Menjadi Penulis di Kepala Orhan Pamuk - Wawan Kurniawan

@kontributor 1/09/2022

Menjadi Penulis di Kepala Orhan Pamuk 

Wawan Kurniawan



Saat seseorang ingin menjadi penulis, memiliki sejumlah siasat menghadapi diri sendiri menjadi modal penting. Berkaca dari kisah sejumlah kawan saya yang ingin jadi penulis, mereka terlebih dahulu menyerah lantaran tidak menemukan siasat yang tepat untuk menghadapi diri sendiri dan kenyataan. Kenyataan bahwa penulis bukanlah pilihan profesi yang tepat di Indonesia. Meski ada beberapa yang terlihat makmur karena hidup sebagai penulis dengan deretan bukunya yang best seller, tapi secara umum, nasib penulis di Indonesia kadang jauh lebih buruk dari yang mampu kita bayangkan. Begitu pun dengan diri saya, memikirkan untuk hidup sebagai seorang penulis terkadang membuat saya terdiam sejenak sebelum menemukan berbagai alasan yang dapat menguatkan.

Pada dasarnya, bukan hanya untuk jadi penulis, manusia selalu dihadapkan dengan kendala atau rintangan untuk mencapai keinginanannya. Namun kali ini, saya akan berfokus pada upaya menjadi seorang penulis saja. Mari kita mulai!

Saya punya dua orang teman yang bagi saya mereka layak untuk disebut penulis, sebut saja penulis A dan penulis B. Penulis A begitu realistis melihat dunia, terkhusus dunia kepenulisan di negara ini, menurutnya hidup sebagai seorang penulis akan berat, sebaiknya punya pekerjaan atau sumber penghasilan tetap selain dari menulis. Sedangkan penulis B memiliki pendapat yang berbeda. Dia memiliki keyakinan tersendiri, boleh dibilang semacam prinsip yang dipegang teguh. Bahwa menjadi penulis berarti serius memikirkan berbagai hal tentang hidup. Masalah finansial tentu saja akan menjadi rintangan, namun dia selalu bilang, apakah sebagai seorang penulis kita akan terus menerus mewariskan citra bahwa penulis itu miskin, serba kekurangan, dan tidak punya apa-apa? Hingga akhirnya, akan selalu ada orang yang ragu untuk jadi penulis di negara kita ini. 

Saya juga punya seorang kawan, dia tidak menulis dulu sebelum tabungannya cukup. Dia tidak ingin terganggu dengan uang saat menulis. Akhirnya, dia mencoba menyisihkan pendapatannya lalu berharap suatu saat dia akan menulis dengan bebas dan tenang karena ada tabungan yang cukup. Seperti itulah, setiap orang akan punya caranya masing-masing untuk melihat dunia kepenulisan ini. 

Saat membaca İstanbul: Hatıralar ve Şehir (Istanbul: Kenangan dan Kota) karya Orhan Pamuk, kita juga bisa melihat bagaimana kondisi seorang peraih nobel tahun 2006 itu dalam memilih jalannya sebagai penulis. Meski memoar ini tidak sepenuhnya berbicara tentang penulis, namun di bagian akhir kita akan melihat pergulatan Pamuk melawan dirinya sendiri untuk menghadapi dan menentukan pilihannya. Sebelum menjadi penulis, ada beberapa rintangan yang harus dia hadapi, mulai dari tuntutan ibunya agar Pamuk menjadi arsitek, keinginannya untuk menjadi pelukis, hingga akhirnya tiba pada keinginan menjadi seorang penulis. 

Beruntungnya juga, Pamuk memiliki seorang ayah yang gemar dengan buku. Ayahnya memiliki koleksi lebih dari 1.500 jilid di perpustakaan pribadinya. Buku-buku itulah yang kemudian membantu Pamuk dalam membentuk dirinya menjadi seorang penulis. Dengan buku-buku itulah dia mengurung diri dan memaknai kesunyiaan sebagai sesuatu yang membawanya ke dalam dunia yang memberikannya banyak hal. Pamuk menceritakan sepenggal kisahnya itu dalam pidato penerimaan nobelnya yang berjudul “My Father’s Suitcase”.

Dalam pidatonya, Pamuk juga bercerita tentang peran ayahnya yang selalu mendukung keinginannya untuk jadi seorang penulis. Berbeda dengan ibunya yang melarang sekaligus meragukan pendapatan yang akan didapatkan anaknya jika menjadi penulis. Pamuk juga menduga bahwa di masa lalu, ayahnya juga memiliki keinginan untuk menjadi seorang penulis. Namun ada hal yang tidak lakukan ayahnya saat itu, yaitu melawan kesunyiaan dan terus sabar dan tabah menjalani proses menjadi penulis. Di akhir pidatonya, kita akhirnya paham bahwa peran ayah dalam diri dan karir kepenulisan Pamuk begitu besar, dia berutang banyak pada semangat dan perpustakaan milik ayahnya.

Menjadi penulis bagi Pamuk menjadi sebuah pilihan yang ambisius. Dia rela mengurung diri dalam waktu yang lama di perpustakaan untuk membaca buku-buku ayahnya. Kredo menulis Pamuk berasal dari sebuah pepatah Turki yang berbunyi, “Menggali sumur dengan jarum” Baginya, menulis seperti proses menggali sumur dengan jarum. Bagi Pamuk, hal utama seorang penulis bukanlah inspirasi – sebab hal itu tak jelas dari mana datangnya – melainkan kesabaran dan keteguhan. Ditambah dengan kemampuan untuk melawan sunyi, hidup yang biasa-biasa saja, mengurung diri di kamar, menulis dan membaca sebanyak mungkin.

Karir awal Pamuk sebagai penulis novel juga harus mengalami penolakan dari beberapa penerbit. Novel pertamanya, Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya, yang tebalnya lebih dari 600 halaman akhirnya terbit pertama kali di tahun 1982, saat usia Pamuk mencapai 30 tahun. Perjalanan yang kemudian membuatnya dikenal oleh banyak orang. 

Rintangan setiap orang tentu berbeda-beda untuk menjadi penulis, namun belajar dari Orhan Pamuk, tentu kita bisa sepakat bahwa menjadi penulis bukanlah sesuatu yang mudah. Tidak jarang, ada orang yang berjuang namun akan berakhir pada kebuntuan dan tidak mengalami kesuksesan seperti yang diharapkan. Jarak untuk mengatakan “saya ingin jadi penulis” dan “saya ingin berhenti jadi penulis” tampaknya sangatlah dekat.*

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »