Mula-Mula Adalah Otak - Budi Darma

@kontributor 3/27/2020
Mula-Mula Adalah Otak 

Budi Darma




SASTRAMEDIA.COM - Rupanya banyak orang lupa, bahwa tidak semua orang hebat acak-acakan. Kendatipun benar orang-orang sinis seperti Nordau dan Lombroso pernah mengatakan bahwa orang-orang hebat tidak lain dan tidak bukan lunatik (baca: pengantar Prof. Sir Cyril Burt dalam buku Arthur Koestler, The Act of Creation, Dell Publishing Co., Inc., New York, 1964, hal. 13), tidak semua lunatik acak-acakan. Dan kalau toh betul orang-orang hebat hidup tidak karuan, tentunya yang menjadikan mereka hebat bukanlah cara hidup mereka. 

Setelah Rendra beberapa kali pergi ke Parangtritis bersama anak buahnya, dan kemudian menyambungnya dengan puncak yang dinamakannya perkemahan kaum urakan, orang-orang ramai-ramai menirunya. Tidak perlu kita menyebutkan satu per satu di mana mereka meniru Rendra, sebab pengamatan yang agak tumpul pun dapat mencium wabah ini. Pergi ke tempat yang jauh dari kota, entah dengan berjalan atau berkendaraan, berkumpul-kumpul, membaca puisi, dan berdebat-debatan, adalah peristiwa yang tidak satu kali kita dengar. 

Dalam suatu panel diskusi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Surabaya, Ajip Rosidi berkata bahwa orang-orang yang tinggal jauh dari Jakarta sudah terbiasa mendengar mengenai teater mini-kata, teater absurd, dan lain sebagainya. Selanjutnya dia berkata, "Hal ini tidak mustahil merangsang mereka untuk mencoba hal-hal yang sama, yang tidak usah mengherankan kalau hanya menyebabkan mereka sendiri diejek orang-orang sekelilingnya sebagai kurang waras."


Tentu saja ada beberapa faktor yang menyebabkan orang-orang di sekitar mereka menganggap mereka kurang waras. Mungkin orang-orang di sekitar mereka berjiwa tertutup, dan karena itu selalu mencurigai segala sesuatu yang asing sebagai musuh. Atau tidak mustahil, orang-orang yang merasa bahwa pembaharuan pada hakikatnya dangkal, yang kemampuannya hanya meniru-niru belaka. Dan kesenangan meniru-niru bersimaharajalela untuk mengimbangi istilah populer yang pernah dilatahkan orang: kelesuan kegiatan budaya. Rupanya kegiatan budaya identik dengan pembacaan puisi, diskusi, dan pementasan. 

Kesenangan meniru ini pulalah yang pernah dirasakan oleh sekian banyak orang ketika kota-kota lain membikin dewan kesenian setelah Jakarta mempunyai satu. Kendati pun Umar Kayam dalam salah satu pertemuan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Surabaya pernah mengajukan makalah yang antara lain berbunyi "pembentukan satu dewan kesenian- apakah di Jakarta atau di Surabaya -tentulah bukan sekadar untuk mengikuti suatu fashion atau 'mode' wajahnya suatu kota besar," andai kata Jakarta tidak mempunyai dewan kesenian yang lain-lain pun tidak akan mempunyainya. 

Tentu saja, di samping orang-orang yang menganggap meniru-niru, banyak pula orang yang menganggap perbuatan ini -entah mencoba-coba hal-hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Ajip Rosidi, atau mengadakan dewan-dewan kesenian seperti yang dikatakan Umar Kayam sebagai perbuatan kreatif. Mereka inilah yang dengan segala kegigihannya berusaha untuk menghapus apa yang pernah dipopulerkan orang sebagai kelesuan kegiatan budaya. 

Dan bukan hanya itu. Terbetiklah suatu berita, di suatu kota kecil pada suatu hari diadakan diskusi sastra. Nampaknya orang awam yang melihat diskusi ini cukup senang, setidaknya tidak meradang, karena diskusi ini biasa saja. Akan tetapi datanglah kemudian sesuatu yang mereka namakan acara puncak. Dan acara puncak ini memang betul-betul hebat. Ada yang membaca puisi sambil berjongkok dan menangis, berdiri lagi dan menyobek baju, kemudian lari ke kanan dan ke kiri, dan akhirnya berbuat seolah-olah pingsan sekejap. Itu belum apa-apa. Ada lagi sekelompok laki-laki dan perempuan yang menari-nari mengiringi pembacaan puisi Chairil Anwar. Berpakaian kotor seperti pengemis, mencorang-coreng muka, berjingkrak-jingkrak sambil menganga-ngangakan mulut dan membuih-buihkan air liur seperti orang ayan, mereka lakukan dengan tidak tanggung tanggung. Mereka ingin memanifestasikan hidup Chairil Anwar yang liar dan binal, katanya. Tentu saja orang-orang awam yang mula-mula menganggap sastra adalah biasa, sekarang mendapat kesan bahwa yang dinamakan sastra tak lain dan tak bukan adalah semacam kerja kesurupan. Apalagi, panitia dan pelaku-pelakunya dengan gagah sekali mengatakan itulah yang dinamakan sastra. Dan yang lebih mengherankan lagi: yang tidak mengerti sastra hendaknya minggir saja, kata mereka. Dan inilah yang mereka namakan kegiatan budaya. Tentu saja keadaan semacam ini terjadi tidak hanya di kota itu. 

Orang-orang semacam ini paling sedikit melupakan dua hal: bahwa sesungguhnyalah segala kehebatan mula-mula berpancar dari otak, dan bahwa sesungguhnyalah yang dinamakan seni bukanlah kejutan-kejutan demi kepentingan kejutan-kejutan. 

Tentu saja mempelajari otak orang-orang hebat bukanlah dengan meniru-niru perbuatan orang-orang hebat yang dalam beberapa hal ada yang acak-acakan. Mempelajari musik The Beatles dengan tekun lebih baik daripada menggondrongkan rambut, sebab, baik The Beatles maupun peniru-penirunya bukanlah Samson. Demikian juga, mempelajari otak Tom Jones dan John Lennon tentunya lebih baik daripada membuka celana sambil berjingkrak-jingkrak di muka umum. Mereka bukanlah nudis yang baik. Membaca puisi dengan tekun adalah lebih baik daripada beramai-ramai ke pantai. Jangan-jangan pada suatu saat kelak ada orang hebat yang suka memanjat pohon tinggi-tinggi sambil berteriak-teriak dan kemudian bertelanjang, maka peniru-penirunya pun berbuat sama supaya mereka bisa menjadi hebat. Memang karya besar tidak identik dengan perbuatan tidak keruan. Tentu saja meniru berbuat seperti orang berotak-miring tidak identik dengan meniru karya-karya besar.

Ketika Igor Stravinsky mempremierkan Le Sacre du Printemps di Paris pada tahun 1913, tentulah dia tidak bermaksud untuk mengadakan kejutan demi kepentingan kejutan. Bahwa kemudian orang-orang pada waktu itu saling melayangkan bogem mentah, dan bahwa Stravinsky akhirnya terpaksa meloncat jendela dan lari terbirit-birit, tentulah tidak terjadi semata-mata lantaran Le Sacre du Printemps hanyalah sekadar kejutan. Dan tentu saja mereka yang hanya mementingkan kejutan supaya dianggap hebat, telah gagal menangkap kepala karena hanya berhasil menyentuh ekor. Mereka melupakan, bahwa sumber dari segalanya di sini adalah kedalaman. Dan kedalaman ini terletak di otak, yang tidak mudah ditiru. 

