Kisah Maling yang Tolol
Muhammad Ilfan Zulfani
Ini adalah kisah seorang pencuri dan sehelai
sapu tangan.
Saat dalam
keadaan hampir tertidur, pada suatu malam, aku terjaga lagi karena suara-suara
tidak normal yang tiba-tiba kudengar. Aku punya gejala hiperakusis, sebuah
kondisi yang membuatku sangat sensitif dengan suara-suara yang sebenarnya
sepele.
Itu jenis
suara yang cukup jarang kudengar di tengah malam begini. Biasanya aku hanya
mendengar suara pintu kamar mandi berderit di malam hari karena lupa ditutup,
suara gemuruh pendingin ruangan, detak jam dinding, atau… suara-suara batin
yang sahut-menyahut di dalam pikiranku.
Tapi malam ini
aku mendengar seseorang sedang berjalan berjingkat-jingkat, cukup jelas.
Apalagi dia kadang juga menginjakkan kakinya dengan normal, makin jelas.
Aku segera
bangun dari tempat tidur. Dan, ah sial, karena aku masih dalam keadaan tidak
sepenuhnya sadar, aku melakukan gerakan bangun dengan cepat sehingga membuat
kasurku yang tidak begitu kokoh ini berbunyi.
Suara yang aku
dengar selanjutnya adalah suara kaki yang berlari, dan lalu, motor yang digas
kencang. Barangkali dia memang mengira seseorang telah bangun dengan suara
denyit kasur itu.
Dalam
kalkulasi rasional si maling, kabur berlari dan mengegas motor dengan kencang
lebih mungkin selamat daripada hanya berupaya bersembunyi di dalam rumah,
melawan penghuni, ataupun kabur dengan gerakan diam-diam.
Bisa jadi dia
telah mempelajari hal tersebut di dalam buku 1001 Teknik Mencuri Agar Tidak Ketahuan atau Setidaknya Tidak
Tertangkap. Tak usah kaucari buku itu benar-benar ada atau tidak.
Karena aku
sudah ngantuk, aku tidak memeriksa barang apa yang hilang. Hanya mengunci pagar
dan pintu, lalu tidur kembali. Toh,
peristiwa pencurian itu telah terjadi.
Keesokan
harinya aku baru memeriksa isi rumah dan mendapati satu buah laptop mahal
meski-mereknya-tidak-begitu-terkenal, setumpuk uang tunai sebanyak satu juta
dua puluh lima ribu rupiah, dan dua buah ponsel kebanggaan Steve Jobs raib.
Aku
menghembuskan nafas syukur karena teringat semua data-data penting di semua
gawaiku telah kucadangkan di cloud.
Aku segera menuju gawai yang tersisa yakni sebuah komputer ber-CPU —yang tentu
saja agak ribet diangkut si maling— untuk mengeluarkan akun Google-ku di semua
gawai serta mengganti kata sandinya. Beres.
Ketiga barang
yang hilang tadi ada di meja yang sama dan mereka tampil begitu vulgar di ruang
tengah, tepatnya di depan televisi. Mudah sekali buat si maling.
Baru saja aku
ingin melanjutkan hari, tiba-tiba aku melihat sehelai sapu tangan berwarna biru
teronggok di atas lantai.
Ya… ya… aku
ingat. Sapu tangan itu terakhir kali aku letakkan di depan televisi bersama
barang-barang yang hilang tadi. Aku taruh di situ setelah melipatnya dengan
takzim, rapi sudut-sudutnya, dan tentu saja setelah kusemprotkan parfum
terbaik.
Hanya sapu
tangan ini saja yang tak diangkut si maling.
Wah, waduh,
gila! Mana bisa?
Aku telah
memaafkan si maling, sembilan menit setelah dia kabur dari rumahku atau empat
menit sebelum aku terlelap. Tapi kali ini aku menarik pemberian maaf itu.
