Markas Gentho - Gansar Dewantara

@kontributor 3/20/2022

Markas Gentho

Gansar Dewantara




Gedung itu tidak asing bagiku, tetapi itu dua puluh tahun silam. Bahkan, kala itu aku beserta dua kawanku memberi sebutan gedung itu “Markas Gentho”. Namun, kini aku kembali masuk ke gedung itu seorang diri demi lelaki kurus yang sangat aku sayangi.

Kali pertama aku menemui lelaki kurus itu di markas gentho dengan style dan ekspresi seperti seorang dewan yang tengah menghadiri rapat di majelis terhormat. Itu sangat aku jaga hingga batas akhir pertemuan, meskipun seluruh ruang batinku berantakan: geram, sedih, dan menyesal. Dan hari itu awal kali aku menerima kabar tentang dia. Sangkaku, dia memaklumi keterlambatanku, tetapi meleset.

“Kang Bud, di mana saat peristiwa itu?” Mimik wajah lelaki kurus itu seperti orang berkabung. Air mata melurik di sepasang pipi tirusnya.

“Lho, apa kamu lupa pekerjaanku sebagai nelayan trawler, Bad? balasku balik bertanya dengan menyebut namanya.

Aku juga mengatakan ke dia, kalau aku baru saja sampai rumah saat subuh masih dingin dan langsung diberitahu ibunya anak-anak.

“Tentu, Kang Bud sudah mengetahui ceritanya?”

“Hanya sepotong.”

Huuuf!

Lelaki kurus itu melempar keras napas beratnya. Mukanya menoleh ke samping kiri, kedua tangannya pasrah di atas meja. Dengan posisi demikian, seolah-olah dia melengos dariku. Sementara aku duduk di hadapannya. Lantas dia melengkapi cerita yang aku dengar dari istriku. 

“Saat aku pergi memancing, Emak ngomel melarangku. Kata Emak, jang … man …! Jangan mancing selama istrimu hamil!” Dia menirukan logat omongan Emak, yang setiap awal ucapannya selalu kesusahan. “Entah, mengapa aku tetap pergi memancing, Kang?” lanjutnya menatapku. 

Ada penyesalan terbiak dari nada suara dan sorot matanya. 

“Singkatnya?” potongku.

“Sore, aku balik dari mancing lewat jalan pintas, lewat tanah kosong samping bagian belakang rumah Haji Khoiron. Ketika kulihat beberapa gerombol buah mangga timbul tenggelam terjilat-jilat air sungai, maka aku nyemplung, lalu memetik mangga-mangga itu. Gerombolan buah itu berasal dari ranting-ranting pohon mangga yang tumbuh di belakang rumah Haji Khoiron. Demikian itu, apakah aku pantas dihinakan, Kang?”

“Tidak. Jancuk! Haji edan itu!” balasku geram, tetapi aku cepat-cepat meredam baraku, “Terus?” sambungku memintanya melanjutkan.

Huuuf!

Lelaki kurus itu kembali membuang napas keras-keras, kemudian menuntaskan kisahnya.

“Baru saja aku di galengan dan berjongkok membersihkan kaki, tak dinyana-nyana punggungku ditendang Haji Khoiron hingga aku terjungkal ke sungai. Tak berhenti di situ, Kang. Haji Khoiron juga meneriaki aku maling! Dan teriakannya sukses membuat orang-orang berkerumun. Lantas aku digelandang ke Balai desa dengan keadaan kuyup dan hanya sempak yang aku pakai. Aku malu sekali, Kang!”

Aku menundukkan kepala demi menahan gejolak murka. Tanganku mengepal-ngepal sembari menghela napas dalam-dalam. Di ujung pertemuan, aku sampaikan kepadanya, tidak sampai bulan depan kau pasti sudah keluar dari tempat nestapa ini, itu janjiku. Dia menganggukkan kepala mengamini.

***


Di ruangan itu aku kembali menemui lelaki kurus. Sebuah ruangan panjang semi terbuka dibangun khusus untuk pertemuan antara penghuni dan pengunjung. Ada sekat jeruji antara aku dan lelaki kurus itu, tetapi satu meja. Panjangnya meja sepanjang ruangan itu. Dan antara aku dengan pengunjung lainnya ada penghalang semi permanen. Pembatas dari phenolic resin, mirip pembatas yang ada di toilet-kencing umum untuk pria. Di belakangku terhampar luas lapangan olahraga. Itulah yang aku sebut ruangan panjang semi terbuka.

Mataku sempat membulat, fokus dan memastikan lebam di wajah lelaki kurus itu, persisnya di atas mata kanannya.

“Siapa yang menghajarmu?”

“Aku terpeleset di kamar mandi.”

“Kapan?”

“Sudah lima hari kemarin, setelah hari itu aku tidak mandi. Maaf jika bau, Kang.”

“Kenapa?” kejarku ingin tahu. 

Benakku berkata, korban cabul. Mata lelaki kurus itu melirik-melirik ke arah kirinya. Di sana duduk seorang berperawakan gede, rambutnya tak tertata. Ada codet, bekas luka di pelipis kanannya.

Memori dua puluh silam ketika aku menjadi Brengos, sebutan untuk pentolan kamar, bermunculan melayang-layang. Tetapi aku tak pernah sekalipun berbuat tak susila. Aku hanya main pukul jika ada yang cengeng atau melawan, atau tidak mau memijatku.

“Kenapa!” ulangku dengan menekan suara.

Lagi-lagi aku menangkap lelaki kurus itu melirik sekilas, tetapi diulang-ulang ke arah seorang itu, meskipun dia menunduk. Kemudian dia malah bertanya kabar anak dan istrinya, juga Emak.

Mereka sehat. Mereka berdoa untukmu dan senantiasa menunggumu, demikian kalimat jawabku. Pada di ujung pertemuan, dia mengucap satu permintaan yang membuatku tersentak.

“Besok kalau ke sini lagi, bawakan nasi yang berkuah, tapi kuahnya kau campuri racun serangga, ya, Kang.”

Aku pura-pura tak mendengar. Dia menggebrak jeruji, lalu mukanya ditekan pada baja nirkarat itu.

“Kang!”

 “Ada apa?” Mukaku juga merapat ke jeruji pembatas itu.

“Bawakan nasi yang berkuah, tapi kuahnya kau campuri racun,” ulangnya dengan suara gemetar.

“Iya.” 

Sebelum sepasang mataku terhalang pintu pemisah ruangan, aku melihat dia bagai anak kecil yang terlepas dari gandengan tangan ibunya ketika di keramaian pasar malam. Sementara reaksi otakku sibuk mencari jawaban. 

Barangkali Tuhan telah melenyapkan lukisan senyum di bibir lelaki kurus yang sangat aku sayangi itu. Setiap kali aku mengunjungi dia, tak pernah selarik pun senyum itu menyungging di bibirnya. Seperti waktu itu, kunjunganku selanjutnya. Lelaki kurus itu tampak menyedihkan, memar di atas mata kanannya kian ungu tua dan membengkak. Wajahnya pucat dan baunya apak sekali. 

“Bagaimana kabarmu, Bad? Kalau kamu sakit ….”

“Sesuai permintaanku?” 

Dia memotong kalimatku ketika melihat panci rantang yang aku taruh di meja. Aku menggeleng.

“Mengapa kau tak mengabulkan keinginanku? Mengapa, Kang!”

Kali ini dia benar-benar marah. Wajah pucat itu menjadi merah, matanya membulat, dan dada rampingnya naik turun.

“Siapa yang membuatmu seperti ini? Siapa, Bad?” Aku mencoba meraih telapak tangannya, tetapi dia lebih cepat menghindar.

Brak!

Lelaki kurus itu menuntaskan kekecewaannya pada meja, kemudian bangkit, napasnya bak lokomotif tua.

“Aku tak sudi menemuimu! Tak sudi!” ancamnya dengan telunjuk yang gemetaran dan panah pandang yang runcing. 

Lantas dia digelandang dua petugas. Sementara aku berusaha memadamkan api murka seraya melempar pandang mengikuti punggungnya. Padahal bel akhir pertemuan belum menjerit-jerit. Padahal aku ingin menyampaikan tentang kapan pastinya dia dibebaskan, juga sepetak tanah milik Emak terjual untuk kepentingan itu. 

“Awal Oktober, kau bebas, Bad!” teriakku tak sanggup membuatnya menoleh.

***


Pada Minggu yang lain.Tepatnya Minggu paling tua di bulan September, aku kembali mengisi data di ruang penjaga. Tentu saja sambil menaruh sesuatu agar senyum dua penjaga itu terkembang. 

“Mas, keluarganya apa temannya?” tanya seorang penjaga setelah mengoreksi tulisanku.

“Saudaranya. Ada apa, Pak?” lontarku balik.

Mendengar jawabanku, dua penjaga itu sepertinya tak percaya. Mereka memerhatikanku dengan saksama. Mungkin pikirnya, wajahku cokelat berminyak, gagah bak tamtama, dangan sepasang mata yang sudah tidak putih bersih lagi. Sedangkan adikku, lelaki kurus itu bertinggi badan sedang, tidak sampai 170 centimeter, tetapi wajahnya putih bersih dan berkumis tipis.

“Hanya aku saudara kandungnya, Pak.” Aku meyakinkan.

Dua penjaga itu saling berpandangan, kemudian seorang penjaga itu menjelaskan, bahwa napi bernama lengkap Badrudin, alias Bad, Blok1-kamar A 50, yang sesuai tertulis di blanko daftar pembesuk telah dibebaskan, sebab …! Penjaga itu sengaja memotong kalimatnya dangan batuk yang dibuat-buat. Aku tahu itu.

“Bebas, Pak … alhamdulillah!” Spontan aku menangkupkan kedua telapak tangan ke muka, bersyukur, tetapi telapak tanganku belum tuntas mengusap seluruh wajah, seorang penjaga yang lainnya berceloteh,

“Tapi bebas yang lain!”

“Ya, bebas sebab … uhuk! Uhuk!” celetuk temannya.

“Maksud Bapak?” desakku.

Penjaga itu tidak langsung menjawab malah masukkan telunjuk ke cangkemnya

Setan! umpat hatiku.

Padahal baru saja kutaruh amplop basah, masih saja menjual informasi dengan dua bungkus rokok. Mau tak mau, aku harus secepatnya ke warung, lalu kembali ke penjaga itu.

“Dibebaskan karena apa, Pak?” tanyaku ulang sambil menyodorkan syarat kifayah itu. 

Tanpa mengucap terima kasih, seorang penjaga itu berujar, tahanan atas nama lengkap Badrudin alias Bad sudah meninggal dunia. Jasadnya baru saja diantar dengan ambulans oleh petugas rumah sakit ke pihak keluarganya.

Seketika dadaku bagai terkena hantaman gada wesi kuning milik Minak Jinggo. Napasku sesak, tetapi darahku naik ke ubun-ubun. Ternyata menahan murka yang mendidih itu teramat perih.

“Berulang-ulang kami dan pihak Kepolisian menelepon pihak keluarga, tetapi tidak pernah ada respons. Benarkah ini nomor hape keluarga Anda?” imbuhnya memperlihatkan rentetan angka.

Aku membenarkan, itu nomor HP istri Bad. Lantas aku bangkit dan bergegas pulang dengan langkah yang pura-pura tegar. Meski dalam hati masih ada satu pertanyaan, sebab apa adikku sampai meninggal?

***

Saban hari wajah nelangsa Bad melekat di ingatanku. Apalagi melihat istrinya yang tengah hamil kali kedua, sungguh menggores hati. Begitu pun Emak yang jatuh sakit dan hanya berbaring di kasur sejak anak ragilnya di dalam penjara. 

Percikan angkara di ruang gaibku makin hari makin membesar, berkobar. Sudah tak kuasa lagi aku membendung dengan tumpukan tabah. Lantas diam-diam aku memutuskan untuk mengenakan kembali pakaian gentho-ku, yang telah lama aku menguburnya dalam-dalam.

Tepat usai acara tujuh hari kirim doa untuk mendiang Bad, aku melabrak Haji Khoiron tanpa tedeng aling-aling. Malam yang hujan waktu itu menambah sunyi senyapnya kampung. Aku ketuk pintu rumah orang yang menjebloskan adikku ke penjara. Begitu orang yang kutuju nongol, aku tarik ke tanah kosong samping rumahnya dan menghajar hingga kelengar. Lantas kutinggalkan dia tergeletak dengan darah mengucur dari sela-sela jari garpu yang masih menancap di mata kanannya.


Sepekan berikutnya, aku memasuki gedung itu. Gedung yang tidak asing bagiku, tetapi itu dua puluh tahun silam. Bahkan, kala itu aku beserta dua kawanku memberi sebutan gedung itu “Markas Gentho”. Namun, kini aku kembali masuk ke gedung itu seorang diri, demi lelaki kurus yang sangat aku sayangi. Demi menuntaskan rencanaku yang kedua.[*]

Demak, 2021


Catatan kaki:

*Gentho adalah bajingan tengik (preman).


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »