Kisah Maling yang Tolol - Muhammad Ilfan Zulfani

@kontributor 4/14/2024

Kisah Maling yang Tolol

Muhammad Ilfan Zulfani



Ini adalah kisah seorang pencuri dan sehelai sapu tangan.

Saat dalam keadaan hampir tertidur, pada suatu malam, aku terjaga lagi karena suara-suara tidak normal yang tiba-tiba kudengar. Aku punya gejala hiperakusis, sebuah kondisi yang membuatku sangat sensitif dengan suara-suara yang sebenarnya sepele.

Itu jenis suara yang cukup jarang kudengar di tengah malam begini. Biasanya aku hanya mendengar suara pintu kamar mandi berderit di malam hari karena lupa ditutup, suara gemuruh pendingin ruangan, detak jam dinding, atau… suara-suara batin yang sahut-menyahut di dalam pikiranku.

Tapi malam ini aku mendengar seseorang sedang berjalan berjingkat-jingkat, cukup jelas. Apalagi dia kadang juga menginjakkan kakinya dengan normal, makin jelas.

Aku segera bangun dari tempat tidur. Dan, ah sial, karena aku masih dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, aku melakukan gerakan bangun dengan cepat sehingga membuat kasurku yang tidak begitu kokoh ini berbunyi.

Suara yang aku dengar selanjutnya adalah suara kaki yang berlari, dan lalu, motor yang digas kencang. Barangkali dia memang mengira seseorang telah bangun dengan suara denyit kasur itu.

Dalam kalkulasi rasional si maling, kabur berlari dan mengegas motor dengan kencang lebih mungkin selamat daripada hanya berupaya bersembunyi di dalam rumah, melawan penghuni, ataupun kabur dengan gerakan diam-diam.

Bisa jadi dia telah mempelajari hal tersebut di dalam buku 1001 Teknik Mencuri Agar Tidak Ketahuan atau Setidaknya Tidak Tertangkap. Tak usah kaucari buku itu benar-benar ada atau tidak.

Karena aku sudah ngantuk, aku tidak memeriksa barang apa yang hilang. Hanya mengunci pagar dan pintu, lalu tidur kembali. Toh, peristiwa pencurian itu telah terjadi.

Keesokan harinya aku baru memeriksa isi rumah dan mendapati satu buah laptop mahal meski-mereknya-tidak-begitu-terkenal, setumpuk uang tunai sebanyak satu juta dua puluh lima ribu rupiah, dan dua buah ponsel kebanggaan Steve Jobs raib.

Aku menghembuskan nafas syukur karena teringat semua data-data penting di semua gawaiku telah kucadangkan di cloud. Aku segera menuju gawai yang tersisa yakni sebuah komputer ber-CPU —yang tentu saja agak ribet diangkut si maling— untuk mengeluarkan akun Google-ku di semua gawai serta mengganti kata sandinya. Beres. 

Ketiga barang yang hilang tadi ada di meja yang sama dan mereka tampil begitu vulgar di ruang tengah, tepatnya di depan televisi. Mudah sekali buat si maling.

Baru saja aku ingin melanjutkan hari, tiba-tiba aku melihat sehelai sapu tangan berwarna biru teronggok di atas lantai.

Ya… ya… aku ingat. Sapu tangan itu terakhir kali aku letakkan di depan televisi bersama barang-barang yang hilang tadi. Aku taruh di situ setelah melipatnya dengan takzim, rapi sudut-sudutnya, dan tentu saja setelah kusemprotkan parfum terbaik.

Hanya sapu tangan ini saja yang tak diangkut si maling.

Wah, waduh, gila! Mana bisa?

Aku telah memaafkan si maling, sembilan menit setelah dia kabur dari rumahku atau empat menit sebelum aku terlelap. Tapi kali ini aku menarik pemberian maaf itu.

Bagaimana bisa seorang maling tidak mencuri sapu tanganku?

Pagi ini, aku berangkat kerja dengan perasaan hati yang tidak nyaman. Baju dari penatu yang biasanya kusetrika lagi agar lebih rapi, pagi itu tidak aku lakukan. Sarapan nasi uduk yang dibeli di depan komplek tidak kuhabiskan. Aku pun berangkat kerja dengan ojek daring, tidak dengan motor seperti yang sudah jadi kebiasaan. Khawatir terjadi apa-apa di jalan dengan perasaan galau demikian.

“Kamu kenapa?” kata salah seorang rekan kerjaku, “lebih pendiam dari biasanya”.

“Tidak apa-apa.”

“O iya. Tumben pakai komputer kantor. Biasanya bawa sendiri.”

“Laptopku dicuri.”

“Oh, sebab itu kamu bersedih?”

“Bukan.”

“Selain itu, memangnya apa lagi yang dicuri?”

“Uang sekitar 1 juta dan dua buah ponsel pintar.”

“Yang bikinan Steve Jobs itu? Oh, wajar jika harta semewah dan semahal itu membuatmu bersedih.”

“Bukan.”

Aku berusaha fokus mengerjakan tugas di kantor hari itu dengan hati yang tercabik-cabik. Begitu pukul empat sore, aku langsung cabut dari kantor.

Hari itu aku benar-benar berduka.

Malam hari tiba dan, syukurlah, aku bisa tertidur meski dengan banyak pikiran.

Tapi “banyak pikiran” ini telah membuatku lupa mengunci pintu.

Seorang maling yang sepertinya lebih profesional masuk ke rumah dengan lebih rapi (aku tidak tahu persis apakah dia maling yang sama dengan hari sebelumnya). Si pencuri tak menghasilkan suara yang membuat penghuni curiga bahkan bagi seorang yang mengidap hiperakusis sekalipun.

Apa yang dicurinya? Televisi yang pernah kusinggung sebelumnya. Itu bukan televisi tipe biasa. Harganya cukup mahal, dengan suara dan gambar yang sangat baik. Aku beli karena aku bukan hanya hobi “menonton” film, tapi juga “merasakannya”. Harganya 11 juta rupiah (paragraf ini tidak seperti iklan, bukan?).  Sangat lumayan buat maling yang mengambilnya dengan cuma-cuma, terlebih dari pemiliknya yang teledor.

Ia pun mengambil beberapa barang-barang elektronik kecil yang harganya juga lumayan seperti earphone. Lagi-lagi, itu bukan penyuara telinga murahan. Harganya hampir lima ratus ribu. Begitu juga powerbank yang harganya hampir enam ratus ribu, mampu mengisi daya lebih cepat dan dengan kapasitas daya 10.000 mAh.

Tak salah aku menyebutnya sebagai maling yang lebih profesional karena dia bisa mengangkut televisi sebesar itu dengan lebih tidak berisik dibandingkan maling sebelumnya. Dia juga bisa mengenali barang-barang kecil yang mahal.

            Aku langsung menyadarinya pagi itu karena hilangnya televisi yang besar itu benar-benar mengubah pemandangan ruang tengah.

            Aku terkulai lemas bertopangkan sekujur kaki mirip posisi duduk di antara dua sujud, menarik dan menghembuskan nafas lebih cepat seperti biasanya.

            Tidak cukup tragedi terjadi kemarin, ternyata hari ini pun tragedi yang sama berulang.

            Sapu tangan itu tidak ikut dicuri. Bahkan lebih parah posisinya, bergeser pun tidak.

            “Mengapa?”. Itulah pertanyaanku hari ini yang memang sudah berkecamuk dari kemarin. Kini pertanyaan itu seolah-olah berwujud hantu yang jauh lebih menyeramkan. “Mengapa maling tidak tertarik dengan sapu tanganku?”

Si maling tadi malam lebih cerdas dan berwawasan, lebih profesional, tapi ia juga tak ingin sapu tanganku.

Pagi itu, aku memutuskan untuk tidak berangkat kerja. Ku kirim WA pemberitahuan cuti ke bapak direktur. "Bos. Aku cuti hari ini. Terima kasih". Aku sudah tidak menghiraukan lagi apa jawaban dari atasanku.

Hal yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya agar aku bisa mengundang maling itu lagi ke rumahku. Dan yang terpenting, bagaimana agar dia mencuri sapu tangan itu.

Perlu Kawan tahu, jangan dikira hal ini mudah. Tak ada maling yang akan datang karena aku membuat status Whatsapp, "Hai kawan. Di rumahku ada dua kilogram emas murni. Sila berkunjung,” kecuali di film-film.

Aku memutar akal. Menimbang rencana-rencana.

Ya, sepertinya aku bertemu jawabannya ketika membeli nasi uduk di depan komplek.

Dua orang yang juga ikut mengantri menu sarapan sedang bergosip ria tentang seorang penghuni komplek yang baru saja membeli motor baru yang mahal.

“Ih. Si anu baru beli motor baru lagi, say. Gua cek di Google, itu harganya 39 juta. Padahal belum ada satu tahun dia membeli motor yang terakhir, sekarang beli yang baru lagi.”

“Iya ya. Padahal kan dia cuma hidup sendiri. Ngapain juga punya motor dua. Kurang kerjaan.”

“Mending buat mahar nikahin lu, bisa kali ya?”

“Gila lu. Gue emang janda. Tapi nggak sama berondong juga.”

Sampai di rumah, nasi uduk kukesampingkan dulu. Segera aku cek saldo salah satu rekeningku lewat ponsel android.

Tertulis: Rp60.000.000. Cukup.

Aku lalu membuka bungkus nasi uduk dan melahap isinya.

***

Sore tiba dan aku akan melakukannya.

Aku pergi ke dealer motor tak jauh dari komplek dan membeli roda dua yang lebih mahal dari milik si  “berondong”, seharga 49 juta rupiah.

Esok harinya, jam lima sore, roda dua berbodi besar yang kupesan itu datang diantar mobil pick-up.

Sengaja aku meminta diantar pada waktu tersebut karena jam-jam segitu jalanan komplek ramai. Para karyawan atau pegawai baru pulang dari tempat kerja, para remaja bermain bola dan ibu-ibu merumpi sambil menyuapi anak kecilnya makan sore.

Sebelumnya kuberi tahu sopir yang mengantar motorku agar membawa mobil pelan-pelan saja di jalan komplek karena orang komplek suka keheningan dan banyak anak-anak berkeliaran.

Lalu, kubuka aplikasi WhatsApp, tekan “archived”.

Ada grup “Warga Komplek Nyaman Asri” di situ dengan 320 pesan belum dibaca.

Kuketik di sana:

“Assalamu’alaikum. Bapak dan ibu penghuni komplek yang terhormat. Sudi kiranya besok malam selepas Maghrib menghadiri acara selamatan umrah di rumah saya. Terima kasih.”

Tidak selang berapa lama, kira-kira ada 15 pesan masuk yang berisi jawaban salam, penyanggupan kalau akan hadir besok, serta ucapan doa-doa semoga umrahku lancar.

***

Azan maghrib mulai berkumandang, suaranya masuk ke sisi-sisi rumah para penghuni komplek tepat setelah mobil box catering selesai mengantarkan pesananku.

Dua puluh lima menit setelahnya, sehabis wirid bakda sholat, para jamaah sholat maghrib datang berduyun-duyun. Yang ibu-ibu kebanyakan berangkat dari rumahnya masing-masing. Ada juga bocah-bocah.

“Bapak-bapak, ibu-ibu, adik-adik. Terima kasih sudah berkenan datang. Saya mohon doa agar ibadah umrah saya dilancarkan dan diberkahi. Besok lusa berangkat,” ujarku memulai acara.

Prosesi selamatan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan zikir, ayat-ayat kitab suci, dan doa-doa. Semua dipimpin oleh imam masjid. Setelah selesai, aku dibantu oleh dua-tiga pemuda komplek mengedarkan nasi kotak ke setiap yang hadir.

“Umrah pertama, nak?” tanya Haji Rokhib.

Eh? Aku bingung menjawabnya. Iya, aku sudah pernah umrah. Tapi bagaimana menjawab soal ini?

“Iya, Pak.” Kata-kata itu meluncur saja.

“Semoga perjalanan umrahnya lancar, Nak.”

Acara kemudian dilanjutkan oleh ngobrol-ngobrol sebentar antar yang hadir. Lalu, azan isya berkumandang, memutus setiap obrolan. Semuanya diam dalam kesunyian masing-masing sembari menjawab setiap bait azan.

Persis dua detik setelah azan berhenti, seorang dari yang hadir berseru, “Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad!”. Para hadirin hampir serentak menjawab, “Allahumma sholli ‘alaih!”.

Mereka berdiri dan bergantian keluar melangkah dari pintu rumah. Sebagian dari mereka menyalamiku, menyampaikan doa-doa. Ada pula yang menitipkan secarik kertas, memintaku untuk membacakan hajat-hajat mereka di tempat yang mustajab di doa kota suci.

****

Dua hari kemudian.

Di dalam kamar sempit sebuah penginapan seratus ribuan, aku menyalakan laptop yang kupinjam dari seorang teman. Kubuka situs penyedia jasa keamanan, mengetikkan alamat surel dan kata sandi, lalu mengklik bagian “CCTV”.

Di layar laptop sekarang terpampang pemandangan bagian-bagian yang ada di rumahku: depan rumah, ruang tengah, dan garasi.

Tampak di dalam garasi, sebuah motor yang baru kubeli itu. Sangat gagah. Masih dibungkus plastik. Kontras sekali dengan motor lamaku (ya, sesuatu akan terlihat lebih buruk hanya saat kita membandingkannya).

Sementara di ruang tengah, tepatnya di dalam sebuah laci besar, aku telah menempatkan sebuah brankas yang telah dikunci. 

Rencana-rencana ini telah kubangun dan tak mungkin gagal. Aku akan memastikan maling itu, atau siapapun malingnya, tak bersikap kurang ajar lagi.          

Hari pertama berlalu dan tak ada siapapun yang datang.

Hari berikutnya, tak ada juga. Hanya seorang kucing yang mengendus-ngendus pintu rumah.

Hari ketiga. Aku terbangun jam dua malam dan tidak bisa langsung melanjutkan tidur lagi karena ada beberapa sentimeter atau desimeter kubik air yang hendak tumpah dari tubuhku. Maksudku, air kencing.

Yang ditunggu akhirnya datang juga.

Setelah aku selesai buang air kecil, kulihat pemandangan yang berbeda di layar laptop. Ada sesosok berpakaian hitam, berkupluk hitam, bermasker hitam, sedang mengutak-ngatik lubang kunci di pintu rumahku (yang juga berwarna hitam). Sungguh kebetulan, aku bisa melihat peristiwa ini secara live.

Kukira dia adalah seorang pemuda berusia awal dua puluhan (lagi-lagi aku tidak tahu apakah dia pencuri yang sama dengan kejadian pertama dan kedua).

Hanya butuh tiga-empat menit, dia berhasil membuka pintu itu.

Ia tak akan menyadari ada CCTV di tiga sudut rumah ini karena letaknya tersembunyi, kubeli mahal. Tapi aku tak sanggup membeli CCTV dengan fitur lebih baik lagi, yang juga bisa merekam suara.

Si pencuri ini gerakannya cukup cepat. Tentu ia tidak khawatir akan membangunkan siapapun di rumah ini karena ia telah tahu bahwa penghuninya yang hidup sendiri sedang “berangkat umrah”. Aku sendiri yang mengumumkannya, termasuk kabar bahwa ada motor baru di rumah ini yang harganya nyaris 50 juta rupiah.

Dua menit kemudian, dia berhasil membuka pintu garasi. Aku bisa merasakan pencuri itu tersenyum licik saat melihat kendaraan mewah di depannya. Oh, andai saja, andai dia mengetahui bahwa aku menyaksikan seluruh perbuatannya dan bahwa dia akan terjebak di dalam sebuah muslihat.

“Bocil” itu tidak serta merta membobol kunci motor sementara dia tidak diburu-buru oleh keadaan apapun. Malam pun masih teramat panjang.

Ia lalu keluar dari garasi dan kembali ke dalam rumah. Ia mengedarkan pandangan ke sudut-sudut rumah untuk mencari sesuatu.

Pertama ia ke kamarku dan sepertinya membuka laci-laci yang ada di sana (aku tak bisa melihatnya karena tidak ada CCTV disitu). Ia keluar tanpa membawa apapun. Nihil. “Bukan di situ, sobat!” seruku dari sini.

Maling itu menggaruk-garuk kepalanya. Lantas ia melihat lemari buku-bukuku. Di sana ada map-map yang menarik perhatiannya. Ia membuka berkas-berkas itu dengan gerakan cukup cepat. Lima menit, ia tak menemukan yang dicarinya.

“Ayo. Sedikit lagi!”. Aku tak sabaran.

Nah. Dia sekarang menuju laci besar itu! Hahaha! Satu, dua, tiga. Kurasakan ia sumringah tetapi sekaligus kaget ketika melihat brankas itu. Ia menggaruk-garuk kepalanya lagi. Terdiam sebentar, lantas menarik ponsel dari kantongnya.

“Mau apa kamu? Buka WikiHow?” batinku. “Ayolah, kukira kamu maling yang pintar!”

Oh, tidak. Dia menelepon seseorang. Mungkin teman pencurinya.

Seseorang yang diteleponnya itu seperti memberikan tutiorial kepada si maling. Sepuluh. Lima belas menit. Ia belum berhasil membobol brankas menggunakan beberapa alat yang ia bawa di tas kecil.

Ia tentu cukup pintar untuk tidak membawa saja brankas itu dan lalu membongkarnya dengan pelan dan teliti di tempat yang aman, atau membawanya ke seorang ahli. Ia membutuhkan kunci motor yang asli agar kondisi motor tidak meninggalkan bekas, tetap seperti baru. Harganya tentu beda. Apalagi kalau dokumen-dokumen kendaraan juga berada di “kotak hitam” itu.

            Tapi, aku gembira. Aku memang mengharapkan ia berhasil membongkar brankas itu, tapi tidak dengan cara yang sat-set-sat-set. Kesusahan akan menghasilkan penghargaan. Orang-orang cenderung tidak menghargai apa yang didapatnya dengan mudah.

Sepertinya akan lama. Perutku lapar. Aku memesan makanan secara daring.

Tiga puluh menit kemudian, seperti perkiraanku, ia memang belum berhasil membobol brankas. Ponsel bergetar. Aku turun ke lobi penginapan untuk mengambil paket nasi dan ayam tepung plus minuman ringan.

Setelah mencuci tangan, aku mulai menyantap makanan cepat saji ini.

Laki-laki itu berhenti. Ia lalu duduk dengan kaki yang diselonjorkan dan tangan menopang tubuh di sisi kiri dan kanan. “Lelah ya?” bisikku, seolah-olah dia bisa mendengar.

Ayam drumstick ini sudah habis. Untunglah paket yang kupesan berisi dua potong ayam. Kini aku mulai menyantap nasi yang tersisa dengan potongan sayap.

Mulutku terasa terlalu berminyak. Saatnya menyedot minuman ringan bersoda ini. Segar.

Wajahku kembali menatap layar laptop dan mendapati lelaki itu sudah lenyap. Aku sedikit panik karena ia tidak bisa dilihat lewat tiga kamera CCTV.

Ternyata ia keluar dari arah dapur membawa botol kaca besar yang berisi air dingin. Pencuri itu menegaknya langsung dari botol tanpa menyentuhkan bibirnya ke mulut botol. Tentu tak kalah segar dengan soft drink ini meski rasanya hambar.

Baiklah maling, kau sudah minum. Aku juga sudah minum. Mari lanjutkan usahamu!

Ia mengelus-ngelus brankas itu, juga memukul-mukulnya seperti rebana. Kemudian kembali ke posisi membongkar brankas. Ia tak menelepon, kali ini ia menonton sesuatu di ponselnya. Apa ia membuka Youtube?

Sepertinya iya. Ponselnya dalam posisi landscape.

Sepuluh menit. Ia berhenti nge-Youtube. Lalu mengutak-ngutik brankas lagi.

Sepuluh menit lainnya berlalu. Ia menyentuh layar ponsel lagi. Lagi-lagi sepuluh menit berlalu. Ia kembali mengutak-atik brankas.

Lalu nonton Youtube lagi selama sepuluh menit. Dan… kembali mencoba membobol brankas.

Tiba-tiba maling itu meloncat-loncat. Tangannya memukul-mukul angkasa. Aku bisa “mendengar” ia bersorak-sorai di sana.

Pintu brankas itu terbuka.

Jantungku berdegup kencang. Maling itu sekali lagi mengepalkan tangannya, dan menggerak-gerakannya. Selebrasi.

Lalu ia melihat isi brankas itu. Sebuah kotak biru terbuat dari kardus premium telah kuletakkan di sana. Ia menarik kotak itu dan membukanya.

Ia menarik barang berharga dari kotak itu. Disentuh-sentuhnya sebentar. Dan “buuuk”! Kardus hitam itu dibantingnya. Sapu tangan itu dilemparnya, melayang, terjatuh tak jauh dari kakinya.

“Babi! Babi!” ia mendesiskan sumpah serapah, “Bajingaaaaaan!”

Aku tak bisa mendengar ia mengucapkan kata-kata yang tak layak untuk cerpen anak-anak itu.

Tapi di sini, aku juga meluncurkan kutukan untuk maling itu, yang ia juga tak bisa dengar.

“Maling tolol! Maling tolol!” kataku. Aku membanting kotak kertas yang berisi tulang ayam dan sisa saus, dan tak sengaja menyenggol gelas kertas yang masih berisi setengah minuman bersoda, membanjiri celanaku.

“Tolol!”

Aku marah dan sekaligus begitu kecewa. Muslihatku gagal. Adalah satu jam di malam itu aku duduk terdiam bersandarkan dinding kasur. Mengingatnya.

Mengingat kalimat pertama yang ia ucapkan. Aku hafal satu per satu kata dari apa yang ia ucapkan.

Ia duduk di depanku, di kereta kelas bawah murah meriah yang membawaku dari Jakarta menuju Pasuruan.

“Maaf Mas, kaos sampean terbalik.”

Tiga menit ia duduk di situ, setelah merapikan bawaan dan mematut-matut posisi duduk, dan menatapku sebentar, lalu diucapkannya kalimat itu.

 Yang terjadi berikutnya adalah percakapan-percakapan yang tiada habisnya. Ternyata ia adalah aktris spesial di ibu kota, spesialisasinya pemeran dengan bagian kecil —tak pernah lebih dari lima dialog. Ia sekarang dalam perjalanan pulang ke salah satu kota di Jawa Timur, kampung halamannya, karena pemerintah kota setempat sedang mengadakan casting terbuka untuk film yang akan dibuat —khusus “akamsi”.

Kukatakan padanya bahwa proyek film oleh pemerintah daerah pasti bukanlah film yang muluk-muluk.

Si perempuan berseloroh, “Maksud kau bukan film yang muluk-muluk itu artinya film yang jelek, ‘kan?”

Lalu dia bilang kalau maksud utamanya hanya ingin menjadi aktris utama saja, dikesampingkannya mimpi-mimpi ingin menjadi aktris utama dengan karakter yang kuat seperti para pemenang Academy Awards atau minimal Piala Citra. Berbekal curriculum vitae pernah punya beberapa dialog di hampir dua puluh film layar lebar, ia yakin akan ditunjuk menjadi pemeran utama.

“Aku cukup cantik, ‘kan? Bagaimana menurutmu?”

Aku tidak siap dengan dengan pertanyaan itu, salah tingkah, dan tiba-tiba bersin. Tanganku berlumur dahak karena menghalangi mulut.

“Hahahaha! Gitu aja salting, lo!” katanya. Dia mengambil sesuatu dari tasnya, sebuah sapu tangan. “Ini emang bekas ingus gue. Tapi udah gue cuci bersih kok. Buat lu aja. Gue punya banyak!”

Aku mengambil sapu tangan itu dan melanjutkan perbincangan soal hantu-hantu di Semarang —kereta kami baru saja melewati Stasiun Semarang Poncol.

Ia pernah syuting film horor di Semarang. “Itu adalah satu dari dua film yang aku dikategorikan sebagai pemeran pendukung. Masuk kredit! Dan ada belasan dialog yang aku ucapkan! Tapi sayang filmnya nggak laku, hahaha. Film horor Indonesia dua belas tahun yang lalu, tahu ‘kan bagaimana kualitasnya?”

Tak selang berapa lama dari percakapan terakhir tadi, aku sudah tidak mengingat percakapan apa-apa lagi. Tertidur. Ketika bangun, aku mendapati kursi di depan kosong. Stasiun yang ia mestinya turun di situ, sudah lewat.

Dalam hari-hari kemudian, aku menelusuri film horor yang berlatar belakang Semarang, rilis dua belas tahun yang lalu. Nihil. Film yang dimaksud tak kutemukan. Dalam dua tahun terakhir ini, aku juga memaksa diri lebih banyak menonton film-film Indonesia (sangat sedikit film Indonesia yang kulewatkan) yang lama dan yang baru, dan tak pernah kulihat sosoknya muncul di antara film-film itu. Tak ada juga namanya, Elya Sufina, muncul di kredit.

Apakah ia benar-benar aktor? Atau telah meng-aktor-kan dirinya di sepanjang perjalanan kereta itu?

Film proyek pemerintah kota itu juga aku search, hanya ada beberapa informasi awal soal rencana pembuatan film. Dan sampai kini, tak pernah ada kabar apa-apa lagi di internet. Aku mafhum kalau soal ini.

Bersama perasaan-perasaan yang tak kunjung reda, hanya sapu tangan itu yang tersisa dari dirinya. Kucuci pun jarang sekali karena khawatir air dan detergen akan melunturkan sisa-sisa kenangan yang melekat, yang tak pernah dan mungkin tak akan dipahami si maling yang tolol itu.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »