bahwa sajak ini mengandung sisi individualisme, nasionalisme, pemberontakan, atau narasi besar lainnya. Kritikus Agus Sarjono termasuk barisan ini dan menyebutnya sebagai sastra mimbar. Dikatakan Agus, jenis sastra ini cenderung berisi akupublik (dalam proses muncul tokoh hero) yang menyandang suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu[3]. Itulah sebabnya, bagi Agus, mengingat sajak ini berjenis Sastra Mimbar maka memberikan andil besar dalam membuat sosok Chairil populer dan melegenda. Dalam membangun penalarannya, Agus antara lain menyebut, ”Apalagi jika larik-larik tersebut dikaitkan dengan masa kehadiran sajak itu, yakni masa ketika seluruh rakyat Indonesia tengah ingin menegakkan aku-nya yang baru saja merdeka.”
Puisi ini betitimangsa tahun 1943, frase “baru saja merdeka” yang disebutkan Agus tentunya tidak akurat, namun kita abaikan sebagai bagian dari sebuah argumen. Lebih relevan barangkali menyoroti bagaimana dimensi “akupublik” bisa menjadi dasar pertimbangan Agus. Jika merujuk pada pandangan Goenawan Mohamad bahwa sajak bermula dari tubuh penyair, sajak ini penuh penanda “aku” atau “ku” yang langsung diturunkan dari suara penyair. Bait pertama tertulis berikut: Kalau sampai waktuku/‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu/Tidak juga kau. Jika kata “aku” bertransformasi menjadi publik, kepada siapa sajak ini ditujukan? Apakah kepada Chairil sendiri atau institusi kolonial yang saat itu bercokol sebagai transformasi dari diksi “kau”. Sulit ini diterima jika bertolak dari pemikiran Chairil sendiri perihal sajak sebagai “Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair” (Chairil Anwar, Pidato Radio, 1946). Walaupun klaim penyair atas sajaknya lewat sebuah prosa belum tentu validitasnya, namun ungkapan Chairil relevan ketika ia merepon sajak tersebut dianggap tidak berguna bagi masyarakat tersebab muncul sisi individualismenya dengan kata-kata begini, “Ketika saya berbicara tentang diri saya sendiri, di dalam sajak saya, maka itu artinya saya sedang berbicara tentang perasaan dan pikiran masyarakat saya.”[4] Dari sudut pandang Agus, walaupun ia tidak secara khusus membahas klaim Chairil ini, mungkin dapat diteruskan asumsi Agus bahwa tanpa sadar Chairil mengakui keberadaan akupublik, sementara darimana muasal pengungkapannya sehingga teks sajak berbunyi seperti itu, pembicaraan seperti asal ayam atau telur, lebih jauh lagi mana yang utama: individu atau masyarakat. Mungkin dilihat dari sudut dunia pembaca (bukan dunia Chairil, pembacalah yang ambil bagian sehingga lahir dimensi akupublik.
Di kubu yang lain, pembacaan sajak ini dipenuhi
kisah-kisah pribadi Chairil sendiri. Sastrawan Asrul Sani, misal, pernah
menyampaikan kisah mencengangkan di balik penciptaan sajak “Aku” karya Chairil
itu hanyalah “sebuah pamitan yang getir dari ayahnya yang mencoba membujuk dia
[Chairil] untuk kembali ke Medan tinggal bersama ayahnya. Ia menolak dan memilih
kehidupan yang jauh dari berkecukupan” [5]. Barangkali ucapan itu tidak dimaksudkan Asrul
sebagai kritik sastra (Michael Rinaldo menganggapnya sebagai anekdot[6])
karena, menurut saya, bertolak dari pernyataan Chairil sendiri terkait sikap
seniman pada tahun 1943, bertitimangsa sama dengan sajak tersebut, “seniman
itu…musti menimbang, memilih, mengupas, dan kadang sama sekali membuang. Sudah
itu baru mengumpul-satukan…sampai ke saripati sesuatu.”? Artinya, sekalipun
kisah ini dialami Chairil, mungkin bagian dari sesuatu yang Chairil telah “memilih…dan
sama sekali membuang”-nya.
Jika apa yang disampaikan Asrul hendak diangkat ke
ruang wacana lebih luas sebagai pertautan antara biografi penyair dan sajak,
maka pembacaan sajak sampai pada dilema dan pertimbangan, paling tidak pada
apakah menjadi perlu untuk mendengar lagi kisah-kisah pribadi lain antara
Chairil dan Asrul (atau sahabat Chairil lainnya semasa hidup atau siapa saja)
agar semakin terang apakah latar personal sesungguhnya di balik penciptaan
sajak itu? Mungkin saja akan muncul kisah lain yang membatalkan kisah yang
disebarkan sebelumnya atau lebih rinci konteksnya. Dampaknya, sekiranya
pembacaan sajak melulu bergantung pada kisah pribadi penyairnya, maka cara ini
seperti berada pada hirarki lebih tinggi ketimbang metode lainnya.
Peringatan dari Joanny Moulin relevan dikutip,”…biography
in general—and particularly biographies of poets and major canonical
authors—was caught in a dilemma: either to remain a vehicle of the literary
ideology, thus losing its critical edge and its claim to be scientific, or to
raise the banner of literary science against all odds, thus incurring the
anathema of the dominant canon-worship.[7] Dilema biografi menjadi kendaraan ideologi
sastra atau untuk mendukung sisi keilmuan secara tidak langsung tercermin juga,
kali ini bukan sisi pribadi Chairil, pada kisah dari suatu diskusi yang
dimoderatori Armijn Pane, entah bertitimangsa kapan, sebagaimana dikisahkan biografi
Chairil versi Hasan Aspahani.[8] Singkatnya saat itu Chairil menjawab anggapan
peserta diskusi lain yang menyatakan bahwa sajak “Aku” karyanya itu “tidak
bicara tentang masyarakat”, dengan argumen begini,”ketika saya berbicara
tentang diri saya sendiri, di dalam sajak saya, maka itu artinya saya sedang
berbicara tentang perasaan dan pikiran masyarakat saya!”.
Menurut hemat saya, informasi sisi Chairil yang
bertatut dengan pemikiran Chairil, seperti dari petikan biografi tersebut,
dapat berkontribusi penting menguak dunia sajaknya. Dari petikan ini pula,
beberapa hipotesis layak diajukan, antara lain, pandangan Chairil seperti ingin
melampaui dikotomi individu dan masyakarat dengan mancairkannya pada sisi
konsep, bukan kenyataan. Artinya di ruang eksternal (di luar tubuh individu),
dikotomi itu tidak eksis. Hanya perseteruan di aras konsepsi (di ruang internal
pengamat saja, yang sama-sekali tidak nyata). Bahwa akhirnya sajak yang semula
berjudul “Aku” terkisahkan pemuatannya di Pandji Pustaka dengan
perubahan judul menjadi “Semangat”, setelah sebelumnya ditolak oleh media Asa
Raya, merupakan persoalan terpisah dari dunia yang dikonstruksi Chairil.
Terlepas dari Chairil setuju atau diam-diam keberatan atas perubahan judul itu, kedua versi sajak tersebut tetap hadir sampai sekarang, walaupun sajak yang di bawah judul “Aku” lebih dibaca luas di pelbagai kalangan. Hanya saja, penggunaan diksi “aku” dan “semangat” layak ditilik, di satu sisi, sebagai politik keredaksian belaka untuk menghindarkan sensor pemerintah kolonial Jepang belaka dengan menimbang diksi “semangat” secara esensial dengan kolektivisme, sementara diksi “aku” merupakan bentukan dunia individualisme. Pada sisi lain, dilihat dari masa kini, analisis terhadap sajak “aku” yang ditimbang sebagai pencerminan pandangan dunia individualisme, masih relevan dipertahankan?