Bagaimana bisa
seorang maling tidak mencuri sapu tanganku?
Pagi ini, aku
berangkat kerja dengan perasaan hati yang tidak nyaman. Baju dari penatu yang
biasanya kusetrika lagi agar lebih rapi, pagi itu tidak aku lakukan. Sarapan
nasi uduk yang dibeli di depan komplek tidak kuhabiskan. Aku pun berangkat
kerja dengan ojek daring, tidak dengan motor seperti yang sudah jadi kebiasaan.
Khawatir terjadi apa-apa di jalan dengan perasaan galau demikian.
“Kamu kenapa?”
kata salah seorang rekan kerjaku, “lebih pendiam dari biasanya”.
“Tidak
apa-apa.”
“O iya. Tumben
pakai komputer kantor. Biasanya bawa sendiri.”
“Laptopku
dicuri.”
“Oh, sebab itu
kamu bersedih?”
“Bukan.”
“Selain itu,
memangnya apa lagi yang dicuri?”
“Uang sekitar
1 juta dan dua buah ponsel pintar.”
“Yang bikinan
Steve Jobs itu? Oh, wajar jika harta semewah dan semahal itu membuatmu
bersedih.”
“Bukan.”
Aku berusaha
fokus mengerjakan tugas di kantor hari itu dengan hati yang tercabik-cabik.
Begitu pukul empat sore, aku langsung cabut
dari kantor.
Hari itu aku
benar-benar berduka.
Malam hari
tiba dan, syukurlah, aku bisa tertidur meski dengan banyak pikiran.
Tapi “banyak
pikiran” ini telah membuatku lupa mengunci pintu.
Seorang maling
yang sepertinya lebih profesional masuk ke rumah dengan lebih rapi (aku tidak
tahu persis apakah dia maling yang sama dengan hari sebelumnya). Si pencuri tak
menghasilkan suara yang membuat penghuni curiga bahkan bagi seorang yang
mengidap hiperakusis sekalipun.
Apa yang
dicurinya? Televisi yang pernah kusinggung sebelumnya. Itu bukan televisi tipe
biasa. Harganya cukup mahal, dengan suara dan gambar yang sangat baik. Aku beli
karena aku bukan hanya hobi “menonton” film, tapi juga “merasakannya”. Harganya
11 juta rupiah (paragraf ini tidak seperti iklan, bukan?). Sangat lumayan buat maling yang mengambilnya
dengan cuma-cuma, terlebih dari pemiliknya yang teledor.
Ia pun
mengambil beberapa barang-barang elektronik kecil yang harganya juga lumayan
seperti earphone. Lagi-lagi, itu
bukan penyuara telinga murahan. Harganya hampir lima ratus ribu. Begitu juga powerbank yang harganya hampir enam
ratus ribu, mampu mengisi daya lebih cepat dan dengan kapasitas daya 10.000
mAh.
Tak salah aku
menyebutnya sebagai maling yang lebih profesional karena dia bisa mengangkut
televisi sebesar itu dengan lebih tidak berisik dibandingkan maling sebelumnya.
Dia juga bisa mengenali barang-barang kecil yang mahal.
Aku
langsung menyadarinya pagi itu karena hilangnya televisi yang besar itu
benar-benar mengubah pemandangan ruang tengah.
Aku
terkulai lemas bertopangkan sekujur kaki mirip posisi duduk di antara dua
sujud, menarik dan menghembuskan nafas lebih cepat seperti biasanya.
Tidak
cukup tragedi terjadi kemarin, ternyata hari ini pun tragedi yang sama
berulang.
Sapu
tangan itu tidak ikut dicuri. Bahkan lebih parah posisinya, bergeser pun tidak.
“Mengapa?”.
Itulah pertanyaanku hari ini yang memang sudah berkecamuk dari kemarin. Kini
pertanyaan itu seolah-olah berwujud hantu yang jauh lebih menyeramkan. “Mengapa
maling tidak tertarik dengan sapu tanganku?”
