Coromorphosa - Juli Prasetya

@kontributor 1/09/2022

Coromorphosa

Juli Prasetya



Setelah memakan lembaran buku filsafat Heidegger Being & Time cetakan ke 19 dan Of Gramatology Derrida cetakan 21. Tumin Coro, rayap bertubuh kecil berwarna coklat dengan punggung mengkilap dan kaki cacat, mulai mengaktivasi otak kecilnya untuk mencerna kertas yang dimakannya menjadi semacam ilmu pengetahuan bagi dirinya sendiri. 

“Segala sesuatu di dunia ini adalah teks, yang memiliki beragam makna yang tak pernah final dan selesai” kata Tumin Coro mengutip kata-kata Derrida dan Kristeva.

Di Gorong Bana Timur, kampung halamannya, Tumin merupakan satu-satunya rayap yang dapat berpikir layaknya seorang manusia yang berkebudayaan dan berkeadaban. Yang membedakan Tumin dengan ilmuwan hanya satu: tubuh rayapnya yang cacat dan mengkilap itu.

Pada awalnya,  Tumin seperti rayap-rayap biasa yang lain yang menetas dan kemudian menjadi rayap pekerja yang melayani satu ratu. Dia hidup berkoloni bersama saudara-saudaranya. Sehari-harinya Tumin dan para saudaranya bekerja dengan bergotong royong dalam membangun rumah. Mereka juga  setiap harinya mengkonsumsi serat kayu lapuk, dan renik-renik sampah berumur jutaan tahun yang lalu. 

Sampai kemudian entah ini yang dinamakan nasib baik, atau takdir buruk yang   membawanya ke lapak buku bekas bobrok di Gorong Bana Timur. Dari sinilah awal mula cerita keajaiban itu terjadi.

Pada November yang basah, hujan lebat turun di Gorong Bana Timur, hingga mengakibatkan banjir bandang besar. Saat itu Tumin dan kawan-kawannya terseret banjir, rumahnya hancur dan koloninya habis terbawa arus banjir. Dalam tragedi besar itu hanya beberapa rayap saja yang berhasil menyelamatkan diri, dan Tumin adalah salah satu rayap yang selamat, dan terberkati itu. 

Dengan kondisi basah kuyup kelaparan dan hampir mati disiksa suren. Ia merasa sebuah ajal tengah mengintainya dari dekat. Namun memang keberuntungan Tumin belum habis,  kakinya yang cacat secara mengejutkan menyelamatkan nyawanya, saat terhanyut kaki cacat Tumin secara kebetulan tersangkut  pada ujung kaki meja sehingga membuat tubuhnya terhenti di sebuah lapak buku bekas yang tak terawat, dan itu menyelamatkannya dari banjir yang makin menggila.  

Tumin masih membayangkan rumah yang hancur, kekasihnya yang mati, saudara-saudaranya yang tak pernah kembali, dan terlebih ia tak bisa menyelamatkan ratu satu-satunya di koloni itu. Tapi Tumin menolak untuk mati, dengan sisa-sisa tenaga dan daya hidup yang ia kumpulkan, Tumin kemudian memanjat  meja lapuk di lapak buku bekas itu. Di atas meja lapuk itu ia melihat sebuah buku dengan sampul berwarna hitam dengan lukisan aneh yang telah usang, kertasnya sudah berwarna kuning seperti habis dikencingi kelelawar selama berabad-abad lamanya. Buku tersebut begitu buruk rupa dan seperti teronggok begitu saja di sana. Ketebalannya  sekitar 214 + xxi halaman, buku yang kelihatannya ringkih, tapi sekaligus kokoh karena masih diam di tempat meskipun dihajar banjir. Tanpa pikir panjang, dalam keadaan begitu lapar dan tanpa perasaan berdosa, Tumin memakan buku tersebut dengan lahap, lembar demi lembar. Ia akan mengingat seumur hidupnya rasa lezat yang ia cecap dari buku yang pertama kali ia makan itu, dan akan membawa ingatan, perasaan, dan penyesalan  itu hingga akhir hayatnya kelak.

Semenjak memakan buku usang kekuningan dengan aroma khas kencing kelelawar di  lapak buku lawas itu. Dari sinilah awal mula petualangan Tumin sang rayap Cendekia itu dimulai. Untuk pertama kalinya secara ajaib buku tersebut mengaktivasi otak dan hati kecil Tumin Coro, sehingga sejak saat itu ia tiba-tiba saja selain bisa mencerna ilmu pengetahuan dari dalam buku yang ia makan,  ia juga bisa menangis, bisa mengekspresikan kesedihan sekaligus keharuan dengan air mata. Namun di kemudian hari  dia menyesal, merasa  tolol, dan merasa berdosa karena ia memakan buku yang akhirnya ia tahu judulnya adalah Lapar karangan Knut Hamsun, dan ia memakan buku itu dalam keadaan kelaparan sama seperti judul buku tersebut. 

Dan yang makin membuatnya sedih, menyesal, sekaligus terharu sebenarnya karena  ia merasa memakan sebuah buku dari sebuah lapak buku bekas bobrok yang mungkin buku-bukunya tak pernah laku. Tumin menduga bahwa pemilik lapak buku bekas tersebut adalah pedagang miskin kelaparan yang hanya bermodalkan kesetiaan dan kecintaannya pada buku-buku.

 Namun di sisi lain Tumin Coro juga merasa beruntung dan terberkati. Ia bersumpah tidak akan pernah melupakan jasa lapak buku bekas lapuk itu, karena telah menyelamatkannya dari kematian dan gelapnya kebodohan, bahkan memberikannya kemampuan yang begitu ajaib : memahami buku-buku yang telah dimamahnya.

 Semenjak saat itulah ia dapat mencerna kertas buku-buku menjadi semacam ilmu pengetahuan yang luar biasa, Tumin seperti mengalami Renaissance kedua. “Berbahagialah ia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengetahuannya sendiri” kata Tumin Coro menirukan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia, yang ia makan seminggu lalu. 

Sebagai seekor rayap cendekia, Tumin Coro kemudian membuat jurnal harian, yang isinya adalah pengalaman memakan  buku-buku apa saja yang telah berhasil ia lahap. Di dalam jurnal itu tertulis bagaimana Tumin Coro mengawali karirnya sebagai rayap jenius pelahap segala buku-buku. 

Bulan Pertama setelah Tumin mendapatkan kemampuannya itu, ia berhasil memakan sebagian besar buku-buku seorang pemuda patah hati yang gemar membakar buku. Tumin Coro merasa kasihan dan perlu membantu pemuda yang sedih tersebut, dengan memakan sebagian besar buku-buku berat dan bagus milik si pemuda sedih yang hobi membakar buku itu.  Buku-buku karangan Marcel Proust, A’ la Recherche du Temps Perdu yang berisi tujuh volume yang menganalisis tentang kenangan secara radikal, lalu buku-buku karangan Marquez, Ishiguro, Murakami, Marx, Hemingway, Camus, Borges, Sallinger, Eka, dan Mahfud.  Tumin Coro melahap 17 buku dalam waktu 1 Bulan. “Daripada dibakar lebih baik dimakan kan” kata Tumin Coro pongah. Setelah memakan berbagai jenis buku dengan berbagai sembarang judul. Ia jadi paham bahwa dari segala buku yang telah ia lahap memang ada karya yang bagus dan busuk. 

Setelah menikmati masa-masa Aufklarungnya itu Tumin coro berjanji kepada dirinya sendiri, ia hanya akan memakan buku-buku dari orang-orang penimbun buku tapi tak pernah membacanya, orang-orang yang memperlakukan buku dengan semena-mena, orang yang kurang ajar dengan buku-buku, dan perpustakaan besar di kota yang berisi banyak buku-buku, tapi sepi pengunjung. “Daripada buku-buku itu tidak dibaca dan diperlakukan secara kurang ajar, bukankah lebih baik buku-buku itu aku makan” kata Tumin Coro suatu hari 

Sampai kemudian pada suatu sore yang murung, peristiwa itu terjadi, peristiwa yang menjadi titik balik Tumin Coro untuk mendekonstruksi lagi pikirannya sebagai seekor rayap jenius.  Sore yang malang itu, Tumin pergi ke tempat seorang pria kaya penggila buku dengan perpustakaan besar rapih dan harum di Perumahan Elit Gorong Bana Timur. Kali ini ia memberanikan diri untuk masuk ke sana. Sesampai di dalam perpustakaan, ia melihat rak-rak buku besar yang terjajar rapih di tempat yang begitu luas sekali, buku-buku di perpustakaan itu juga sangat banyak koleksinya, Tumin berjalan perlahan dan mengendap layaknya seekor rayap mata-mata yang terlatih. Ia  melihat sebuah buku agak tebal, nama penulisnya sendiri ia tak kenal, sampul buku itu agak kabur. Namun yang mengherankan adalah buku itu diperlakukan dengan aneh. Buku tersebut ditempatkan di tempat istimewa  dalam ruang perpustakaan, dengan dibingkai dengan emas 24 karat. Menyadari bahwa buku bukanlah pajangan semata, maka tanpa basa-basi Tumin Coro yang sudah berpengalaman memakan berbagai macam jenis buku, dengan rasa penasaran ingin memakan buku yang menurutnya sangat misterius itu.  Dengan usaha yang sangat keras, akhirnya Tumin berhasil menjatuhkan buku itu dari bingkai emas yang melindunginya dan  pecah seketika. 

Suara keras dari pecahan bingkai itu kemudian didengar oleh pemilik rumah, dan dengan terburu-buru, Tumin Coro memamah sedikit lembaran kertas yang memiliki warna dan bau yang aneh itu. Tumin memahnya, ia merasa rasa kertasnya sangat aneh, ia merasa mual bahkan muak melebihi kemuakannya pada buku paling busuk yang pernah ia makan, rasanya sangat berbeda, rasanya lebih menjijikan dari air tuba. 

Saat selesai mengunyah, sebuah pengetahuan kemudian masuk ke dalam otak kecilnya, kali ini insting Tumin merasakan perasaan tidak enak.  Ia kemudian membuka halaman pertama dan membaca buku yang baru saja ia mamah.

“Ketika Gergor Samsat terbangun di suatu pagi dari mimpi buruknya, di atas tempat tidurnya, ia mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor bangsat raksasa” 

Sesaat setelah membaca kalimat pembuka itu, tiba-tiba keringat dingin muncul di sekujur tubuhnya, raut wajah Tumin juga  berubah drastis, ada sebuah raut wajah rayap cacat yang tak terjelaskan di sana. Ia begitu menyesal setelah menyadari bahwa buku yang dimamahnya itu adalah sebuah buku novel yang berjudul Bangsatmorfosis, novel yang menceritakan tentang  sejarah evolusi tak sempurna leluhurnya, Gergor Samsat. Sesaat sebelum berubah menjadi kutu busuk raksasa.   

Setelah memahami rangkaian kesadaran itu, Tumin Coro dengan perasaan campur aduk tiba-tiba saja bermetamorfosis, ia kini memiliki sayap coklat transparan di punggungnya. Tumin terbang meninggalkan perpustakaan mewah itu, ia keluar melalui jendela, menuju lampu jalan yang temaram. Ia mengitari lampu jalan itu dengan perasaan sedih, lamat-lamat ia juga melihat langit malam yang dipenuhi dengan bintang-bintang sambil menangis, pikirannya menjadi tak karuan, dan perasaannya tetap campur aduk tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal di pedalamannya, selain penyesalan karena memakan buku yang menceritakan tentang sejarah leluhurnya itu: amarah. 

Ia merasa semua pengetahuan yang ia dapatkan dari memamah buku demi buku selama ini satu persatu rontok. Ia merasa menjadi makhluk yang paling tolol di muka bumi, dan kelak jika ada kehidupan kedua ia ingin sekali dilahirkan menjadi batu atau sempak bekas yang sudah tak terpakai. Tumin lalu menarik napas dalam-dalam dan sedetik  kemudian  ia mengumpat sejadi-jadinya.

“Bangsat!!!  Buku bajakan bangsat!!!” 


Purbadana, 2020-2021

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »