SASTRA SEBAGAI TEKNOLOGI: PERENUNGAN MENGENAI DETERMINASI
Candrika
Adhiyasa
Ketika
saya membaca buku Filsafat Teknologi: Don
Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat karya Francis Lim yang diterbitkan
oleh Kanisius pada tahun 2008, saya sampai pada suatu topik menarik. Namun
sebelum menelusuri topik itu, saya hendak menyampaikan sesuatu yang barangkali
bermula dari pertanyaan: Kenapa tulisan dengan tema sastra berangkat dari
pembacaan mengenai teknologi?
Pertama-tama, sastra adalah juga merupakan sebuah teknologi.
Sastra saya anggap sebagai suatu teknologi komunikasi, meski ketika berbicara
mengenai teknologi, kita—mungkin sebelumnya—terjebak dalam suatu konsep
bentuk-material dan mekanisasi, sementara seni dan sastra sebagian besar tidak
memiliki bentuk-material. Namun dari sini kita menemukan benang merahnya, bahwa
teknologi pun, yang terjebak dalam
konsep bentuk-material, ternyata memiliki suatu esensi. Sebelum suatu pisau
diciptakan oleh kebudayaan manusia, ia lahir dari suatu konsep, suatu gagasan,
yang cenderung imajiner atas dasar berbagai kepentingan. Konsep
bentuk-material, atau kebendaan, semata-mata merupakan medium, suatu instrumen,
yang dengan demikian hanya menjadikannya wadah bagi “ide” teknologi yang
sebenarnya, teknologi yang berupa suatu esensi. Apakah esensi dari teknologi?
Jawabannya begitu kompleks, tetapi tujuan dari esensi teknologi adalah
efisiensi. Teknologi lahir untuk membantu manusia mempermudah kehidupannya.
Dapat kita bayangkan, betapa suatu teknologi pertanian bernama traktor dapat
membuat proses pembajakkan lahan menjadi lebih efisien ketimbang menggunakan
kerbau.
Lalu, apakah seni dan sastra juga memiliki esensi yang serupa
dengan teknologi? Ya, meskipun tidak sama. Serupa artinya memiliki
kecenderungan pada kesamaan, dan kecenderungan pada kesamaan tetap memberikan
jarak, yang artinya kedua hal tersebut memiliki jarak—sesuatu yang berbeda dan
tidak menyatu (sama). Seni dan sastra sama-sama eksis untuk mempermudah
kehidupan manusia, hanya saja tidak dalam bidang teknis. Teknis yang saya maksud
adalah bidang kehidupan fisik (meski seni dan sastra juga memiliki kemungkinan
untuk memengaruhi kehidupan fisik melalui moralitas). Teknologi berupa
alat-alat kebudayaan mempermudah kerja manusia, tetapi seni dan sastra tidak
demikian. Seni dan sastra mempermudah kehidupan manusia dalam bidang yang lain,
misalnya, mempermudah menilai sesuatu yang sebelumnya rumit, mempermudah
menerima nasib, mempermudah pencarian makna hidup, dan lain semacamnya. Meski
secara teknis berbeda, benang merah mempermudah
atau efisiensi terhadap kehidupan
manusia benar-benar sama. Maka dari itu saya menyebutkan bahwa seni dan sastra
adalah juga merupakan suatu teknologi.
Sampai pada tahap ini, saya kira saya dapat memulai untuk
berbagi topik menarik dari buku Filsafat
Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat karya Francis Lim
tersebut. Topik yang menarik itu adalah mengenai netralitas atau determinasi
teknologi. Ada dua kaum yang berseberangan pendapatnya mengenai masalah ini.
Kaum yang pertama adalah kaum determinis teknologis, dan yang kedua adalah kaum
determinis sosial. Determinis sosial berpendapat bahwa teknologi hanyalah
entitas yang netral, dan menjadi memiliki makna atau nilai setelah ia digunakan
oleh manusia. Namun, kaum determinis teknologis berpendapat sebaliknya. Mereka
menyatakan bahwa teknologi berpengaruh pada persepsi dan perilaku manusia, yang
artinya manusia dipengaruhi oleh keberadaan teknologi tersebut.
Berangkat dari sini, saya hendak menghadirkan persoalan yang
kurang lebih sama dengan topik di atas. Topik di dalam dialog mengenai seni dan
sastra—yang senantiasa luput untuk diperbincangkan—adalah mengenai netralitas
seni dan sastra di dalam kebudayaan manusia. Sastra misalnya, ia dapat dinilai
sebagai sastra yang bagus dan sastra yang jelek. Maka dari pernyataan itu
muncul sebuah pertanyaan, apakah sastra itu netral? Atau apakah sastra
memengaruhi cara berpikir dan cara bertindak manusia; yang dengan demikian
membuatnya memiliki nilai instrinsik, nilai di-dalam-dirinya sendiri, terlepas
dari penilaian manusia, sebagai sastra yang bagus atau sastra yang jelek?
Dialog mengenai netralitas ini saya kira dapat memberikan
kita sebuah pola dasar untuk menelisik benang kusut isu-isu kesenian,
kesusastraan, serta kebudayaan secara garis besar. Terlebih di zaman ini,
keberadaan “teknologi” ini menjadi begitu politis. Adanya karakter politis ini
juga memberikan pengaruh yang tidak sepele pada dinamika kehidupan sosial hari
ini. Maka dari itu, perenungan mengenai persoalan-persoalan fundamental ini
begitu menjadi urgen dalam sirkuit ideologi yang begitu tumpang-tindih dan
sukar diurai menjadi sesuatu yang lugas. Bukankah manusia gelisah apabila ia
hidup dalam ketidakpastian?
Persoalan netralitas dan determinasi, keterlibatan kekuasaan
(serta pelibatan instrumen “bedil” dan “bom” dalam dinamikanya), serta
hubungannya dengan dinamika sosial budaya merupakan suatu hal yang menjadi
penting untuk direnungkan. Dalam peradaban mekanis, apakah fungsi-fungsi
estetika masih memiliki tempat? Apakah efisiensi berpengaruh pada kedalaman dan
kualitas suatu karya sastra? Apakah peradaban mekanis ini, yang memberi jarak
bagi manusia dan ruang-ruang sublim, masih memerlukan sepenggal kata puisi?
Sejauh apa pengaruh kekuasaan menghegemoni eksistensi serta kedalaman dalam
suatu karya sastra?
Ketika saya membaca buku Putu
Wijaya: Sang Teroris Mental suntingan Sigit B. Kresna (editor) yang
diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2001, saya menemukan suatu
topik menarik. Topik ini sebenarnya memiliki pola yang sama, perihal netralitas,
seperti yang saya uraikan di dalam Introduksi
mengenai netralitas teknologi. Saya kira uraian mengenai netralitas ini
sudah cukup jelas dibahas sebelumnya, yang maka dari itu saya hendak bergerak
langsung untuk menguraikan persoalan tersebut.
Topik ini bergerak dalam wilayah netralitas suatu karya
sastra, yang dengan demikian memungkinkan saya dapat menelusuri determinisme
mana yang berlaku atau dominan di antara—sekurang-kurangnya—dua kubu yang
bertentangan.
Saya kira, dari uraian mengenai teknologi sebelumya, kita
juga dapat membagi kaum yang akan berpikir—seperti Putu Wijaya—dengan
perspektif kaum determinis sosial. Namun, apabila ada kaum determinis sosial,
sudah barangtentu ada “musuhnya”, yakni kaum determinis sastra. Determinis
sastra adalah nama yang saya berikan dengan menyadur nama determinis teknologis
karena memiliki pola argumen serupa, yaitu menganggap sastra, sebagai salah
satu bentuk teknologi, berpengaruh pada persepsi dan perilaku manusia, yang
artinya manusia dipengaruhi oleh keberadaan sastra tersebut.
Dari pola argumen kaum determinis teknologis—yang juga dapat
disematkan pada kaum determinis sastra—saya mengingat ungkapan Haruki Murakami
dalam buku IQ84: Book 2 (2009): berilah seseorang pistol, maka ia akan
tergoda untuk menembak. Dari sini saya menemukan diksi tergoda, yang artinya di sana ada suatu otoritas teknologi (pistol)
yang dapat memengaruhi cara berpikir dan kemudian berpotensi menjadi.
Manusia dibuat merasa (atau berpikir) “tergoda” untuk melakukan tindakan
“menembak”.
Melalui latar belakang ini, terbentuklah sebuah pertanyaan. Bagaimana
sastra memengaruhi serta mengubah cara bertindak, persepsi, dan pemahaman
manusia?
Menurut saya, sastra tidaklah sepenuhnya netral, dalam arti
sastra merupakan mediator antara manusia dan dunianya mengubah pengalaman
manusia mengenai dunia. Budaya ikut berubah dengan keberadaan sastra, tetapi
sastra juga dapat dianggap netral karena keberadaan manusia. Manusia dapat
menggunakan seni/sastra sebagai sarana penyebaran gagasan atau ideologi demi
mencapai tujuan atau kepentingan tertentu. Sebagaimana Don Ihde yang
menyebutkan bahwa teknologi merupakan mediator antara manusia dan dunianya,
saya pun memaknai sastra sebagai mediator dengan fungsi yang sama.
Sastra tidak secara independen memiliki efek, kecuali setelah
ia terkomunikasikan dengan manusia. Hanya karena keberadaan manusialah sastra
menjadi tidak netral karena ia dimaknai oleh manusia sesuai dengan kapasitas
dirinya. Pemaknaan itu sangat tergantung pada kapasitas intelektual, imajinasi,
penikmat sastra, sesuai dengan tujuan atau kepentingannya, misalnya untuk
kepentingan ideologis. Suatu teks tidak secara independen memiliki makna,
tetapi di hadapan manusia, teks itu bisa menjadi teks yang menghibur, edukatif,
atau lainnya apabila dimaknai begitu rupa oleh manusia. Yang menghibur atau
edukatif bukanlah sepenuhnya teks tersebut, melainkan juga hasil persepsi
manusia yang menilainya. Ada ruang yang membuat suatu kesimpulan nilai “cantik”
terwujud, melalui paras (instrumen; sastra) dan juga mata yang memandangnya
(pembaca).
Dalam setiap karya sastra, sangat besar kemungkinannya
terdapat semacam ideologi—nilai yang sudah mengkristal dengan kukuh. Menurut
pendapat saya nyaris tidak ada pengarang yang menulis karya sastra tanpa hendak
menyampaikan apa pun. Tetapi apa yang hendak disampaikan di sini tidak dibatasi
hanya dialamatkan kepada pembaca, tetapi dapat juga dialamatkan kepada dirinya
sendiri. Karya sastra itu hendak menyampaikan sesuatu kepada pembaca atau
kepada dirinya sendiri (pengarang) bukanlah persoalannya, karena pilihan yang
mana pun tetaplah merupakan suatu kehendak, yang maka dari itu ideologis. Namun,
perihal penting atau tidaknya nilai dari apa yang hendak disampaikan oleh
seorang pengarang dalam karyanya, merupakan persoalan yang lain dan membutuhkan
metode penilaian yang lain pula.
Berkelindannya determinisme sastra dan determinisme sosial
menjadikan persoalan netralitas sastra menjadi sebuah proses dialektis. Proses
ini juga memengaruhi dan dipengaruhi kebudayaan. Artinya ada ketertanaman
sastra dalam kebudayaan (cultural
embededness of literature). Manusia tumbuh bersama sastra. Hal ini dapat
kita lihat melalui berbagai kearifan lokal yang juga masih memegang teguh
tradisi lisan dalam rangka meneruskan norma-norma tradisionalnya. Misalnya,
dalam kebudayaan Sunda kita mengenal adanya guguritan,
sisindiran, siloka, dongeng, suluk, paribasa, cerita rakyat, dan lain
sebagainya. Bentuk-bentuk kesusastraan ini kemungkinan besar, atau bahkan dapat
dipastikan, selalu ada dalam kebudayaan komunitas masyarakat tradisional dan
kebudayaan etnik masyarakat mana pun. Sastra memangku nilai-nilai tertentu,
yang bahkan dijadikan pedoman hidup, dan dengan demikian memengaruhi pola pikir
dan pola bertindak masyarakat yang mengamininya.
Dewasa ini, dalam komunitas masyarakat urban yang heterogen,
keberadaan karya sastra menjadi—tanpa hendak merendahkan—sekadar instrumen
pengisi waktu luang. Dalam kehidupan serba-cepat dan serba-mekanis ini, sastra
memiliki fungsi “pembantu” manusia untuk mengisi waktu luangnya. Waktu luang
ini memang berkecenderungan untuk diisi hal-hal yang semata-mata menghibur.
Untuk alasan itulah, sastra dengan proporsi filosofis yang “berat” tidak
memiliki tempat yang terlalu signifikan, kecuali untuk masyarakat yang memang
menggandrungi topik tersebut. Namun demikian, dalam waktu luang yang sedikit
itu, manusia terkomunikasikan dengan nilai inheren yang dikandung oleh sastra
itu sendiri, dan kemudian berartikulasi dalam momen kontemplatif dengan
intensitas yang bervariasi. Dalam waktu luang, manusia merenung. Keberadaan
suatu karya sastra adalah membantu manusia mempertajam, memperdalam,
memperindah perenungan itu. Apakah dengan waktu luang yang relatif singkat itu
cara bertindak, persepsi, dan pemahaman manusia dapat berubah? Jawabannya
adalah bisa, tetapi hal tersebut terjadi dalam berbagai skala.
Perlu dipertimbangkan kembali nilai inheren sastra tersebut
melalui kekuatan serta relevansi topik yang diangkat, kemasan teknis, dan juga
gaung publikasi (yang juga dipengaruhi popularitas si pengarang) dengan
kompleksitas kultural yang melatarbelakangi psikologi dan daya membaca manusia
yang terkomunikasikan dengan sastra tersebut. Dari sintesis itu, pada akhirnya
dapat dinilai bagian mana yang lebih dominan: apakah determinasi sastra ataukah
determinasi sosial.
Akhirnya, kesimpulan mengenai uraian (yang begitu singkat)
melalui netralitas sastra ini, dapat kita beri kerangka melalui perspektif
Kantian, dalam konsep noumena dan phenomena. Bahwa karya sastra dengan
nilai instrinsiknya, yang dapat dimaknai sebagai Das Ding an Sich, memiliki sesuatu hal yang tidak bisa dikenali
manusia, tetapi dalam waktu bersamaan juga terlibat dalam kemampuan manusia
(red: pembaca) menangkap citra serta memaknai karya sastra tersebut sebagai
sebuah phenomena. Satu hal yang
faktual adalah, sastra (dalam banyak ragam bentuknya) dan manusia senantiasa
berdialektika untuk mengkonstruksi, merekonstruksi, atau bahkan mendekostruksi
cara bertindak, mempersepsi, dan pemahaman (worldview) manusia mengenai
kehidupannya.
(23 Oktober 2021)