Lelaki Pemanggul Senapan - S. Prasetyo Utomo

@kontributor 2/12/2023

Lelaki Pemanggul Senapan

S. Prasetyo Utomo

 


DALAM gelap lelaki muda pemanggul senapan berkelebat di depan toko roti Orhan Fatih. Tengah malam, jalan utama di tengah Kota Ankara senyap. Tak seorang pun terbangun, apalagi berjalan-jalan. Lelaki pemanggul senapan di bahu kanannya menjadi pemandangan yang mencurigakan. Orhan Fatih yang kebetulan terbangun tengah malam itu, menyingkap gorden kamar lantai dua, terperanjat melihat lelaki muda memanggul senapan melintas. Lelaki pemanggul senapan itu sesekali memandangi toko rotinya.

Toko roti Orhan Fatih pernah dibakar dan diserbu anak-anak muda. Peristiwa itu berlangsung beberapa tahun silam. Saat itu Orhan Fatih banyak menampung imigran gelap asal Suriah sebagai tenaga kerja. Mereka suka berkelahi dengan anak-anak muda Ankara, yang menyulut penyerbuan dan pembakaran toko. Dia telah memecat seluruh pekerja imigran gelap asal Suriah. Ia mempekerjakan gadis-gadis dan pemuda kota ini. Tinggal satu orang asal Suriah, Fahmara, tetapi gadis itu telah menjadi warga negara Turki.  

Bergegas Orhan Fatih turun dari kamarnya. Ia menyelinap diam-diam keluar dari toko rotinya, untuk memergoki lelaki muda pemanggul senapan yang berkelebat di trotoar. Tak ditemukan lelaki itu. Ia lenyap secepat siluman.

Lama Orhan Fatih berdiri di depan toko rotinya. Menanti kemunculan lelaki muda pemanggul senapan. Tetapi lelaki pemanggul senapan itu tak pernah dilihat sosoknya. Sepanjang jalan pertokoan tengah kota tampak senyap.

Terdengar suara Fahmara yang terbangun, membuat adonan roti di dapur. Tercium aroma roti panggang. Gadis itu selalu bangun paling awal. Orhan Fatih kembali memasuki toko roti dengan menyimpan rasa cemas. Ia tak ingin mengalami toko rotinya dibakar anak-anak muda.

“Seorang pemuda memanggul senapan sedang mengincar toko kita,” kata Orhan Fatih pada Fahmara. Gadis itu berhenti mengaduk adonan kue. Sepasang matanya yang bulat bening itu memandang Orhan Fatih.

“Akan saya telepon polisi!”

“Jangan terburu-buru. Aku belum tahu niat perbuatannya.”

                           *** 

TERDENGAR suara-suara bentakan lantang di depan toko roti Orhan Fatih, Terjadi pertengkaran mulut. Hari masih gelap. Senyap tengah malam. Orhan Fatih terbangun. Ia dengar teriakan-teriakan di depan toko rotinya. Orang-orang gaduh. Masih mengantuk, lelaki setengah baya itu turun dari kamarnya di lantai dua. Ia terhuyung-huyung dan cemas. Kembali teringat akan peristiwa pembakaran toko dan menyerbuan anak-anak muda kota ini yang beringas. Mereka mengamuk, menyerang para pekerja imigran gelap asal Suriah. Dalam hati Orhan Fatih bertanya-tanya: apa lagi yang kini terjadi atas toko roti ini? Toko ini dibangun dengan jerih payah sebagai seorang keturunan Ottoman yang diusir dari Turki pada zaman kekuasaaan Ataturk. Leluhur Orhan Fatih memperoleh suaka di Damaskus. Tetapi ketika kota itu dihancurkan perang saudara, Orhan Fatih mencari jalan untuk tinggal di Ankara. Ia mendirikan toko roti yang kemudian laris dan memiliki banyak pelanggan. Orhan Fatih masih teringat akan peristiwa ketika toko rotinya dibakar anak-anak muda Ankara, gara-gara mereka berkelahi dengan para pekerja toko yang berasal dari imigran gelap asal Suriah. Saat itu datang polisi yang meredakan kerusuhan dan mencegah pembakaran toko dengan lebih brutal. Ia mengenal baik polisi-polisi yang menjadi pelanggan toko rotinya. Malam itu para polisi itulah yang melindungi tokonya dari kemusnahan.

Terburu-buru Orhan Fatih membuka pintu depan toko. Fahmara yang terbangun malam itu mengikuti langkah Orhan Fatih. Tiba di trotoar, mereka tak menemukan siapa pun. Tak ada bekas-bekas kejahatan manusia. Yang mereka lihat hanyalah sosok lelaki pemanggul senapan yang berlari menjauh, lenyap dalam sepi jalan dan gedung-gedung pertokoan.

“Lelaki pemanggul senapan lagi!” kata Orhan Fatih.

Fahmara melacak lelaki pemanggul senapan. Ia mengikuti bayangan lelaki menjauh. Gadis itu berpikir, lelaki pemanggul senapan akan cepat berlari. Lelaki muda itu berhenti. Memandang Fahmara. Senapan masih dipanggulnya. Tak tampak ancaman dalam sepasang matanya.

“Apa yang kaulakukan?”

Lelaki pemanggul senapan itu tidak mengatakan apa pun. Ia memandangi Fahmara dari kejauhan. Bergegas pergi ketika melihat Orhan Fatih mendekat. Fahmara ingin mengejar lelaki pemanggul senapan, tetapi Orhan Fatih mencegah.

“Kau dalam bahaya kalau mengejarnya!”

                             ***

MENJELANG tengah malam, Orhan Fatih terbangun. Ia mendengar kegaduhan di trotoar. Bergegas ia turun dari kamarnya di lantai dua. Sengaja ia tak membangunkan istri dan dua anak lelakinya. Ia menuruni anak tangga, buru-buru membuka pintu tokonya. Begitu pintu toko roti terbuka, dua orang bertopeng menyerang dengan pedang. Ia juga melihat tiga orang bertopeng yang menyerang lelaki pemanggul senapan. Ia buru-buru masuk ke dalam toko, dan mengunci rapat pintu.

Tinggal lelaki pemanggul senapan seorang diri melawan lima orang bertopeng yang menyerang secara bersamaan. Kenapa lelaki pemanggul senapan tak mau menembak mati lima orang bertopeng? Siapa lima lelaki bertopeng itu? Perampok? Lalu, siapa lelaki pemanggul senapan itu?

            Tembakan senapan terdengar. Sekali. Kembali terjadi perkelahian. Pukulan-pukulan. Tendangan-tendangan. Teriakan kemarahan. Sekali lagi, lelaki pemanggul senapan itu menembak. Terdengar derap kaki lima orang bertopeng yang melarikan diri dikejar lelaki pemanggul senapan. Orhan Fatih buru-buru membuka pintu toko. Ia mendapati pemuda pemanggul senapan terluka sabetan pedang pada dadanya. Kelima lelaki bertopeng melarikan diri. Dua orang lelaki bertopeng yang tertembak kakinya, terpincang-pincang dengan ceceran darah di trotoar. Mereka melarikan diri dengan mobil.

Orhan Fatih memandangi wajah lelaki pemanggul senapan yang terluka sabetan pedang pada dadanya. “Saad? Siapa mereka?”

“Teman-teman imigran gelap yang dulu pernah bekerja di toko roti ini,” kata Saad, lelaki pemanggul senapan. “Mereka dendam lantaran dipecat. Mereka ingin merampok toko roti ini sejak beberapa hari yang lalu.”

                            ***

PAGI itu luka sabetan pedang di dada Saad sudah dijahit dokter rumah sakit. Saad diperkenankan pulang pada tengah malam itu. Ia menempati sebuah kamar di lantai dua toko, dirawat Fahmara. Saad seorang imigran gelap asal Suriah, pernah bekerja sebagai pelayan toko roti Orhan Fatih. Dulu ia meninggalkan Ankara, merantau ke Konya, bekerja sebagai tenaga kebersihan Mevlana Museum, dan tiap Sabtu malam mementaskan tari sema di Mevlana Cultural Centre.

            Orhan Fatih merasa sangat berterimakasih pada Saad. “Rupanya kau sudah tahu kalau toko rotiku akan dirampok?”

“Saya dengar rencana perampokan itu dari teman-teman imigran gelap di Ankara,” balas Saad, masih menahan rasa pedih di dada. “Tiap tengah malam saya menjaga agar perampokan tak terjadi.”

“Kau tak lagi kerja di Mevlana Museum?”

“Tidak lagi. Saya ingin kembali ke Suriah. Ikut berperang melawan penguasa,” tukas Saad. “Saya datang ke sini mau berpamitan.”

“Semua anggota keluargamu sudah meninggal,” kata Orhan Fatih. “Aku masih sering berhubungan dengan orang-orang di Damaskus. Terakhir kudengar kabar kakakmu meninggal dalam pertempuran. Tinggal kau yang hidup untuk meneruskan keturunan orang tuamu. Apa kau masjh mau bertempur?”

“Tidak ada jalan lain. Saya merasa tak lagi punya kesempatan hidup lebih baik di sini.”

Fahmara menyuguhkan roti, menemen 1), dan cay2) untuk Saad. Luka di dada kanan Saad masih mengganggu tangan kanannya untuk bergerak. Gugup, Fahmara menyuapkan roti dan menemen ke mulut Saad.

“Aku senang kalau kau mau bekerja di toko rotiku. Kau bisa nikah dengan Fahmara,” kata Orhan Fatih. Fahmara menghentikan menyuapi Saad. Ia tersipu-sipu.

Saad teringat ketika bertemu Fahmara pertama kali, gadis itu memburunya dalam senyap malam, dan mereka berhadap-hadapan di kejauhan. Ia sudah merasa takjub pada gadis itu. Gadis yang tak memiliki rasa takut, meski berhadapan dengan seorang lelaki asing yang memanggul senapan.

“Pikirkan lagi tawaranku,” kata Orhan Fatih, meninggalkan kamar.

Saad berdua dengan Fahmara. Gadis itu canggung, malu, dan gemetar. Fahmara masih menyembunyikan rahasia, bila ia tiga kali bermimpi bertemu pemuda memanggul senapan. Gadis itu sempat terpana ketika pertama kali, dalam samar cahaya lampu jalan, melihat sosok lelaki pemanggul senapan itu.   

                              ***

                                                     Ankara, Juli 2022

                                       Pandana Merdeka, Februari 2023

Catatan

1)      1) Menemen        = terbuat dari telur, garam, bawang, oregano, cabai manis, dan merica.

2)      2) Cay                  = teh Turki

 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »