Pacuan Kuda - Robbyan Abel Ramdhon

@kontributor 7/03/2022

Pacuan Kuda

Robbyan Abel Ramdhon






Debu musim panas menempel di tubuh kuda-kuda itu. Kuda-kuda malang yang tampak kelelahan sampai-sampai liur mereka menetes ke lintasan berpasir seperti lelehan besi dari kapal yang terbakar.

Para penjudi menyebar di tribun. Mereka punya ciri yang berbeda-beda. Namun tampak mudah dikenali; mereka juga punya cara tersendiri untuk memperlihatkan gelagat sebagai penjudi.

Seorang pria berambut gondrong di dekat tangga masuk menuju tribun, misalnya, mengenakan topi berbulu dengan bagian kuping menjuntai, seperti kuping kelinci. Dari tatapan lemahnya ke kuda-kuda yang sedang bersiaga, sikap pria itu menandakan seakan dia sudah lelah menerima kekalahan. Tetapi jauh di lubuk hatinya, semangat berjudinya masih menyala.

Yang duduk bersandar ke pagar tribun, di bagian belakang, adalah mafia bersenjata yang tidak pandai menyamar. Sehingga banyak orang takut padanya meski dia mencoba bersikap santai. Dengan helm biru yang dikenakannya, dia tampak lebih siap ikut balapan alih-alih menjadi penonton.

Selanjutnya, si borjuis, yang mengenakan top hat. Namun tidak bertingkah seperti pesulap yang mengeluarkan kelinci dari ketiadaan. Dia malah membawa tongkat golf lengkap dengan bolanya ke mana pun dia pergi, kendati dia mungkin, tidak bisa memukul bola sesuai estetika olahraga itu.

Salah satu bandar berkeliling menghampiri para penjudi – yang tampak akrab dengan mereka – yang entah bagaimana kehadirannya menjadi kewajaran tersendiri di tribun. Tak ada yang istimewa dari penampilan sang bandar berkumis harmonika itu, setelannya pun sebagaimana orang-orang yang menghadapi musim panas. Di bagian depan topi visor model lama yang dipegangnya untuk mengumpulkan kertas taruhan para penjudi, tertempel gambar pinguin. Seakan hendak menyiratkan bahwa topi itu pernah menjadi bagian dari seragam nahkoda kapal di Antartika.

Sebelum memasuki area tribun, para penjudi sudah membeli kertas taruhan sesuai harga yang ditetapkan bandar. Pada kertas itu, para penjudi akan menuliskan angka sesuai nomor kuda yang mereka prediksi akan menang. Aturannya, satu kertas, satu penjudi, satu pertandingan. Jadi tidak boleh memborong semua kertas sekaligus. Uang yang terkumpul dari hasil pembelian kertas taruhan, nanti, akan dibagikan pada para penjudi yang berhasil menebak hasil akhir.

Pacuan berlangsung kurang dari sepuluh menit, dan selama itu pula ayah Elizabeth menggerutu, seolah kecemasannya merupakan bentuk komunikasi antara dia dengan si penunggang kuda dan kuda. Lantas saat kuda yang didukungnya kalah, gerutu itu meledak menjadi pekikan, persis pekikan bocah yang jari kakinya tak sengaja tersandung meja berbahan beton.

Sementara Elizabeth, yang sejak tadi duduk di samping ayahnya, sambil mengunyah permen karet, sama sekali tidak merasa simpati dengan kekalahan itu. Seandainya hasil akhir menunjukkan hal sebaliknya, bisa jadi, sikapnya juga tidak akan jauh berbeda sebagaimana sekarang. Terlebih perhatiannya sudah dirampok pistol revolver yang digunakan seorang petugas pacuan, semacam wasit, untuk memulai balapan.

Baru kali ini Elizabeth melihat secara langsung sepucuk pistol bekerja. Moncongnya mengarah ke langit, asap-asap tipis keluar, dan segera bercampur dengan debu yang terbang dari permukaan tanah berpasir. Suara letusan pistol itu menyusup ke telinga Elizabeth, mengalir ke darah, lalu membuat tubuhnya gemetar merasakan sensasi aneh yang melegakan. Sensasi melegakan yang mendorong keinginan Elizabeth untuk mendengar suara letusan pistol itu sekali lagi, atau dua kali lagi. Atau sampai dia merasa puas.

Biasanya, Elizabeth melihat pistol hanya dalam film-film koboi kesukaannya, atau ayahnya yang malah tidak berguna sama sekali – selain untuk menjadi hiasan seragam kepolisian.

Pistol milik ayahnya tersimpan di tempat paling tersembunyi di rumah, atau yang hanya ayahnya dan Tuhan yang tahu. Karena itu, pikir Elizabeth, sepertinya akan lebih mudah mencuri pistol dari petugas yang asyik menonton pertengkaran para penjudi yang saling mengolok-ngolok kekalahan, ketimbang dari polisi yang selalu waspada kalau pistolnya disentuh oleh orang yang bukan dirinya.

Petugas bertubuh kekar semacam wasit itu naik ke tribun, menyaksikan bandar membagikan cek kemenangan bagi para penjudi yang menang. Dia punya perawakan yang sehat khas seorang prajurit perang. Dilihat dari wajahnya yang dilapisi kerutan, usianya pasti sudah cukup tua.

“Kau hebat sekali, Paman!” ujar Elizabeth, sambil melirik pistol yang menempel di pinggang petugas itu. Pujian yang disampaikannya memang tidak berarti apa-apa. Namun lumayan efektif untuk membuka percakapan.

“Bocah, kau juga hebat!”

Elizabeth menarik kepalanya, menghindar dari bau alkohol yang meluncur dari mulut petugas itu.

Sambil menjaga jarak yang sekiranya membuat perkataannya tetap terdengar tanpa harus bertarung dengan bau alkohol, Elizabeth kembali berbicara dengan petugas yang ada di depan mukanya: “Kau persis koboi dalam film kesukaanku.”

“Anak perempuan tidak baik menonton film koboi!” Petugas itu berkacak pinggang. Dari tanda nama yang menempel di dada kirinya, dia bernama Benito. “Lagi pula, kenapa harus menonton pacuan kuda?”

“Ayah terkadang membawaku ke tempat-tempat judi. Namun ini adalah pertama kalinya aku kemari, Paman Benito.”

“Ha ha ha! Memang, banyak orang percaya anak kecil bisa membawa keberuntungan di tempat judi. Kepercayaan tolol itu pasti sering menyita waktu bermainmu, ya?”

Elizabeth melipat bibirnya ke dalam mulut, menahan mual. Mencium bau alkohol yang bercampur bau keringat.

“Yang mana ayahmu?” Benito mulai tertarik mengobrol dengan gadis berusia tiga belas tahun di hadapannya.

“Kurasa yang itu.” Elizabeth menuding salah satu pria yang ikut dalam perdebatan kerumunan penjudi.

Para penjudi berdebat, dan sepertinya sebentar lagi akan pecah perkelahian. Ada dugaan kecurangan telah dilakukan oleh bandar. Tampaknya bandar telah mengganti kertas taruhan si borjuis, yang mestinya kalah, menjadi kertas pemenang.

“Seluruh kertas taruhan diamankan, setelah semua yang berhak memasukkan kertas taruhan mereka ke dalam topi, dan tidak ada seorang pun boleh menyentuh atau melihat hasilnya sampai pacuan selesai. Kalau sudah begitu, siapa yang bisa mengganti isinya?”

Nada bicara bandar itu kelewat tinggi untuk ukuran orang yang sedang diapit kerumunan. Sekalipun dia mengakhiri perkataannya dengan pertanyaan.

“Aku tidak ingin ada yang terluka hari ini. Jadi, kalian, lebih baik menerima segala sesuatunya,” kata mafia bersenjata, berpihak pada borjuis dan bandar.

“Ini tidak beres! Benar-benar tidak beres! Aku sudah bertaruh sebanyak sejuta kali dan selalu kalah. Sementara kalian selalu menang!” Ayah Elizabeth menunjuk mafia bersenjata dan borjuis secara bergantian. “Keanehan seperti ini hanya terjadi di pacuan kuda, dan bahkan saat aku membawa anakku!”

“Sebenarnya tak baik kalau seorang polisi sepertimu memperlihatkan sifat yang lumayan tidak logis seperti itu. Tapi aku akan tetap berpihak padamu,” ujar pria yang mengenakan topi berbulu.

Ayah Elizabeth mengangguk, sambil melentikkan ujung topi berbulunya. Keduanya memiliki topi dengan jenis yang nyaris sama; andai saja bagian depan topi milik ayah Elizabeth tak memiliki tempelan gambar senjata sebagaimana lambang keamanan yang telah disepakati pihak kepolisian, mereka pasti sudah dikira kontingan belajar dari entah sekolah mana.

“Kurasa?” Benito mengulang perkataan terakhir Elizabeth, sambil mengambil posisi jongkok di depannya. Kini mata mereka sejajar. “Kau tidak yakin bahwa dia adalah ayahmu?”

Benito sebenarnya sedikit kesusahan berlama-lama dalam posisi jongkok, karena kaki kirinya teramputasi dan diganti dengan besi berbentuk jangkar. Namun dia berusaha keras agar bisa menatap mata Elizabeth lebih dekat. Dari penglihatan Benito, Elizabeth pasti akan menjadi perempuan super cantik di umurnya yang ke-dua-puluh tahun nanti.

“Mau bertaruh?” tanya Elizabeth.

“Bagaimana caranya?”

Benito menyipitkan mata, yang memang sudah sayu karena efek alkohol.

“Acungkan pistolmu ke kepalaku, dan berteriak ke mereka kalau kau akan menembakku bila mereka tidak memberikan uang hasil taruhan itu kepadamu. Lalu lihat, siapa di antara mereka yang paling mengkhawatirkanku, dan kita boleh anggap dia adalah ayahku.”

Benito tertawa sangat keras. Tetapi singkat. Namun daya ledak tawanya sukses membuat kerumunan penjudi menengok ke arah mereka sebelum kembali melanjutkan perdebatan. Ayah Elizabeth tidak merasa ada keanehan apa pun dalam keakraban antara anaknya dan Benito. Sebab memang begitulah Elizabeth, senang berbicara dengan siapa saja.

“Kau dapat inspirasi dari film koboi, ya?” tanya Benito.

Elizabeth mengangkat kedua bahunya, seolah ingin berkata: “Itu tidak penting, bodoh. Jangan cerewet.”

“Maaf, gadis kecil. Aku memang seorang pemabuk, tapi bukan berarti kau bisa mudah menipuku dengan cara bodoh seperti itu. Lagi pula, apa yang bisa kudapat kalau melakukannya untukmu?”

Tanpa berintonasi, Elizabeth lantas menjawab: “Apa pun yang kau mau.” Elizabeth menatap Benito dengan sorot mata yang tenang. Seakan jauh di kedalaman matanya, ia sedang berdiri di tepi pantai saat senja. “Tetapi, apakah pemabuk dengan kaki kiri buntung, dan tidak bisa melakukan pekerjaan lain kecuali menembak pistol untuk pacuan kuda, berani melakukannya?” Pandangannya berpaling ke kuda-kuda yang diikat di tiang-tiang bernomor sesuai urutan angka di badan mereka.

“Lalu, apa maumu kalau aku ternyata gagal menemukan ayahmu di antara kerumunan itu?”

“Pistolmu. Aku mau pistolmu.” Elizabeth melirik pistol menggunakan ekor mata, yang dibawa Benito di pinggangnya, sambil kepalanya tetap menghadap barisan kuda-kuda yang terparkir di dekat lintasan. Pada saat melirik, sesungguhnya mata Elizabeth tidak benar-benar tertuju ke tempat pistol itu bersarang, yang mengakibatkan Benito memaknai kata “pistol” tidak secara harfiah.

Elizabeth mengetuk-ngetuk lantai tribun dengan kakinya, menyemburkan permen karet dari mulutnya, dan menunjukkan tanda-tanda ketidak-sabaran lain. Suara lantai tribun yang bertemu sepatu kaca milik Elizabeth menimbulkan efek ganjil di telinga Benito. Suara itu menyusup ke telinga Benito, mengalir ke darah, lalu membuat tubuhnya gemetar merasakan sensasi aneh penuh hasrat. Dan entah bagaimana, suasana itu mendorongnya beraksi – sesaat setelah Elizabeth bertanya: “Atau, maukah kau menukar pistolmu dengan sepatuku?”

Benito mencekik leher Elizabeth menggunakan lengan kiri, lalu melepas tembakan ke langit-langit tribun dengan tangan kanannya, untuk memancing perhatian kerumunan penjudi. Setelah itu, dia menodongkan mulut pistol ke kepala Elizabeth.

“Wao...” ucap Elizabeth, seraya menahan senyum yang bercampur perasaan lega.

“Kita lihat, siapa yang paling mengkhawatirkanmu sekarang!”

Benito mengunci tubuh Elizabeth dalam dekapannya, seraya melangkah mundur. Langkah mundur itu tak tampak seperti langkah mundur yang seharusnya. Karena setiap kali Benito melangkah, dia justru seperti sibuk menggosok-gosokkan bagian bawah tubuhnya ke punggung Elizabeth. Gambaran yang tercipta dari gerakan mereka menyerupai ulat yang sedang berjalan di pohon; Benito ulat dan Elizabeth pohonnya.

“Aduh, pemabuk sialan itu!” ujar ayah Elizabeth, tanpa beranjak dari tempatnya berdiri.

“Aku bisa mengatasinya!” pekik Elizabeth, yang diarahkan pada siapa saja. Tidak spesifik untuk ayahnya. Ayahnya pun kembali melanjutkan perdebatan dengan para penjudi, begitu saja.

“Biarkan pemabuk itu, dia sudah tidak punya nyali besar untuk menembak dengan benar,” kata bandar judi. Semua orang yang mengerumuninya mengangguk-angguk percaya, tanda setuju.

“Aku akan menembak kuda-kuda itu kalau kalian tidak memberikan uangnya kepadaku!” Benito mengarahkan pistol ke kuda-kuda yang berjarak tidak jauh dari posisinya. Dia terus melangkah mundur. Menuruni tangga tribun. Masih seperti ulat. Meski untuk sesaat dia malu suara langkah kaki kirinya terdengar begitu mencolok.

“Sepertinya tidak ada yang mempedulikanmu, Paman Benito!” kata Elizabeth, disambung cekikikan dari mulutnya yang berbau permen karet rasa jeruk.

Terdengar lagi letusan pistol. Kali ini Benito melumpuhkan salah satu kuda yang terikat, mengakibatkan kuda-kuda lain berjingkrak-jingkrak, ketakutan.

“Masih tersisa tiga peluru, satu untuk anak ini, dan dua untuk siapa saja yang tidak membantuku mendapatkan uang itu!” ancam Benito.

Para penjudi menghentikan perdebatan mereka. Situasi tampaknya menjadi lebih rumit dari yang mereka kira. Mereka mungkin akan lebih tenang kalau yang mati adalah manusia ketimbang kuda-kuda itu. 

Harga kuda pacuan menjadi semakin mahal semenjak perang dunia pertama. Banyak kuda berkualitas bagus diambil negara untuk dijadikan kendaraan perang. Beberapa kuda itu memang bisa dibeli dari negara, namun, dengan harga yang sangat mahal. Lebih mahal daripada harga lukisan Battle of Anghiari karya Leonardo da Vinci. Penyelenggara pacuan kuda tentu harus menyelenggarakan banyak sekali pacuan supaya uang-uang dari hasil pajak taruhan dan uang dari penjualan karcis menonton bisa menutupi biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli kuda-kuda itu. Tak peduli kuda-kuda itu lelah. 

 “Benito, hentikan kekonyolanmu. Kau bisa membuat kita bangkrut, idiot!” Bandar melangkah mendekati Benito.

“Apakah dia ayahmu?” Benito berbisik.

“Dia lebih terlihat mengkhawatirkanmu,” jawab Elizabeth.

“Benito, aku tidak memahami apa yang sedang terjadi. Apakah karena selama ini kau kekurangan seks, apakah karena kau sudah tidak dihargai negara dan akhirnya cuma menjadi pemabuk tidak berguna, atau karena kau pincang dan buruk rupa. Apa pun itu, yang jelas aku berjanji akan membantumu mengatasi semuanya asal kau tidak melakukan hal konyol lagi. Kumohon.” Bandar menjatuhkan lututnya ke lantai tribun, membuat gerakan memohon.

“Benar, Bung!” sambut pria dengan topi berbulu (bukan ayah Elizabeth). “Aku akan menemanimu mabuk-mabukan dan kita bersenang-senang sampai mampus dalam damai.”

Mafia bersenjata, bersiap-siap menarik pistol dari balik pakaiannya. Borjuis, mengeluarkan tongkat golf dan menyiapkan bola untuk dipukul. Ayah Elizabeth memberi aba-aba untuk anaknya supaya menggigit lengan si penculik. Namun Elizabeth tidak tertarik dengan cara itu.

“Tidak perlu repot-repot, cukup serahkan uang yang telah kalian kumpulkan. Aku lebih membutuhkannya dan kita semua tahu itu. Tempat ini terlalu kejam untukku. Kehormatan apa yang bisa kudapat hanya dengan menembakkan peluru tanpa sasaran dan melihat kuda-kuda yang sudah kelelahan dipaksa berlari berkali-kali, setiap hari. Aku sampai mual karena terlalu bosan melakukannya.”

“Aku yang seharusnya mual sekarang,” batin Elizabeth. Melipat bibirnya ke dalam mulut.

“Aku mau pergi ke pulau yang mirip surga di satu belahan lain bumi, yang ongkosnya pasti mahal sekali, tempat di mana tak terdengar suara letusan pistol, rengekan kuda, atau mesin pesawat tempur. Dan terpenting, sorak-sorai penonton yang secara bersamaan menertawakan kecacatanku.” Benito terdiam, bibirnya gemetar, begitu pula tangannya yang sedang memegang pistol. “Aku ingin hidup untuk...” Benito tidak melanjutkan ocehannya, dia melepas pistolnya, dan terkulai. Menangis seperti anak kecil. Barangkali dia sudah menyadari betapa bodoh perbuatannya. Dan bahwa seorang gadis kecil telah berhasil mempermainkannya.

Bandar segera memanfaatkan situasi itu dan merebut pistol yang tergeletak bersama Benito, lantas pergi menyelamatkan kuda-kuda. Elizabeth terlambat memungut pistol yang diinginkannya. Ia takjub dengan kehebatan Benito berperan sebagai penjahat dalam skenario tadi. Ibarat aktor yang mendalami karakternya dengan sempurna, Benito membuat para penonton hampir tidak bisa membedakan apakah aktor sedang bersandiwara atau memang sungguh begitulah dirinya.

Saat Benito masih meratapi nasib – tenggelam dalam skenario Elizabeth – dari arah tempat para penjudi berdiri, sebutir bola golf meluncur dengan kecepatan rudal. Menabrak mata kanan Elizabeth.

“Sial, meleset lagi!” ucap borjuis, dengan nada riang.

“Brengsek! Sekarang kau malah menyakiti anakku!” Ayah Elizabeth melayangkan bogem ke hidung borjuis itu, lalu mengeluarkan sepucuk pistol revolver dari balik pakaiannya yang, mungkin, dimaksudkan untuk menambah serangan.

Letusan pistol terdengar, namun bukan dari milik ayah Elizabeth. Melainkan dari pistol milik mafia bersenjata. Dia mendahului kecepatan tangan ayah Elizabeth. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mafia lebih menguasai cara menggunakan pistol ketimbang polisi.

“Sesama teman bisnis harus saling melindungi,” katanya kepada si borjuis, setelah berhasil melubangi dada kiri ayah Elizabeth. “Apa kau masih berpihak pada yang kalah?” Tanya mafia bersenjata kepada pria dengan topi berbulu (tentu saja bukan ayah Elizabeth), yang langsung menggeleng; tetap dengan sorot mata lemah.

Elizabeth dan Benito meringkuk dalam kesakitan masing-masing. Tidak seorang pun mempedulikan mereka.

“Tenanglah, anak-anakku sayang,” ucap bandar, berusaha menenangkan kuda-kuda yang merengek.***


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »