Objek Hasrat, Persaingan, dan Kekerasan di Arena Pacuan - Ilham Rabbani

@kontributor 2/05/2023

Objek Hasrat, Persaingan, dan Kekerasan di Arena Pacuan

Ilham Rabbani

 


Teks sastra membentangkan pada kita fakta-fakta cerita (tokoh, alur, latar) dan sejumlah sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan nada, simbolisme, ironi). Makin tinggi tingkat mimetisme (realis) karya itu dengan kenyataan atau dunia yang kita tempati (actual world)–khusus dalam pembicaraan ini adalah prosa, baik cerita pendek maupun novel–maka makin mudah bagi pembaca untuk dapat sekadar berselancar, mencoba terlibat, memetik maksud, pelajaran, kritikan, dan seterusnya dari apa yang dinarasikan sang pengarang di dalam tubuh karya.

Dalam bentang alur, spesifiknya adalah konflik, pengarang mesti membentangkan baik konflik fisik maupun konflik batin yang dialami para tokoh bikinan mereka. Konflik fisik membawa kita pada benturan antartokoh yang menimbulkan kekerasan, saling tindas, dan rupa-rupa perseteruan lainnya, sementara konflik batin menyeret kita pada pergulatan personal (seorang) tokoh dengan dirinya sendiri–keduanya meminta perhatian dan keterlibatan kita dalam tingkat yang berbeda, dan pencelupan lebih dalam plus masyuk bakal dimungkinkan andai sang pengarang punya bekal kematangan teknik.

Terkadang, sebuah cerita pendek dapat membawa kita pada tumpukan konflik, yang diakibatkan s(u)atu objek hasrat (object of desire), dan persaingan (competition)–bahkan kekerasan (violence)–tidak terhindarkan akibat keinginan yang kuat terhadap objek tersebut. Hasrat memiliki itu bahkan makin diperkuat oleh dorongan-dorongan lain yang muncul dari aspek eksternal sang tokoh, atau katakanlah bukan semata-mata kondisi kepengin memiliki, melainkan objek hasrat itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan ekonomi, politik, pendongkrak status sosial, dan seterusnya dari sang tokoh terkait.

Persaingan sengit untuk memperebutkan objek hasrat–yang berakibat pada tumpukan konflik antartokoh–bisa kita lihat dalam kasus cerpen “Pacuan Kuda” karya Robbyan Abel Ramdhon yang dimuat laman Sastramedia.com edisi 3 Juli 2022 silam.(1) Cerpen tersebut berkisah tentang sandiwara penodongan revolver–yang kemudian bertransformasi menjadi adegan sungguhan–antara Elizabeth kecil dengan Benito, si wasit pacuan kuda, di tengah kericuhan para penjudi akibat dugaan kecurangan/kongkalikong yang dilakukan oleh tokoh Bandar, si Borjuis, dan Mafia bersenjata. Di akhir: Ayah Elizabeth (seorang polisi yang turut bertaruh) terkapar menjadi korban tembakan sang Mafia; Elizabeth sendiri mengalami cedera mata akibat bola golf yang dipukul meleset oleh si Borjuis; Benito tertunduk menangis dalam penyesalan lantaran kebodohannya; dan kuda-kuda berupaya ditenangkan tokoh Bandar karena satu di antara mereka sempat dilumpuhkan tembakan ancaman Benito dalam sandiwara(-sungguhan)-nya.

Uang taruhan, secara nyata menjadi objek hasrat dalam cerita ini. Di luar hasrat para tokoh, kita dapat mencermati konteks krisis ekonomi negara-negara di dunia seperti Inggris, Jerman, atau Amerika pasca-Perang Dunia I sebagai penyebab adanya persaingan sengit dalam memperebutkan uang, baik untuk keperluan individu maupun kelompok masing-masing. Nama-nama tokoh seperti Elizabeth atau Benito, serta atribut-atribut yang dikenakan oleh mereka di dalam cerita (topi berbulu, top hat, atau sebagainya), menjadi penanda penguat bahwa cerpen ini berlatar di Barat–atau setidaknya di negara yang dipengaruhi negara-negara itu.

 

Triangular Desire: Posisi Kaum Borjuis, Uang Taruhan, dan Para Penjudi + Benito

Jika merujuk kepada pemikiran Rene Girard mengenai hasrat segitiga (triangular desire), di dalam cerpen, kita dapat melihat: pertama, posisi model/mediator diisi oleh tokoh Borjuis, juga orang kaya lainnya yang non-eksis dalam narasi; kedua, objek hasrat dalam wujud uang taruhan, yang mewakili hal-hal/benda-benda lain yang dapat dijangkau menggunakannya; dan ketiga, Benito selaku wasit pacuan bersama para penjudi lainnya (Mafia, Borjuis, Ayah Elizabeth, pria gondrong dengan kuping topi menjuntai) adalah subjek-subjek yang berkompetisi demi mendapatkan objek hasrat. Adapun di luar itu, dan takkan saya ulik lebih jauh: Elizabeth menghasratkan objek berupa pistol revolver yang dimiliki Benito, yang mediatornya adalah koboi-koboi dalam film yang ia saksikan.

Tentang terma-terma itu, dalam bukunya yang berjudul Deceit, Desire and the Novel (1965), Girard menerangkan bahwasanya hasrat manusia tak pernah autentik bersumber dari dalam diri sendiri. Hasrat tak pernah muncul secara spontan lantaran subjek tak selalu mengetahui hal-hal (objek) yang ia inginkan–manusia terjebak dalam pertanyaan, “Apa yang sesungguhnya ia sendiri inginkan?” Keinginan dan hasrat subjek cenderung merupakan hasil dari proses imitasi, meniru, serta mereplikasi hasrat subjek lain–hasrat subjek adalah hasrat dari lingkungan sekitar atau yang berada di luar dirinya, yang lantas diperantarai oleh model atau mediator. Model dalam konsep Girard adalah sosok yang menjadi mediator antara hasrat mimetik subjek dengan objek yang dihasratkan.

Analisis teori mimetik Girard ini sebenarnya berangkat dari pembacaannya atas tokoh-tokoh dalam karya para pengarang besar Eropa, seperti Cervantes, Stendhal, Flaubert, Proust, dan Dostoievsky. Sebagai misal, pada bagian-bagian awal Deceit, Desire and the Novel, mengerucut lagi sub pertama “‘Triangular’ Desire”, Girard dengan gamblang menyatakan,

 

Don Quixote has surrendered to Amadis the individual's fundamental prerogative: he no longer chooses the objects of his own desire–Amadis must choose for him. The disciple pursues objects which are determined for him, or at least seem to be determined for him, by the model of all chivalry. We shall call this model the mediator of desire. Chivalric existence is the imitation of Amadis in the same sense that the Christian's existence is the imitation of Christ. (hlm. 1-2)

 

Hanya saja, Girard juga melihat bahwa kecenderungan yang muncul dari (tokoh-tokoh) karya yang ia amati, tidak hanya terjadi pada karakter dalam novel, melainkan pula dapat ditemukan dalam realitas sehari-hari–namun banyak yang tak langsung menyadarinya.

Mengenai kelindan antara tokoh-tokoh novel dengan manusia dalam realitas itu, barangkali kita pun mafhum, karena memang seperti disampaikan Robert Stanton dalam An Introduction to Fiction (1965), alasan karakter/tokoh untuk bertindak selalu digiring motivasi, dan “motivasi dasar” adalah suatu aspek umum dari satu karakter/tokoh, atau dengan kata lain hasrat dan maksudlah yang memandu sang karakter/tokoh dalam melewati keseluruhan cerita. Dalam realitas, manusia pun dalam serentang alur hidupnya digiring ambisi, hasrat, dan sejumlah “lack” yang menurutnya mesti dipenuhi.

Chaos mulai menyembul–sebagai konflik–dalam cerpen akibat dugaan kecurangan yang dilakukan oleh tokoh Bandar: ia dicurigai para penjudi lainnya, termasuk Ayah Elizabeth, telah berpihak pada si Borjuis dan Mafia bersenjata. Kita melihat persaingan atau kompetisi di titik ini, yakni ketika sejumlah subjek berhasrat dengan teramat pada objek yang sama: uang taruhan. Konflik itu diperparah dengan adanya sandiwara penodongan–yang sebenarnya sungguhan–antara Elizabeth dan Benito, di mana Benito rupanya turut pula menghasratkan objek yang sama.

Tokoh Benito terang-terangan mengakui membutuhkan, menginginkan, menghasratkan uang, karena ia merasa dirinyalah yang lebih membutuhkan objek itu ketimbang para penjudi dan yang lainnya. Benito lelah dengan kemiskinan dan olokan terhadap kecacatan fisiknya–kaki kirinya diamputasi dan diganti besi berbentuk jangkar; ia ingin pergi ke pulau lain yang lebih indah, mewah, dan tenang (mirip surga), tempat yang nihil suara rengekan kuda, letusan pistol, atau mesin pesawat tempur.

 

Jarak Spiritual, Persaingan, dan Letusan Kekerasan

Hasrat manusia, sebagaimana tokoh-tokoh dalam cerpen “Pacuan Kuda” terhadap uang taruhan, dapat menimbulkan rivalitas serta memicu adanya konflik ketika imitasi tersebut terjadi dalam relasi yang–oleh Girard disebut–memiliki “jarak spiritual” berdekatan. Sebaliknya, jika subjek tidak dapat menjangkau mediator karena jauhnya jarak spiritual, maka potensi rivalitas sangat minim bakal terjadi. Tidak adanya rivalitas antara subjek dan mediator bukan karena triangular desire melemah, melainkan karena jarak antarkeduanya sangat jauh. Menurut Sindhunata dalam bukunya, Kambing Hitam: Teori René Girard (2007), jarak tersebut bukan semata-mata jarak dalam wujud fisikal atau spasial, melainkan jarak spiritual, yakni perbedaan kelas sosial semacam derajat atau pangkat (hlm. 25).

Tokoh Borjuis adalah seserpih representasi dari kelompok kaya yang berupaya “digapai” atau diimitasi oleh kelompok-kelompok lain dalam cerpen. Sekali lagi, Borjuis menjadi mediator atau model bagi Benito dan penjudi, sebab aktor-aktor sekalangan Borjuis identik dengan kepemilikan atas atas (objek) kuasa dan (objek) harta, dan dengan itu mereka bisa menggapai aktivitas-aktivitas dan objek-objek sebagaimana dihasratkan Benito: pulau indah yang terpisah, seks, kekayaan, dan seterusnya. Yang ironis, andai kita rasionalkan, sang Borjuis barangkali telah punya banyak harta, namun justru masih turut terlibat dalam kompetisi memperebutkan segepok uang taruhan–namun, mungkin ini pulalah kekejaman dan absurdnya imbas dari Perang Dunia I.

Sejatinya, kita melihat jarak spiritual yang cukup jauh antara tokoh Borjuis dan para penjudi plus Benito dalam cerpen. Yang jarak spiritualnya berdekatan adalah tokoh-tokoh di dalam arena perjudian itu sendiri: Bandar, Mafia, pria gondrong, Ayah Elizabeth yang sebenarnya berprofesi polisi, ditambah kehadiran Benito sendiri. Hanya saja, kita mendapati bahwa jarak spiritual menjadi makin rapat lantaran faktor ruang, di mana berbagai kelompok strata sosial membaur dalam satu lokasi spesifik yang bernama “arena pacuan kuda”. Oleh sebab itulah, di samping cara pandang Girard terhadap jarak spiritual yang baginya andai terpaut jauh dapat meminimalisasi konflik, saya justru melihat bahwa konflik pula potensial terjadi–meskipun jarak spiritual berjauhan–lantaran sejumlah pengaruh lain, dan kita melihat eksisnya musabab ruang spasial di dalam kasus cerpen ini. Faktor ruang spesifik ini pulalah yang mengakibatkan instrumen kekerasan dalam konteks rivalitas menjadi tiada terhindarkan: Benito mengancam Elizabeth dan menembak kuda pacuan; bola golf tokoh Borjuis meleset dan mencederai mata kanan Elizabeth; Ayah Elizabeth meninju hidung Borjuis, dan berniat menembaknya; dan pemungkasnya adalah revolver Mafia terlebih dahulu melubangi dada kiri Ayah Elizabeth sebagai wujud perlindungannya terhadap sang rekan bisnis.

***

Sebagaimana dua sisi mata uang, hasrat mimesis atau imitasi sejatinya mengandung dua unsur sekaligus: negatif dan positif. Persaingan karena hasrat imitasi memang menimbulkan kekerasan, tetapi juga bisa melahirkan perdamaian. Rivalitas dan kekerasan muncul lantaran penghasratan atas objek yang sama, lebih-lebih dengan hasrat yang teramat, selayaknya yang kita temui dalam cerpen. Konflik tetap diperlukan dalam dinamika mimesis. Girard menambahkan bahwa hasrat mimetika manusia tidak akan berujung pada kekerasan andai subjek-subjek berkenan berbagi objek. Permasalahan muncul ketika subjek menghasratkan satu objek yang sama. Hal ini, mau tak mau mesti mengakibatkan subjek saling bersaing untuk menggapai objek; saling berupaya dan bergerak untuk menggapai posisi sebagai model dan mediator.

Masalahnya, pertanyaan yang muncul jika kita bertolak dari marutnya kondisi dalam cerpen “Pacuan Kuda” ialah, “Apakah kejernihan pikiran untuk berbagi objek (uang taruhan) bakal dimungkinkan di tengah kondisi sedemikian absurd sebagai imbas dari Perang Dunia I?” Bagi saya, ini adalah pertanyaan yang membutuhkan penyelisikan lebih jauh dan komprehensif, dengan melibatkan elemen-elemen historis dari konteks atau latar kejadian cerpen.

Dari pertanyaan itu pula, kita dapat bertolak lagi ke konteks yang lain, ke konteks yang barangkali lebih terkini. Max Scheller pernah menerangkan tentang fenomena kedengkian yang menyelimuti masyarakat kita pada zaman modern ini, yang ia sebut sebagai “resentiment”. Stendhal sendiri, melalui The Memoirs of a Tourist (1985), juga pernah menyebutkan bahwa dengki dan iri hati merupakan emosi-emosi yang melanda masyarakat modern. Emosi-emosi demikian dihasilkan dari apa yang Stendhal sebut sebagai “vanity”, yakni suatu kesia-siaan dan kekosongan karena manusia saling tiru-meniru, saling mengagumi dan mengidolakan sesuatu secara berlebihan.(2)

Dan kita, mungkin sama seperti tokoh-tokoh dalam cerpen “Pacuan Kuda” karya Robbyan Abel Ramdhon: jika mereka bersaing di tempat spesifik bernama “arena pacuan kuda”, dan luput menyadari model yang mereka tiru dan hasratkan–yang tak lain adalah Borjuis dan orang-orang sekalangannya lagi yang non-eksis dalam narasi; kita di luar konteks cerita barangkali bukan hanya tak sadar bahwa tengah menghasratkan imitasi atas model atau mediator tertentu, melainkan lantaran semenjak dini telah dihegemoni untuk lihai dalam berkompetisi, maka aktivitas kompetisi pun telah menubuh dengan kita, tiada disadari, dan mengarah pada tindakan penghalalan berbagai metode, asalkan nantinya kemenangan bakal berpihak pada kita. Realitas kita, dengan realitas dalam konteks cerpen, akhirnya kita dapati tak kalah absurd dari itu–imbas Perang Dunia I, lebih-kurang serupa dengan imbas perang kita yang tanpa peluru.

Terakhir, yang pula penting saya sitir kiranya, kata Wolfgang Palaver, yang kemudian dikutip oleh Nicolaus Yudi Ardhana dalam jurnalnya yang berjudul “Telaah Atas Fenomena Mimetika Kekerasan di Ruang Maya dalam Terang Pemikiran Rene Girard” (Melintas, 2020), teori mimetika atau triangular desire dari Girard menggambarkan manusia sebagai makhluk sosial yang amat bergantung kepada relasi dengan orang lain. Eksistensi orang lain diperlukan sebagai wahana yang memproduksi hasrat seseorang. Tidak ada manusia yang secara intrinsik lengkap. Ide bahwa manusia merupakan subjek yang otonom, yang berkuasa atas kehendaknya sendiri, bagi Girard semata merupakan kondisi “romantic lie”.


Note:

(1) Ramdhon, Robbyan Abel. 2022. “Pacuan Kuda”. Sastramedia.com, https://www.sastramedia.com/2022/07/pacuan-kuda-robbyan-abel-ramdhon.html

(2) Pernyataan dari Scheller dan Stendhal ini dapat dilihat juga di dalam buku Kambing Hitam (2007) karya Sindhunata, hlm. 28-30.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »