Objek Hasrat, Persaingan, dan Kekerasan di Arena Pacuan
Ilham Rabbani
Teks sastra membentangkan pada kita fakta-fakta cerita (tokoh, alur, latar)
dan sejumlah sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan nada, simbolisme,
ironi). Makin tinggi tingkat mimetisme (realis) karya itu dengan kenyataan atau
dunia yang kita tempati (actual world)–khusus
dalam pembicaraan ini adalah prosa, baik cerita pendek maupun novel–maka makin
mudah bagi pembaca untuk dapat sekadar berselancar, mencoba terlibat, memetik
maksud, pelajaran, kritikan, dan seterusnya dari apa yang dinarasikan sang pengarang
di dalam tubuh karya.
Dalam bentang alur, spesifiknya adalah konflik, pengarang mesti
membentangkan baik konflik fisik maupun konflik batin yang dialami para tokoh
bikinan mereka. Konflik fisik membawa kita pada benturan antartokoh yang
menimbulkan kekerasan, saling tindas, dan rupa-rupa perseteruan lainnya,
sementara konflik batin menyeret kita pada pergulatan personal (seorang) tokoh
dengan dirinya sendiri–keduanya meminta perhatian dan keterlibatan kita dalam
tingkat yang berbeda, dan pencelupan lebih dalam plus masyuk bakal dimungkinkan
andai sang pengarang punya bekal kematangan teknik.
Terkadang, sebuah cerita pendek dapat membawa kita pada tumpukan konflik,
yang diakibatkan s(u)atu objek hasrat (object
of desire), dan persaingan (competition)–bahkan
kekerasan (violence)–tidak
terhindarkan akibat keinginan yang kuat terhadap objek tersebut. Hasrat
memiliki itu bahkan makin diperkuat oleh dorongan-dorongan lain yang muncul
dari aspek eksternal sang tokoh, atau katakanlah bukan semata-mata kondisi
kepengin memiliki, melainkan objek hasrat itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan
ekonomi, politik, pendongkrak status sosial, dan seterusnya dari sang tokoh
terkait.
Persaingan sengit untuk memperebutkan objek hasrat–yang berakibat pada
tumpukan konflik antartokoh–bisa kita lihat dalam kasus cerpen “Pacuan Kuda”
karya Robbyan Abel Ramdhon yang dimuat laman Sastramedia.com edisi 3 Juli 2022 silam.(1) Cerpen tersebut
berkisah tentang sandiwara penodongan revolver–yang kemudian bertransformasi
menjadi adegan sungguhan–antara Elizabeth kecil dengan Benito, si wasit pacuan
kuda, di tengah kericuhan para penjudi akibat dugaan kecurangan/kongkalikong
yang dilakukan oleh tokoh Bandar, si Borjuis, dan Mafia bersenjata. Di akhir:
Ayah Elizabeth (seorang polisi yang turut bertaruh) terkapar menjadi korban
tembakan sang Mafia; Elizabeth sendiri mengalami cedera mata akibat bola golf
yang dipukul meleset oleh si Borjuis; Benito tertunduk menangis dalam
penyesalan lantaran kebodohannya; dan kuda-kuda berupaya ditenangkan tokoh
Bandar karena satu di antara mereka sempat dilumpuhkan tembakan ancaman Benito
dalam sandiwara(-sungguhan)-nya.
Uang taruhan, secara nyata menjadi objek hasrat dalam cerita ini. Di luar
hasrat para tokoh, kita dapat mencermati konteks krisis ekonomi negara-negara
di dunia seperti Inggris, Jerman, atau Amerika pasca-Perang Dunia I sebagai
penyebab adanya persaingan sengit dalam memperebutkan uang, baik untuk
keperluan individu maupun kelompok masing-masing. Nama-nama tokoh seperti
Elizabeth atau Benito, serta atribut-atribut yang dikenakan oleh mereka di
dalam cerita (topi berbulu, top hat,
atau sebagainya), menjadi penanda penguat bahwa cerpen ini berlatar di
Barat–atau setidaknya di negara yang dipengaruhi negara-negara itu.
Triangular Desire: Posisi Kaum Borjuis, Uang Taruhan, dan Para Penjudi + Benito
Jika merujuk kepada pemikiran Rene Girard mengenai hasrat segitiga (triangular desire), di dalam cerpen,
kita dapat melihat: pertama, posisi
model/mediator diisi oleh tokoh Borjuis, juga orang kaya lainnya yang non-eksis
dalam narasi; kedua, objek hasrat dalam wujud uang taruhan,
yang mewakili hal-hal/benda-benda lain yang dapat dijangkau menggunakannya; dan
ketiga, Benito selaku wasit pacuan bersama para penjudi lainnya (Mafia,
Borjuis, Ayah Elizabeth, pria gondrong dengan kuping topi menjuntai) adalah
subjek-subjek yang berkompetisi demi mendapatkan objek hasrat. Adapun di luar
itu, dan takkan saya ulik lebih jauh: Elizabeth menghasratkan objek berupa
pistol revolver yang dimiliki Benito, yang mediatornya adalah koboi-koboi dalam
film yang ia saksikan.
Tentang terma-terma itu, dalam bukunya yang berjudul Deceit, Desire and the Novel (1965), Girard menerangkan bahwasanya
hasrat manusia tak pernah autentik bersumber dari dalam diri sendiri. Hasrat
tak pernah muncul secara spontan lantaran subjek tak selalu mengetahui hal-hal
(objek) yang ia inginkan–manusia terjebak dalam pertanyaan, “Apa yang
sesungguhnya ia sendiri inginkan?” Keinginan dan hasrat subjek cenderung
merupakan hasil dari proses imitasi, meniru, serta mereplikasi hasrat subjek
lain–hasrat subjek adalah hasrat dari lingkungan sekitar atau yang berada di
luar dirinya, yang lantas diperantarai oleh model atau mediator. Model dalam
konsep Girard adalah sosok yang menjadi mediator antara hasrat mimetik subjek
dengan objek yang dihasratkan.
Analisis teori mimetik Girard ini sebenarnya berangkat dari pembacaannya
atas tokoh-tokoh dalam karya para pengarang besar Eropa, seperti Cervantes,
Stendhal, Flaubert, Proust, dan Dostoievsky. Sebagai misal, pada bagian-bagian
awal Deceit, Desire and the Novel,
mengerucut lagi sub pertama “‘Triangular’ Desire”, Girard dengan gamblang
menyatakan,
Don Quixote has
surrendered to Amadis the individual's fundamental prerogative: he no longer
chooses the objects of his own desire–Amadis must choose for him. The disciple
pursues objects which are determined for him, or at least seem to be determined
for him, by the model of all chivalry. We shall call this model the mediator of
desire. Chivalric existence is the imitation of Amadis in the same sense that
the Christian's existence is the imitation of Christ. (hlm. 1-2)
Hanya saja, Girard juga melihat bahwa kecenderungan yang muncul dari
(tokoh-tokoh) karya yang ia amati, tidak hanya terjadi pada karakter dalam
novel, melainkan pula dapat ditemukan dalam realitas sehari-hari–namun banyak
yang tak langsung menyadarinya.
Mengenai kelindan antara tokoh-tokoh novel dengan manusia dalam realitas
itu, barangkali kita pun mafhum, karena memang seperti disampaikan Robert
Stanton dalam An Introduction to Fiction
(1965), alasan karakter/tokoh untuk bertindak selalu digiring motivasi, dan
“motivasi dasar” adalah suatu aspek umum dari satu karakter/tokoh, atau dengan
kata lain hasrat dan maksudlah yang memandu sang karakter/tokoh dalam melewati
keseluruhan cerita. Dalam realitas, manusia pun dalam serentang alur hidupnya
digiring ambisi, hasrat, dan sejumlah “lack”
yang menurutnya mesti dipenuhi.
Chaos mulai menyembul–sebagai konflik–dalam cerpen akibat dugaan kecurangan yang
dilakukan oleh tokoh Bandar: ia dicurigai para penjudi lainnya, termasuk Ayah
Elizabeth, telah berpihak pada si Borjuis dan Mafia bersenjata. Kita melihat
persaingan atau kompetisi di titik ini, yakni ketika sejumlah subjek berhasrat
dengan teramat pada objek yang sama: uang taruhan. Konflik itu diperparah
dengan adanya sandiwara penodongan–yang sebenarnya sungguhan–antara Elizabeth
dan Benito, di mana Benito rupanya turut pula menghasratkan objek yang sama.
Tokoh Benito terang-terangan mengakui membutuhkan, menginginkan, menghasratkan uang, karena ia merasa dirinyalah yang lebih membutuhkan objek itu ketimbang para penjudi dan yang lainnya. Benito lelah dengan kemiskinan dan olokan terhadap kecacatan fisiknya–kaki kirinya diamputasi dan diganti besi berbentuk jangkar; ia ingin pergi ke pulau lain yang lebih indah, mewah, dan tenang (mirip surga), tempat yang nihil suara rengekan kuda, letusan pistol, atau mesin pesawat tempur.
Jarak Spiritual, Persaingan, dan
Letusan Kekerasan
Hasrat manusia, sebagaimana tokoh-tokoh dalam cerpen “Pacuan Kuda” terhadap
uang taruhan, dapat menimbulkan rivalitas serta memicu adanya konflik ketika
imitasi tersebut terjadi dalam relasi yang–oleh Girard disebut–memiliki “jarak
spiritual” berdekatan. Sebaliknya, jika subjek tidak dapat menjangkau mediator
karena jauhnya jarak spiritual, maka potensi rivalitas sangat minim bakal
terjadi. Tidak adanya rivalitas antara subjek dan mediator bukan karena triangular desire melemah, melainkan
karena jarak antarkeduanya sangat jauh. Menurut Sindhunata dalam bukunya, Kambing Hitam: Teori René Girard (2007),
jarak tersebut bukan semata-mata jarak dalam wujud fisikal atau spasial, melainkan
jarak spiritual, yakni perbedaan kelas sosial semacam derajat atau pangkat
(hlm. 25).
Tokoh Borjuis adalah seserpih representasi dari kelompok kaya yang berupaya
“digapai” atau diimitasi oleh kelompok-kelompok lain dalam cerpen. Sekali lagi,
Borjuis menjadi mediator atau model bagi Benito dan penjudi, sebab aktor-aktor
sekalangan Borjuis identik dengan kepemilikan atas atas (objek) kuasa dan
(objek) harta, dan dengan itu mereka bisa menggapai aktivitas-aktivitas dan
objek-objek sebagaimana dihasratkan Benito: pulau indah yang terpisah, seks,
kekayaan, dan seterusnya. Yang ironis, andai kita rasionalkan, sang Borjuis
barangkali telah punya banyak harta, namun justru masih turut terlibat dalam
kompetisi memperebutkan segepok uang taruhan–namun, mungkin ini pulalah
kekejaman dan absurdnya imbas dari Perang Dunia I.
Sejatinya, kita melihat jarak spiritual yang cukup jauh antara tokoh Borjuis dan para penjudi plus Benito dalam cerpen. Yang jarak spiritualnya berdekatan adalah tokoh-tokoh di dalam arena perjudian itu sendiri: Bandar, Mafia, pria gondrong, Ayah Elizabeth yang sebenarnya berprofesi polisi, ditambah kehadiran Benito sendiri. Hanya saja, kita mendapati bahwa jarak spiritual menjadi makin rapat lantaran faktor ruang, di mana berbagai kelompok strata sosial membaur dalam satu lokasi spesifik yang bernama “arena pacuan kuda”. Oleh sebab itulah, di samping cara pandang Girard terhadap jarak spiritual yang baginya andai terpaut jauh dapat meminimalisasi konflik, saya justru melihat bahwa konflik pula potensial terjadi–meskipun jarak spiritual berjauhan–lantaran sejumlah pengaruh lain, dan kita melihat eksisnya musabab ruang spasial di dalam kasus cerpen ini. Faktor ruang spesifik ini pulalah yang mengakibatkan instrumen kekerasan dalam konteks rivalitas menjadi tiada terhindarkan: Benito mengancam Elizabeth dan menembak kuda pacuan; bola golf tokoh Borjuis meleset dan mencederai mata kanan Elizabeth; Ayah Elizabeth meninju hidung Borjuis, dan berniat menembaknya; dan pemungkasnya adalah revolver Mafia terlebih dahulu melubangi dada kiri Ayah Elizabeth sebagai wujud perlindungannya terhadap sang rekan bisnis.
***
Sebagaimana dua sisi mata uang, hasrat mimesis atau imitasi sejatinya
mengandung dua unsur sekaligus: negatif dan positif. Persaingan karena hasrat
imitasi memang menimbulkan kekerasan, tetapi juga bisa melahirkan perdamaian.
Rivalitas dan kekerasan muncul lantaran penghasratan atas objek yang sama,
lebih-lebih dengan hasrat yang teramat, selayaknya yang kita temui dalam
cerpen. Konflik tetap diperlukan dalam dinamika mimesis. Girard menambahkan
bahwa hasrat mimetika manusia tidak akan berujung pada kekerasan andai
subjek-subjek berkenan berbagi objek. Permasalahan muncul ketika subjek
menghasratkan satu objek yang sama. Hal ini, mau tak mau mesti mengakibatkan
subjek saling bersaing untuk menggapai objek; saling berupaya dan bergerak
untuk menggapai posisi sebagai model dan mediator.
Masalahnya, pertanyaan yang muncul jika kita bertolak dari marutnya kondisi
dalam cerpen “Pacuan Kuda” ialah, “Apakah kejernihan pikiran untuk berbagi
objek (uang taruhan) bakal dimungkinkan di tengah kondisi sedemikian absurd
sebagai imbas dari Perang Dunia I?” Bagi saya, ini adalah pertanyaan yang
membutuhkan penyelisikan lebih jauh dan komprehensif, dengan melibatkan
elemen-elemen historis dari konteks atau latar kejadian cerpen.
Dari pertanyaan itu pula, kita dapat bertolak lagi ke konteks yang lain, ke
konteks yang barangkali lebih terkini. Max Scheller pernah menerangkan tentang
fenomena kedengkian yang menyelimuti masyarakat kita pada zaman modern ini,
yang ia sebut sebagai “resentiment”.
Stendhal sendiri, melalui The Memoirs of
a Tourist (1985), juga pernah menyebutkan bahwa dengki dan iri hati
merupakan emosi-emosi yang melanda masyarakat modern. Emosi-emosi demikian
dihasilkan dari apa yang Stendhal sebut sebagai “vanity”, yakni suatu kesia-siaan dan kekosongan karena manusia
saling tiru-meniru, saling mengagumi dan mengidolakan sesuatu secara
berlebihan.(2)
Dan kita, mungkin sama seperti tokoh-tokoh dalam cerpen “Pacuan Kuda” karya
Robbyan Abel Ramdhon: jika mereka bersaing di tempat spesifik bernama “arena
pacuan kuda”, dan luput menyadari model yang mereka tiru dan hasratkan–yang tak
lain adalah Borjuis dan orang-orang sekalangannya lagi yang non-eksis dalam
narasi; kita di luar konteks cerita barangkali bukan hanya tak sadar bahwa
tengah menghasratkan imitasi atas model atau mediator tertentu, melainkan
lantaran semenjak dini telah dihegemoni untuk lihai dalam berkompetisi, maka
aktivitas kompetisi pun telah menubuh dengan kita, tiada disadari, dan mengarah
pada tindakan penghalalan berbagai metode, asalkan nantinya kemenangan bakal
berpihak pada kita. Realitas kita, dengan realitas dalam konteks cerpen,
akhirnya kita dapati tak kalah absurd dari itu–imbas Perang Dunia I,
lebih-kurang serupa dengan imbas perang kita yang tanpa peluru.
Terakhir, yang pula penting saya sitir kiranya, kata Wolfgang Palaver, yang kemudian dikutip oleh Nicolaus Yudi Ardhana dalam jurnalnya yang berjudul “Telaah Atas Fenomena Mimetika Kekerasan di Ruang Maya dalam Terang Pemikiran Rene Girard” (Melintas, 2020), teori mimetika atau triangular desire dari Girard menggambarkan manusia sebagai makhluk sosial yang amat bergantung kepada relasi dengan orang lain. Eksistensi orang lain diperlukan sebagai wahana yang memproduksi hasrat seseorang. Tidak ada manusia yang secara intrinsik lengkap. Ide bahwa manusia merupakan subjek yang otonom, yang berkuasa atas kehendaknya sendiri, bagi Girard semata merupakan kondisi “romantic lie”.
Note:
(1) Ramdhon, Robbyan Abel. 2022. “Pacuan Kuda”. Sastramedia.com, https://www.sastramedia.com/2022/07/pacuan-kuda-robbyan-abel-ramdhon.html
(2) Pernyataan dari Scheller dan Stendhal ini dapat dilihat juga di dalam
buku Kambing Hitam (2007) karya Sindhunata, hlm. 28-30.