Tentu saja kegiatan-kegiatan budaya semacam ini melahirkan tokoh-tokoh. Dan tidaklah mengherankan manakala ada tokoh yang ingin menaikkan jenjang ketokohannya. Ini normal. Persoalannya tentulah untuk menaikkan status ketokohan haruslah sama: seseorang menantang kemampuan otaknya. Namun manakala sekelompok orang yang ingin menjadi hebat berkumpul, persoalannya bisa menjadi lain. Mereka bisa mengadakan ceramah-ceramah sebagai penyair, pengarang, pelukis, atau entah sebagai apa lagi, yang notabene di kalangan mereka sendiri. Dan penyair ini akan memperbincangkan karyanya sendiri atau karya teman-temannya yang katanya juga penyair. Maka penyair yang karyanya telah dikupas ini pun akan tampil sebagai penyair dan menunjuk hidung teman-temannya sebagai penyair pula. Maka lahirlah penyair-penyair baru, setidaknya, untuk kalangan mereka sendiri. 

Menonton kegiatan budaya semacam ini rasanya mirip dengan menonton permainan musik pada suatu kenduri di desa, yang tentunya tidak dihadiri oleh penyanyi-penyanyi terkemuka. Berkatalah sang pengantar acara: "Sekarang akan muncul ke hadapan hadirin dan hadirat seorang penyanyi bernama anu yang sudah tidak asing lagi namanya." Tepuk hadirin yang kemudian disusul dengan ketuk-ketuk kaki di atas lantai mengikuti penyanyi yang katanya namanya sudah tidak asing itu, sayangnya dilakukan karena mereka tidak tahu dan tidak pernah menonton musik yang betul. 

Dan rupanya manusia memang sama. Terceritalah dua tokoh kocak dalam roman Sitti Nurbaya, masing-masing bernama Arifin dan Bachtiar. Ketika berjalan-jalan di gunung Padang, bertanyalah Arifin kepada Bachtiar yang terkenal suka kue-kue itu. Apa yang akan diperbuat oleh Bachtiar, seandainya setahun suntuk tidak pernah makan kue dan sekonyong-konyong dibawa ke toko Nyonya Jansen, demikianlah tanyanya. Tentu saja serta-merta Bachtiar mengatakan, dia akan menyikat semua kue sampai tidak kuat makan lagi. 

Dan manakala orang pernah meneriakkan kelesuan kegiatan budaya, ada saatnya orang akan berbincang seperti Arifin: "Oleh sebab terlalu kenyang, boleh jadi kau mendapat penyakit atau jemu kepada kue-kue" (baca: Sitti Nurbaya oleh' Marah Rusli, P.N. Balai Pustaka, Jakarta, cetak-ulang tahun 1965, hal., 29). Tentu saja kegiatan budaya yang rupanya identik dengan deklamasi, pembacaan puisi, pementasan, dan sebagainya tidak identik dengan makan kue, akan tetapi toh masih ada kesamaannya. Kalau kue-kue yang dimakan Bachtiar dari toko Nyonya Jansen di Padang itu kue-kue yang baik, masih untunglah dia. Tapi bagaimana keadaannya kalau dia disuruh makan kue-kue yang dibikin oleh orang-orang yang tidak tanu betul-betul bagaimana membikin kue-kue, melainkan oleh orang-orang yang mahir meniru membikin kue-kue, atau orang-orang yang oleh teman-temannya sendiri yang notabene bukan ahli kue-kue, disebut sebagai pembikin kue yang terkenal? 

Tentu saja yang dinamakan kegiatan budaya yang diadakan terus-menerus akan kehabisan tokoh yang harus ditampilkan. Manakala keadaan ini sudah terjadi dan kegiatan pun harus terus dilakukan supaya orang tidak berprasangka akan adanya kelesuan, terpaksalah orang-orang biasa ditokohkan. Dan lahirlah tokoh-tokoh yang tidak menanting otaknya sendiri. 

1972

-Sumber: Solilokui, Kumpulan Esei Sastra, Budi Darma, Jakarta, Gramedia, 1983

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »