Dua Marga Nirwan Dewanto: Puisi dan Riwayat Hidup Penyair yang Perlu Didengar - Danang Nugroho

@kontributor 4/14/2024

Dua Marga Nirwan Dewanto: Puisi dan Riwayat Hidup Penyair yang Perlu Didengar

Danang Nugroho

 


Era terus berubah, sastra pun ikut berubah. Perubahan tersebut tentunya dipengaruhi oleh realitas sosial, budaya, politik, dan pelbagai alasan lainnya. Hal ini sudah tempak dari sejarah sastra di Indonesia, dimulai dari Pujangga Lama, Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950—1960-an, Angkatan 1966-1970-an, Angkatan 1980-1990-an, Angkatan Reformasi 1998-2004, hingga angkatan 2000-an kini yang disebut (Pascareformasi). Perubahan yang terjadi tersebut menciptakan karya-karya yang berbeda di setiap angkatannya. Kreativitas penyair muncul bersamaan dengan apa yang dihadapi dan apa yang akan didayakannya. Kreativitas itulah hal yang ditawarkan oleh salah satu sastrawan Indonesia, Nirwan Dewanto, dalam buku berjudul Dua Marga.

Pendayaan penyair untuk menghasilkan buku tersebut tidak hanya duduk sekali langsung jadi. Namun, Nirwan menempuhnya dengan analisis-kritis untuk menghasilkan buku yang indah dan bermakna. Penempuhan Nirwan dilakukan dengan cara pemencilan diri selama kurang-lebih dua tahun dari Maret 2020 hingga Februari 2022. Tidak hanya kelelahan yang didapat, namun Nirwan mendapat balasan yang baik atas karyanya. Dua Marga karya Nirwan Dewanto manjadi buku kumpulan puisi terbaik 2022 pilihan Tempo.

Mengapa buku tersebut terpilih pasti ada alasannya. Buku Dua Marga, dilihat dari judulnya saja, itu sudah membuat orang berpikir. Yang dimaksud dua marga itu, apakah perihal dua komunitas etnis dan lokalitas, dua marga yang melebur jadi satu keluarga, atau perihal-perihal lain mengenai keheterogennan. Hal ini akan terjawab jika membedah isinya. Dari judulnya saja sudah menggoncangkan pikiran pembaca, apalagi isinya. Mari kita telisik lebih dalam.

Perihal Terpilihnya Dua Nama

Dalam buku Dua Marga ini, isinya merupakan keheteroniman, demi menjalankan escape from personality atau menyatakan kematian sang pengarang, supaya riwayat hidupnya tidak menjadi bahan yang mentah dan memalukan bagi khazanah puisinya. Nirwan tidak pernah bermimpi melahirkan heteronim dalam jalan sastranya, ia juga tahu bahwa dalih “sosok pribadi dalam sajak” sangat berkuasa dalam persajakan dan telaah puisi di Indonesia. Baginya cukuplah bahwa subyek penutur dalam sajak-sajak Jantung Lebah Ratu (2008) dan Buli-Buli Lima Kaki (2010) bukan diri pribadi Nirwan Dewanto (Dewanto, 2022:107)

Kemudian, perihal keheteroniman kepribadian di dalam buku puisi tersebut, mengacu pada dua nama penyair terdahulu, yaitu Halima Puti Djamhari dan Nyonam Hambulu Adwaita. Nirwan memilih dan memilah 30 sajak masing-masing penyair untuk disajikan dalam dua bab dalam buku Dua Marga. Tentunya kedua penyair dipilih berdasarkan alasan. Sebelum ke isi, alangkah baiknya mengulik dulu alasan Nirwan mengenai dua pilihan penyair tersebut yang sudah dituliskannya dalam buku Dua Marga bab “PERIHAL DUA NAMA” halaman 105—113.