“Dari Luar Segala Nampak”: Melihat “Kaca Jernih” Rumah Subjek Lirik
Pernyataan Chairil terkait dunia sajak yang dikutip di
bagian awal tulisan ini, tidak menuliskan secara tegas posisi subjek yang
tunggal atau jamak, bahkan tidak berbicara kemungkinannya dihilangkan penyair
dalam teks sajaknya. Sekalipun Chairil menyatakan demikian, membuat konstruksi
teoretis dalam sebuah prosa untuk dunia sajaknya, misalnya, posisi subjek
bersifat tunggal, maka pembaca (yang berada di luar dunia sajak karena, jika
mengikuti klaim Chairil, dunia sajak “kepunyaan penyair”) masih memiliki ruang
untuk menentukan sikapnya menegaskan dunia pembacaannya: sekadar menonton di
muka, memasuki (dari depan atau arah belakang), atau meninggalkan dunia sajak
penyair yang dibacanya.
Tujuan Chairil berbicara dunia sajaknya dalam medium
prosa, penyair ini sadar bahwa ia sedang membocorkan pandangan teoretisnya
atas, semacam metasajak, yang jatuh pada ruang diskursif. Tujuannya menjadi
bersifat persuasif. Artinya, apakah klaim yang terkandung dalam “teori
sajak”-nya itu tentang dunia sajaknya sendiri benar-benar akurat bergantung
pada hasil sebarapa jauh pada level diskurus dengan pembaca atau kritikus,
klaim Chairil akan menemukan validitasnya atau kemungkinan lain. Karena klaim
ini berada pada level diskursus, pandangan Chairil boleh saja menjadi alat bantu
teoretis untuk menimbang pembacaan sajak-sajak lain di luar sajak Chairil,
bergantung pada apakah ada yang berminat (para pengkaji sastra) atas teori
tersebut. Lebih jauh, mungkin sebagai perangkat untuk melakukan kritik pada
sajak-sajak Pujangga Baru, bahkan pada sajak Chairil sendiri.
Chairil sendiri membuat sajak tentang sajak
sebagaimana terbaca dalam sajak “Rumahku”: “Rumahku dari
unggun-timbun sajak/Kaca jernih dari luar segala nampak” (puisi “Rumahku”).
Mengingat ungkapan Chairil, sajak merupakan dunia yang dibentuk si penyair,
maka diksi rumah sebagai personifikasi dunia Chairil. Larik “Kaca jernih dari
luar segala nampak” mengindikasikan, dunia penyair amat transparan, apa saja
bisa terlihat, dimaknai, mungkin terkandung rahasia atas segala persoalan yang
di ruang eksternal (di luar dunia sajak) tidak ditemukan. Bagi Chairil, dengan
klaim seperti ini, sajak menjadi pijakan untuk menilai apa saja di
sekelilingnya, dan bagi subjek di luar penyair, sajak Chairil seakan-akan mampu
dijadikan tumpuan untuk bercermin pada “kaca jernih” itu untuk, katakanlah,
memandang persoalan yang dihadapi. Ada klaim filosofis, ide, gagasan atau
semacamnya pada sajak ini sehingga bobot diskursif amat kental.
Yang menarik pada bait selanjutnya di sajak ini
tertulis, “Kemah kudirikan ketika senja kala/Di pagi terbang entah kemana.”
Para pengusung pembacaan sajak melalui kisah-kisah pribadi Chairil mungkin akan
tergerak untuk menyelidik apakah Chairil menyukai kegiatan kepanduan (istilah
jaman sekarang “pramuka”) untuk pembinaan karakternya, hal yang tidak diikuti
posisinya oleh tulisan ini. Andai Chairil pada saat sajak ini tercipta
berbarengan dengan situasi dia tidak memiliki tempat tinggal sehingga harus
mendirikan “tenda darurat” di emperan sebuah gedung atau kegelisahan menumpang
tidur di rumah kerabatnya, bait pertama sajak ini telah menggariskan sisi bukan
kebendaan (baca: “unggun-timbun sajak”). Jadi seberapa jauh kekokohan tata
ruang, pondasi struktur, makna, atau perencanaan masa depan dari klaim “dari
luar segala nampak”. Pada titik ini, penyair seperti menyadari bahwa konstruksi
dunia sajaknya masih rapuh. Pada posisi waktu kini (kenyataan saat sajak itu
tercipta) terpecah karena ketika “pagi terbang entah kemana”. Durasi sejak pagi
sampai petang, saat dimana dunia subur dengan pergulatan, konstruksi dunia yang
dibangun penyair belum dapat diandalkan. Dengan demikian konstruksi bait “kaca
jernih” membuka penafsiran pada dua arah. Pada satu sisi, konteks waktu
merupakan proyeksi di masa depan ketika segala sesuatu yang diperlukan untuk
penyelesaian bangunan puitika berhasil ditegakkan, sementara sisi yang lain,
pada masa kini dengan segala keperihan menghadapi realitas, penyair “terbang”,
seperti mencari posisi yang lebih tinggi, transendensi diri, agar mampu
mengidentifikasi realitas itu sendiri.
Pencarian yang sama dan lebih terang dijumpai dalam
sajak “Kepada Pelukis Affandi”. Pada bait pertama, Chairil menulis, “Kalau, ‘ku
habis-habis kata, tidak lagi/berani memasuki rumah sendiri, terdiri/ di ambang
penuh kupak.” Saya tidak sepenuhnya setuju atas tafsiran Rinaldo dengan
kata-kata begini: “Di satu sisi, kalimat ini menyuarakan kemungkinan hilangnya
kata-kata. Di lain sisi …Mungkin "kata" di sini bisa dibaca sebagai
simbol bahasa Indonesia, simbol yang relevan dalam konteks kepenyairan Chairil
karena bahasa inilah yang digunakannya sebagai medium puisi-puisinya. Dengan
demikian, gambaran habisnya kata-kata dalam baris pertama puisi
"Affandi" dapat kita tafsirkan sebagai kemungkinan gagalnya bahasa
Indonesia sebagai bahasa puitis karena keterbatasan bentuknya.[9] Kalau
pembacaan bait tersebut berangkat dari personifikasi rumah sebagai
“unggun-timbun sajak” sebagaimana dimaknai uraian di atas dalam sajak
“Rumahku”, dimaknai pula sebagai “dunia sajak”, maka kalimat Chairil “‘ku
habis-habis kata” lebih tepat dibaca sebagai benar-benar habis [makna] kata
atau selesainya [makna] kata.
Menafsirkan sebagai “hilangnya kata-kata” agaknya
berlebihan, terlalu menjauh dari bunyi teks itu sendiri. Pilihan pada
“selesainya [makna] kata”, artinya makna kata dalam larik sajak itu didahului
oleh kata “kalau”, posisi penyair tak habis-habis melakukan pencarian makna
atas kata. Penafsiran ini konsiten dengan bait selanjutnya: adalah
karena kesementaraan segala/yang mencap tiap benda, lagi pula terasa/mati kan
datang merusak. Bait ini menegaskan bahwa pemaknaan dibatasi bukan saja
kelangsungan benda (baca objek yang diamati penyair] bersifat sementara, bahkan
posisi subjek sendiri menghadapi akhir durasinya ketika kematian tiba. Dua
pergumulan eksistensial ini membuat permenungan penyair, dengan didahului larik
“Dan tangan ‘kan kaku menulis berhenti (baca: jika makna dianggap selesai,
bagaimana mungkin menciptkan, menulis dunia [kembali]), sampai pada larik:
berilah aku tempat di menara tinggi/,di mana kau sendiri meninggi.
Lagi-lagi saya berbeda pendapat dengan Rinaldo ketika
manfsirkan larik terakhir ini dengan kalimat,” keinginan si pembicara
untuk kabur dan menjauhkan diri. Dari sini pun si pembicara [penyair] mulai
mengarahkan kata-katanya pada sosok "kau", yang mungkin Affandi atau
seniman secara umum]. Penafsiran ini, mengulang jalan berpikir serupa
sebelumnya dari kritikus ini, hanya semakin menjauh dari teks sajak. Bagi saya,
larik tersebut merupakan proyeksi penyair berharap bisa melakukan kemungkinan
penjelajahan secara transcendental dalam pencarian makna [kata] untuk bangunan
sajaknya. Kata “kau” pertama-tama bukan ditujukan kepada Affandi, namun kepada
penyair sendiri yang sedang berusaha melakukan proses transendensi. Ungkapan
“berilah aku” dipastikan bukan ditujukan ke Affandi atau subjek lain yang
disebut dalam puisi sebagai “kau” atau berupa benda, karena jika demikian,
pencarian makna hanya akan membataskan dirinya pada subjek lain, hal yang
sebagaimana subjek lirik sendiri sesuai bait sebelumnya sama-sama bersifat
sementara dan menghadapi kematian.
Mengingat Rinaldo sejak awal melakukan penafsiran teks
sajak ini begitu menjauh dari teks dan lingkungannya, maka saat menafsirkan
bait terakhir terlihat jelas kehilangan arah pembacaan. Pada bait terkahir
tertulis: atas keramaian dunia dan cedera,/lagak lahir dan kelancungan
cipta,/kau memaling dan memuja/dan gelap-tertutup jadi terbuka!
Bagi saya frase “keramaian dunia” menunjukan bahwa
bahwa penyair menyaksikan kejamakan dunia berbeda dari yang dibayangkan secara
intuitif sebagai arah menuju ketunggalan atau sederhana. Bayangan ini sudah
muncul dalam sajak yang diciptakan tahun-tahun sebelumnya, misalnya, sajak
Chairil berjudul “Siap-Sedia” bertiti-mangsa 1944 dalam salah satu baitnya
tertulis: Matamu nanti kaca saja,/Mulutmu nanti habis bicara,/Darahmu
nanti mengalir berhenti,/Tapi kami sederap mengganti,/Terus berdaya ke
Masyarakat Jaya. Rincian konsep “Masyarakat Jaya” terbubuh dalam puisi ini
dan dirinci pada bait lainnya dengan sebutan “Kemenangan”, “Bahgia nyata”,
dan “Dunia Terang”. Dengan demikian, kata-kata "kelancungan cipta"
bukan dimaknai “bahwa ada sesuatu yang menipu kita mengenai seni”, melainkan
lebih masuk akal dibaca sebagai pergulatan yang selalu gagal dalam menemukan
otentisitas dunia, artinya pula, bagaimana membuat konstruksi sajak yang
benar-benar sampai pada dunia yang otentik merupakan perkara tidak mudah. Persoalannya
kemudian bagi penyair jauh dari berpaut dengan “keraguan Chairil untuk
memperlakukan seni sebagai sesuatu yang layak dipuja” atau kegagalan seni untuk
meniru dan merepresentasikan kenyataan empiris”,
Rinaldo menyimpulkan,”Dari "keramaian dunia", sang artis mencoba menjauhkan diri dan menjaga singularitas keberadaan dirinya. …..Lalu kaitan antara seni dan penciptaan dapat ditemukan dalam susunan rima "cipta" dan "memuja". ….bahwa obyek aksi "memuja" sang seniman adalah seni, …..Apakah di sini bisa ditemukan keraguan Chairil untuk memperlakukan seni sebagai sesuatu yang layak dipuja? Kemungkinan ini sangat besar karena munculnya kesadaran, dengan kata-kata "kelancungan cipta", bahwa ada sesuatu yang menipu kita mengenai seni, yang mengarahkan kita bukan pada suatu kebenaran, melainkan sebuah desepsi, pada kegagalan seni untuk meniru dan merepresentasikan kenyataan empnis. Terhadap penipuan inilah mata sang artis yang "gelap-tertutup"jadi "terbuka". Dua larik terakhir saja ini “kau memaling dan memuja/dan gelap-tertutup jadi terbuka!” menunjukan keinginan subjek lirik untuk melakukan transendensi diri (“memaling” [dari pecahan waktu, ditandai “keramaian dunia” yang menghalangi proses pencarian yang otentik atas diri’ dan memuja [memuliakan, menghormati otentisitas, yang ada, liyan) sehingga “terbuka” [tersingkap realitas, wujud, yang ada secara otentik).
Perasaan-Perasaan di Sekitar Subjek: Memahami Chairil yang Terbuang dari Modus “Puisi Baru”
Dalam bagian tulisan di atas telah disinggung
pergeseran orang pertama [aku] menjadi orang kedua [kau] atau sebaliknya
sebagaimana ditampilkan dalam sajak Chairil “Kepada Pelukis Affandi.” Pembacaan
posisi subjek lirik sebagai tunggal atau majemuk bukanlah bersifat monolitik.
Tidak begitu penting apakah penyair menyatakan lebih dulu ketunggalan atau
kemajemukan subjek liriknya dalam kata-kata di luar sajak (entah dalam pidato,
bagian pengantar buku puisi, esai, dan seterusnya) atau tidak. Sebagaimana
sempat diungkapkan sebelumnya dalam tulisan ini, klaim penyair di luar sajaknya
tidak otomatis sajak tersebut menjadi pembuktiannya. Peran pembaca berperan
besar saat menentukan sifat subjek lirik merupakan tunggal atau majemuk.
Penyair bisa saja tidak sadar bahwa sajaknya mengandung subjek yang majemuk,
sekali lagi, sekalipun ia merencanakan dunia sajak dengan subjek yang tunggal.
Dan Chairil tidak merencanakan pilihan kaku tentang
ini. Yang menjadi perhatian Chairil sebagaimana ungkapannya,”ketika saya
berbicara tentang diri saya sendiri, di dalam sajak saya, maka itu artinya saya
sedang berbicara tentang perasaan dan pikiran masyarakat saya!”Pernyataan ini
baru klaim sepihak Chairi dan perlu dibuktikan dalam sajaknya melalui hasil
pembacaan oleh si pembaca. Jika sajak Chairil membuka pintu (-pintu) bagi
keterlibatan pembaca dalam melakukan pemaknaan sajaknya, maka pada proses
inilah akan melahirkan kemungkinan pergeseran subjek lirik ke sifat yang
majemuk.
Terdapat irisan yang mengejutkan antara pemikiran
Chairil dan Hannah H. Kim& John Gibson seperti dalam penggalan berikut,”
great many of the emotions readers experience in respect to lyric poetry are
other-directed: pity, sympathy, curiosity, admiration, and scorn are all at
times perfectly legitimate responses to the “discourse” the poetic speaker
generates. These emotions imply clear self-other differentiation and call
on the listener to feel something about the state of another expressive
subject, which would strongly suggest that in poetic contexts there is at least
one subject acknowledged to be expressive who is not identical to the reader.”[10]
Baik Chairil dan kedua penulis itu sama-sama melihat
fungsi suara dalam sajak. Dalam pernyataan lain dari Chairil bahwa
“perasaan-perasaan si seniman yang benar-benar jadi bentuk dan cara menyatakan
yang istimewa, tersendiri, yang sunggup membikin si penglihat, pembaca,
atau pendengar terharu –melambung atau terhenyak, ” dan sepanjang
kata-kata “membikin si penglihat, pembaca, atau pendengar terharu –melambung
atau terhenyak” dibuatkan catatan kaki oleh kedua penulis itu dengan kalimat “These
emotions imply clear self-other differentiation and call on the listener to
feel something about the state of another expressive subject.” Perasaan,
emosi, hasrat, harapan, dan kehendak penyair terakumulasi sedemikian rupa
melahirkan semacam klaim diskursif dan berkorespondensi dengan emosi dan klaim
diskursif yang mungkin berlangsung pada dunia pembaca. Dialog antara penyair
dan pembaca berikut subjek-subjek yang mungkin lahir darinya menjadi titik
kritis eksistensi sajak, termasuk akan berumur pendek atau terus hidup dengan
terbuka atas pemaknaan baru.
Perbincangan ini barangkali ikut menjawab diskusi
perihal sajak “Aku”-nya Chairil mencerminkan “sastra mimbar” dengan subjek
lirik bersifat “akupublik” yang dikemukakan oleh kritikus Agus
Sarjono. Dikatakan Agus jenis sastra ini cenderung berisi akupublik (dalam
proses muncul tokoh hero) yang menyandang suatu ideologi atau pemikiran besar
tertentu (2000:109). Itulah sebabnya, bagi Agus, mengingat sajak ini berjenis
Sastra Mimbar maka memberikan andil besar dalam membuat sosok Chairil populer
dan melegenda. Dalam membangun penalarannya, Agus antara lain menyebut,”Apalagi
jika larik-larik tersebut dikaitkan dengan masa kehadiran sajak itu, yakni masa
ketika seluruh rakyat Indonesia tengah ingin menegakkan aku-nya yang baru saja
merdeka.
Terhadap pendapat yang terakhir ini, menarik respon
Michael Rinaldo (2004) dengan pernyataan berikut “Mungkin sekarang kita bisa
mengajukan sebuah argumen bahwa justru karena unsur individualisme
anti-sosialnya yang tinggi puisi ini lebih memiliki dimensi sosial yang
luas. Individualisme dalam sebuah puisi lirik, menurut Theodor Adorno,
tidaklah dengan sendirinya merupakan pernyataan individualitas sang penyair,
melainkan sebuah suara tunggal yang keluar dari bahasa sebuah karya seni.
Dari bahasa inilah bisa ditemukan pertautan antara kesendirian lirisisme puisi
dan masyarakat.”
Klaim “unsur individualisme anti-sosialnya yang
tinggi puisi ini lebih memiliki dimensi sosial yang luas” mengandung
ambivalensi pada status individualisme yang jika dimaksimumkan akan berdampak
sosial. Namun apakah akhir narasi akan sama dampaknya dengan kutub
kolektivisme, perdebatan hanya akan mengulang masalah klasik pada mana yang
lebih unggul: individu atau masyarakat. Begitu pula klaim “puisi lirik …
tidaklah dengan sendirinya merupakan pernyataan individualitas sang penyair,
melainkan sebuah suara tunggal yang keluar dari Bahasa” mengandung
ambivalensi serupa, ada suara lain dalam puisi yang abai dipertimbangkan
sehingga suara subjek sebetulnya, punya potensi bersifat majemuk. Dengan kata
lain ketunggalan dan kemajemukan suara subjek dalam sebuah puisi bergerak di
antara hal yang seakan dipertentangkan tersebut. Bisa tunggal, plural, atau
tersembunyi.
Perbedaan di antara kedua kritikus itu tampak bergerak
di aras mental dan tidak melakukan korepondensi dengan kenyataan yang terhubung
dengan konsep-konsepnya. Keduanya juga berbeda dalam memperlakukan bahasa.
Hannah H. Kim& John Gibson bergerak dari bahasa itu sendiri kemudian
melakukan pengandaian bahwa yang muncul adalah suara tunggal, sementara Agus
bertolak dari luar bahasa, ruang publik yang majemuk, dan memberikan
pengandaian ketunggalan suaranya kemudian dilekatkan begitu saja kepada
pembacaannya sendiri. Jadi teks sajak dipaksa mengiikuti teks lain di luar
dirinya.
Dengan kata lain, para kritikus ini tidak menyinggung
secara rinci hubungan antara tubuh (baik penyair atau pembaca), kata, dan yang
di luar keduanya (tubuh dan kata itu). Uniknya, Chairil dengan kalimat padat
mencoba masuk pada wilayah ini dengan uraian: “Sebuah sajak yang menjadi
adalah sebuah dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si
penyair. Diciptakannya kembali, dibentukkannya dari benda
(materie), dan rohani, keadaan (ideel dan visueel) alam dan penghidupan
sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain yang
berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan dia, dari pemikiran-pikiran dan
pendapat-pendapat orang lain, segala yang masuk dalam bayangannya (verbeelding),
anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada dijadikannya,
dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu kesatuan yang
penuh (indah mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan
penyair itu sendiri.”
Bagi Chairil seperti tidak ada hirarki di antara
benda, rohani, dan penghidupan sekelilingnya, pemikiran, dan pendapat orang
lain. Semua saling terhubung, menjadi, dan baru. Tiga kata kunci ini agak
menjadi pergulatan dunia Chairil. Sebagian kritikus lebih fokus pada esensi-esensi
yang muncul dari sajak Chairil, sementara sisi eksistensial dunia Chairil kerap
terlupakan. Lebih jauh isu mengenai ini dapat terlihat dari bagaimana Chairil
secara esensial terbuang dari kumpulan “pudjangga baroe”, pada saat bersamaan,
Chairil lekat dengan “dunia” yang –dituntut atau tidak dituntut—menghendaki
kebaruan.
Sebelum membahas lebih rinci perihal ini, menarik
menyimak bagaimana kritik Sutan Takdir Alisyahbana (“STA”) atas kerja
kepenyairan Chairil dan kritik Goenawan Mohamad (“GM”) terhadap STA melalui
esainya, Takdir: Puisi dan Antipuisi,[11] Pada pokoknya, argumen STA yang diajukan
keberatan oleh GM terkait dengan sajak Chairil: (i) menggunakan “alat disonan”
untuk “mengemukakan vitalisme agresif” dan “meninggalkan kemantapan harmonis”;
dan (ii) “dirundung kesepian, dengan perasaan kengeriannya, ketakutannya akan
dunia sekitarnya yang tak dapat dikuasainya”.
Terhadap kritik STA tersebut, GM menyampaikan.” STA
keliru jika melihat modernisme sebagai sebuah sikap yang hanya menerima
kekalahan manusia… Buat melepaskan manusia dari posisi diperalat untuk mencapai
satu tujuan, sastra justru membuat dirinya bebas dari guna. Di suatu masa ketika
badan dan jiwa dituntut untuk berarti—dengan kata lain: tak ruwet dan
bermanfaat—puisi muncul tanpa motivasi semantik: ia menampik ke-berarti-an.”
Bagi GM, “Para pengarang Pujangga Baru, yang mengadopsi optimisme modernitas,
berurusan dengan kebebasan yang buntun—bukan saja kebebasan politik, tetapi
pada gilirannya juga kebebasan puitik.”
GM juga mengkritisi konsep penciptaan sajak STA dengan
formula (sebagaimana dikutip dalam tulisan GM tersebut),” Segala perasaan
yang timbul di dalam kalbu berombak dan beralun melalui berjuta-juta jalan
yang halus memenuhi seluruh tubuh; sampai kepada bahagian badan yang
sekecil-kecilnya menurut terayun dan terbuai dalam ombak dan alun perasaan itu
dan dengan amat gaibnya terbayanglah ia ke dunia lahir pada perubahan
detikan jantung, pada lekas lambatnya nafas, pada turun naiknya suara dan pada
perubahan air muka.”
Kritik yang disampaikan GM atas formula tersebut,” STA
mengemukakan sesuatu yang mungkin tak disadarinya sendiri: wilayah awal puisi
adalah tubuh….Namun, puitika STA tak memasuki sebuah masalah dasar. Ia tak
sepenuhnya menangkap bahwa yang disebutnya sebagai "perasaan yang timbul
di dalam kalbu" itu, yang "melalui berjuta-juta jalan yang halus
memenuhi seluruh tubuh..." itu, adalah pasase dalam tubuh yang
sub-simbolik, mungkin ekstra-simbolik. Takdir tak meninjau bagaimana dari sana
lahir puisi, sebuah dunia kata-kata.
Kata-kata GM mengenai “pasase dalam tubuh yang sub-simbolik, mungkin ekstra-simbolik” sejalan dengan pemikiran Chairil atas konsep dunia sajak yang “Diciptakannya kembali, dibentukkannya dari benda (materie), dan rohani, keadaan (ideel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya.” Itulah sebabnya, GM tampaknya tidak memandang subjek dalam sajak Chairil bersifat monolitik. Terhadap sajak Chairil “Yang Terampas dan Yang Putus, aku-lirik sebagai nuansa [atau suasana]; [12] sementara dalam sajak “Aku”, dipandang subjek lirik hadir untuk mengkonstruksikan isi puisi atau sebagai sajak “pesan”. Tulisan ini tidak sepenuhnya menolak sajak “Aku” dipandang demikian, namun membataskan diri pada kategori ini hanya menyederhanakan konstruksi subjek yang dibangun Chairil pada sajak tersebut sebagaimana diuraikan secara khusus pada bagian lain tulisan ini di bawah.
Ketika
Subjek “Binatang Jalang” Berlari dari Jebakan Semiotika Riffaterre
Sajak “Aku” tertulis lengkap:
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Pada bagian ini akan mengkritisi penafsiran Faruk atas
sajak “Aku”.[13] Ahli sastra dari Universitas Gadjah Mada ini
terbilang rinci dan menarik menyingkap hal-hal yang belum terjamah pembaca
Chairil sebelumnya, namun sebagaimana akan diuraikan tulisan ini, pembacaan
Faruk gagal menyingkap makna yang ingin dikejarnya melalui metode semiotika
Riffaterre, bahkan secara tidak langsung memperlihatkan kelemahan metode itu
sendiri.
Dalam analisisnya menggunakan metode semiotika
Riffaterre, Faruk melakukan pembacaan sajak ini ringkasnya pada dua level:
heuristik dan hermeneutik. Pembacaan yang pertama melalui konvensi bahasa,
sementara yang terakhir dengan konvensi sastra. Untuk memudahkan pembaca
memahami metode ini, Faruk menganalogikan dengan donat: teks yang hadir adalah
daging dona, ruang kosong yang bundar merupakan pusat makna puisi. Ruang kosong
ini disebut hipogram, berupa matriks yang tidak ada dalam teks, namun
teraktualisasi sebagai tanda puitis, dan merupakan struktur terdiri dari
satuan-satuan yang beroposisi secara berpasangan.
Model pembacaan ini, sebagaimana diungkap Bäckström sebetulnya
dilakukan dalam satu jalan, karena teks sudah memuat semua yang diperlukan
untuk mengarahkan pembacaan.[14] Pembaca direduksi menjadi sosok pasif dari
penanda intrinsik teks sehingga mengiungat hanya ada satu kemungkinan cara
membaca teks, signifikansi dihasilkan melalui tindakan membaca yang ditentukan
oleh teks itu sendiri.
Apa yang dikuatirkan Bäckström terjadi dalam
proses penafsiran Faruk terhadap sajak “Aku”. Pada level heuristic, Faruk
menegaskan bahwa Aku berarti ‘orang pertama tunggal’. Lebih lanjut dibilang,
secara mimesis, kata itu membayangkan adanya seseorang, entah lelaki, entah
perempuan, entah di mana, entah kapan. Pada level hermeneutic, Faruk
mengatakan, “Aku yang menjadi judul dari puisi di atas sebenarnya sudah
mengimplikasikan adanya kau yang di dalam puisi itu baru muncul di kalimat
ketiga bait pertama.”
Dari dua level pembacaan, tidak ada perbedaan yang
signifikan untuk sampai pada pemaknaan aku, selain bergerak dari arti sesuai
kamus pada implikasi judul “aku” yang sudah dianggap adanya subjek “kau”. Hal
ini pun secara telanjang tersebab muncul kata “kau” pada kalimat ketiga baris
pertama itu. Tidak ada penjelasan teoretik atau penalaran lain untuk mencapai
signifikansi tertentu dengan metode ini yang dipandang baru. Faruk seperti
terjebak pada tekstualisme bahwa tidak ada dunia di seberang teks yang dapat
menghidupi teks.
Bahkan pada saat menafsir kalimat “Kalau sampai
waktuku”, di satu sisi Faruk menjelaskan dengan uraian” adalah kalimat langsung
dari Aku. Maka yang terbayang adalah bahwa Aku berbicara entah pada siapa: pada
pembaca, pada seorang lain yang tak kelihatan, pada dirinya sendiri.” Sementara
di sisi lain, ketika menafsirkan baris puisi “Tidak juga kau”, Faruk
menjelaskan,”Dari segi konvensi kebahasaan muncul persoalan pada kalimat ini,
persoalan koherensinya dengan kalimat-kalimat sebelumnya. Kata juga menunjukkan
bahwa kalimat ini bukaniah kalimat lepas yang tak berhubungan dengan kalimat
sebelumnya…..Selain itu, pada kalimat kedua ini terjadi spesifikasi atas
situasi imajiner yang terbangun dalam puisi ini. Kalimat sebelumnya tidak
memberikan kepastian situasi, mengambangkannya menjadi di antara situasi aku
yang berbicara dengan dirinya sendiri atau dengan orang lain. Kalimat ini
memberikan kepastian bahwa aku sebenarnya sedang berbicara dengan orang lain,
orang kedua, yaitu kau, walaupun tak ada kepastian apakah kau itu berjenis
kelamin laki-laki ataukah perempuan.Yang jelas, dari kesejajarannya dengan
seorang, kau pastilah ’manusia’.
Faruk seperti menanggung beban dengan judul sajak
“aku”, maka mengharuskan ada temuan “kau” untuk penjelasannya. Jika terjadi
sebaliknya, seluruh bangunan sajak jatuh pada inkoherensi. Perlu dicacat,
pengertian “aku”dan “kau” dalam konteks penafsiran Faruk kembali pada konvensi
bahasa, kembali pada makna kamus. Walaupun metode Riffaterre menggagas
pembacaan hermeneutik, namun sebagaimana nanti akan dijelaskan lebih jauh pada
uraian bagian lain tulisan ini, pembacaan level pertama begitu memenjarakan
posisi pembaca. Padahal kemungkinan pembacaan lain tersirat dalam kalimat Faruk
sendiri, “Kalimat sebelumnya tidak memberikan kepastian situasi,
mengambangkannya menjadi di antara situasi aku yang berbicara dengan dirinya
sendiri atau dengan orang lain.” Artinya, apakah dengan memilih pembacaan arti
“kau” sebagai “orang lain” (baca: di luar subjek lirik), menghilangkan
kemungkinan bahwa subjek lirik sedang berbicara dengan dirinya sendiri dan
menyebut dirinya itu dengan kata “kau”?
Jika Faruk mengutip sajak “Penyair Anwar” karya
Afrizal Malna di awal tulisannya sekadar menyebut bahwa penyair ini berada pada
bayang-bayang Chairil, maka relevan mengutip sajak afrizal yang lain, “Penjara
Tajam”, terkait subtema pembahasan bagian tulisan ini, berbunyi (dikutip
sebagian)[15] Hanya
kamus./…/ Kata-kata berjatuhan ke dalamnya,/ mengambil tajamnya. Mengambil
darahnya. Matanya / mengambil tatapannya. Membuatku tak bisa melihat/nyanyian
panjang tentang kita. Mengerang, seperti / mesin foto copy dalam mulut bersama.
Dengan menggunakan metode Riffaterre yang ditafsirkan
oleh Faruk, maka pembacaan puisi Afrizal akan berhenti pada ketidakjelasan
konvensi bahasa: siapa yang menjatuhkan kata-kata ke dalam kamus? bukankah
secara heuristik para penyusun kamus sudah terang yang memuat beragam kata
dalam kamus itu? Tidakada koherensi baris-baris frase atau kalimat yang
mengandung kata “tajam”; “darah”, “mata”. “tatapan”; “melihat”, “nyanyian”.
“mengerang”, “mesin foto copy” dan “mulut.” Barangkali kesimpulan pembacaan
sajak, meski masuk secara hermeneutik, berakhir pada kesimpulan tidak ada “daging
donat” (baca: secara heuristik kabur) di sana dan semuanya lubang kosong [baca:
tidak ada makna sama sekali, lebih-lebih pusat maknanya) dalam sajak itu.
Pada titik ini, pertanyaan yang muncul, apakah sajak
tersebut telah gagal sebagai sajak atau ada keterbatasan metode Riffaterre
untuk menjelaskan sajak-sajak yang sedang menyiasati bahasa yang sedang tumbuh
(dalam konteks sajak Chairil) dan bahasa yang telah tumbuh, namun dianggap
penyair sedang sakit (dalam konteks sajak Afrizal)? Dalam kasus sajak Afrizal,
strategi pembacaan yang tidak berkutat pada metode Riffaterre yang terlalu
formalistik akan menemukan percakapan yang berbeda. Membaca sajak tanpa membuka
kemungkinan sajak itu, paling tidak, dibiarkan berbicara dengan suaranya
sendiri, akan membuka penglihatan lain atau mendengar nyanyian panjang tentang
dunia yang dibangun penyair.
Saat mengakhiri risalahnya perihal Syair dan
Tafsir, Goenawan Mohamad (GM) menulis satu paragraf berikut: “Seorang
kritikus adalah seorang yang sadar, bahwa kata ada dalam sajak itu awal penanda
tentang sesuatu: dan ia bersua dengan tabir, dan kemudian tafsir. Tapi bersama
dengan itu pula kritikus bukan hanya seorang perumus interpretasi, tapi juga
seorang yang menemani puisi, terus-menerus, dalam tugur, dalam menunggu,
sementara puisi itu “menjanjikan dirinya tak putus-putusnya, dan tak
henti-hentinya menghilang, melalui lubang-lubang pintu yang bersinar terang
seperti cermin, dan terbuka ke dalam sebuah labirin.”[16]
Apa yang disampaikan Proust relevan, antara
lain,”… a book is the produce of another me than the one we manifest in
our habits, in society, and in our lives. This [other] me, if we wish to try to
understand it, is at the bottom of ourselves, by trying to recreate it within
us, that we can manage to do so. . . . This truth, we must make it entirely,
and it is too easy to believe that it might arrive unexpectedly in our morning
mail, in the form of some unpublished letter”. [17] Saat
sebuah karya [fiksi] dituliskan terdapat diri yang lain di luar tampilan
pengarang dalam hidupnya dan di masyarakat. Untuk memahami diri yang lain dari
pengarang saat bertemu dengan bahasa dalam proses proses, para pembaca
menemukan kebebasan tersendiri tanpa berkutat pada penyelidikan maksud
pengarang atau biografinya. Seperti disimpulkan Moulin, wejangan Proust jelas
menyatakan keberadaan “diriku” yang transendental, esensi yang diberikan berada
(di luar) sana, dan objek dari sebuah pencarian par excellence konsepsi
romantik dan idealis tentang penciptaan sastra. Selanjutnya, sepanjang kalimat
Proust “This [other] me, if we wish to try to understand it, is
at the bottom of ourselves, by trying to recreate it within us, that we
can manage to do so”, tampak beririsan dengan GM pada frase “menemani
puisi, terus-menerus, dalam tugur, dalam menunggu” dan “ puisi itu “menjanjikan
dirinya tak putus-putusnya…terbuka ke dalam sebuah labirin”. “Menemani puisi”
tentu saja bukan pasif untuk memahami “labirin” atau “the bottom of ourselves”,
melainkan terbuka pula pada merambah “tubuh lain” (This [other] me). Mungkin
tubuh pertama (“aku” sebagai orang pertama tunggal dalam titik keberangkatan
analisis Faruk) menjadi “tak henti-hentinya menghilang”.
Kembali kepada analisis sajak bait lain sajak “Aku,
selanjutnya Faruk mengatakan,”Frase sampai waktuku adalah isi pengandaian
itu. Kata sampai setidaknya mengandung lima arti. Akan tetapi, dalam kombinasinya dengan waktuku, kata itu
cenderung berarti (dapat) mencapai tujuan (batasnya, waktunya). Kata waktu
sendiri sekurangnya dapat mempunyai enam arti. Hanya, dalam kombinasinya dengan
-ku, kata tersebut lebih cenderung berarti ‘saat tertentu (untuk melakukan
sesuatu)’. Aku membayangkan
bahwa 'suatu saat, di masa depan, entah kapan,ketika ia telah mempunyai
kemampuan, akan ada sesuatu yang akan dilakukannya, entah apa.”
Kita tidak melihat rincian argumen Faruk bagaimana
menegaskan kata “sampai” dalam kombinasinya dengan “waktuku” berarti “(dapat)
mencapai tujuannya”. Pilihan kesimpulan ini menyisakan permasalahan: (i)
mengapa jatuh pada pilihan “mencapai tujuan” dan bukan, misalnya “memulai
perbuatan atau awal dari melakukan sesuatu”, selain mengpa tidak menjauh dari
rangkaian perbuatan selama awal hingga tujuan”? (ii) mengapa tiba pada
kesimpulan tujuan sebagai berada di masa depan belakan dan kemungkinan pemetaan
perbuatan (dengan mempertimbangkan butir (i) di atas, masa depan itu sendiri
berpeluang untuk berkelindan pada masa kini dan masa lalu. Permasalahan jauh
lebih kompleks dari pilihan strategi seorang pembaca dalam menafsirkan secara
tekstual baris-baris puisi, namun masuk ke wilayah problem eksistensial subjek
dalam dunianya.
Pernyataan Faruk bahwa “Sesuatu yang akan
dilakukannya, entah apa” oleh penyair dan diobjektifkan sebagai masa depan
hanyalah negasi yang berlebihan dari asumsi bahwa “aku” pada masa kini sedang
mengalami rayuan, terindikasi dari baris puisi Chairil: “Tak perlu sedu sedan
itu.” Rincian penjelasan Faruk menyebutkan bahwa baris tersebut mengandung
masalah koherensi dengan larik-larik sebelumya dan lebih lanjut begini
argumennya,”Di masa kini atau di masa lalu aku sebenarnya sedang dirayu, sedang
berhadapan dengan sedu sedan yang entah ia perlukan atau tidak.Yang jelas, di
masa depan, Kalau sampai waktuku, ia tidak memerlukan hal itu lagi. Waktu
lenyapnya kebutuhan aku akan sedu sean tersebut sebenarnya juga tidak begitu
jelas, apakah di masa lalu, di masa kini, ataukah di masa depan.Yang membuatnya
cenderung ditempatkan di masa depan hanyalah perulangan kata tak seorang pun,
Tidak juga kau, Tak perlu.”
Sepintas, andai benar posisi “aku” kini sedang dirayu,
entah oleh siapa, maka kurang lazim yang terkena rayuan pada saat bersamaan
mengalami sedu-sedan. Yang terakhir mungkin terjadi sebagai akibat setelah
seseorang tersadar dari bujuk rayu pihak lain, lebih-lebih kalau disertai
tipuan. Namun persoalan pokoknya bukan apakah kejadian “sedu-sedan” mungkin
timbul pada saat berlangsung rayuan atau umum setelahnya, pijakan Faruk dengan
menyatakan konteks waktu terjadi di masa depan untuk penafsiran frase “sampai
waktuku” menimbulkan masalah pada pembacaan Faruk untuk larik-larik selanjutnya
dari sajak ini sampai Faruk berkesimpulan sebagian larik mengalami masalah
“koheresi” atau dinyatakan “tidak begitu jelas.”
Menurut hemat saya, pemahaman bait-bait awal sajak Chairil relatif dimudahkan jika berkaca pada bentuk ucapan sehari-hari misalnya dalam kalimat,”Kalau sampai kau menikahinya, keluarga besar atau siapapun tak akan mendukung.” Benar, jika menggunakan penalaran Faruk, bahwa kejadian pernikahan belum muncul sekarang (masih mungkin di masa depan), namun subjek yang mengatakan kalimat itu sudah dalam posisi sedemikian rupa agar pernikahan itu tidak terjadi dan siapa pun dengan tegas dilarang memberi dukungan pada kemungkinan terjadinya pernikahan itu. Subjek yang aktif di masa kini menahan terjadinya sebuah peristiwa di masa depan. Sebuah usaha yang dalam perspektif Heideggerian, masa depan yang menghampiri masa sekarang, sementara faktor-faktor di masa lalu (katakanlah dalam kasus contoh tadi, salah satu atau kedua pasangan itu melakukan proses pengenalan tersebab paksaan atau hal tidak masuk akal) mengalir ke masa depan.
Rekonstruksi
Pemaknaan “Binatang Jalang”
Terhadap kata-kata “Binatang Jalang”, Faruk melakukan
analisis sebagai berikut,”Binatang tidak hanya berarti ‘makhluk bemyawa yang
mampu bergerak (berpindah tempat) dan mampu bereaksi terhadap rangsangan,
tetapi tidak berakal budi’, melainkan mengimplikasikan makna yang lebih luas.
Dalam hubung- annya dengan ‘akal budi’, misalnya, binatang ditempatkan sebagai
makhluk yang lebih rendah dan karenanya hina di hadapan manusia sebagai
'makhluk yang berakal budi’. Apabila dikombinasikan dengan orang, “orang itu
memang binatang", "kamu binatang", seperti aku ini binatang,
kata itu mengimplikasikan pula makna ‘sesuatu yang dibenci, tidak disenangi,
tidak dikehendaki kehadiran- nya’. Kecenderungan ini menjadi se- makin kuat
ketika binatang dikombinasi- kan dengan ja/ang yang berarti ‘liar, nakal’ yang
mengimplikasikan makna ‘tidak mengenal dan patuh pada aturan, norma-norma kehidupan’.
Kita baca kembali petikan strategi Chairil membuat
sajak untuk membentuk dunia dengan ungkapan,” ,”…[dunia yang] dibentuknya
dari benda (materi) dan rohani…dikawinkan menjadi satu kesatuan yang penuh
(indah serta mengharukan) dan baru…Semua cabang-cabang dan ranting-ranting dari
bahan pokok yang besar ini haruslah sesuatu yang dialami…oleh si penyair.
Artinya, dunia apa yang akan dibentuk Chairil dan
setelah bersentuhan dengan apa? Dari pelbagian kemungkinan dunia Chairil, salah
satu hipotesis yang paling menarik menurut hemat saya, Chairil telah membuat
dongeng untuk orang dewasa tentang dunia binatang, dunia “binatang jalang”.
Kalimat pertama sajak ini sudah terang memberi kabar posisi penyair ingin
membuat dunia dengan kata-kata permulaan serupa dalam kisah dongeng untuk
anak-anak, misalnya, “Pada jaman dahulu kala”. “alikisah…”, “Pada suatu hari”,
atau “Tahukah kamu, di masa depan”.
Chairil tidak sedang membuat sajak khusus untuk
anak-anak hingga pertimbangannya sampai pada kalimat yang luar biasa,”Kalau
sampai waktuku”. Bagi pembaca yang bersimpati pada pemikiran Heidegger, kalimat
ini barangkali menjadi pintu masuk melihat kisah ia terlempar ke sebuah
hamparan dasein: binatang apakah yang akan ia temui di sana ketika pengagungan
rasio atas banyak hal tidak cukup memahami waktu yang telah dipecah-pecah dan
mungkinkah ia melampui semua pecahan tersebut serta mengalami semacam transendensi
dari petualangan kesehariannya?
“‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu”, begitu Chairil berkisah. Para pembaca belatar belakang ilmu politik boleh ambil bagian dengan menyebut konteks titi mangsa kisah ini dibuat saat-saat kolonialis Jepang mengusung rayuan kolektivisme untuk propaganda perang atau janji manis kemerdekaan. Selanjutnya, apakah diksi “kau” itu ditujukan pada kolonialis? Atau siapa saja di luar dunia penyair, sekalipun yang tidak paham rincian sejarah atau biografi penyairnya, dan mendengar atau membaca sajak ini boleh ambil bagian. Mereka mungkin terhenyak sebentar mengingat ke kenangan personal di masa lalu atau melompat ke masa depan sesuai bayangannya sendiri.
Tak perlu sedu sedan itu, sebuah dramatisasi suasana yang menghantarkan pembaca pada tokoh utama kisahnya. Seorang tokoh yang punya kemampuan mengidentifikasi dirinya secara bebas dan mampu menyatukan pecahan-pecahan waktu yang dikisahkan sebelumnya. Begitulah si “Binatang Jalang” kemudian dikenalkan sebagai tokoh kunci yang diperlakukan semena-mena, tercerabut dari kebiasaan, tradisi, adat, sistem atau apa saja yang telah dibangunnya. Tokoh ini diperlakukan “dari kumpulan yang terbuang belaka.” Tapi kenapa ia Bernama “Binatang Jalang”?
Sebuah nama binatang ciptaan Chairil sendiri. Tidak memilih nama tertentu semacam kecoa raksasa seperti dunia “The Metamorphosis' karya Franz Kafka. Pun Chairil tidak memilih nama-nama ikan, semut, harimau, atau yang lainnya. Spekulasi yang dapat dimunculkan bisa saja untuk mengejar rima dengan frase “kumpulan terbuang” atau melakukan –meminjam istilah teknis jaman sekarang—dekonstruksi atas dominasi pikiran-pikiran sejak lama sampai jamannya Chairil perihal definisi manusia sebagai binatang rasional untuk merespon, sebagaimana telah disebutkan, penggunaan rasio tidak dapat menjawab seluruh persoalan eksistensial.
Kembali pada penafsiran Faruk, tampak sekali ia kehilangan pipijakan dalam menafsirakn dua bait terakhir dari sajak ini. Biar peluru menembus kulitku / Aku tetap meradang menerjang, diartikan Faruk sebagai “Sebagai sesuatu yang tidak disenangi, liar, tidak mengenal dan patuh pada aturan atau tatanan, binatang sekaligus mengimplikasikan ‘makhluk yang diburu, yang ingin dimusnahkan’”. Sementara tehadap larik “Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri, ditafsirkan Faruk dengan kata-kata,”Tiga kalimat dari baik kelima ini menegaskan kembali implikasi dari kalimat sebelumnya. Klausa pe/uru menembus kulit mengimplikasikan luka. Kata bisa yang berarti ‘racun’ dalam konteks kalimat yang mengandungnya menegaskan kembali implikasi bahwa peluru hanya salah satu alat untuk memusnahkan si binatang jalang….. Aku mau hidup seribu tahun lagi. Kalimat terakhir tersebut tidak dapat dipahami secara tepat bila hanya dengan konvensi bahasa …Tapi, bila dilihat dari segi makna yang diimplikasikannya, meskipun masih dalam batas bahasa, kalimat itu mengimplikasikan makna ’syirik, menuhankan diri sendir’’. Pernyataan itu tidak hanya melanggar "hukum alam’, melainkan “hukum Tuhan" yang menyatakan bahwa manusia itu fana, alam semesta itu fana, hanya Tuhan yang abadi.
Faruk tidak sampai pada pemahaman bahwa ini merupakan prosedur bentuk di dunia fiksi Chairil yang bersentuhan dengaan anasir permainan. Sebagaimana dikembangkan Massumi[18] melalui persfketif Deleuzian, dalam sebuah permainan, tubuh bergerak dari dari situasi ke situasi, termasuk pemutaran ulang yang bervariasi (repetisi “berlari”) dan membentuk diagram kehidupan seperti hewan dimana segala macam kebergantungan menjadi rentan dan didramatisasi (“Biar peluru menembus kulitku” atau “mau hidup seribu tahun lagi”) dalam petualangan imanensi untuk menemukan dirinya. Dengan demikian, pemaknaan “Aku mau hidup seribu tahun lagi” bukanlah untuk menolak konsep fana secara spiritual atau teologis. Dari proses penemuan dirinya sejak “meradang”, “luka” dan “berlari” untuk sampai pada larik terakhir berupa waktu sebagaimana larik permulaan juga waktu, maka subjek tampak melakukan penjelajakan bersama waktu. Terdapat gerakan, aktivitas, perpindahan dari permulaan sampai akhir sajak. Jika larik yang pertama masih berada dalam kendali waktu-“ku”, maka pada larik terakhir di luar kendali subjek, kecuali kehendaknya [untuk sebuah transendensi?” melampui anasir animalitas dirinya.
---selesai--
Daftar Pustaka
Afrizal Malna, Museum Penghancur Dokumen,
Penerbit Garudhawaca, 2013
Brian Massumi, What Animals Teach Us about
Politics, Duke University Press Books, 2014.
Chairil Anwar, Aku ini binatang jalang:
koleksi sajak, 1942-1949, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2011
____________, Derai-Derai Cemara, Horison/Yayasan
Indonesia, 2000)
Gilles Deleuze, Félix Guattari , EPZ Thousand
Plateaus, Bloomsbury Academic, 2004
Faruk, “Aku” dalam Semiotika Riffaterre Semiotika
Riffaterre dalam "Aku", Humaniora, Vol. 3, 1996
Goenawan Mohamad, Puisi dan Subjek,
dalam Puisi dan Antipuisi, Penerbit Grafiti, 2011
_________________, Syair dan Tafsir,
dalam Eksotopi: tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas, Pustaka
Utama Grafiti 2019
_________________, Takdir: Puisi dan Antipuisi,
dalam Puisi dan Antipuisi, Penerbit Grafiti
Hannah H. Kim& John Gibson, dalam Sonia
Sedivy (ed.)Art, Representation, and Make-Believe Essays on the Philosophy
of Kendall L. Walton, Taylor & Francis, 2021
Hasan Aspahani, Chairil Anwar, Penerbit
Gagas Media, Cet 2, 2017
Joanny Moulin, “Lives of the Poets”: poetry
and biography, Dans Études anglaises 2013/4 (Vol. 66)
Michael Rinaldo, Ambivalensi Chairil Anwar,
Jurnal Kebudayaan Kalam 21 tahun 2004.
Per Bäckström (2011) (forgive us,o life!the
sin of Death: a critical reading of Michael Riffaterre's Semiotics of
Poetry , Textual Practice, 25:5, 919.
Note
[1] Chairil Anwar, Derai-Derai Cemara,
Horiso/Yayasan Indonesia, 2000, h. 99. Seluruh Sajak Chairil Anwar yang dikutip
dalam tulisan ini menggunakan rujukan ke buku ini, kecuali ditentukan lain oleh
tulisan ini.
[2] Gilles Deleuze, Félix Guattari , EPZ Thousand
Plateaus, Bloomsbury Academic, 2004, h. 292.
[3] Chairil Anwar, op.cit., h. 109
[4] Hasan Aspahani, Chairil Anwar,
Penerbit Gagas Media, Cet 2, 2017, h. 130
[5] Asrul Sani, Suatu Sore Gerimis di Bogor,
28 April 1949 dalam Chairil Anwar, op.cit., h. xiii
[6] Michael Rinaldo, Ambivalensi
Chairil Anwar, Jurnal Kebudayaan Kalam 21 tahun 2004.
[7] Joanny Moulin, “Lives of the Poets”: poetry
and biography, Dans Études anglaises 2013/4 (Vol. 66), h. 416
[8] Hasan Aspahani, Chairil Anwar,
Penerbit Gagas Media, Cet 2, 2017, h. 130
[9] Michael Rinaldo, op.cit, h. 92
[10] Hannah H. Kim& John Gibson,
dalam Sonia Sedivy (ed.) Art, Representation, and
Make-Believe Essays on the Philosophy of Kendall L. Walton, Taylor &
Francis, 2021, h. 100.
[11] Goenawan Mohamad, Takdir: Puisi dan
Antipuisi, dalam Puisi dan Antipuisi, Penerbit Grafiti, h. 50-79
[12]Goenawan Mohamad, Puisi dan Subjek,
dalam Puisi dan Antipuisi, Penerbit Grafiti, 2011, h. 45
[13] Faruk, “Aku” dalam Semiotika Riffaterre
Semiotika Riffaterre dalam "Aku", Humaniora, Vol. 3, 1996, h. 24-33
[14] Per Bäckström (2011) (forgive us,o
life!the sin of Death: a critical reading of Michael Riffaterre's Semiotics
of Poetry , Textual Practice, 25:5, 919.
[15] Afrizal Malna, Museum Penghancur Dokumen,
Penerbit Garudhawaca, 2013, h. 11
[16] Goenawan Mohamad, Syair dan Tafsir,
dalam Eksotopi: tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas, Pustaka
Utama Grafiti 2019, h. 191.
[17] [17] Dikutip dari Joanny Moulin, “Lives of the
Poets”: poetry and biography, Dans Études anglaises 2013/4 (Vol. 66), h. 428.
[18] Brian Massumi, What Animals Teach Us about
Politics, Duke University Press Books, 2014, h.83