Tidak Ada Orang lain di Gang Itu - Kiki Sulistyo

@kontributor 4/03/2022

Tidak Ada Orang lain di Gang Itu

Kiki Sulistyo




Pelajaran dari guru sekolah menyebutkan bahwa bumi berbentuk bulat. Bumi, bersama planet-planet lain, berputar mengelilingi matahari. Kelereng juga berbentuk bulat, dan kelereng Marlon sedang berputar mengelilingi kelereng lawan mainnya, saat Lin Munru memanggilnya. Marlon menoleh sebentar. Ketika kembali berpaling ke permainan, kelerengnya sudah tak ada lagi di tempatnya tadi. Marlon menatap lawan mainnya dan berkata: “Kamu curang.” Bersamaan dengan itu Lin Munru sudah berdiri di dekatnya mengucapkan hal yang sama: “Kamu curang.” 

     Lin Munru mengenakan rok motif matahari dibentuk serupa wajah orang yang riang. Sepasang sandal karet melindungi telapak kakinya dari tanah dan kuman. Rambutnya diikat dua dengan pita kuning kemilau bila terkena cahaya. Lin Munru merengut, air mukanya berlawanan dengan muka matahari di roknya. Marlon tak hirau, masih menatap lawan mainnya, lantas seperti teringat sesuatu menyapukan pandangan ke sekitar. “Mana kelerengku?” tanyanya.

     “Mana kutahu,” jawab lawan mainnya. Lin Munru menarik tangan Marlon dan merengek, “Mana kelerengku?” Pertanyaan itu membuat lawan main Marlon balas menatap. “Kamu ambil kelerengnya?” Marlon berpaling ke Lin Munru, berusaha melepaskan cengkeraman anak itu. “Anak perempuan tidak boleh main kelereng. Anak perempuan main karet atau baju-bajuan saja. Kamu juga Ismael, tidak usah ikut-ikutan. Kamu curang. Mana kelerengku?”

     Ismael mengenakan baju kaus dan celana pendek kuning bergambar boneka Si Unyil. Ia tidak pakai sandal. Di lutut kanannya ada bekas luka, bundar seperti tutup botol limun. “Mana kutahu. Kamu sendiri yang pegang,” sanggahnya. Marlon mengepalkan tangan, tindakan Ismael sama saja dengan menantangnya kelahi. Marlon mau bergerak, tapi Lin Munru kembali mencengkeram tangannya. “Kembalikan kelerengku!” serunya. Marlon menepis tangan Lin Munru. Tindakan itu membuat Lin Munru nyaris jatuh. Mukanya memerah, campuran tangisan dan kemarahan. Lin Munru bergerak mengambil sebutir kelereng dan mengancam akan melempar kelereng itu ke muka Marlon. Secara refleks Marlon melindungi mukanya. Ismael tertawa-tawa. “Aih, sama anak perempuan saja takut.”  Tangan Marlon kembali terkepal. Tanpa menghiraukan Lin Munru, ia menerjang Ismael. Persis saat itu Lin Munru betul-betul melempar kelereng. 

     “Aduh!” terdengar seruan tertahan menyusul bunyi kelereng menimpuk sesuatu.

     Seruan dan bunyi kelereng itu menyusup di antara siaran radio yang mengapung sepanjang gang tempat anak-anak itu bermain. Penyiar membacakan pantun-pantun kiriman pendengar. Manakala penyiar jeda bicara, musik latar memancar lebih keras. Siapa pun tahu yang suka memutar radio keras-keras pada jam-jam seperti itu adalah Om Nahar, bapak Ismael. Beberapa ekor bebek berjalan ke sana kemari, ramai-ramai memasukkan paruhnya ke selokan kecil di sebelah kanan gang. Air selokan yang semula bening jadi keruh karena tanah yang mengendap di dasar kembali naik. Tutup botol limun di dasar selokan terlihat seperti bekas luka di lutut Ismael.

     Ismael menutup mukanya dengan kedua tangan. “Aduh!” serunya berkali-kali. Ia jongkok sambil menekuk kepalanya di antara kedua lutut seraya terus meraung sampai-sampai membuat Marlon dan Lin Munru terlongo. “Naaa, kena matanya itu. Kamu bikin Ismael buta!” seru Marlon kepada Lin Munru. Langsung didekatinya Ismael yang kelihatan semakin kesakitan. “Coba lihat,” bujuk Marlon berusaha menegakkan kepala Ismael. Anak itu tak mau menunjukkan mukanya. Marlon berdiri sebentar, menarik-narik celana panjangnya yang terasa ketat di bagian lutut. Kemeja yang dipakainya membuat udara terasa gerah. Punggungnya lengket oleh keringat. “Coba lihat. Sakit ya? Berdarah? Ayo kita ke Puskesmas,” ucap Marlon bertubi-tubi. Ismael tetap menunduk, mempertahankan posisinya. Marlon berpaling ke Lin Munru yang masih terlongo. “Sini kamu. Ayo obati.” 

     Lin Munru berseru: ”Kamu yang salah. Tadi saya mau lempar kamu. Soalnya kamu curang. Kamu bilang mau pinjam kelereng sebentar, tapi malah kamu pakai taruhan.”

     “Tapi buktinya kamu lempar dia!”

     “Saya ndak sengaja!”

     “Anak perempuan ndak boleh main lempar. Tahu ndak?”

     “Kalau anak laki-laki boleh?”

     Marlon diam sebentar. “Cerewet sekali. Cepat ke sini. Nanti kamu dilaporkan polisi. Masuk penjara kamu.”

     Lin Munru ragu-ragu. Musik latar dari radio seperti diisap dan diembuskan lagi ke udara. Di mulut gang yang mengarah ke jalan terlihat kendaraan lalu-lalang. Juga pagar puskesmas. Ismael terus meraung-raung. Marlon merangkulnya sambil tetap berusaha melihat wajahnya. Dari ujung bagian dalam gang, seorang anak berjalan pelan. Gang itu pendek saja sehingga dalam waktu dekat anak yang berjalan itu sudah sampai di dekat Lin Munru. Marlon menatap anak itu. “Dia kenapa?” tanya anak itu kepada Lin Munru yang dijawab dengan kebisuan. Lin Munru memainkan ujung roknya. Ia hampir menangis. 

     “Lin melempar Ismael pakai kelereng. Kena matanya. Mungkin dia akan buta,” Marlon menjawab. Mendengar kalimat itu Ismael meraung-raung lebih kencang. Tubuhnya meringkuk sampai nyaris menyentuh tanah. 

     “Kamu mau ke mana, Siau Lim! Sini bantu saya. Ayo kita bawa ke puskesmas,” ujar Marlon. Bebek-bebek yang puas mengaduk-aduk air selokan kembali berputar-putar, menggoyangkan ekornya, kepala mereka maju mundur seperti mainan. Siau Lim nyaris tersandung ketika kakinya terhalang unggas-unggas itu. Ditendangnya seekor sampai sandal homy ped-nya nyaris lepas. Siau Lim memakai celana pendek merah dan kaus singlet putih. “Angkat kepalanya!” perintah Marlon saat Siau Lim sudah berjongkok di depannya. Marlon memegang kedua lengan Ismael. Siau Lim kelihatan bingung mau melakukan apa. “Angkat kepalanya!” bentak Marlon. Siau Lim menyusupkan tangannya ke celah terbuka di antara lutut Ismael. “Berdarah matanya?” tanya Lin Munru. Ia tak berani mendekat, namun suasana tampaknya sudah terasa genting buatnya. Ismael berontak. Tangan kirinya menutup mata kanannya sementara tangan kanannya dipakai menghalau tangan Marlon dan Siau Lim. Sambil berteriak Ismael bangkit. Tangan kirinya masih menutup mata kanannya. Ia bergerak mendekati barisan kelereng di tanah, lalu dengan sigap meraup semua kelereng itu dengan satu tangan dan langsung memasukkannya ke kantung celana. Bagian depan celananya jadi kelihatan menggembung. Tanpa menengok lagi Ismael berlari ke arah rumahnya. Ketiga anak yang lain melongo. Tak ada orang lain di gang itu. Pada jam-jam seperti itu, sekalipun hari Minggu, kebanyakan penghuni gang memang sedang bekerja. 

     “Mati kita. Ismael pasti bilang ke bapaknya. Om Nahar akan mencari kita,” ujar Marlon. “Kenapa tadi kamu ndak pegang dia kuat-kuat?” tambahnya menunjuk Siau Lim. Anak yang ditunjuk gelagapan dan makin gelagapan ketika Lin Munru menambahkan: “Iya. Kamu yang salah. Coba tadi kamu tahan dia. Sekarang bagaimana coba? Saya takut sama Om Nahar.” 

     “Jangan salahkan saya. Saya disuruh beli vetsin sama Mamak. Saya cuma mau lewat.” Muka Siau Lim yang pucat mulai memerah. “Anak laki-laki kok beli vetsin,” gerutu Marlon. “Iya. Kalau di rumah saya yang disuruh,” tambah Lin Munru. “Pokoknya kamu yang salah. Nanti kalau Om Nahar datang saya bilang kalau kamu yang salah,” Marlon mengancam. Muka Siau Lim semakin memerah. Beberapa saat kemudian dari matanya yang cuma berwujud dua garis kecil keluar putik-putik air. 

     Ketiga anak itu membisu. Tak tahu apa yang mesti dilakukan. Tadi Marlon sudah membayangkan kemenangan dalam permainan kelereng. Ketika kelerengnya berhasil mendekati kelereng lawan, ia tinggal memukulkan kelerengnya ke kelereng lawan dan seluruh kelereng yang dipertaruhkan akan menjadi miliknya. Kini kemenangan itu lenyap, termasuk dari angan-angannya. Semua kelereng taruhan sudah dibawa Ismael. Mungkin sebentar lagi Ismael akan datang mencari mereka, tapi bukan untuk kembali bermain. Ia juga tak akan datang sendirian. Om Nahar yang bertubuh besar, punya cambang dan brewok lebat, akan bertindak sebagai algojo. Lin Munru ciut membayangkan kemarahan Om Nahar. Bahkan kalaupun bapaknya ada di sampingnya, Om Nahar dapat dengan mudah menekuk laki-laki kerdil itu. 

     Sementara Siau Lim tak cuma membayangkan kemarahan Om Nahar, tapi juga polisi dan penjara. Kadang-kadang ia mendengar percakapan ibu dan bapaknya tentang kedua hal itu. Dari percakapan tersebut Siau Lim tahu kedua hal itu lebih mengerikan ketimbang monster dalam film Power Rangers.

     Saat ketiga anak itu diremas-remas cemas, Ismael memperlambat langkahnya begitu mendekati rumah. Tangisnya pun pelan-pelan lenyap. Tadi ia berputar ke jalan kecil di tengah gang untuk masuk ke bagian belakang rumahnya, agar anak-anak itu tak bisa melihatnya. Ismael langsung masuk rumah, mengusap-usap mukanya. Dari kantung celananya ia keluarkan butir-butir kelereng yang langsung menggelinding di lantai. Sekali lagi diusap-usapnya matanya untuk meyakinkan diri bahwa ia sama sekali tak merasakan sakit. Ismael tertawa-tawa kecil. Suara radio dari ruang tengah menyedot tawa kecil itu. Dari ruang tengah juga Ismael mendengar  bapaknya berbicara. Sepertinya sedang ada tamu. Suara-suara orang yang tak dikenalnya seperti sedang membentak-bentak. Beberapa saat kemudian radio tiba-tiba dimatikan.

     Marlon, Lin, dan Siau Lim yang tak lagi mendengar suara radio, langsung gemetaran. Mereka bayangkan tubuh Om Nahar yang besar sebentar lagi muncul di gang untuk mencari dan menghukum mereka.***


Kekalik, 29 Mei 2021


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »