Dua
Marga Nirwan Dewanto: Puisi dan Riwayat
Hidup Penyair yang Perlu Didengar
Danang Nugroho
Era terus berubah,
sastra pun ikut berubah. Perubahan tersebut tentunya dipengaruhi oleh realitas
sosial, budaya, politik, dan pelbagai alasan lainnya. Hal ini sudah tempak dari
sejarah sastra di Indonesia, dimulai dari Pujangga Lama, Angkatan Balai Pustaka,
Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950—1960-an, Angkatan 1966-1970-an,
Angkatan 1980-1990-an, Angkatan Reformasi 1998-2004, hingga angkatan 2000-an
kini yang disebut (Pascareformasi). Perubahan yang terjadi tersebut menciptakan
karya-karya yang berbeda di setiap angkatannya. Kreativitas penyair muncul
bersamaan dengan apa yang dihadapi dan apa yang akan didayakannya. Kreativitas
itulah hal yang ditawarkan oleh salah satu sastrawan Indonesia, Nirwan Dewanto,
dalam buku berjudul Dua Marga.
Pendayaan
penyair untuk menghasilkan buku tersebut tidak hanya duduk sekali langsung
jadi. Namun, Nirwan menempuhnya dengan analisis-kritis untuk menghasilkan buku
yang indah dan bermakna. Penempuhan Nirwan dilakukan dengan cara pemencilan
diri selama kurang-lebih dua tahun dari Maret 2020 hingga Februari 2022. Tidak
hanya kelelahan yang didapat, namun Nirwan mendapat balasan yang baik atas
karyanya. Dua Marga karya Nirwan Dewanto manjadi buku kumpulan puisi
terbaik 2022 pilihan Tempo.
Mengapa buku tersebut terpilih pasti ada alasannya. Buku Dua Marga, dilihat dari judulnya saja, itu sudah membuat orang berpikir. Yang dimaksud dua marga itu, apakah perihal dua komunitas etnis dan lokalitas, dua marga yang melebur jadi satu keluarga, atau perihal-perihal lain mengenai keheterogennan. Hal ini akan terjawab jika membedah isinya. Dari judulnya saja sudah menggoncangkan pikiran pembaca, apalagi isinya. Mari kita telisik lebih dalam.
Perihal
Terpilihnya Dua Nama
Dalam
buku Dua Marga ini, isinya merupakan keheteroniman, demi menjalankan escape
from personality atau menyatakan kematian sang pengarang, supaya riwayat
hidupnya tidak menjadi bahan yang mentah dan memalukan bagi khazanah puisinya.
Nirwan tidak pernah bermimpi melahirkan heteronim dalam jalan sastranya, ia
juga tahu bahwa dalih “sosok pribadi dalam sajak” sangat berkuasa dalam
persajakan dan telaah puisi di Indonesia. Baginya cukuplah bahwa subyek penutur
dalam sajak-sajak Jantung Lebah Ratu (2008) dan Buli-Buli Lima Kaki (2010)
bukan diri pribadi Nirwan Dewanto (Dewanto, 2022:107)
Kemudian,
perihal keheteroniman kepribadian di dalam buku puisi tersebut, mengacu
pada dua nama penyair terdahulu, yaitu Halima Puti Djamhari dan Nyonam Hambulu
Adwaita. Nirwan memilih dan memilah 30 sajak masing-masing penyair untuk disajikan
dalam dua bab dalam buku Dua Marga. Tentunya kedua penyair dipilih
berdasarkan alasan. Sebelum ke isi, alangkah baiknya mengulik dulu alasan
Nirwan mengenai dua pilihan penyair tersebut yang sudah dituliskannya dalam
buku Dua Marga bab “PERIHAL DUA NAMA” halaman 105—113.
Penyair
yang pertama dicantumkan adalah Halima Puti Djamhari. Halima lahir di
Bukittinggi pada 22 April 1980, dan pada 2008—2009 ia bekerja di Santa Monica
(California). Terbitnya nama tersebut didasarkan oleh Nirwan yang berniat menulis
tiga puluh sajak untuk dijadikan bagian dari sebuah manuskrip Buli-Buli Lima
Kaki. Akan tetapi, tujuh sajak di antara yang tiga puluh itu dirasa tidak
bisa berada di jalan menuju buku puisi tersebut. Ketika Nirwan membaca kembali
“Perempuan Terakhir” dan “Tulisan di Batu Nisan”, ia terpikir ada baiknya
penggiat adalah perempuan. Itulah alasan singkat dipilihnya Halima Puti
Djamhari.
Dengan
biografi Halima yang kurus, Nirwan berhasil menyelesaikan total 12 sajak (yang
dianggap Nirwan berhasil) di bawah kepribadian si penyair perempuan. Namun,
kegagalan juga menghampiri Nirwan, karena riwayat hidup Halima yang terlalu
singkat, tipis, dan kurang beralasan demi kehidupan sajak-sajak tersebut. Oleh
sebab itu, Nirwan perlu merancang satu nama, satu kepribadian, yang lain lagi.
Akhirnya, muncullah nama kedua, yaitu Nyoman Hambulu Adwaita.
Berbeda
dengan sebelumnya, nama kedua yang diambil ini bukan perempuan, melainkan
laki-laki. Nyoman Hambulu Adwaita lahir 19 Maret 1975. Nyoman tak tertarik
menerbitkan puisi, tetapi bergaul dengan para penyair di Sanggar Cipta Budaya
dan Sanggar Minum Kopi. Nyoman tamatan Sastra Inggris di Universitas Udayana,
dan sekarang mengelola bisnis perhotelan keluarganya di Sanur setelah
merampungkan studinya dalam hospitality management di Geneva.
Terpilihnya
Nyoman diawali dengan perjalanan Nirwan ke Bali. Ia bergaul dengan lingkungan
sastra di sana, Nirwan menyadari bahwa para penyair Bali, khususnya yang tumbuh
oleh rangsangan Umbu Landu Paringgi, menulis puisi “dari pengalaman yang
otentik”. Perjalanan Nirwan ke Bali membuat pikirannya untuk merancang tiga
nama untuk si penyair imajiner, tatapi tidak ada satupun yang berjodoh
dengannya. Kemudian, September 2018, kunjungan Nirwan ke Puri Agung Karangasem
di Bali Timur membuat nama Nyoman Hambulu Adwaita hinggap di kepalanya. Berkat
Nyoman, Nirwan berhasil menyempurnakan beberapa sajak yang tersia-sia
sebelumnya.
Di
bawah lindungan Nyoman, Nirwan berhasil menyelesaikan 35 sajak, termasuk
memeoles beberapa sajak yang terbengkalai sebelumnya (ketika sang Nyoman belum
ada). Namun, hanya 30 sajak saja yang dicantumkan dalam buku Dua Marga ini.
Itulah
sepenggal kisah mengapa buku tersebut diberi nama Dua Marga, ya, itu
tentang PERIHAL DUA NAMA: Halima Puti Djamhari dan Nyoman Hambulu Adwaita.
Namun, kurang rasanya jika tidak ditelisik lebih dalam mengenai 30 sajak apa
saja yang dipilih Nirwan Dewanto dari kedua nama tersebut.
Romantisasi
dalam Sajak-Sajak Halima Puti Djamhari
Diawali
dengan sajak-sajak Halima Puti Djamhuri, dengan bab tertulis “SAMUDANA”. Samudana
merupaka kata dalam bahasa Jawa, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia,
berarti alam semesta. Pada sajak-sajak Halima, kebanyakan berisi tentang
romantisasi di ranjang. Jika dikaitkan dengan alam semesta –samundana—
romantisasi ini bisa dikatakan energi feminin dan maskulin pada alam semesta,
yang selalu berhubungan atas dasar cinta sehingga membuat alam semesta selalu
tumbuh dan berkembang hingga saat ini.
Jika
dikerucutkan ke dalam konteks manusia, romantisasi alam semesta tadi menjadi
romantisasi antar Adam dan Hawa. Ya, lebih tepatnya antara lelaki dan
perempuan. Hubungan cinta antara lelaki dan perempuan dalam sajak-sajak Halima
Puti Djamhuri ini sejalan dengan teori Standberg, yaitu triangular of love
atau konsep cinta segitiga. Dalam teori tersebut, ada tujuh jenis hubungan
cinta dan komponen cinta. Namun, yang saya fokuskan di sini adalah terkait
komponen cinta Standberg. Komponen cinta menurut Standberg ada tiga, yaitu
keintiman, gairah, dan komitmen. Berikut jabaran sajak-sajak yang berkaitan
dengan teori Standberg.
Pertama,
yaitu keintiman. Komponen yang dimaksud adalah perasaan ingin selalu dekat,
ingin selalu berhubungan, membentuk ikatan dalam hubungan cinta kasih
(Saktiana, 2022:641). Dalam komponen ini, pasangan memiliki keintiman yang
tinggi, sehingga muncul rasa saling pengertian dan memahami karena adanya
saling memberi dan menerima. Keintiman ini dapat ditilik pada sajak
“PROKLAMASI”: dalam sajak ini, keintiman diungkapkan pada larik: “Tak akan
aku pulang malam ini, tenanglah//” ungkapan kasih yang memberi kabar untuk
tenang, dan “Sabarlah, supaya tekanan darahmu terkendali// Dan makanlah
seperti biasa, dengan leluasa/ Sudah kusiapkan semuanya—sayur ayam/…/
Tenang itu amak baik—tak mengeluh kenapa”.
Tampak keindahan cinta sepasang yang saling memberi dan menerima bukan? Itulah
keintiman sebuah hubungan.
Kedua,
yaitu gairah. Komponen yang mengacu pada dorongan untuk romantis, daya tarik
fisik, penyempurnaan seksual, dan fenomena yang terkait dalam hubungan percintaan
(Saktiana, 2022:641). Komponen ini berkaitan dengan ekspresi dan kebutuhan
seksual, sehingga melahirkan gairah ingin selalu dekat, bersentuhan, dan
melakukan hubungan seksual dengan pasangan. Dua sajak menjawab teori tersebut.
Pertama, “KIDUNG LATA”: kelamin aku lirik telah “Kupiara celah ini agar kau
asuk dengan berhati-hati, agar kau tak membelukar di luar sana” tetapi, “kau
masuk dengan tergesa, dengan seluruh batangmu yang gempal, dengan segala akarmu
yang gusar”. Gairah yang amat agresif dilaksanakan oleh pasangan si aku
lirik. Menilik sajak lain, “KEPADA SI PAWANG HUJAN”: sentuhan jemari pasangan
aku lirik “Akan mengorek lengkung bianglala/ Bianglala yang berputing susu”,
kemudian jemari itu “menyamping jejarum melayang/ Ke tirai laut yang menjulang
di kiri dan kanan/ Jejarum yang akan menyeret matamu/ Ke tetes rahimku yang
penghabisan//” Terlihat jelas betapa kejadian romantisasi itu terjadi,
antara aku lirik dan pasangan kekasihnya –didukung sentuhan-sentuhan antar
keduanya.
Ketiga,
yaitu komitmen. Komitmen di sini berkaitan dengan keputusan yang tepat dalam
memilih pasangan, sehingga diperoleh cinta yang bertahan dan berkomitmen jangka
panjang dalam hubungan cinta (Saktiana, 2022:641). Komitmen ini menjaga agar
hubungan tetap langgeng dan saling mengalah apabila ada masalah. Salah satu
sajak Halima menjawab komponen ini, yaitu pada “BAKAL MEMPELAI”: dia datang “Barangkali
lelaki itu bernama Ahmad/ Atau Yunus, sungguh aku tak peduli”, ketidak-pedulian
aku lirik sebenarnya karena kurangnya rasa percaya diri“Wajahku bercadar,
tapi betapa yakin ia/ Bahwa aku sungguh-sungguh betina—”. Nampak jelas
kedatangan lelaki itu ada maksudnya. Ia datang ke rumah aku lirik wanita
bercadar. Kemudian, deklarasi pun diungkapkan aku lirik pada: “Bahwa ia
sendiri adalah bakal suamiku—// Mungkin namaku Salma, yang esok pagi/ Akan
menghimpun selongsong peluru”, itulah komponen komitemen, ingin
mempertahankan cinta, dan berkomitmen jangka panjang dalam hubungan cinta, ya,
jawabnya adalah menikah.
Teori Standberg dan romantisasi ungkapan cinta pada bab “SAMUDANA: SAJAK-SAJAK HALIMA PUTI DJAMHARI” telah usai disiasati, sebenarnya masih ada banyak lagi yang bisa digali. Tapi, jangan sampai menghiraukan nama kedua: Nyoman Hambulu Adwaita.
Sosiologi
Sastra dalam Sajak-Sajak Nyoman Hambulu Adwaita
Pada
bab kedua sajak Nyoman Hambulu Adwaita, dicantumkan tulisan “ALINGGANA”. Dalam
bahasa Kawi atau yang biasa disebut bahasa Jawa Kuno, kata “Alinggana” berarti
pelukan. Bahasa Kawi yang dimaksud adalah salah satu bahasa yang pernah
berkembang di Pulau Jawa pada zaman kerajaan Hindu-Budha di Indonesia.
Kemudian, alinggana ini terdapat juga pada kutipan dari Kakawin
Ramayana, yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah bercumbu. Kedua
arti tersebut dapat diartikan tentang cinta, yaitu berpelukan dan bercumbu
dengan pasangan. Akan tetapi, pada bab “SAMUDANA: SAJAK-SAJAK HALIMA PUTI
DJAMHARI” sebelumnya sudah saya jabarkan sajak-sajak yang terkait dengan cinta.
Mari beralih ke hal yang lebih penting, yaitu sosial. Saya menyiasati bab “ALINGGANA:
SAJAK-SAJAK NYOMAN HAMBULU ADIWAITA” ini bukan perihal cinta lagi, namun
berpelukan dan bercumbu dengan realitas yang ada: sosial. Berarti hal yang
perlu disiasati adalah sosiologi sastra. Damono (1978) dalam pengantar bukunya Sosiologi
Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas memaksudkan, bahwa sosiologi sastra
merupakan suatu pendekatan yang memperhitungkan hubungan yang ada antara sastra
dan masyarakat. Kemudian, di dalam sosiologi sastra ada klasifikasinya. Lan
Watt (via Damono, 1978:3) dalam esainya yang berjudul “Literature an Society”
mengklasifikasikan tentang hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat
dapat dilihat sebagai konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin
masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Mari menelisik lebih dalam sajak Nyoman
dengan sosiologi sastra.
Pertama,
konteks sosial pengarang. Ini adalah hubungan antara sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca (Lan Watt via Damono,
1978:3). Hal ini sangat penting, karena masyarakat yang dituju ikut menentukan
bentuk dan isi karya sastra. Sajak Nyoman, ada yang merepresentasikan hal itu,
yaitu pada sajak “MAJAS KAMI”: sepertinya aku lirik agak risih dengan para
pengkritik yang asal mengkritisi suatu karta “Sungguh, kami tak punya perkara
denganmu/ wahai tuan filosof// Batu-batu hijau/ dan kolam-kolam merah darah
dalam puisi kami”, para pengkritik itu menurut aku lirik kurang analisis
dalam mengkritik, karena karya itu “tak pernah kaukenali// Dan kadal-kadal
bening/ yang kaubenci selalu saja menyelusup (seperti kaum gerilyawan) ke dalam
puisi kami”, memang, masyarakat itu bisa mengkritik sesuai dengan teori
konteks sosial pengarang ini. Namun, bagi aku lirik, mereka itu –para
pengkritik— perlu juga kritis dalam mengkritik, bukan asal omong dan memberi
tanggapan saja. Sarkasme ditunjukan aku lirik pada larik “Kenapa kau betapa
berhasrat mencapai inti/ dalam puisi kami, wahai tuan filosof?” kemudian,
si aku lirik menganggap mereka yang asal mengkritik tak akan kami terima: “(tapi
darahmu tak juga larut dalam darah kita)//”. Kutipan lain ada pada sajak
“PENGULANGAN”: nasihat diberikan aku lirik kepada para kawannya “Penyair,
jangan takut mengulang-ulang—/ tetaplah engkau menggandrungi sunyi” kemudian
“Jangan percaya kepada si ahli kimia/ yang membujukmu menyimpang/ bersama
barium, klor, argon—/ yang kering dan tak berima”. Nah, itu menunjukkan
bahwa para pengkritik yang tak ahli dan kritis dihiraukan saja oleh para kawan
penyair –persetan— buat mereka yang tak kritis, dan “tanyakan kenapa ia tak
berberita saja/ tentang Alpha Centuri, misalnya”.
Kedua,
sastra sebagai cermin masyarakat. Yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana dan
sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cerminan keadaan masyarakat atau
realitas sosial (Lan Watt via Damono, 1978:3). Terkait teori ini, ada pada
sajak “TIDAK SEMUA NYANYI”: akan selalu ada yang bertahan waalau keadaan
tergoncang: “Tidak semua pohon gementar oleh badai/ tidak semua benih
membenci tanah gersang/ tidak semua buah memamerkan manisnya/ tidak semua cinta
menggerus jantung hati/ tidak semua jantung rela akan denyutnya”, tampak
jelas, ini gambaran realitas sosial, bahwa tidak semua orang itu idealismenya
kalah dengan keadaan. Masih ada yang bisa bertahan, di era yang penghabisan ini
–idealisme, nilai-nilai moral, kebaikan, kebermanfaatan, dll.— masih ada yang
bertahan dan harus tetap bertahan. Manusia-manusia yang bertahan itu (seolah
sebagai puisi dalam sajak ini) “Tidak setitik darah pun menetes ke puisi
ini//”.
Ketiga,
fungsi sosial sastra. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan seperti “Sampai
berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa
jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” (Damono, 1978:4). Karena tidak
adanya sajak Nyoman yang menggambarkan fungsi sosial sastra, maka (Grebstein
via Damono, 1978: 4—5) menjawabnya, yaitu “a) Karya sastra tidak dapat dipahami
secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan
atau peradaban yang telah menghasilkannya; b) Gagasan yang ada dalam karya
sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya; c) Setiap karya
sastra yang bisa bertahan lama pada hakekatnya adalah suatu moral, baik dalam
hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan
orang-seorang; d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: yaitu
faktor material istimewa dan sebagai tradisi; Kritik sastra seharusnya lebih
dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih; ia harus melibatkan diri
dalam suatu tujuatr tertentu; f) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra
masa silam maupun sastra masa datang.”
Dalam
kesimpulannya, Dua Marga merupakan proyeksi heteronim dua kepribadian
atas dua penyair yang dicantumkan dalam buku, yaitu Halima Puti Djamhari dan
Nyoman Hambulu Adwaita. Nama pertama, Halima, sajak-sajaknya dikemas dalam bab
“SAMUDANA”. Bab itu yang membuat saya menyiasati sajak-sajak Halima dengan
teori-teori cinta. Kemudian, yang kedua, Nyoman, sajak-sajaknya dikemas dalam
bab “ALINGGANA”. Walaupun alinggana berkaitan dengan cinta –yaitu pelukan dan
bercumbu. Namun, saya berusaha mengambil sisi yang beda, yaitu sajak-sajak yang
berkaitan dengan nilai sosial –sosiologi sastra. Kedua bab tersebut tercantum
masing-masing 30 sajak. Hingga pada akhirnya, saya perlu mencantumkan juga
hutang rasa Nirwan Dewanto kepada kedua nama tersebut pada akhir esai ini.
“Dua
Marga adalah cara saya membayar hutang saya, dengan seksama, kepada dua
penyair itu. Paling tidak, kami, tiga nama, sudah saling bertukar selubung,
jalan, dan sarira” –Nirwan Dewanto (Dewanto, 2022: 113).