Hidup Adalah Meja Kecil Jelek di Ruang Tamu
Aliurridha
Di luar untuk mendapat penghiburan, membaca sebuah cerita pendek adalah untuk
melihat cara pandang baru terhadap sesuatu. Cara pandang baru bisa lahir lewat
pelbagai hal, salah satunya lewat metafora konseptual. Lewat metafora
konseptual yang dihadirkan narator dalam cerita, kita bisa mengetahui bagaimana
sikap narator terhadap sesuatu, dan perasaan itu saya rasakan begitu kuat ketika
membaca cerpen Etgar Keret berjudul Pineaple Crush.
Cerpen ini merupakan salah satu cerpen yang terhimpun dalam kumpulan
cerpen Fly Already yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi Galat
di Ujung Galaksi. Cerpen ini berkisah tentang pertemuan yang dituturkan lewat
sudut pandang orang pertama. Naratornya adalah seorang laki-laki muda yang
membenci pekerjaannya, tapi ia tidak punya pilihan selain terus bekerja.
Karenanya, tiap sore ia menghisap lintingan ganja di tepi pantai sambil menatap
matahari terbenam guna melunakkan realitas. Di sanalah ia bertemu seorang
wanita asing yang meminta lintingan ganja yang sedang diisapnya. Lalu wanita
itu meminta ia menyediakan lintingan ganja untuk mereka isap bersama.
Sekilas cerpen ini hanya berkisah tentang dua orang yang bertemu dan
(mungkin) jatuh cinta tapi tidak bisa bersama. Namun jika dibaca lebih dalam,
ceritanya jauh lebih dalam dari itu. Kita bisa melihat begitu banyak cara
pandang baru. Salah satu lewat cara pandang narrator terhadap hidup. Ada
kesinisan narator yang tertangkap lewat cara pandang narator terhadap hidup.
Pada umumnya hidup dikonseptualisasikan sebagai sebuah perjalanan; hidup
adalah perjalanan. Itulah alasan kita sering menemukan ungkapan metaforis
“dia telah tiba di akhir perjalanannya” ketika seseorang baru saja meninggal.
Hal ini dikarenakan dalam kebudayaan kita, hidup dipahami lewat konsep
perjalanan. Hidup adalah sebuah konsep yang abstrak. Untuk memahami sebuah
konsep yang abstrak, manusia menggunakan referen yang lebih konkret, dan dengan
cara inilah manusia menghadirkan apa yang disebut metafora konseptual. Lalu,
metafora konseptual ini kemudian dimunculkan lewat ekspresi linguistik. Lewat
ekspresi linguistik ini pula kita bisa menemukan bahwa ada kesamaan konseptual
dari pelbagai kebudayaan di dunia atas cara pandangnya terhadap hidup. Hampir
setiap bahasa dunia hidup dipahami lewat pengalaman manusia dalam melakukan
perjalanan. Bisa dikatakan hidup dikonseptualisasikan sebagai perjalanan
berlaku hampir di setiap kebudayaan.
Sebagai metafora konseptual, hidup adalah perjalanan bernada
netral. Kita tidak tahu hidup akan membawa kita ke perjalanan yang seperti apa;
baik, buruk, sengit, menyenangkan, atau bahkan sangat membahagiakan. Akan tetapi
narator dalam cerita ini melihat hidup begitu sinis. Ia mengatakan:
“Giting yang pertama dalam sehari
itu ibarat kawan sekolah, cinta pertama, iklan tentang hidup. Tapi bukan hidup
itu sendiri—hidup adalah sesuatu yang, kalau bisa kumiliki, sudah bakal
kukembalikan ke asalnya dari dulu. Dalam iklannya, hidup siap dipesan, semua sudah
termasuk di dalamnya, nikmatnya bukan main, dan bebas. Setelah yang pertama,
giting beberapa kali lagi membantuku melunakkan realitas, dan hari jadi lebih
bisa dijalani meski rasanya tidak akan sama lagi seperti yang pertama.”
Lalu cara pandangnya yang sinis terhadap hidup itu semakin meningkat
lewat ungkapan metaforis,
“Hidup itu ibaratnya meja pendek
jelek yang ditinggalkan di ruang tamu oleh penyewa sebelumnya. Hampir sepanjang
waktu kita awas dan berhati-hati, kita ingat benda itu ada di sana. Tapi
kadang-kadang kita lupa lalu ujungnya yang runcing membentur tulang kering atau
tempurung lutut, dan rasanya sakit sekali. Dan hampir selalu meninggalkan bekas
luka. Saat kita nyimeng, meja rendah itu memang tetap ada di sana. Tidak ada
selain kematian yang bisa membuatnya hilang. Tapi seisapan saja bisa
menghaluskan sudut-sudut itu, menumpulkannya sedikit. Dan bila kita sedang
melayang, sakitnya jadi jauh lebih ringan.”
Lewat ungkapan ini kita bisa tahu narator memandang hidup tidak ada
bedanya dengan benda jelek yang ditinggalkan orang. Metafora konseptual yang
berlaku hampir di seluruh kebudayaan direstruktur oleh narator hingga tidak
lagi bernada netral; hidup menjadi bernada negatif. Karena cara pandang narator
yang seperti ini tentang hidup, saya sebagai pembaca menjadi bertanya-tanya,
ada apa dengan narator ini? Kenapa ia begitu sinis terhadap hidup?
Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya ingin terus membaca cerita ini.
Jawaban mengapa ia berpandangan begitu sinis terhadap hidup adalah
karena hidupnya sangat membosankan. Ia tidak punya tujuan hidup. Tidak juga
punya ambisi. Hidup baginya seperti perjalanan tanpa tempat untuk dituju. Kesan
itu benar-benar kuat ditanamkan kepada pembaca. Bahkan sampai menjelang
berakhirnya cerita, kesan itu semakin bertambah lewat perenungannya tentang
hidup ketika ia pertama kali menghisap barang bagus yang disebut Pineaple
Crush. Narator berkata, “Lalu aku memikirkan Raviv lagi, menua lalu menjadi
bayi lagi seperti ubur-ubur mini itu.”
Di sini kehidupan menjadi siklus tiada akhir, berputar-putar seperti
salah satu jenis ubur-ubur yang ketika tua kembali menjadi bayi. Kesan tentang
pengulangan-pengulangan membosankan sedikit tidak membuat saya teringat pada
Sisifus yang dihukum mendorong batu sampai ke atas gunung, lalu setelah tiba di
atas, batu digelinding dan jatuh ke bawah. Lalu ia kembali diperintahkan
mendorongnya ke atas. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tahu bahwa
ia akan terus melakukan hal yang sia-sia, tapi ia tetap juga melakukannya.
Absurd. Dan memang seabsurd itu juga cara pandang narator cerita ini terhadap
hidup. Lalu kemudian datang Akirov. Narator jadi seperti punya tujuan. Sisifus
seperti lepas dari kutukan. Itu membuat cerita berubah warna, meski sedikit.
Pahit berkurang meski hanya sedikit. Hidupnya menjadi sedikit lebih manis. Tapi
hanya sedikit. Namun segala yang sedikit itu sangat terasa karena pahitnya
begitu kental.
Setelah pertemuan narator dengan Akirov—seorang pengacara cantik yang
berusia lebih tua darinya—cerita berkembang menjadi sesuatu yang menggairahkan.
Ada sisi misteri dari sosok Akirov, dan itu membuat pembaca menjadi penasaran.
Lalu narator dengan pandai membuat pembaca semakin penasaran memberi informasi
yang terpotong-potong soal Akirov. Mulai dari ia tidak takut kehilangan ingatan
jangka pendek, sampai ketidaktakutannya melanggar hukum. Lalu teknik penundaan
(delay) yang digunakan Keret untuk menunda informasi soal kenapa Akirov
akan menghilang tiga minggu lagi membuat pembaca semakin penasaran. Ketika
narator bertanya kenapa ia harus menghilang tiga minggu lagi, Akirov hanya
menjawab, “Akan kuceritakan tapi tidak hari ini.” Misteri pun semakin bertambah
ketika Akirov mulai cerita sedikit-sedikit tentang dirinya. Narator bertanya,
“Apakah Oded suaminya?” Akirov malah menjawab, “Kurasa sekarang aku nggak
terlalu yakin bahwa dia suamiku.”
Perkembangan cerita dalam cerpen ini memang tidak terlalu mengejutkan.
Tidak ada plot twist yang sampai membuat cerita berbelok terlalu tajam.
Meski begitu, cerpen ini bukannya tanpa unsur kejutan. Menjelang akhir cerita kejutan
hadir ketika Akirov mengungkapkan rahasianya bahwa ia tersangkut urusan hukum
yang berkembang menjadi tidak terduga. Ia mengungkap suatu kasus suap yang
ternyata lebih besar dari yang ia duga. Korupsi itu melibatkan begitu banyak
orang besar di negerinya, dan itu membuat ia terpaksa keluar dari negerinya. Akirov
terpaksa mengikuti program perlindungan saksi, dan itu membuatnya harus
membuang nama dan kehidupannya untuk mendapat identitas baru dan tinggal di
suatu tempat yang ia tidak tahu di mana. Ternyata suami Akirov malah tidak
ingin ikut dengannya. Lelaki itu berkata, ia terlalu dekat dengan keluarganya. Lalu
narator yang tadinya tidak punya tujuan hidup langsung dengan sigapnya berkata,
“Aku akan ikut denganmu, ke mana pun itu. Aku suka kejutan.” Narator yakin
betul ketika mengatakannya, seolah tahu bahwa untuk itulah ia hidup. Nada
netral dari metafora tentang hidup kembali. Hidup tidak lagi menjadi sebuah
meja kecil jelek di ruang tamu, tapi kembali ke konsep yang sudah mapan dalam
cara kebudayaan manusia: hidup adalah perjalanan. Hal ini terbukti di
akhir cerita, saat Akirov akhirnya pergi meninggalkannya, narator berkata:
“Kedengarannya seperti awal—atau
mungkin akhir—kisah sebuah dongeng. Aku percaya dia akan bahagia di sana, di
mana pun itu, bahkan tanpa bersamaku. Akan ada orang lain yang memetikkan
kelapa untuknya. Atau dia akan memetiknya sendiri. Ke mana pun mereka
mengirimnya, kuharap tempat itu hangat. Setiap kali kuoper lintinganku dan
tangan kami bersentuhan, jari-jarinya selalu terasa dingin.”
Cerpen ini ditutup dengan cara yang begitu epik. Saya bisa katakan ini
adalah salah penutup terbaik dari cerita yang pernah saya baca. Setiap membaca
cerita, saya selalu memikirkan penutup alternatif, dan untuk cerpen ini saya
belum menemukan akan ada cara menutup yang lebih baik dari ini. Saya sempat
memikirkan penutup alternatif untuk cerita ini. Saya mencoba membayangkan
cerita ini ditutup dengan si narator ikut Akirov. Tapi akhir yang bahagia
seperti ini tidak pernah mengendap lama di kepala kita. Bukannya selalu begitu,
kenangan pahit selalu lebih awet dari kenangan manis? (*)