Si maling tadi
malam lebih cerdas dan berwawasan, lebih profesional, tapi ia juga tak ingin
sapu tanganku.
Pagi itu, aku
memutuskan untuk tidak berangkat kerja. Ku kirim WA pemberitahuan cuti ke bapak
direktur. "Bos. Aku cuti hari ini. Terima kasih". Aku sudah tidak
menghiraukan lagi apa jawaban dari atasanku.
Hal yang aku
pikirkan adalah bagaimana caranya agar aku bisa mengundang maling itu lagi ke
rumahku. Dan yang terpenting, bagaimana agar dia mencuri sapu tangan itu.
Perlu Kawan
tahu, jangan dikira hal ini mudah. Tak ada maling yang akan datang karena aku
membuat status Whatsapp, "Hai kawan. Di rumahku ada dua kilogram emas
murni. Sila berkunjung,” kecuali di film-film.
Aku memutar
akal. Menimbang rencana-rencana.
Ya, sepertinya
aku bertemu jawabannya ketika membeli nasi uduk di depan komplek.
Dua orang yang
juga ikut mengantri menu sarapan sedang bergosip ria tentang seorang penghuni
komplek yang baru saja membeli motor baru yang mahal.
“Ih. Si anu
baru beli motor baru lagi, say. Gua
cek di Google, itu harganya 39 juta. Padahal belum ada satu tahun dia membeli
motor yang terakhir, sekarang beli yang baru lagi.”
“Iya ya.
Padahal kan dia cuma hidup sendiri. Ngapain juga punya motor dua. Kurang
kerjaan.”
“Mending buat
mahar nikahin lu, bisa kali ya?”
“Gila lu. Gue
emang janda. Tapi nggak sama berondong juga.”
Sampai di
rumah, nasi uduk kukesampingkan dulu. Segera aku cek saldo salah satu
rekeningku lewat ponsel android.
Tertulis:
Rp60.000.000. Cukup.
Aku lalu
membuka bungkus nasi uduk dan melahap isinya.
***
Sore tiba dan
aku akan melakukannya.
Aku pergi ke
dealer motor tak jauh dari komplek dan membeli roda dua yang lebih mahal dari
milik si “berondong”, seharga 49 juta
rupiah.
Esok harinya,
jam lima sore, roda dua berbodi besar yang kupesan itu datang diantar mobil
pick-up.
Sengaja aku
meminta diantar pada waktu tersebut karena jam-jam segitu jalanan komplek
ramai. Para karyawan atau pegawai baru pulang dari tempat kerja, para remaja
bermain bola dan ibu-ibu merumpi sambil menyuapi anak kecilnya makan sore.
Sebelumnya
kuberi tahu sopir yang mengantar motorku agar membawa mobil pelan-pelan saja di
jalan komplek karena orang komplek suka keheningan dan banyak anak-anak
berkeliaran.
Lalu, kubuka
aplikasi WhatsApp, tekan “archived”.
Ada grup
“Warga Komplek Nyaman Asri” di situ dengan 320 pesan belum dibaca.
Kuketik di
sana:
“Assalamu’alaikum.
Bapak dan ibu penghuni komplek yang terhormat. Sudi kiranya besok malam selepas
Maghrib menghadiri acara selamatan umrah di rumah saya. Terima kasih.”
Tidak selang
berapa lama, kira-kira ada 15 pesan masuk yang berisi jawaban salam,
penyanggupan kalau akan hadir besok, serta ucapan doa-doa semoga umrahku
lancar.
***
Azan maghrib
mulai berkumandang, suaranya masuk ke sisi-sisi rumah para penghuni komplek
tepat setelah mobil box catering selesai mengantarkan pesananku.
Dua puluh lima
menit setelahnya, sehabis wirid bakda sholat, para jamaah sholat maghrib datang
berduyun-duyun. Yang ibu-ibu kebanyakan berangkat dari rumahnya masing-masing.
Ada juga bocah-bocah.
“Bapak-bapak,
ibu-ibu, adik-adik. Terima kasih sudah berkenan datang. Saya mohon doa agar
ibadah umrah saya dilancarkan dan diberkahi. Besok lusa berangkat,” ujarku
memulai acara.
Prosesi
selamatan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan zikir, ayat-ayat kitab suci,
dan doa-doa. Semua dipimpin oleh imam masjid. Setelah selesai, aku dibantu oleh
dua-tiga pemuda komplek mengedarkan nasi kotak ke setiap yang hadir.
“Umrah
pertama, nak?” tanya Haji Rokhib.
Eh? Aku
bingung menjawabnya. Iya, aku sudah pernah umrah. Tapi bagaimana menjawab soal
ini?
“Iya, Pak.”
Kata-kata itu meluncur saja.
“Semoga
perjalanan umrahnya lancar, Nak.”
Acara kemudian
dilanjutkan oleh ngobrol-ngobrol sebentar antar yang hadir. Lalu, azan isya
berkumandang, memutus setiap obrolan. Semuanya diam dalam kesunyian
masing-masing sembari menjawab setiap bait azan.
Persis dua
detik setelah azan berhenti, seorang dari yang hadir berseru, “Allahumma sholli
‘ala Sayyidina Muhammad!”. Para hadirin hampir serentak menjawab, “Allahumma
sholli ‘alaih!”.
Mereka berdiri
dan bergantian keluar melangkah dari pintu rumah. Sebagian dari mereka
menyalamiku, menyampaikan doa-doa. Ada pula yang menitipkan secarik kertas,
memintaku untuk membacakan hajat-hajat mereka di tempat yang mustajab di doa
kota suci.
****
Dua hari
kemudian.
Di dalam kamar
sempit sebuah penginapan seratus ribuan, aku menyalakan laptop yang kupinjam
dari seorang teman. Kubuka situs penyedia jasa keamanan, mengetikkan alamat
surel dan kata sandi, lalu mengklik bagian “CCTV”.
Di layar
laptop sekarang terpampang pemandangan bagian-bagian yang ada di rumahku: depan
rumah, ruang tengah, dan garasi.
Tampak di
dalam garasi, sebuah motor yang baru kubeli itu. Sangat gagah. Masih dibungkus
plastik. Kontras sekali dengan motor lamaku (ya, sesuatu akan terlihat lebih
buruk hanya saat kita membandingkannya).
Sementara di
ruang tengah, tepatnya di dalam sebuah laci besar, aku telah menempatkan sebuah
brankas yang telah dikunci.
Rencana-rencana
ini telah kubangun dan tak mungkin gagal. Aku akan memastikan maling itu, atau siapapun
malingnya, tak bersikap kurang ajar lagi.
Hari pertama
berlalu dan tak ada siapapun yang datang.
Hari
berikutnya, tak ada juga. Hanya seorang kucing yang mengendus-ngendus pintu
rumah.
Hari ketiga.
Aku terbangun jam dua malam dan tidak bisa langsung melanjutkan tidur lagi
karena ada beberapa sentimeter atau desimeter kubik air yang hendak tumpah dari
tubuhku. Maksudku, air kencing.
Yang ditunggu
akhirnya datang juga.
Setelah aku
selesai buang air kecil, kulihat pemandangan yang berbeda di layar laptop. Ada
sesosok berpakaian hitam, berkupluk hitam, bermasker hitam, sedang
mengutak-ngatik lubang kunci di pintu rumahku (yang juga berwarna hitam).
Sungguh kebetulan, aku bisa melihat peristiwa ini secara live.
Kukira dia
adalah seorang pemuda berusia awal dua puluhan (lagi-lagi aku tidak tahu apakah
dia pencuri yang sama dengan kejadian pertama dan kedua).
Hanya butuh
tiga-empat menit, dia berhasil membuka pintu itu.
Ia tak akan
menyadari ada CCTV di tiga sudut rumah ini karena letaknya tersembunyi, kubeli
mahal. Tapi aku tak sanggup membeli CCTV dengan fitur lebih baik lagi, yang
juga bisa merekam suara.
Si pencuri ini
gerakannya cukup cepat. Tentu ia tidak khawatir akan membangunkan siapapun di
rumah ini karena ia telah tahu bahwa penghuninya yang hidup sendiri sedang
“berangkat umrah”. Aku sendiri yang mengumumkannya, termasuk kabar bahwa ada
motor baru di rumah ini yang harganya nyaris 50 juta rupiah.
Dua menit
kemudian, dia berhasil membuka pintu garasi. Aku bisa merasakan pencuri itu
tersenyum licik saat melihat kendaraan mewah di depannya. Oh, andai saja, andai
dia mengetahui bahwa aku menyaksikan seluruh perbuatannya dan bahwa dia akan
terjebak di dalam sebuah muslihat.
“Bocil” itu
tidak serta merta membobol kunci motor sementara dia tidak diburu-buru oleh
keadaan apapun. Malam pun masih teramat panjang.
Ia lalu keluar
dari garasi dan kembali ke dalam rumah. Ia mengedarkan pandangan ke sudut-sudut
rumah untuk mencari sesuatu.
Pertama ia ke
kamarku dan sepertinya membuka laci-laci yang ada di sana (aku tak bisa
melihatnya karena tidak ada CCTV disitu). Ia keluar tanpa membawa apapun.
Nihil. “Bukan di situ, sobat!” seruku dari sini.
Maling itu
menggaruk-garuk kepalanya. Lantas ia melihat lemari buku-bukuku. Di sana ada
map-map yang menarik perhatiannya. Ia membuka berkas-berkas itu dengan gerakan
cukup cepat. Lima menit, ia tak menemukan yang dicarinya.
“Ayo. Sedikit
lagi!”. Aku tak sabaran.
Nah. Dia
sekarang menuju laci besar itu! Hahaha! Satu, dua, tiga. Kurasakan ia sumringah
tetapi sekaligus kaget ketika melihat brankas itu. Ia menggaruk-garuk kepalanya
lagi. Terdiam sebentar, lantas menarik ponsel dari kantongnya.
“Mau apa kamu?
Buka WikiHow?” batinku. “Ayolah, kukira kamu maling yang pintar!”
Oh, tidak. Dia
menelepon seseorang. Mungkin teman pencurinya.
Seseorang yang
diteleponnya itu seperti memberikan tutiorial kepada si maling. Sepuluh. Lima
belas menit. Ia belum berhasil membobol brankas menggunakan beberapa alat yang ia
bawa di tas kecil.
Ia tentu cukup
pintar untuk tidak membawa saja brankas itu dan lalu membongkarnya dengan pelan
dan teliti di tempat yang aman, atau membawanya ke seorang ahli. Ia membutuhkan
kunci motor yang asli agar kondisi motor tidak meninggalkan bekas, tetap
seperti baru. Harganya tentu beda. Apalagi kalau dokumen-dokumen kendaraan juga
berada di “kotak hitam” itu.
Tapi,
aku gembira. Aku memang mengharapkan ia berhasil membongkar brankas itu, tapi
tidak dengan cara yang sat-set-sat-set. Kesusahan akan menghasilkan
penghargaan. Orang-orang cenderung tidak menghargai apa yang didapatnya dengan
mudah.
Sepertinya
akan lama. Perutku lapar. Aku memesan makanan secara daring.
Tiga puluh
menit kemudian, seperti perkiraanku, ia memang belum berhasil membobol brankas.
Ponsel bergetar. Aku turun ke lobi penginapan untuk mengambil paket nasi dan
ayam tepung plus minuman ringan.
Setelah
mencuci tangan, aku mulai menyantap makanan cepat saji ini.
Laki-laki itu
berhenti. Ia lalu duduk dengan kaki yang diselonjorkan dan tangan menopang
tubuh di sisi kiri dan kanan. “Lelah ya?” bisikku, seolah-olah dia bisa
mendengar.
Ayam drumstick ini sudah habis. Untunglah
paket yang kupesan berisi dua potong ayam. Kini aku mulai menyantap nasi yang
tersisa dengan potongan sayap.
Mulutku terasa
terlalu berminyak. Saatnya menyedot minuman ringan bersoda ini. Segar.
Wajahku
kembali menatap layar laptop dan mendapati lelaki itu sudah lenyap. Aku sedikit
panik karena ia tidak bisa dilihat lewat tiga kamera CCTV.
Ternyata ia
keluar dari arah dapur membawa botol kaca besar yang berisi air dingin. Pencuri
itu menegaknya langsung dari botol tanpa menyentuhkan bibirnya ke mulut botol.
Tentu tak kalah segar dengan soft drink ini meski rasanya hambar.
Baiklah
maling, kau sudah minum. Aku juga sudah minum. Mari lanjutkan usahamu!
Ia
mengelus-ngelus brankas itu, juga memukul-mukulnya seperti rebana. Kemudian
kembali ke posisi membongkar brankas. Ia tak menelepon, kali ini ia menonton
sesuatu di ponselnya. Apa ia membuka Youtube?
Sepertinya
iya. Ponselnya dalam posisi landscape.
Sepuluh menit.
Ia berhenti nge-Youtube. Lalu mengutak-ngutik brankas lagi.
Sepuluh menit
lainnya berlalu. Ia menyentuh layar ponsel lagi. Lagi-lagi sepuluh menit
berlalu. Ia kembali mengutak-atik brankas.
Lalu nonton
Youtube lagi selama sepuluh menit. Dan… kembali mencoba membobol brankas.
Tiba-tiba
maling itu meloncat-loncat. Tangannya memukul-mukul angkasa. Aku bisa
“mendengar” ia bersorak-sorai di sana.
Pintu brankas
itu terbuka.
Jantungku berdegup
kencang. Maling itu sekali lagi mengepalkan tangannya, dan
menggerak-gerakannya. Selebrasi.
Lalu ia
melihat isi brankas itu. Sebuah kotak biru terbuat dari kardus premium telah
kuletakkan di sana. Ia menarik kotak itu dan membukanya.
Ia menarik
barang berharga dari kotak itu. Disentuh-sentuhnya sebentar. Dan “buuuk”!
Kardus hitam itu dibantingnya. Sapu tangan itu dilemparnya, melayang, terjatuh
tak jauh dari kakinya.
“Babi! Babi!”
ia mendesiskan sumpah serapah, “Bajingaaaaaan!”
Aku tak bisa
mendengar ia mengucapkan kata-kata yang tak layak untuk cerpen anak-anak itu.
Tapi di sini,
aku juga meluncurkan kutukan untuk maling itu, yang ia juga tak bisa dengar.
“Maling tolol!
Maling tolol!” kataku. Aku membanting kotak kertas yang berisi tulang ayam dan sisa
saus, dan tak sengaja menyenggol gelas kertas yang masih berisi setengah
minuman bersoda, membanjiri celanaku.
“Tolol!”
Aku marah dan
sekaligus begitu kecewa. Muslihatku gagal. Adalah satu jam di malam itu aku
duduk terdiam bersandarkan dinding kasur. Mengingatnya.
Mengingat
kalimat pertama yang ia ucapkan. Aku hafal satu per satu kata dari apa yang ia
ucapkan.
Ia duduk di
depanku, di kereta kelas bawah murah meriah yang membawaku dari Jakarta menuju
Pasuruan.
“Maaf Mas,
kaos sampean terbalik.”
Tiga menit ia
duduk di situ, setelah merapikan bawaan dan mematut-matut posisi duduk, dan
menatapku sebentar, lalu diucapkannya kalimat itu.
Yang terjadi berikutnya adalah
percakapan-percakapan yang tiada habisnya. Ternyata ia adalah aktris spesial di
ibu kota, spesialisasinya pemeran dengan bagian kecil —tak pernah lebih dari
lima dialog. Ia sekarang dalam perjalanan pulang ke salah satu kota di Jawa
Timur, kampung halamannya, karena pemerintah kota setempat sedang mengadakan casting terbuka untuk film yang akan
dibuat —khusus “akamsi”.
Kukatakan
padanya bahwa proyek film oleh pemerintah daerah pasti bukanlah film yang
muluk-muluk.
Si perempuan
berseloroh, “Maksud kau bukan film yang muluk-muluk itu artinya film yang
jelek, ‘kan?”
Lalu dia
bilang kalau maksud utamanya hanya ingin menjadi aktris utama saja,
dikesampingkannya mimpi-mimpi ingin menjadi aktris utama dengan karakter yang
kuat seperti para pemenang Academy Awards atau minimal Piala Citra. Berbekal curriculum vitae pernah punya beberapa
dialog di hampir dua puluh film layar lebar, ia yakin akan ditunjuk menjadi
pemeran utama.
“Aku cukup
cantik, ‘kan? Bagaimana menurutmu?”
Aku tidak siap
dengan dengan pertanyaan itu, salah tingkah, dan tiba-tiba bersin. Tanganku
berlumur dahak karena menghalangi mulut.
“Hahahaha!
Gitu aja salting, lo!” katanya. Dia mengambil sesuatu dari tasnya, sebuah sapu
tangan. “Ini emang bekas ingus gue. Tapi udah gue cuci bersih kok. Buat lu aja.
Gue punya banyak!”
Aku mengambil
sapu tangan itu dan melanjutkan perbincangan soal hantu-hantu di Semarang
—kereta kami baru saja melewati Stasiun Semarang Poncol.
Ia pernah
syuting film horor di Semarang. “Itu adalah satu dari dua film yang aku
dikategorikan sebagai pemeran pendukung. Masuk kredit! Dan ada belasan dialog
yang aku ucapkan! Tapi sayang filmnya nggak laku, hahaha. Film horor Indonesia
dua belas tahun yang lalu, tahu ‘kan bagaimana kualitasnya?”
Tak selang
berapa lama dari percakapan terakhir tadi, aku sudah tidak mengingat percakapan
apa-apa lagi. Tertidur. Ketika bangun, aku mendapati kursi di depan kosong.
Stasiun yang ia mestinya turun di situ, sudah lewat.
Dalam
hari-hari kemudian, aku menelusuri film horor yang berlatar belakang Semarang,
rilis dua belas tahun yang lalu. Nihil. Film yang dimaksud tak kutemukan. Dalam
dua tahun terakhir ini, aku juga memaksa diri lebih banyak menonton film-film
Indonesia (sangat sedikit film Indonesia yang kulewatkan) yang lama dan yang
baru, dan tak pernah kulihat sosoknya muncul di antara film-film itu. Tak ada
juga namanya, Elya Sufina, muncul di kredit.
Apakah ia
benar-benar aktor? Atau telah meng-aktor-kan dirinya di sepanjang perjalanan
kereta itu?
Film proyek
pemerintah kota itu juga aku search,
hanya ada beberapa informasi awal soal rencana pembuatan film. Dan sampai kini,
tak pernah ada kabar apa-apa lagi di internet. Aku mafhum kalau soal ini.
Bersama
perasaan-perasaan yang tak kunjung reda, hanya sapu tangan itu yang tersisa
dari dirinya. Kucuci pun jarang sekali karena khawatir air dan detergen akan
melunturkan sisa-sisa kenangan yang melekat, yang tak pernah dan mungkin tak
akan dipahami si maling yang tolol itu.