Sastra Sebagai Teknologi: Perenungan Mengenai Determinasi - Candrika Adhiyasa

@kontributor 10/30/2022

SASTRA SEBAGAI TEKNOLOGI: PERENUNGAN MENGENAI DETERMINASI

Candrika Adhiyasa

 


Ketika saya membaca buku Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat karya Francis Lim yang diterbitkan oleh Kanisius pada tahun 2008, saya sampai pada suatu topik menarik. Namun sebelum menelusuri topik itu, saya hendak menyampaikan sesuatu yang barangkali bermula dari pertanyaan: Kenapa tulisan dengan tema sastra berangkat dari pembacaan mengenai teknologi?

Pertama-tama, sastra adalah juga merupakan sebuah teknologi. Sastra saya anggap sebagai suatu teknologi komunikasi, meski ketika berbicara mengenai teknologi, kita—mungkin sebelumnya—terjebak dalam suatu konsep bentuk-material dan mekanisasi, sementara seni dan sastra sebagian besar tidak memiliki bentuk-material. Namun dari sini kita menemukan benang merahnya, bahwa teknologi pun, yang terjebak dalam konsep bentuk-material, ternyata memiliki suatu esensi. Sebelum suatu pisau diciptakan oleh kebudayaan manusia, ia lahir dari suatu konsep, suatu gagasan, yang cenderung imajiner atas dasar berbagai kepentingan. Konsep bentuk-material, atau kebendaan, semata-mata merupakan medium, suatu instrumen, yang dengan demikian hanya menjadikannya wadah bagi “ide” teknologi yang sebenarnya, teknologi yang berupa suatu esensi. Apakah esensi dari teknologi? Jawabannya begitu kompleks, tetapi tujuan dari esensi teknologi adalah efisiensi. Teknologi lahir untuk membantu manusia mempermudah kehidupannya. Dapat kita bayangkan, betapa suatu teknologi pertanian bernama traktor dapat membuat proses pembajakkan lahan menjadi lebih efisien ketimbang menggunakan kerbau.

Lalu, apakah seni dan sastra juga memiliki esensi yang serupa dengan teknologi? Ya, meskipun tidak sama. Serupa artinya memiliki kecenderungan pada kesamaan, dan kecenderungan pada kesamaan tetap memberikan jarak, yang artinya kedua hal tersebut memiliki jarak—sesuatu yang berbeda dan tidak menyatu (sama). Seni dan sastra sama-sama eksis untuk mempermudah kehidupan manusia, hanya saja tidak dalam bidang teknis. Teknis yang saya maksud adalah bidang kehidupan fisik (meski seni dan sastra juga memiliki kemungkinan untuk memengaruhi kehidupan fisik melalui moralitas). Teknologi berupa alat-alat kebudayaan mempermudah kerja manusia, tetapi seni dan sastra tidak demikian. Seni dan sastra mempermudah kehidupan manusia dalam bidang yang lain, misalnya, mempermudah menilai sesuatu yang sebelumnya rumit, mempermudah menerima nasib, mempermudah pencarian makna hidup, dan lain semacamnya. Meski secara teknis berbeda, benang merah mempermudah atau efisiensi terhadap kehidupan manusia benar-benar sama. Maka dari itu saya menyebutkan bahwa seni dan sastra adalah juga merupakan suatu teknologi.

Sampai pada tahap ini, saya kira saya dapat memulai untuk berbagi topik menarik dari buku Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat karya Francis Lim tersebut. Topik yang menarik itu adalah mengenai netralitas atau determinasi teknologi. Ada dua kaum yang berseberangan pendapatnya mengenai masalah ini. Kaum yang pertama adalah kaum determinis teknologis, dan yang kedua adalah kaum determinis sosial. Determinis sosial berpendapat bahwa teknologi hanyalah entitas yang netral, dan menjadi memiliki makna atau nilai setelah ia digunakan oleh manusia. Namun, kaum determinis teknologis berpendapat sebaliknya. Mereka menyatakan bahwa teknologi berpengaruh pada persepsi dan perilaku manusia, yang artinya manusia dipengaruhi oleh keberadaan teknologi tersebut.

Berangkat dari sini, saya hendak menghadirkan persoalan yang kurang lebih sama dengan topik di atas. Topik di dalam dialog mengenai seni dan sastra—yang senantiasa luput untuk diperbincangkan—adalah mengenai netralitas seni dan sastra di dalam kebudayaan manusia. Sastra misalnya, ia dapat dinilai sebagai sastra yang bagus dan sastra yang jelek. Maka dari pernyataan itu muncul sebuah pertanyaan, apakah sastra itu netral? Atau apakah sastra memengaruhi cara berpikir dan cara bertindak manusia; yang dengan demikian membuatnya memiliki nilai instrinsik, nilai di-dalam-dirinya sendiri, terlepas dari penilaian manusia, sebagai sastra yang bagus atau sastra yang jelek?

Dialog mengenai netralitas ini saya kira dapat memberikan kita sebuah pola dasar untuk menelisik benang kusut isu-isu kesenian, kesusastraan, serta kebudayaan secara garis besar. Terlebih di zaman ini, keberadaan “teknologi” ini menjadi begitu politis. Adanya karakter politis ini juga memberikan pengaruh yang tidak sepele pada dinamika kehidupan sosial hari ini. Maka dari itu, perenungan mengenai persoalan-persoalan fundamental ini begitu menjadi urgen dalam sirkuit ideologi yang begitu tumpang-tindih dan sukar diurai menjadi sesuatu yang lugas. Bukankah manusia gelisah apabila ia hidup dalam ketidakpastian?

Persoalan netralitas dan determinasi, keterlibatan kekuasaan (serta pelibatan instrumen “bedil” dan “bom” dalam dinamikanya), serta hubungannya dengan dinamika sosial budaya merupakan suatu hal yang menjadi penting untuk direnungkan. Dalam peradaban mekanis, apakah fungsi-fungsi estetika masih memiliki tempat? Apakah efisiensi berpengaruh pada kedalaman dan kualitas suatu karya sastra? Apakah peradaban mekanis ini, yang memberi jarak bagi manusia dan ruang-ruang sublim, masih memerlukan sepenggal kata puisi? Sejauh apa pengaruh kekuasaan menghegemoni eksistensi serta kedalaman dalam suatu karya sastra?

Ketika saya membaca buku Putu Wijaya: Sang Teroris Mental suntingan Sigit B. Kresna (editor) yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2001, saya menemukan suatu topik menarik. Topik ini sebenarnya memiliki pola yang sama, perihal netralitas, seperti yang saya uraikan di dalam Introduksi mengenai netralitas teknologi. Saya kira uraian mengenai netralitas ini sudah cukup jelas dibahas sebelumnya, yang maka dari itu saya hendak bergerak langsung untuk menguraikan persoalan tersebut.

Topik ini bergerak dalam wilayah netralitas suatu karya sastra, yang dengan demikian memungkinkan saya dapat menelusuri determinisme mana yang berlaku atau dominan di antara—sekurang-kurangnya—dua kubu yang bertentangan.

Saya kira, dari uraian mengenai teknologi sebelumya, kita juga dapat membagi kaum yang akan berpikir—seperti Putu Wijaya—dengan perspektif kaum determinis sosial. Namun, apabila ada kaum determinis sosial, sudah barangtentu ada “musuhnya”, yakni kaum determinis sastra. Determinis sastra adalah nama yang saya berikan dengan menyadur nama determinis teknologis karena memiliki pola argumen serupa, yaitu menganggap sastra, sebagai salah satu bentuk teknologi, berpengaruh pada persepsi dan perilaku manusia, yang artinya manusia dipengaruhi oleh keberadaan sastra tersebut.

Dari pola argumen kaum determinis teknologis—yang juga dapat disematkan pada kaum determinis sastra—saya mengingat ungkapan Haruki Murakami dalam buku IQ84: Book 2 (2009): berilah seseorang pistol, maka ia akan tergoda untuk menembak. Dari sini saya menemukan diksi tergoda, yang artinya di sana ada suatu otoritas teknologi (pistol) yang dapat memengaruhi cara berpikir dan kemudian berpotensi menjadi. Manusia dibuat merasa (atau berpikir) “tergoda” untuk melakukan tindakan “menembak”.

Melalui latar belakang ini, terbentuklah sebuah pertanyaan. Bagaimana sastra memengaruhi serta mengubah cara bertindak, persepsi, dan pemahaman manusia?

Menurut saya, sastra tidaklah sepenuhnya netral, dalam arti sastra merupakan mediator antara manusia dan dunianya mengubah pengalaman manusia mengenai dunia. Budaya ikut berubah dengan keberadaan sastra, tetapi sastra juga dapat dianggap netral karena keberadaan manusia. Manusia dapat menggunakan seni/sastra sebagai sarana penyebaran gagasan atau ideologi demi mencapai tujuan atau kepentingan tertentu. Sebagaimana Don Ihde yang menyebutkan bahwa teknologi merupakan mediator antara manusia dan dunianya, saya pun memaknai sastra sebagai mediator dengan fungsi yang sama.

Sastra tidak secara independen memiliki efek, kecuali setelah ia terkomunikasikan dengan manusia. Hanya karena keberadaan manusialah sastra menjadi tidak netral karena ia dimaknai oleh manusia sesuai dengan kapasitas dirinya. Pemaknaan itu sangat tergantung pada kapasitas intelektual, imajinasi, penikmat sastra, sesuai dengan tujuan atau kepentingannya, misalnya untuk kepentingan ideologis. Suatu teks tidak secara independen memiliki makna, tetapi di hadapan manusia, teks itu bisa menjadi teks yang menghibur, edukatif, atau lainnya apabila dimaknai begitu rupa oleh manusia. Yang menghibur atau edukatif bukanlah sepenuhnya teks tersebut, melainkan juga hasil persepsi manusia yang menilainya. Ada ruang yang membuat suatu kesimpulan nilai “cantik” terwujud, melalui paras (instrumen; sastra) dan juga mata yang memandangnya (pembaca).

Dalam setiap karya sastra, sangat besar kemungkinannya terdapat semacam ideologi—nilai yang sudah mengkristal dengan kukuh. Menurut pendapat saya nyaris tidak ada pengarang yang menulis karya sastra tanpa hendak menyampaikan apa pun. Tetapi apa yang hendak disampaikan di sini tidak dibatasi hanya dialamatkan kepada pembaca, tetapi dapat juga dialamatkan kepada dirinya sendiri. Karya sastra itu hendak menyampaikan sesuatu kepada pembaca atau kepada dirinya sendiri (pengarang) bukanlah persoalannya, karena pilihan yang mana pun tetaplah merupakan suatu kehendak, yang maka dari itu ideologis. Namun, perihal penting atau tidaknya nilai dari apa yang hendak disampaikan oleh seorang pengarang dalam karyanya, merupakan persoalan yang lain dan membutuhkan metode penilaian yang lain pula.

Berkelindannya determinisme sastra dan determinisme sosial menjadikan persoalan netralitas sastra menjadi sebuah proses dialektis. Proses ini juga memengaruhi dan dipengaruhi kebudayaan. Artinya ada ketertanaman sastra dalam kebudayaan (cultural embededness of literature). Manusia tumbuh bersama sastra. Hal ini dapat kita lihat melalui berbagai kearifan lokal yang juga masih memegang teguh tradisi lisan dalam rangka meneruskan norma-norma tradisionalnya. Misalnya, dalam kebudayaan Sunda kita mengenal adanya guguritan, sisindiran, siloka, dongeng, suluk, paribasa, cerita rakyat, dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk kesusastraan ini kemungkinan besar, atau bahkan dapat dipastikan, selalu ada dalam kebudayaan komunitas masyarakat tradisional dan kebudayaan etnik masyarakat mana pun. Sastra memangku nilai-nilai tertentu, yang bahkan dijadikan pedoman hidup, dan dengan demikian memengaruhi pola pikir dan pola bertindak masyarakat yang mengamininya.

Dewasa ini, dalam komunitas masyarakat urban yang heterogen, keberadaan karya sastra menjadi—tanpa hendak merendahkan—sekadar instrumen pengisi waktu luang. Dalam kehidupan serba-cepat dan serba-mekanis ini, sastra memiliki fungsi “pembantu” manusia untuk mengisi waktu luangnya. Waktu luang ini memang berkecenderungan untuk diisi hal-hal yang semata-mata menghibur. Untuk alasan itulah, sastra dengan proporsi filosofis yang “berat” tidak memiliki tempat yang terlalu signifikan, kecuali untuk masyarakat yang memang menggandrungi topik tersebut. Namun demikian, dalam waktu luang yang sedikit itu, manusia terkomunikasikan dengan nilai inheren yang dikandung oleh sastra itu sendiri, dan kemudian berartikulasi dalam momen kontemplatif dengan intensitas yang bervariasi. Dalam waktu luang, manusia merenung. Keberadaan suatu karya sastra adalah membantu manusia mempertajam, memperdalam, memperindah perenungan itu. Apakah dengan waktu luang yang relatif singkat itu cara bertindak, persepsi, dan pemahaman manusia dapat berubah? Jawabannya adalah bisa, tetapi hal tersebut terjadi dalam berbagai skala.

Perlu dipertimbangkan kembali nilai inheren sastra tersebut melalui kekuatan serta relevansi topik yang diangkat, kemasan teknis, dan juga gaung publikasi (yang juga dipengaruhi popularitas si pengarang) dengan kompleksitas kultural yang melatarbelakangi psikologi dan daya membaca manusia yang terkomunikasikan dengan sastra tersebut. Dari sintesis itu, pada akhirnya dapat dinilai bagian mana yang lebih dominan: apakah determinasi sastra ataukah determinasi sosial.

Akhirnya, kesimpulan mengenai uraian (yang begitu singkat) melalui netralitas sastra ini, dapat kita beri kerangka melalui perspektif Kantian, dalam konsep noumena dan phenomena. Bahwa karya sastra dengan nilai instrinsiknya, yang dapat dimaknai sebagai Das Ding an Sich, memiliki sesuatu hal yang tidak bisa dikenali manusia, tetapi dalam waktu bersamaan juga terlibat dalam kemampuan manusia (red: pembaca) menangkap citra serta memaknai karya sastra tersebut sebagai sebuah phenomena. Satu hal yang faktual adalah, sastra (dalam banyak ragam bentuknya) dan manusia senantiasa berdialektika untuk mengkonstruksi, merekonstruksi, atau bahkan mendekostruksi cara bertindak, mempersepsi, dan pemahaman (worldview) manusia mengenai kehidupannya.

 

(23 Oktober 2021)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »