Dongeng
Singkat dalam Bahasa Indonesia
Beri
Hanna
Bertahun-tahun yang lalu, di sebuah hutan pinus pada
sore berhujan, Amanda dibunuh Mario—yang tidak lain adalah suaminya sendiri.
Waktu itu Nikolai masih kanak-kanak. Ia diberi tugas menjaga rumah sementara
papa dan mamanya pergi ke suatu tempat yang dirahasiakan. Sebagai anak, Nikolai
patuh berdiam di rumah hingga tertidur; bahkan tidak tahu Mario pulang
sendirian. Amanda yang telah mati, hidup lagi lalu berjalan pulang; mengetuk
pintu rumah dengan wajah pucat dan tubuh sedingin es. “Aku tertidur panjang di
luar sana,” kata Amanda malam itu. “Mana Nikolai?” tanyanya.
Mario bergeming dengan jantung yang berdebar. Tanpa
ada hal lain yang ingin disampaikan, Amanda beranjak ke kamar dan tertidur di
ranjang. Di dalam tidur itu ia bermimpi: suaminya, telah membunuhnya sore hari
sebelumnya.
“Itu mimpi paling buruk yang pernah
singgah dalam hidupku,” kata Amanda, di meja makan saat berdua dengan Mario.
Bukan sebuah keajaiban bila Amanda
dapat hidup lagi karena Mario yakin betul, bisikan yang didengar olehnya untuk
membunuh si istri, adalah suara Tuhan yang mengatakan: Amanda tidak akan mati
meski luka tikam di tubuhnya mengalir darah. Tetapi, yang merupakan keajaiban
bagi Mario ialah kepulangan Amanda dalam waktu semalam. Ia tidak bisa
membayangkan bagaimana Amanda menyeret kaki dengan betis kecilnya di sepanjang
jalan dari hutan pinus yang bahkan ia sendiri lupa di mana.
“Aku hanya berjalan dan sampai di
rumah,” tutur Amanda. “Seperti dari taman belakang rumah. Mana Nikolai?”
Mario ingin menjawab Nikolai sedang
bermain dengan teman-temannya. Tetapi suaranya tidak keluar karena masih takjub
seolah anak kecil yang terkesan akan sesuatu peristiwa. Karena masih tidak
percaya dengan yang terjadi, Mario bahkan lupa dengan gelas berisi racun yang
sedang digenggamnya. Ia sudah menyiapkan kematian untuk dirinya sendiri dengan
cara menenggak racun lewat anggur paling luhur.
Amanda yang melihat suaminya bersikap aneh, berusaha
mencairkan suasana dengan meminta setenggak anggur luhur. Mario bingung dan
merasa takut telah memberi gelas yang keliru. Di sore panas itu, sebelum
Nikolai pulang dari bertualang menjelajah jalan sesuai imajinasi bersama
teman-temannya, Amanda telah mati untuk kedua kali.
Mario duduk menunggu si istri
bangkit dan berteriak bahwa ia lagi-lagi tertidur. Tetapi, sejak saat itu si
istri tidak pernah bangkit. Sampai Nikolai pulang dan mendapati tubuh mamanya
telah dingin, ia menangis berhari-hari sampai tubuh mamanya membusuk seperti
bangkai, dikerumuni lalat-lalat yang berdengung.
Tengah malam berikutnya ketika orang-orang kampung
hendak tidur, bau busuk mengganggu dan mereka baru menyadari suatu hal akan
keganjilan di kampung; bau bangkai belakangan telah mendatangkan ratusan hingga
ribuan lalat, melengkapi suara tangisan Nikolai tiada henti.
Satu per satu orang-orang berkumpul dan berbisik-bisik
di rumah Mario untuk memindahkan mayat Amanda ke dalam peti. Sementara itu Mario
masih duduk menunggu—tanpa berbuat sesuatu—si istri kembali hidup dan berteriak
bahwa ia hanya tertidur. Mario sudah membayangkan itu terjadi sejak Amanda
menenggak anggur luhur. Tetapi, sampai ketika peti dimasukkan ke dalam tanah,
bayangannya tentang kebangkitan Amanda tidak terjadi untuk kali ini.
“Tuhan tidak datang dua kali,” gumam
Mario di suatu subuh ketika ia masih duduk menunggu dengan tubuh yang telah
mengurus. Itulah kali pertama ia berbicara.
Dari jendela kamar yang menghadap ke
kursi tempat Mario menunggu, Nikolai yang akhirnya ikhlas setelah
bertahun-tahun kepergian mamanya serta pasrah menghadapi laki-laki tua yang
memilih jadi bisu, akhirnya terkejut, merasa seperti sedang bermimpi.
Nikolai bangkit dan melihat kebodohan Mario yang menghabiskan
waktu untuk sesuatu yang sia-sia. Ia telah menghitung berapa lama dan, melihat
kebodohan terus membuat tubuh Mario semakin kurus seperti tiang-tiang rumah tak
terawat yang digerogoti rayap. Saat dirasanya tiang itu akan roboh, seperti
pula tubuh Mario yang semakin rentan, ia beranjak dan mendekati Mario.
“Apa yang kau katakan tadi,
Papa?”
Mario Kembali diam dengan matanya menyimpan kosong
abadi atau serupa warna gelap tak berujung.
“Apa kau sudah gila, Papa?”
Mario bergumam dengan terbata-bata, hampir tidak
terdengar.
“Kau sudah terlalu tua untuk tidak tidur, Papa.
Harusnya sejak dulu kau tidur.”
Mario berdiri seperti tidak memiliki
mata. Ia menatap ke sekeliling seolah semua yang dilihatnya begitu gelap. Ia
dituntun untuk beranjak ke kamar dan merebahkan tubuhnya, setelah perjalanan
penantian panjang yang dirasa cukup.
Mario pura-pura tidur sampai memastikan Nikolai
tertidur di kamar berebeda. Saat itulah Nikolai bermimpi, ketika tidak ada
suara-suara kehidupan manusia, Mario mendapatkan kembali penglihatannya.
Diam-diam Mario melangkah ke makam. Menyenteri satu
per satu gundukan tanah dan memastikan kuburan Amanda. Dengan peralatan
seadanya, Mario menggali kuburan istrinya dengan sisa tenaga dari tubuh tuanya.
Hingga matahari meninggi di langit, Mario berteriak senang, “Sudah kuduga! Kau
masih hidup,” katanya kepada Amanda yang lemah dan bersusah payah bernapas.
“Apa-apaan ini?”
“Ini hanya kekeliruan,” kata Mario
sambil memeluk Amanda.
Kejadian itu terjadi bertahun-tahun
lalu, ketika Mario mendengar bisikan Tuhan lewat sore sunyi yang berdebu. Waktu
itu Nikolai masih bermimpi menjelajahi jalan-jalan desa dengan membawa tongkat
kayu sebagai senjata imajinatif. Bersama temannya, Nikolai menembak
burung-burung di pohon dan orang-orang jahat di jalanan.
“Sudah sore,” kata teman Nikolai.
“Ayo kita pulang!”
“Nanti dulu,” pinta Nikolai.
“Kenapa lagi? Sudah hampir gelap.
Nanti kita dimarahi!”
“Lebih baik dimarahi daripada kita
biarkan orang-orang jahat berkeliaran.”
“Orang jahat seperti apa yang kau
cari, Nikolai?”
Nikolai diam memandang langit. Ia
arahkan senapannya ke awan sambil matanya memejam satu seperti membidik
sesuatu.
Seperti papaku, katanya kepada temannya dengan suara
datar serta lugu. Teman Nikolai sontak bertanya mengapa Nikolai berkata
demikian. Nikolai pun menjawab karena memang papanya jahat sudah pernah
membunuh mamanya atas perintah Tuhan.
“Nikolai, papamu tidak jahat. Tuhan-lah
yang jahat karena meminta papamu melakukan itu. Ayo kita tembak Tuhan sebelum
malam.”
“Itu tidak mungkin,” kata Nikolai.
“Mengapa?”
Nikolai diam tidak menjawab. Ia
menatap mata temannya. Lalu teman Nikolai yang sudah gelisah hendak pulang,
bertanya cepat apa yang mungkin mereka lakukan saat itu. Nikolai menjawab
menembak papanya. Mereka sepakat dan menjelang gelap, mereka berangkat ke rumah
Nikolai. Begitu ada di depan rumah, Nikolai langsung menodongkan senjata ke
Mario.
“Mampus kau penjahat!” teriak
Nikolai sambil menggerak-gerakkan tongkat dan meniru bunyi ledakan dari
mulutnya.
“Nikolai, tidak begitu caranya,”
kata teman Nikolai. Ia maju dan menodongkan pistol lalu meledakkannya begitu
saja.
Tidak ada yang terjadi saat Nikolai bangun dari tidur
dengan jantung yang hampir putus. Ia menyesal tidak memastikan Mario mati di
dalam mimpi buruk yang terasa nyata baginya. Tidak ada yang lebih buruk dari
itu meski ia juga pernah berkeyakinan tidak percaya adanya Tuhan. Suatu ketika
jika pun Tuhan memang ada, bagi Nikolai itu tak berarti hidupnya akan
terpengaruh oleh mukjizatnya.
Nikolai pernah berdoa saat tersesat di dalam hutan,
ditinggal oleh teman-temannya. Namun, alih-alih ia mendapat petunjuk, justru
pikirannya sendirilah yang menuntun menemukan jalan keluar dari arah sungai
mengalir.
“Teman-teman kampret,” desis Nikolai begitu keluar
dari hutan. Sejak saat itu ia yakin, Tuhan tidak ada di dalam hutan. Begitu
juga di tempat-tempat lain, karena tak sekali ia pernah melihat wujud Tuhan,
bahkan ketika ia membutuhkannya. “Tentu saja Tuhan tidak akan membunuh papa
kecuali kulakukan sendiri,” desis Nikolai.
Ketika Nikolai melihat Mario membawa Amanda pulang,
menjamunya dengan wine dan roti bakar selai kacang, Nikolai diam-diam mengawini
istri Mario hanya untuk membuktikan bahwa dia manusia biasa seperti sebelum dia
dikuburkan.
“Kau pikir aku setan, anak kurang
ajar! Mau dikutuk?!”
“Kutuklah, Mama. Kutuklah aku
seperti suamimu mengutukmu untuk mati tapi tidak terjadi!”
Amanda marah dan menampar Nikolai saat
itu. “Berapa usiamu sekarang, Nikolai? Merasa sudah bisa jadi pembangkang?!”
teriak Amanda.
Beberapa hari setelah itu, ketika Nikolai tertidur dan
tidak pernah berpikir bahwa ia tidak akan bangkit lagi, Mario telah mengendarai
mobil bersama Amanda. Di sepanjang jalan ke luar dari hutan pinus mereka
bercanda seperti pasangan yang baru dipertemukan. Mereka bersumpah mengikat
cinta, sehidup semati, apa pun yang terjadi.
“Apakah dia akan datang nanti
malam?” tanya Amanda dengan nada cemas.
“Tidak ada yang tahu, Sayang.”
“Kalau dia datang seperti aku dulu?”
“Aku tembak kepalanya.”
“Hus.”
“Supaya dia tidak memperkosa kamu lagi!”***