Lelaki Pemanggul Senapan
S. Prasetyo Utomo
DALAM gelap lelaki muda pemanggul
senapan berkelebat di depan toko roti Orhan Fatih. Tengah malam, jalan utama di
tengah Kota Ankara senyap. Tak seorang pun terbangun, apalagi berjalan-jalan. Lelaki
pemanggul senapan di bahu kanannya menjadi pemandangan yang mencurigakan. Orhan
Fatih yang kebetulan terbangun tengah malam itu, menyingkap gorden kamar lantai
dua, terperanjat melihat lelaki muda memanggul senapan melintas. Lelaki pemanggul
senapan itu sesekali memandangi toko rotinya.
Toko roti Orhan Fatih
pernah dibakar dan diserbu anak-anak muda. Peristiwa itu berlangsung beberapa tahun
silam. Saat itu Orhan Fatih banyak menampung imigran gelap asal Suriah sebagai tenaga
kerja. Mereka suka berkelahi dengan anak-anak muda Ankara, yang menyulut penyerbuan
dan pembakaran toko. Dia telah memecat seluruh pekerja imigran gelap asal Suriah.
Ia mempekerjakan gadis-gadis dan pemuda kota ini. Tinggal satu orang asal Suriah,
Fahmara, tetapi gadis itu telah menjadi warga negara Turki.
Bergegas Orhan Fatih
turun dari kamarnya. Ia menyelinap diam-diam keluar dari toko rotinya, untuk memergoki
lelaki muda pemanggul senapan yang berkelebat di trotoar. Tak ditemukan lelaki itu.
Ia lenyap secepat siluman.
Lama Orhan Fatih berdiri
di depan toko rotinya. Menanti kemunculan lelaki muda pemanggul senapan. Tetapi
lelaki pemanggul senapan itu tak pernah dilihat sosoknya. Sepanjang jalan pertokoan
tengah kota tampak senyap.
Terdengar suara Fahmara
yang terbangun, membuat adonan roti di dapur. Tercium aroma roti panggang. Gadis
itu selalu bangun paling awal. Orhan Fatih kembali memasuki toko roti dengan menyimpan
rasa cemas. Ia tak ingin mengalami toko rotinya dibakar anak-anak muda.
“Seorang pemuda memanggul
senapan sedang mengincar toko kita,” kata Orhan Fatih pada Fahmara. Gadis itu berhenti
mengaduk adonan kue. Sepasang matanya yang bulat bening itu memandang Orhan Fatih.
“Akan saya telepon
polisi!”
“Jangan terburu-buru.
Aku belum tahu niat perbuatannya.”
***
TERDENGAR suara-suara bentakan
lantang di depan toko roti Orhan Fatih, Terjadi pertengkaran mulut. Hari masih gelap.
Senyap tengah malam. Orhan Fatih terbangun. Ia dengar teriakan-teriakan di depan
toko rotinya. Orang-orang gaduh. Masih mengantuk, lelaki setengah baya itu turun
dari kamarnya di lantai dua. Ia terhuyung-huyung dan cemas. Kembali teringat akan
peristiwa pembakaran toko dan menyerbuan anak-anak muda kota ini yang beringas.
Mereka mengamuk, menyerang para pekerja imigran gelap asal Suriah. Dalam hati Orhan
Fatih bertanya-tanya: apa lagi yang kini terjadi atas toko roti ini? Toko
ini dibangun dengan jerih payah sebagai seorang keturunan Ottoman yang diusir dari
Turki pada zaman kekuasaaan Ataturk. Leluhur Orhan Fatih memperoleh suaka di Damaskus.
Tetapi ketika kota itu dihancurkan perang saudara, Orhan Fatih mencari jalan untuk
tinggal di Ankara. Ia mendirikan toko roti yang kemudian laris dan memiliki banyak
pelanggan. Orhan Fatih masih teringat akan peristiwa ketika toko rotinya dibakar
anak-anak muda Ankara, gara-gara mereka berkelahi dengan para pekerja toko yang
berasal dari imigran gelap asal Suriah. Saat itu datang polisi yang meredakan kerusuhan
dan mencegah pembakaran toko dengan lebih brutal. Ia mengenal baik polisi-polisi
yang menjadi pelanggan toko rotinya. Malam itu para polisi itulah yang melindungi
tokonya dari kemusnahan.
Terburu-buru Orhan
Fatih membuka pintu depan toko. Fahmara yang terbangun malam itu mengikuti langkah
Orhan Fatih. Tiba di trotoar, mereka tak menemukan siapa pun. Tak ada bekas-bekas
kejahatan manusia. Yang mereka lihat hanyalah sosok lelaki pemanggul senapan yang
berlari menjauh, lenyap dalam sepi jalan dan gedung-gedung pertokoan.
“Lelaki pemanggul senapan
lagi!” kata Orhan Fatih.
Fahmara melacak lelaki
pemanggul senapan. Ia mengikuti bayangan lelaki menjauh. Gadis itu berpikir, lelaki
pemanggul senapan akan cepat berlari. Lelaki muda itu berhenti. Memandang Fahmara.
Senapan masih dipanggulnya. Tak tampak ancaman dalam sepasang matanya.
“Apa yang kaulakukan?”
Lelaki pemanggul senapan
itu tidak mengatakan apa pun. Ia memandangi Fahmara dari kejauhan. Bergegas pergi
ketika melihat Orhan Fatih mendekat. Fahmara ingin mengejar lelaki pemanggul senapan,
tetapi Orhan Fatih mencegah.
“Kau dalam bahaya kalau
mengejarnya!”
***
MENJELANG tengah malam, Orhan
Fatih terbangun. Ia mendengar kegaduhan di trotoar. Bergegas ia turun dari kamarnya
di lantai dua. Sengaja ia tak membangunkan istri dan dua anak lelakinya. Ia menuruni
anak tangga, buru-buru membuka pintu tokonya. Begitu pintu toko roti terbuka, dua
orang bertopeng menyerang dengan pedang. Ia juga melihat tiga orang bertopeng yang
menyerang lelaki pemanggul senapan. Ia buru-buru masuk ke dalam toko, dan mengunci
rapat pintu.
Tinggal lelaki pemanggul
senapan seorang diri melawan lima orang bertopeng yang menyerang secara bersamaan.
Kenapa lelaki pemanggul senapan tak mau menembak mati lima orang bertopeng? Siapa
lima lelaki bertopeng itu? Perampok? Lalu, siapa lelaki pemanggul senapan itu?
Tembakan
senapan terdengar. Sekali. Kembali terjadi perkelahian. Pukulan-pukulan. Tendangan-tendangan.
Teriakan kemarahan. Sekali lagi, lelaki pemanggul senapan itu menembak. Terdengar
derap kaki lima orang bertopeng yang melarikan diri dikejar lelaki pemanggul senapan.
Orhan Fatih buru-buru membuka pintu toko. Ia mendapati pemuda pemanggul senapan
terluka sabetan pedang pada dadanya. Kelima lelaki bertopeng melarikan diri. Dua
orang lelaki bertopeng yang tertembak kakinya, terpincang-pincang dengan ceceran
darah di trotoar. Mereka melarikan diri dengan mobil.
Orhan Fatih memandangi
wajah lelaki pemanggul senapan yang terluka sabetan pedang pada dadanya. “Saad?
Siapa mereka?”
“Teman-teman imigran
gelap yang dulu pernah bekerja di toko roti ini,” kata Saad, lelaki pemanggul senapan.
“Mereka dendam lantaran dipecat. Mereka ingin merampok toko roti ini sejak beberapa
hari yang lalu.”
***
PAGI itu luka sabetan
pedang di dada Saad sudah dijahit dokter rumah sakit. Saad diperkenankan pulang
pada tengah malam itu. Ia menempati sebuah kamar di lantai dua toko, dirawat Fahmara.
Saad seorang imigran gelap asal Suriah, pernah bekerja sebagai pelayan toko roti
Orhan Fatih. Dulu ia meninggalkan Ankara, merantau ke Konya, bekerja sebagai tenaga
kebersihan Mevlana Museum, dan tiap Sabtu malam mementaskan tari sema di Mevlana
Cultural Centre.
Orhan
Fatih merasa sangat berterimakasih pada Saad. “Rupanya kau sudah tahu kalau toko
rotiku akan dirampok?”
“Saya dengar rencana
perampokan itu dari teman-teman imigran gelap di Ankara,” balas Saad, masih menahan
rasa pedih di dada. “Tiap tengah malam saya menjaga agar perampokan tak terjadi.”
“Kau tak lagi kerja
di Mevlana Museum?”
“Tidak lagi. Saya ingin
kembali ke Suriah. Ikut berperang melawan penguasa,” tukas Saad. “Saya datang ke
sini mau berpamitan.”
“Semua anggota keluargamu
sudah meninggal,” kata Orhan Fatih. “Aku masih sering berhubungan dengan orang-orang
di Damaskus. Terakhir kudengar kabar kakakmu meninggal dalam pertempuran. Tinggal
kau yang hidup untuk meneruskan keturunan orang tuamu. Apa kau masjh mau bertempur?”
“Tidak ada jalan lain.
Saya merasa tak lagi punya kesempatan hidup lebih baik di sini.”
Fahmara menyuguhkan
roti, menemen 1), dan cay2) untuk Saad. Luka di dada
kanan Saad masih mengganggu tangan kanannya untuk bergerak. Gugup, Fahmara menyuapkan
roti dan menemen ke mulut Saad.
“Aku senang kalau kau
mau bekerja di toko rotiku. Kau bisa nikah dengan Fahmara,” kata Orhan Fatih. Fahmara
menghentikan menyuapi Saad. Ia tersipu-sipu.
Saad teringat ketika
bertemu Fahmara pertama kali, gadis itu memburunya dalam senyap malam, dan mereka
berhadap-hadapan di kejauhan. Ia sudah merasa takjub pada gadis itu. Gadis yang
tak memiliki rasa takut, meski berhadapan dengan seorang lelaki asing yang memanggul
senapan.
“Pikirkan lagi tawaranku,”
kata Orhan Fatih, meninggalkan kamar.
Saad berdua dengan
Fahmara. Gadis itu canggung, malu, dan gemetar. Fahmara masih menyembunyikan rahasia,
bila ia tiga kali bermimpi bertemu pemuda memanggul senapan. Gadis itu sempat terpana
ketika pertama kali, dalam samar cahaya lampu jalan, melihat sosok lelaki pemanggul
senapan itu.
***
Ankara, Juli 2022
Pandana Merdeka,
Februari 2023
Catatan
1) 1) Menemen = terbuat dari telur, garam, bawang, oregano,
cabai manis, dan merica.
2) 2) Cay =
teh Turki