Penyair yang pertama dicantumkan adalah Halima Puti Djamhari. Halima lahir di Bukittinggi pada 22 April 1980, dan pada 2008—2009 ia bekerja di Santa Monica (California). Terbitnya nama tersebut didasarkan oleh Nirwan yang berniat menulis tiga puluh sajak untuk dijadikan bagian dari sebuah manuskrip Buli-Buli Lima Kaki. Akan tetapi, tujuh sajak di antara yang tiga puluh itu dirasa tidak bisa berada di jalan menuju buku puisi tersebut. Ketika Nirwan membaca kembali “Perempuan Terakhir” dan “Tulisan di Batu Nisan”, ia terpikir ada baiknya penggiat adalah perempuan. Itulah alasan singkat dipilihnya Halima Puti Djamhari.

Dengan biografi Halima yang kurus, Nirwan berhasil menyelesaikan total 12 sajak (yang dianggap Nirwan berhasil) di bawah kepribadian si penyair perempuan. Namun, kegagalan juga menghampiri Nirwan, karena riwayat hidup Halima yang terlalu singkat, tipis, dan kurang beralasan demi kehidupan sajak-sajak tersebut. Oleh sebab itu, Nirwan perlu merancang satu nama, satu kepribadian, yang lain lagi. Akhirnya, muncullah nama kedua, yaitu Nyoman Hambulu Adwaita.

Berbeda dengan sebelumnya, nama kedua yang diambil ini bukan perempuan, melainkan laki-laki. Nyoman Hambulu Adwaita lahir 19 Maret 1975. Nyoman tak tertarik menerbitkan puisi, tetapi bergaul dengan para penyair di Sanggar Cipta Budaya dan Sanggar Minum Kopi. Nyoman tamatan Sastra Inggris di Universitas Udayana, dan sekarang mengelola bisnis perhotelan keluarganya di Sanur setelah merampungkan studinya dalam hospitality management di Geneva.

Terpilihnya Nyoman diawali dengan perjalanan Nirwan ke Bali. Ia bergaul dengan lingkungan sastra di sana, Nirwan menyadari bahwa para penyair Bali, khususnya yang tumbuh oleh rangsangan Umbu Landu Paringgi, menulis puisi “dari pengalaman yang otentik”. Perjalanan Nirwan ke Bali membuat pikirannya untuk merancang tiga nama untuk si penyair imajiner, tatapi tidak ada satupun yang berjodoh dengannya. Kemudian, September 2018, kunjungan Nirwan ke Puri Agung Karangasem di Bali Timur membuat nama Nyoman Hambulu Adwaita hinggap di kepalanya. Berkat Nyoman, Nirwan berhasil menyempurnakan beberapa sajak yang tersia-sia sebelumnya.

Di bawah lindungan Nyoman, Nirwan berhasil menyelesaikan 35 sajak, termasuk memeoles beberapa sajak yang terbengkalai sebelumnya (ketika sang Nyoman belum ada). Namun, hanya 30 sajak saja yang dicantumkan dalam buku Dua Marga ini.

Itulah sepenggal kisah mengapa buku tersebut diberi nama Dua Marga, ya, itu tentang PERIHAL DUA NAMA: Halima Puti Djamhari dan Nyoman Hambulu Adwaita. Namun, kurang rasanya jika tidak ditelisik lebih dalam mengenai 30 sajak apa saja yang dipilih Nirwan Dewanto dari kedua nama tersebut.

 

 

 

Romantisasi dalam Sajak-Sajak Halima Puti Djamhari

Diawali dengan sajak-sajak Halima Puti Djamhuri, dengan bab tertulis “SAMUDANA”. Samudana merupaka kata dalam bahasa Jawa, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, berarti alam semesta. Pada sajak-sajak Halima, kebanyakan berisi tentang romantisasi di ranjang. Jika dikaitkan dengan alam semesta –samundana— romantisasi ini bisa dikatakan energi feminin dan maskulin pada alam semesta, yang selalu berhubungan atas dasar cinta sehingga membuat alam semesta selalu tumbuh dan berkembang hingga saat ini.

Jika dikerucutkan ke dalam konteks manusia, romantisasi alam semesta tadi menjadi romantisasi antar Adam dan Hawa. Ya, lebih tepatnya antara lelaki dan perempuan. Hubungan cinta antara lelaki dan perempuan dalam sajak-sajak Halima Puti Djamhuri ini sejalan dengan teori Standberg, yaitu triangular of love atau konsep cinta segitiga. Dalam teori tersebut, ada tujuh jenis hubungan cinta dan komponen cinta. Namun, yang saya fokuskan di sini adalah terkait komponen cinta Standberg. Komponen cinta menurut Standberg ada tiga, yaitu keintiman, gairah, dan komitmen. Berikut jabaran sajak-sajak yang berkaitan dengan teori Standberg.

Pertama, yaitu keintiman. Komponen yang dimaksud adalah perasaan ingin selalu dekat, ingin selalu berhubungan, membentuk ikatan dalam hubungan cinta kasih (Saktiana, 2022:641). Dalam komponen ini, pasangan memiliki keintiman yang tinggi, sehingga muncul rasa saling pengertian dan memahami karena adanya saling memberi dan menerima. Keintiman ini dapat ditilik pada sajak “PROKLAMASI”: dalam sajak ini, keintiman diungkapkan pada larik: “Tak akan aku pulang malam ini, tenanglah//” ungkapan kasih yang memberi kabar untuk tenang, dan “Sabarlah, supaya tekanan darahmu terkendali// Dan makanlah seperti biasa, dengan leluasa/ Sudah kusiapkan semuanya—sayur ayam// Tenang itu amak baik—tak mengeluh kenapa”. Tampak keindahan cinta sepasang yang saling memberi dan menerima bukan? Itulah keintiman sebuah hubungan.

Kedua, yaitu gairah. Komponen yang mengacu pada dorongan untuk romantis, daya tarik fisik, penyempurnaan seksual, dan fenomena yang terkait dalam hubungan percintaan (Saktiana, 2022:641). Komponen ini berkaitan dengan ekspresi dan kebutuhan seksual, sehingga melahirkan gairah ingin selalu dekat, bersentuhan, dan melakukan hubungan seksual dengan pasangan. Dua sajak menjawab teori tersebut. Pertama, “KIDUNG LATA”: kelamin aku lirik telah “Kupiara celah ini agar kau asuk dengan berhati-hati, agar kau tak membelukar di luar sana” tetapi, “kau masuk dengan tergesa, dengan seluruh batangmu yang gempal, dengan segala akarmu yang gusar”. Gairah yang amat agresif dilaksanakan oleh pasangan si aku lirik. Menilik sajak lain, “KEPADA SI PAWANG HUJAN”: sentuhan jemari pasangan aku lirik “Akan mengorek lengkung bianglala/ Bianglala yang berputing susu”, kemudian jemari itu “menyamping jejarum melayang/ Ke tirai laut yang menjulang di kiri dan kanan/ Jejarum yang akan menyeret matamu/ Ke tetes rahimku yang penghabisan//” Terlihat jelas betapa kejadian romantisasi itu terjadi, antara aku lirik dan pasangan kekasihnya –didukung sentuhan-sentuhan antar keduanya.

Ketiga, yaitu komitmen. Komitmen di sini berkaitan dengan keputusan yang tepat dalam memilih pasangan, sehingga diperoleh cinta yang bertahan dan berkomitmen jangka panjang dalam hubungan cinta (Saktiana, 2022:641). Komitmen ini menjaga agar hubungan tetap langgeng dan saling mengalah apabila ada masalah. Salah satu sajak Halima menjawab komponen ini, yaitu pada “BAKAL MEMPELAI”: dia datang “Barangkali lelaki itu bernama Ahmad/ Atau Yunus, sungguh aku tak peduli”, ketidak-pedulian aku lirik sebenarnya karena kurangnya rasa percaya diri“Wajahku bercadar, tapi betapa yakin ia/ Bahwa aku sungguh-sungguh betina—”. Nampak jelas kedatangan lelaki itu ada maksudnya. Ia datang ke rumah aku lirik wanita bercadar. Kemudian, deklarasi pun diungkapkan aku lirik pada: “Bahwa ia sendiri adalah bakal suamiku—// Mungkin namaku Salma, yang esok pagi/ Akan menghimpun selongsong peluru”, itulah komponen komitemen, ingin mempertahankan cinta, dan berkomitmen jangka panjang dalam hubungan cinta, ya, jawabnya adalah menikah.

Teori Standberg dan romantisasi ungkapan cinta pada bab “SAMUDANA: SAJAK-SAJAK HALIMA PUTI DJAMHARI” telah usai disiasati, sebenarnya masih ada banyak lagi yang bisa digali. Tapi, jangan sampai menghiraukan nama kedua: Nyoman Hambulu Adwaita.

Sosiologi Sastra dalam Sajak-Sajak Nyoman Hambulu Adwaita

Pada bab kedua sajak Nyoman Hambulu Adwaita, dicantumkan tulisan “ALINGGANA”. Dalam bahasa Kawi atau yang biasa disebut bahasa Jawa Kuno, kata “Alinggana” berarti pelukan. Bahasa Kawi yang dimaksud adalah salah satu bahasa yang pernah berkembang di Pulau Jawa pada zaman kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Kemudian, alinggana ini terdapat juga pada kutipan dari Kakawin Ramayana, yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah bercumbu. Kedua arti tersebut dapat diartikan tentang cinta, yaitu berpelukan dan bercumbu dengan pasangan. Akan tetapi, pada bab “SAMUDANA: SAJAK-SAJAK HALIMA PUTI DJAMHARI” sebelumnya sudah saya jabarkan sajak-sajak yang terkait dengan cinta. Mari beralih ke hal yang lebih penting, yaitu sosial. Saya menyiasati bab “ALINGGANA: SAJAK-SAJAK NYOMAN HAMBULU ADIWAITA” ini bukan perihal cinta lagi, namun berpelukan dan bercumbu dengan realitas yang ada: sosial. Berarti hal yang perlu disiasati adalah sosiologi sastra. Damono (1978) dalam pengantar bukunya Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas memaksudkan, bahwa sosiologi sastra merupakan suatu pendekatan yang memperhitungkan hubungan yang ada antara sastra dan masyarakat. Kemudian, di dalam sosiologi sastra ada klasifikasinya. Lan Watt (via Damono, 1978:3) dalam esainya yang berjudul “Literature an Society” mengklasifikasikan tentang hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat dapat dilihat sebagai konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Mari menelisik lebih dalam sajak Nyoman dengan sosiologi sastra.

Pertama, konteks sosial pengarang. Ini adalah hubungan antara sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca (Lan Watt via Damono, 1978:3). Hal ini sangat penting, karena masyarakat yang dituju ikut menentukan bentuk dan isi karya sastra. Sajak Nyoman, ada yang merepresentasikan hal itu, yaitu pada sajak “MAJAS KAMI”: sepertinya aku lirik agak risih dengan para pengkritik yang asal mengkritisi suatu karta “Sungguh, kami tak punya perkara denganmu/ wahai tuan filosof// Batu-batu hijau/ dan kolam-kolam merah darah dalam puisi kami”, para pengkritik itu menurut aku lirik kurang analisis dalam mengkritik, karena karya itu “tak pernah kaukenali// Dan kadal-kadal bening/ yang kaubenci selalu saja menyelusup (seperti kaum gerilyawan) ke dalam puisi kami”, memang, masyarakat itu bisa mengkritik sesuai dengan teori konteks sosial pengarang ini. Namun, bagi aku lirik, mereka itu –para pengkritik— perlu juga kritis dalam mengkritik, bukan asal omong dan memberi tanggapan saja. Sarkasme ditunjukan aku lirik pada larik “Kenapa kau betapa berhasrat mencapai inti/ dalam puisi kami, wahai tuan filosof?” kemudian, si aku lirik menganggap mereka yang asal mengkritik tak akan kami terima: “(tapi darahmu tak juga larut dalam darah kita)//”. Kutipan lain ada pada sajak “PENGULANGAN”: nasihat diberikan aku lirik kepada para kawannya “Penyair, jangan takut mengulang-ulang—/ tetaplah engkau menggandrungi sunyi” kemudian “Jangan percaya kepada si ahli kimia/ yang membujukmu menyimpang/ bersama barium, klor, argon—/ yang kering dan tak berima”. Nah, itu menunjukkan bahwa para pengkritik yang tak ahli dan kritis dihiraukan saja oleh para kawan penyair –persetan— buat mereka yang tak kritis, dan “tanyakan kenapa ia tak berberita saja/ tentang Alpha Centuri, misalnya”.

Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana dan sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cerminan keadaan masyarakat atau realitas sosial (Lan Watt via Damono, 1978:3). Terkait teori ini, ada pada sajak “TIDAK SEMUA NYANYI”: akan selalu ada yang bertahan waalau keadaan tergoncang: “Tidak semua pohon gementar oleh badai/ tidak semua benih membenci tanah gersang/ tidak semua buah memamerkan manisnya/ tidak semua cinta menggerus jantung hati/ tidak semua jantung rela akan denyutnya”, tampak jelas, ini gambaran realitas sosial, bahwa tidak semua orang itu idealismenya kalah dengan keadaan. Masih ada yang bisa bertahan, di era yang penghabisan ini –idealisme, nilai-nilai moral, kebaikan, kebermanfaatan, dll.— masih ada yang bertahan dan harus tetap bertahan. Manusia-manusia yang bertahan itu (seolah sebagai puisi dalam sajak ini) “Tidak setitik darah pun menetes ke puisi ini//”.

Ketiga, fungsi sosial sastra. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” (Damono, 1978:4). Karena tidak adanya sajak Nyoman yang menggambarkan fungsi sosial sastra, maka (Grebstein via Damono, 1978: 4—5) menjawabnya, yaitu “a) Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya; b) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya; c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakekatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-seorang; d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: yaitu faktor material istimewa dan sebagai tradisi; Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih; ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuatr tertentu; f) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa datang.”

Dalam kesimpulannya, Dua Marga merupakan proyeksi heteronim dua kepribadian atas dua penyair yang dicantumkan dalam buku, yaitu Halima Puti Djamhari dan Nyoman Hambulu Adwaita. Nama pertama, Halima, sajak-sajaknya dikemas dalam bab “SAMUDANA”. Bab itu yang membuat saya menyiasati sajak-sajak Halima dengan teori-teori cinta. Kemudian, yang kedua, Nyoman, sajak-sajaknya dikemas dalam bab “ALINGGANA”. Walaupun alinggana berkaitan dengan cinta –yaitu pelukan dan bercumbu. Namun, saya berusaha mengambil sisi yang beda, yaitu sajak-sajak yang berkaitan dengan nilai sosial –sosiologi sastra. Kedua bab tersebut tercantum masing-masing 30 sajak. Hingga pada akhirnya, saya perlu mencantumkan juga hutang rasa Nirwan Dewanto kepada kedua nama tersebut pada akhir esai ini.

Dua Marga adalah cara saya membayar hutang saya, dengan seksama, kepada dua penyair itu. Paling tidak, kami, tiga nama, sudah saling bertukar selubung, jalan, dan sarira” –Nirwan Dewanto (Dewanto, 2022: 113).

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »