Science and Poetry - Riri Satria

@kontributor 10/23/2021
SCIENCE AND POETRY
Riri Satria




SASTRAMEDIA.COM - Beberapa tahun yang lalu, ketika jalan-jalan di toko buku Kinokuniya di Plaza Senayan, saya menemukan sebuah buku dengan judul yang menarik, yaitu Science and Poetry yang ditulis oleh Mary Midgley. Saya mencoba untuk mencari tahu, siapa itu Mary Midgley, dan berkat bantuan Google serta Wikipedia, ternyata dia adalah seorang guru besar filsafat moral pada Newcastle University di Inggris, yang banyak membahas tentang filsafat moral dan kaitannya dengan ilmu pengetahuan serta kehidupan. Menarik!

Cukup banyak bahasan tentang tokoh ini di dunia maya. Ini adalah salah satu kutipan menarik yang ditulis oleh Wikipedia berkaitan dengan Mary Midgley:

"Midgley argues against reductionism, or the attempt to impose any one approach to understanding the world. She suggests that there are “many maps, many windows,” arguing that “we need scientific pluralism—the recognition that there are many independent forms and sources of knowledge—rather than reductivism, the conviction that one fundamental form underlies them all and settles everything. She writes that it is helpful to think of the world as “a huge aquarium. We cannot see it as a whole from above, so we peer in at it through a number of small windows … We can eventually make quite a lot of sense of this habitat if we patiently put together the data from different angles. but if we insist that our own window is the only one worth looking through, we shall not get very far."

Dia menentang suatu gerakan yang disebut “reduksionis” dalam sains atau ilmu pengetahuan. Pada dunia sains, proses discovery atau pencarian berlangsung secara spesialistik, artinya penjelasan-penjelasan ilmiah mengenai alam dan kehidupan berlangsung dalam bentuk silo-silo dalam kegiatan ilmiah. Misalnya, seperti yang saya pahami dalam ilmu ekonomi sering mengasumsikan banyak hal itu ceteris-paribus, seakan-akan tidak ada variabel lain yang mempengaruhi suatu fenomena ekonomi.

Menurut Midgley, proses seperti ini mungkin efektif dalam proses discovery of science, tetapi di sisi lain berpotensi untuk menciptakan reduksi, di mana kita akan gagal memahami kehidupan secara utuh dan sering terkotak-kotak melihat fenomena secara parsial.
Secara tidak sadar, kita mereduksi kompleksitas kehidupan. Mungkin dalam bahasa sehari-hari kita di sini, inilah yang disebut “menggampangkan persoalan”, sehingga kita gagal mencari suatu solusi yang komprehensif dalam melihat suatu masalah atau fenomena.
Pada buku ini, menurut saya, Midley mengemukakan sesuatu yang menarik :

Many people, however, are convinced that rational, intellectually respectable discussion can only be carried on in scientific language, meaning by scientific not just disciplined and methodical, like the language of history or logic or linguistics – which would be uncontroversial – but drawn from the natural sciences. They are sure that .. ‘Science is the only way we know to understand the real world.’ (halaman 13).

Menurut saya, ini sangat menarik, di mana Midgley berargumen bahwa adalah suatu kesalahan besar jika kita hanya mengandalkan sains atau ilmu pengetahuan untuk memahami semesta ini.

Tetapi mungkin yang perlu dipertanyakan adalah, apakah yang salah itu adalah sains atau memang metodologi ilmiah yang dimiliki manusia saat ini memang belum mampu melakukan discovery terhadap semua fenomena alam dan sosial?

Kita ambil contoh debat antara aliran positivist dengan interpretive dalam filsafat ilmu pengetahuan yang berujung kepada keabsahan metodologi penelitian ilmiah. Aliran interpetive lahir karena mereka menggugat aliran positivist, di mana aliran positivist dianggap tidak mampu mengungkap semua fenomena sosial dengan utuh, karena menurut aliran interpretive, “kebenaran” itu juga dapat muncul melalui suatu social interaction atau dialog, dan “kebenaran” itu bersifat relatif.

Apakah akan ada gugatan berikutnya di masa mendatang kepada metodologi discovery pada sains sehingga memunculkan aliran atau mazhab baru? Siapa tahu, kita belum bisa memprediksi. Melihat pola-pola yang berkembang di dalam filsafat ilmu pengetahuan, menurut saya hal itu sangat mungkin terjadi.

Lantas apakah kaitan antara “puisi” dan sains pada buku ini?

Is there any connection between poetry and science? Academic specialization usually divides these topics today so sharply that it is hard to relate them on a single map. But there is one simple map which is worth looking at because it has quite an influence on our thinking .. [poetry] is able to supply our intellectual needs .. (halaman 23)

Intinya adalah, Midgley ingin mengajak kita untuk melihat bahwa banyak hal bisa menjadi sumber untuk discovery atau proses pemahaman semesta ini, baik alam maupun sosial. Puisi, yang dalam hal ini saya pahami sebagai hal yang mewakili seni secara keseluruhan, adalah produk dari proses intelektual manusia dengan imajinasi yang tinggi dan merupakan suatu hasil perenungan batin si penciptanya.

Dengan demikian, puisi atau seni juga merupakan suatu bentuk penalaran untuk mencoba memahami fenomena kehidupan atau bahkan alam semesta yang tentu tidak berjalan seperti halnya metodologi ilmiah. Tentu saja di sini kita berbicara mengenai produk puisi atau seni yang berkelas, bukan asal-asalan. Jadi, puisi dan seni sebenarnya juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan intelektual manusia, tetapi menempuh jalan yang berbeda dengan sains.

Lebih lanjut buku ini menjelaskan :
Although poets may aspire to understanding, their talents are more akin to entertaining self-deception. They may be able to emphasize delights in the world, but they are deluded if they and their admirers believe that their identification of the delights and their use of poignant language are enough for comprehension. Philosophers too, I am afraid, have contributed to the understanding of the universe little more than poets … They have not contributed much that is novel until after novelty has been discovered by scientists … While poetry titillates and theology obfuscates, science liberates. (halaman 27-28).

Nah, ternyata saat ini yang terjadi adalah, puisi dan seni pada umumnya, masih belum mampu menjadi alternatif untuk memahami kehidupan karena masih sifatnya entertaining. Puisi dan seni dianggap sebagai suatu “dunia lain”, sampai ada suatu proses penalaran ilmiah yang membahasnya dari sisi akademik, maka barulah dia “naik kelas” yang dianggap sebagai suatu perspektif dalam memahami fenomena kehidupan atau alam semesta ini.
Buku yang ditulis oleh Midgley ini memang buku tentang filsafat, terutama berkaitan dengan filsafat ilmu pengetahuan dan moral, membahas bagaimana kita mencoba untuk memahami kehidupan. Dengan demikian, buku ini memang “sangat berat” untuk dibaca, setidaknya buat saya.

Upaya memahami buku ini akan terasa lebih mudah jika kita memahami sosok si penulisnya, Mary Midgley, di mana dia memang mendedikasikan dirinya untuk mencari berbagai alternatif kepada manusia untuk memahami alam semesta tidak hanya melalui penalaran ilmiah yang disebut sains. Dia sangat mengkhawatirkan terjadinya proses “reduksi” dalam pemahaman kita mengenai alam semesta. 

Pada buku Science and Poetry, dia mengatakan bahwa puisi sejatinya adalah satu jalan penalaran itu. Bukankah karya tertinggi untuk karya sastra di dunia ini adalah Hadiah Nobel, artinya setara dengan ilmu fisika, kedokteran, ekonomi, dan sebagainya, serta sama pentingnya dengan perdamaian dunia.

(Jakarta, Agustus 2020)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »