Citra Pemimpin dalam Teks Sastra
Tjahjono
Widarmanto
Objek semua karya sastra adalah realitas. Merupakan hasil kontemplasi dan interpretasi pengarang dengan dunia realitas di sekitarnya, baik berupa realitas sosial ataupun realitas ide. Namun, realitas dalam sastra dapat bertolak belakang dengan realitas dalam masyarakat. Paradoks dapat terjadi karena dalam teks sastra muncul harapan-harapan akan adanya realitas yang lebih baik.
Pemunculkan realitas dalam sastra, baik itu
refleksi realitas sebenarnya atau realitas yang paradoks amat bergantung pada
pribadi penulisnya. Griffith menegaskan bahwa sastra merupakan ungkapan dari
pribadi yang menulisnya. Kepribadian, perasaan, respon, ideologi, pandangan
hidup atau keyakinan pengarang akan selalu mewarnai karya yang diciptakannya.
Sastra selalu hadir dengan penawaran-penawaran
pemikiran. Penawaran pemikiran ini juga menghadirkan dunia yang ideal. Maka,
tak heran kalau sastra selalu mengimpikan sebuah citraan yang indah, baik itu
berupa kondisi sosial yang ideal ataupun individu-individu yang ideal. Wolfgang
Iser mengatakannya sebagai teks yang
mampu menghadirkan yang tidak hadir, mementaskan apa yang tidak terpentaskan
bahkan menghadirkan permasalahan yang tak bisa dituntaskan dalam realitas
keseharian.
Semangat nasionalisme atau kebangsaan selalu
diikuti dengan harapan akan lahirnya pemimpin-pemimpin yang ideal. Dalam sastra
citra pemimpin yang idea l itu muncul sejak sastra terlibat dalam persoalan
sosial, politik, ideologi dan kekuasaan. Semua kesusastraan di seluruh dunia
dalam berbagai zaman memimpikan citra pemimpin yang ideal. Bahkan tak hanya
mencitrakan saja namun bisa juga secara normatif seolah-olah menasihati
bagaimana seorang pemimpin bersikap.
Garry Yukl mendifinisikan kepemimpinan sebagai
perilaku dari seoran individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu
kelompok ke suatu tujuan yang hendak
dicapai bersama (share goal)
(Hemhill, 1957:7). Senada dengan pendapat itu, Rauch & Behling (1984:46)
mengatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas sebuah
kelompok yang diorganisasi ke arah pencapain tujuan. .
Dalam sastra klasik dunia, II Principe (Sang Pangeran) yang ditulis 1513 karya Niccolo
Machiavelli, dianggap sebagai teks sastra yang berisikan semacam nasihat bagi
seorang pemimpin untuk melanggengkan kekuasaannya
dia harus berani dan tega membunuh lawan-lawan politiknya, saingan-saingannya,
bahkan harus menjadi tiran. Dalam rangka mempertahankan kekuasaanya seorang
pemimpin dapat melakukan cara apapun untuk meraih kekuasaan (the end justify the means). Seorang
pemimpin, bagi Machiavelli harus memiliki dua sifat yaitu sifat manusia dan
sifat binatang.
The
Leaders (Sang Pemimpin)
karya Ionesco juga berbicara tetntang sosok pemimpin walau dalam sisi yang
sangat kritis dan sinis dengan memunculkan kekecewaan karena kehadiran pemimpin
tak seidel yang diharapkan. George Orwell di tahun 1945 menampilkan sosok
pemimpin dan kekuasaan yang carut marut melalui novel alegorinya Animal Farms (Negeri Para Binatang).
Dalam novel tersebut tergambar jelas pemimpin yang berputar pada nafsu
menginjak dan nafsu merebut untuk kemudian menginjak.
Dalam khazanah sastra kita, citra pemimpin dan
sikap kepemimpinan juga menjadi perhatian para sastrawan dari zaman ke zaman. Tantri Kamandaka, sebuah teks sasta Jawa kuno disebutkan seorang
pemimpin harus mampu menjalin persekutuan dan persatuan. Dalam Kakawin Ramayana (XXIV, 51-61)
disebutkan sifat-sifat kepemimpinan yang ideal yang disebut sebagai Asta Brata. Juga dalam Bhisma
Parwa terdapat nasihat Bhisma kepada Yudhistira, bahwa seorang pemimpin
harus melindungi rakyatnya, bisa menjadi panutan dan jujur. Ajaran kepemimpinan
juga termaktub dalam sastra Bali Kuno, di antaranya dalam Kakawin Gajah Mada yang didalamnya terdapat 10 ajaran kepemimpinan.
Satra Melayu lama juga memunculkan citra pemimpin
dan gagasan kepemimpinan. Taj us-Salatin
(Mahkota Raja-Raja) sebuah mahakarya sastra Melayu yang dikarang oleh
Bukhari al-Jauhari (1630) merupakan sebuah kitab panduan untuk memimpin. Dalam
buku tersebut disebutkan sifat-sifat pemimpin yang baik yaitu bisa membedakan
yang baik dan buruk, berilmu, mampu memilih bawahan dengan benar, berbudi
pekerti baik, pemurah, tahu balas budi, berani, tidak berfoya-foya, dan
laki-laki.
Citra pemimpin dan gagasan kepemimpinan juga
menjadi tema sentral dalam sastra jawa zaman kapujanggan, di ataranya adalah : Serat Rama (R. Ng. Jasadipoera), Serat Praniti Praja, serat Wulangreh (Paku
Buwana IV), Serat Wedatama
(Mangkunegara IV), Serat Laksita Raja (Mangkunegara
VII), dan sebagainya..
Dalam sastra Indonesia modern, citra pemimpin dan
gagasan kepempinan juga menjadi tema yang menarik. Dalam novel Maut
dan Cinta karya Mochtar Lubis
digambarkan bahwa seorang pemimpin harus harus memiliki jiwa pengorbanan.
Melalui tokoh Sadeli digambarkan bahwa pengorbanan untuk mencai tujuan
perjuangan seringkali harus berbenturan dengan kepentingan pribadi. Sikap
pengorbanan bagi seorang pemimpin ini juga digambarkan oleh Pramoedya Ananto
Toer dalam novel Bukan Pasar Malam, Arus
Balik, Arok, dan Tetralogi Pulau Burunya.
Seorang pemimpin yang baik harus memiliki strategi
yang tepat. Hal itulah yang diisyaratkan oleh Pram dalam hampir keseluruhan
novel-novelnya. Juga sikap yang tidak pernah menyerah.
Tak hanya sikap pemimpin yang positif yang dimunculkan, namun sikap pemimpin yang korup juga direpresentasikan oleh sastra Indonesia modern. Jalan Tak Ada Ujung, Jakarta, Maut dan Cinta, Tak Ada Esok (Mochtar Lubis), Korupsi (Pramoedya), Ladang Perminus (Rmadhan K.H) merupakan contoh yang tepat untuk menunjukkan representasi itu..
Dari uraian di atas tampaklah bahwa persoalan nasionalisme, citra pemimpin, dan gagasan kepemimpinan akan selalu menjadi sumber ide yang menarik bagi terciptanya karya sastra. Selama persoalan nasionalisme dan kepemimpinan menjadi paradigma yang terbuka, yang membuka peluang untuk selalu ditafsir dan dikaji, maka para sastrawan akan selalu menarik untuk mengangkatnya dalam karya sastra. Tentu saja, sebagai sastrawan cara ungkap mereka mengenai nasionalisme dan gagasan kepemimpinan akan jauh berbeda dengan para sejarawan, negarawan, atau politikus. Dan pemikiran mereka berikut cara ungkapnya akan menjadi pembanding yang menarik, bahkan bisa sebagai wacana tandingan bagi arus-arus pemikiran yang berkait dengan persoalan kepemimpinan dan nasionalisme.***