Simian Line
Hubbi S.
Hilmi
“Lalu
bagaimana ceritanya?” Wajahnya terlihat tak cukup sabar menungguiku yang masih
memilah kata-kata.
“Apa
kau pernah berencana membunuh seseorang pada usiamu yang sangat muda?” Tanya
balikku padanya.
“Maksudmu?”
“Maksudku...,
benar-benar membunuh. Menghabisi nyawa seseorang dengan rencana yang sangat
matang.”
“Haaa...?!”
“Aku
pernah..., saat itu usiaku masih sangat belia. Menggunakan bambu runcing yang
kutajamkan sendiri.” Lanjutku padanya yang masih duduk bengong di hadapanku.
Rautnya masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari seorang
perempuan yang baru saja dilamarnya. Ronanya berubah drastis menjadi sangat
ketat nun kecut.
“Apa
kau masih ingat sewaktu sekolah dasar dahulu?”
Wajahnya
yang kecut kini gusar, matanya mencari tiap inci ingatan, menggali tiap
kejadian yang sudah tertimbun puluhan tahun dalam ingatannya.
“Biar
kuingatkan,” aku merampas kebimbangannya, menuntunnya ke satu kejadian yang
hingga kini dan entah sampai kapanpun akan selalu kuingat.
“Bukankah
kau dahulu yang selalu mengejekku?” Todongku padanya dengan senyum tipis
termanis yang kupunya. “Masih ingat kan?”
“Aku
perempuan kecil yang sedang basah kuyup kemudian menanggalkan celana dan bajunya
itu. Saat itu kau tengok si perempuan kecil telanjang itu dan kau ejek selama
beberapa hari di sekolah.” Aku meraih air dingin dalam gelas untuk yang kedua
kalinya. Embun pada gelas telah hilang, berpindah ke tanganku dan kulanjutkan
ceritaku padanya yang masih menanti tiap kata yang akan keluar dari mulutku,
“saat itu aku telah bosan mendengar kau mengejekku. Sepulang sekolah, aku
meminta pada ayahku untuk dicarikan sebatang bambu kecil. Kurajut ujungnya
menjadi runcing ditemani ibuku yang juga sedang menyuapiku makanan.” Aku
menghela napas dan melanjutkan, “sampai sini, kurasa kau telah temukan ingatan
tentang itu.” Aku berharap dia telah menemukan ingatan-ingatan kecil yang
sengaja dilupakannya.
Dia
datang padaku, memintaku menjadi istrinya setelah puluhan tahun kami tak
bersemuka. Ketika itu ayahku menetapkan kami harus menjadi sepasang suami
istri. Bukan aku tak mampu menggaet mata para lelaki di luar sana, namun
sebagai anak yang sangat takut durhaka kepada orang tua dan tentunya aku sangat
tak sudi dikutuk sebagai batu semisal Malin Kundang, kuterima saja tawaran
ayahku itu suatu sore. Tepatnya paksaannya. Meninggalkan seseorang yang juga
pernah berkomitmen denganku. Sebelumnya, aku sempat menjalin hubungan dengan
seorang pria yang kukenal semasa di bangku kuliah. Dia tampan dan rupawan,
namun karena perbedaan persepsi tentang ketuhanan, kupaksa diriku
meninggalkannya. Bukannya ia tak mau berkorban untukku, ia pernah berucap siap
masuk dan mengikuti tiap ibadahku, namun aku menolaknya, sebab ia tak mampu
menjawab pertanyaanku padanya. Saat itu kukatakan padanya, Tuhan kau saja
kau tinggalkan, bagaimana denganku kelak? Jika tak cantik lagi? Jika kau sudah merasa
bosan denganku? Ia diam saja, bengong dengan wajah ketat nun kecut
sebagaimana pria yang kini hendak melamarku.
Laki-laki
yang kini hendak menjadi suamiku ini datang dari keluarga yang cukup dekat
dengan ayahku. Bukan hanya tampan dan rupawan, ia juga dari kalangan yang
berada. Kini, wajahnya masih ketat nun kecut saat aku mulai mengingatkan
beberapa hal padanya, yang mungkin sengaja ia lupa.
“Kau
masih ingat sewaktu sekolah dasar dahulu?”
Wajahnya
yang kecut kini gusar, matanya mencari tiap inci ingatan, menggali tiap
kejadian yang sudah tertimbun puluhan tahun dalam ingatannya.
“Biar
kuingatkan,” aku merampas kebimbangannya menuntunnya ke satu kejadian yang
hingga kini dan entah sampai kapanpun akan selalu kuingat.
“Bukankah
kau dahulu yang selalu mengejekku?” Todongku padanya dengan senyum tipis
termanis yang kupunya. “Masih ingat kan?”
“Bekas
luka di lehermu itu. Kau masih ingat?” Sambungku sekali lagi merampas
kebimbangannya. Tangannya yang sebelumnya menyodorkan kotak kecil terbuka
berwarna putih berisi cincin yang cukup indah itu berpindah meraba lehernya
yang masih meninggalkan bekas luka sobek. Kotak kecil berwarna putih itu
tertutup otomatis dan melenyapkan cincin yang cukup indah dan mahal itu dari
penglihatanku.
“Iya
aku ingat sekarang.”
“Jadi,
masih yakin kau ingin menikah denganku?” Hentakku padanya.
***
“Ruang
BK penuh dengan para guru yang sangat heran dan ada juga yang sangat marah
padaku kala itu. Untuk pertama kalinya, seorang ketua OSIS, seorang murid yang
sangat berprestasi, meraih juara dalam sejumlah lomba ini itu dan di sana di sini,
harus meringkuk di ruang BK, siap diskor dan mungkin masuk penjara. Aku saat
itu memukul kepala Arhan yang juga pacarku dengan kursi kayu hingga ia pingsan
dengan wajah berlumur darah. Ia terlalu posesif padaku, cemburu ke beberapa
kawanku. Ia datang di hari yang sial itu, menarikku dari ruangan di hadapan
seluruh anggota OSIS, saat itu kami sedang melakukan rapat paripurna untuk
menentukan jadwal perlombaan antarkelas di akhir semester. Aku tak terima
dengan perlakuannya, berusaha melepaskan diri dari cengkaramannya lalu kuraih
satu kursi yang sengaja diperuntukkan mengganjal pintu kelas agar tetap
terbuka, mengangkat dan mengayunkannya keras ke kepala Arhan. Arhan tak siap,
ia pingsan berlumur darah dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Orang tuaku
dan orang tua Arhan datang dan berdiskusi di ruang guru, mencari solusi untuk
menyelamatkan masa depanku. Orang tua Arhan yang pemaaf pada akhirnya memaafkan
kelakuanku dan meminta kedua orang tuaku membayar seluruh biaya perawatan Arhan
di rumah sakit. Sejak saat itu, aku tak lagi menjadi ketua OSIS, pun Arhan tak
pernah siap bertemu denganku hingga hari ini. Sementara pihak sekolah memintaku
tak masuk selama satu minggu penuh dan memohon pada orang tuaku untuk selalu
intens mengajakku ke psikiater terdekat.”
“Informasi
dari hasil tes psikisku, hampir sembilan puluh persen aku psikopat. Psikiater
terdekat yang pernah kutemui juga mengatakan bahwa aku tergolong manusia
istimewa, hanya sekitar empat belas persen jumlah spesiesku di dunia dan di asia,
jumlah golongan kami hanya sepuluh persen. Katanya aku termasuk dalam sapiens yang
memiliki simian line. Ia menjelaskan itu setelah melihat garis tanganku yang
tak putus-putus sebagaimana garis tangannya. Kedua garis pada telapak tanganku
tebal, jelas, dan panjang, berbeda dengan garis tangan si psikiater itu, yang
putus-putus dan tak begitu terang. Ia juga menjelaskan padaku, bahwa apa yang
kualami selama ini juga terpengaruh karena garis tanganku yang tak putus-putus
itu. Emosiku sangat labil namun tak meledak-ledak tuturnya. Ketika aku merasa
terancam dan tak nyaman karena perlakuan orang padaku, marahku tak meledak
namun aku akan berusaha membalas hingga ingin menghilangkan orang yang
membuatku seperti itu. Hal itu satu-satunya yang membuatku merasa puas. Setelah
itu, saat aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas itulah aku mengetahui
dengan pasti kenapa aku begitu sangat sadis dan dingin dalam dua kejadian besar
di hidupku yang mengancam nyawa orang lain.”
“Itu
yang dapat kuceritakan padamu tentang masa laluku,” aku meraih gelas yang telah
berembun, meneguk air dingin di dalamnya. Melewati sebuah kotak kecil berwarna
putih yang telah terbuka berisi cincin yang cukup indah dan disodorkannya
padaku sebagai tanda keinginannya menjadi suamiku. Wajahnya cerah penuh dengan
harap. Ia sepertinya tak peduli dengan ceritaku. Baginya itu hanyalah kenakalan
anak-anak sekolah yang cukup wajar dilakukan seusianya. Bahkan ia menganggapku
sedang berbual, menguji keimanan cintanya.
“Lalu
apalagi?”
Aku
menarik napas cukup dalam. Mengusap air yang menodai lipstikku. “Aku masih ada
dendam dengan seseorang.”
“Buat
apa memelihara dendam?” potongnya cepat mencoba menjadi bijak.
“Aku
juga tak ingin.”
“Lalu?”
“Karena
garis tanganku simian line.” Tegasku padanya. Matanya lekat padaku. Memintaku
cepat menceritakannya.
Gerimis
malam itu telah lelah jatuh satu-satu. Telah lelah menyaksikan adegan di warung
pinggir kota itu. Adegan seorang lelaki meminta seorang perempuan menjadi ibu
bagi anak-anaknya. Adegan tangan seorang pria di atas meja yang masih
menyodorkan kotak putih berisi sebuah cincin yang cukup indah dan mahal.
“Lalu
bagaimana ceritanya?” Wajahnya terlihat tak cukup sabar menungguiku yang masih
memilah kata-kata.
“Apa
kau pernah berencana membunuh seseorang pada usiamu yang sangat muda?” Tanya
balikku padanya.
“Maksudmu?”
“Maksudku...,
benar-benar membunuh. Menghabisi nyawa seseorang dengan rencana yang sangat
matang.”
“Haaa...?!”
“Aku
pernah..., saat itu usiaku masih sangat belia. Menggunakan bambu runcing yang
kutajamkan sendiri.” Lanjutku padanya yang masih duduk bengong di hadapanku.
Rautnya masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari seorang
perempuan yang baru saja dilamarnya. Ronanya berubah drastis menjadi sangat
ketat nun kecut.
“Apa
kau masih ingat sewaktu sekolah dasar dahulu?”
Wajahnya
yang kecut kini gusar, matanya mencari tiap inci ingatan, menggali tiap
kejadian yang telah tertimbun puluhan tahun dalam ingatannya.
“Biar
kuingatkan,” aku merampas kebimbangannya, menuntunnya ke satu kejadian yang
hingga kini dan entah sampai kapanpun akan selalu kuingat.
“Bukankah
kau dahulu yang selalu mengejekku?” Todongku padanya dengan senyum tipis
termanis yang kupunya. “Masih ingat kan?”
“Aku
perempuan kecil yang sedang basah kuyup kemudian menanggalkan celana dan bajunya
itu. Saat itu kau tengok si perempuan kecil telanjang itu dan kau ejek selama
beberapa hari di sekolah.” Aku meraih air dingin dalam gelas untuk yang kedua
kalinya. Embun pada gelas telah hilang, berpindah ke tanganku dan kulanjutkan
ceritaku padanya yang masih menanti tiap kata yang akan keluar dari mulutku,
“saat itu aku telah bosan mendengar kau mengejekku. Sepulang sekolah, aku
meminta pada ayahku untuk dicarikan sebatang bambu kecil. Kurajut ujungnya
menjadi runcing ditemani ibuku yang juga sedang menyuapiku makanan.” Aku
menghela napas dan melanjutkan, “sampai sini, kurasa kau telah temukan ingatan
tentang itu.” Aku berharap dia telah menemukan ingatan-ingatan kecil yang
sengaja dilupakannya.
“Bekas
luka di lehermu itu. Kau masih ingat?” Sambungku sekali lagi merampas
kebimbangannya. Tangannya yang sebelumnya menyodorkan kotak kecil terbuka berwarna
putih berisi cincin yang cukup indah itu berpindah meraba lehernya yang masih
meninggalkan bekas luka sobek. Kotak kecil berwarana putih itu tertutup
otomatis dan melenyapkan cincin yang cukup indah dan mahal itu dari penglihatanku.
“Iya
aku ingat sekarang.”
“Jadi,
masih yakin kau ingin menikah denganku?” Hentakku padanya.