Dijelaskan Seperti Apa pun, Kamu Tak Akan Bisa Memahaminya, Bahkan Kalau Dijelaskan Berkali-Kali Sekalipun - Y Agusta Akhir

@kontributor 3/05/2023

Dijelaskan Seperti Apa pun, Kamu Tak Akan Bisa Memahaminya, Bahkan Kalau Dijelaskan Berkali-Kali Sekalipun

Y Agusta Akhir

 


Samsa, bocah 7 tahun itu sedang membayangkan wajah ibu ketika beberapa ekor kucing menyembul dan berloncatan dari kepala ayahnya, seolah sedang keluar dari sebuah lubang labirin yang telah berhari-hari mengurung mereka. Itu membuat bayangan ibu kemudian memudar, dan binatang-binatang itulah yang nyata dalam pandangannya. Seolah tak ada yang aneh, ia menghitungnya dan semua ada 4 ekor. Mata juling bocah itu memperhatikan dengan saksama, dan ia merasa mengenali mereka. 

Sementara, di kursi teras ayahnya masih sibuk dengan Dunia Kafka, novel yang sudah tuntas Samsa baca 4 bulan sebelumnya.

Kucing-kucing itu mendadak sudah berada di hadapan bocah itu; semua menatap ke arahnya. Dan saat itu, ia bisa mengingat mereka dengan baik. Goma, seekor kucing torti berumur satu tahun milik keluarga Koizomi. Mimi, kucing betina yang cantik. Seekor kucing Siam. Memiliki tubuh ramping, memakai kalung tanda pengenal. Otsuka, kucing jantan tua berwarna hitam. Kawamura, seekor kucing liar yang memiliki garis cokelat di tubuhnya. “Mereka sudah mati di tangan Johnni Walker. Tetapi kenapa mereka berloncatan dari dalam kepala ayah?” gumam bocah itu.

“Samsa, tolonglah kami!” ucap kucing bernama Mimi. Samsa terkejut kucing itu memanggil namanya.

“Tuan Walker sedang memburu kami. Tolonglah, Samsa!”

“Tuan Walker? Bukankah dia sudah mati dibunuh Nakata?”

“Tidak,” sembari berjalan mendekat ke kaki Samsa, Kawamura berkata. “Orang itu masih hidup. Barangkali, sebentar lagi akan sampai di sini juga!”

Samsa membawa kucing-kucing itu ke gudang yang ada di belakang rumah.

“Di sini, kalian aman!”

“Baiklah. Kami sungguh berterimakasih atas budi baikmu!” kata Otsaka.

Samsa segera kembali ke ruang tamu dan melihat ayah masih membaca. Bocah itu ingat dengan ucapan Kawamura, tetapi sampai ayah menutup buku Dunia Kafka, Jhonni Walker tak juga muncul, apalagi keluar dari kepala ayah.

***

 “Seandainya di kota ini mendadak ada ikan-ikan yang jatuh dari langit, sampai sekian hari kita akan lauk ikan. Sudah lama kita tak makan ikan!” ucap sang ayah saat mereka makan malam.

Samsa tak menyahut. Ayah bisa memahami, bocah itu diam bukan berarti tak mendengar ucapannya. Namun tak ada lagi kata yang terucap dari mereka sampai makan malam selesai.

Samsa masuk ke kamar dan membaca Membunuh Commendatore, Idea yang Menjelma. Hanya beberapa halaman, dan matanya terasa berat. Tanpa menutup buku tersebut, ia terlelap. Tetapi tergeragap ketika didengarnya ketukan di pintu beberapa menit kemudian. Ia sempat melirik jam di dinding. 11.07. Lalu bangkit untuk membuka pintu.

Samsa tersentak lantaran yang dilihatnya ternyata bukan ayah.

“Selamat malam. Saya Johnny Walker. Maaf kalau sudah mengganggumu, Samsa!” kata orang itu.

Pistol dalam genggaman Jhonnie Walker menyita perhatian Samsa. Demikian pula dengan bercak darah kering di bagian dada dan juga perut orang itu. “Kukira itu bekas tusukan Nakata!” Samsa berkata dalam hati.

“Samsa, apakah kamu tahu kucing-kucing buruanku?”

“Tidak ada kucing di sini,” sahut bocah itu cepat, “ayahku tak menyukai kucing!”

Lelaki itu tersenyum. Lalu, menyelipkan pistol di antara celana dan perutnya yang tambun.

Ia mengeluarkan sebungkus Lucky Strike dari saku bajunya, mengambil sebatang, menyelipkan di sela bibir, dan segera menyalakannya. Mengisapnya dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. Sekejap wajahnya diselimuti segumpal asap. Bau tembakau segera memenuhi seluruh ruang kamar.

Seperti tak peduli dengan ucapan Samsa, Jhonnie Wlker berkata, “Kamu pasti sudah membaca Dunia Kafka. Yang aku buru sekarang ini adalah jiwa mereka, jiwa kucing-kucing itu!”

Samsa tak menyahut. Ia melangkah keluar. Jhonnie Walker mengikutinya, setelah bocah itu melewati pintu.

Samsa menuju ke kulkas yang ada di dekat televisi. Ia mengambil sebotol guieness dan sekaleng bear brand, dan membawanya ke ruang tamu, yang ternyata Jhonnie Walker sudah duduk di sofa sedang membuka 1Q84 jilid pertama. Samsa berpikir, pasti lelaki pemburu kucing itu mengambilnya dari rak buku yang ada di ruang tamu.   

“Tuan membutuhkan gelas?” Samsa bertanya sembari menyodorkan botol Guinnes.

Jhonnie Walker menggeleng, lalu menaruh 1Q84 di meja, meraih botol itu, membuka tutup botol dengan giginya, lalu menyepahnya sehingga berputaran di atas meja; terdengar sedikit bising sejenak, sebelum akhirnya diam sama sekali. Suasana jadi hening. Sementara Samsa pelan menarik ring pull tab kaleng bear brand lalu menenggaknya seteguk. “Air susu yang tawar,” ucapnya tetapi tidak jelas tertangkap telinga Jhonnie Walker.

“Saya benar-benar minta tolong, bawalah kucing-kucing itu kemari. Saya tahu, Samsa menyembunyikannya!”

“Tak ada kucing di sini. Ayah saya tak menyukai kucing!” ucap Samsa dengan nada datar. Kaleng bear brand masih dalam genggamannya.

Samsa kemudian berkata-kata sendiri seolah tak ada Jhonnie Walker di situ. “Satu-satunya penghuni rumah ini yang menyukai kucing adalah ibuku, tetapi dia sudah pergi sekitar tiga bulan lalu. Ibu pergi lantaran ayah membunuh kucing kesayangannya. Seekor kucing berbulu lebat, hidung pesek, dan mata tajam tampak menyeramkan tapi sekaligus lucu. Perihal bagaimana ayah menghabisi kucing kesayangan ibu aku tidak melihatnya sendiri. Hanya ibu yang berteriak-teriak memaki ayah sembari menangis, dan ayah hanya diam, wajahnya datar, tak ada rasa bersalah, menyesal, atau bahkan juga terpancing kemarahan ibu. Itu terjadi pada sebuah pagi di hari Minggu. Dan, beberapa hari setelah itu ibu tak lagi bicara kepada ayah, sampai kemudian keributan kembali pecah. Ibu berteriak-teriak, dan ayah jadi terbakar amarah, setelah ibu menyebutnya lelaki anjing. Mereka bertengkar hebat di depan mataku. Tak ada kontak fisik. Hanya adu mulut tetapi sangat gaduh dan bising. Ibu membanting piring, gelas, dan benda apa pun yang tergapai tangannya. Ayah memecahkan cermin lemari dengan tinjunya. Tangannya mengucurkan darah. Kaca berantakan di lantai. Lalu suara gaduh mendadak diam. Suasana jadi sangat hening. Tetapi beberapa menit kemudian, ibu keluar dengan sebuah koper. Itu terakhir kali aku melihatnya!”

Johnny Walker menenggak Guinnes hitam itu, lalu mengisap rokok yang agaknya sudah tinggal puntung, sebelum akhirnya mematikannya di asbak.

“Ayolah, Samsa. Katakanlah yang sebenarnya. Samsa cukup tunjukkan di mana tempatnya. Dan biarlah saya yang menjemput sendiri kucing-kucing itu!”

“Sebaiknya Tuan Walker pulang. Tak ada kucing di rumah ini. Ayahku tak menyukai kucing!”

Jhonnie Walker bersendawa beberapa kali. Lalu berdiri dan bertanya letak kamar kecil. Samsa hanya menunjukkan dengan telunjuk. Jhonnie Walker berjalan ke arah itu, dan kembali lagi sekitar tiga menit kemudian dengan rambut dan wajah yang basah.

“Kalau Samsa tak berkenan menunjukkan kucing-kucing itu, tidak masalah. Cerita yang ditulis Tuan Murakami tidak akan berubah. Kecuali, perihal kematianku. Sebagaimana Tuan Samsa lihat, aku masih hidup! Selamat malam!”

Samsa diam dan hanya melihatnya berjalan menuju ke pintu. “Aku tak ingin kembali ke duniaku!” ucap Jhonnie Walker ketika meraih gagang pintu “Aku ingin pergi ke Kota Kucing. Mungkin di sana aku menemukan buruanku, Samsa!”

Samsa tak melihat Jhonnie Walker benar-benar membuka pintu. Pintu tetap tertutup tetapi lelaki itu sudah tak ada di sana.

***

Pagi harinya, Samsa memeriksa gudang, tetapi tak ditemukannya kucing-kucing itu. Ia ingin mencari mereka, tetapi ayah memanggilnya. Ia bergegas masuk, dan mendapati ayah duduk di sofa, tepat Jonnny Walker semalam juga duduk. Ayah memegang Dunia Kafka. “Jonnny Walker menghilang dari cerita ini, Samsa!” ucap ayah.

“Dia pergi ke Kota Kucing,” sahut Samsa. “Suatu saat, ayah harus membaca cerita itu. Mungkin akan menemukan Johnny Walker di sana!”

Ayah tampak bingung, tetapi hanya sekilas saja kebingungan itu menggurat di wajahnya. Kemudian mereka saling diam. Samsa masih bertanya-tanya kemanakah kucing-kucing itu menghilang? Apakah mereka kembali ke dalam Dunia Kafka? Apakah mereka pergi ke Kota Kucing, dan karena itulah Johnny Walker mengejarnya ke sana?

“Samsa,” ayah membuka suara. Samsa merasa nada suara ayahnya terdengar aneh. “Kupikir inilah saatnya ayah berterus terang kepada kamu!”

Samsa bergeming, lebih karena ingin segera mendengar apa yang dikatakan ayah.

“Samsa, sebenarnya aku bukan ayahmu!”

Samsa kaget, tetapi hanya matanya yang juling menatap wajah ayahnya.

“Tapi, dia adalah perempuan yang melahirkan kamu!”

Samsa mengalihkan pandang pada foto close up ibu ukuran 10R dalam bingkai sederhana yang menggantung di dinding. Wajah itu sedang tersenyum, dan ia merasa senyum itu miliknya.

“Aku tak tahu, siapa ayah kamu. Ini sulit dijelaskan, Samsa! Kalau pun aku jelaskan, kamu tak akan bisa mengerti, bahkan kalau kujelaskan berkali-kali sekalipun!”

Samsa merasa pernah membaca kalimat yang diucapkan ayah. Mungkin di cerita Kota Kucing atau di 1Q84 Jilid pertama, atau kedua-duanya. Ia agak lupa. Dijelaskan seperti apa pun, kamu tak akan bisa memahaminya.

Beberapa menit mereka saling diam, sampai ayah kembali bersuara, bertanya perihal kaleng Bear Brand dan botol Guinnes di meja. Samsa mengatakan kalau itu pun sulit dijelaskan dan dijelaskan seperti apa pun, tak akan bisa dimengerti. Ayah tertawa lirih, lalu beranjak sambil berkata pelan, “Saatnya kerja!” 

Dalam hati, Samsa kemudian hanya berkata: Mungkin ayah kandungku seekor kecoak. Karenanya, aku pun sesungguhnya seekor kecoak.

Samsa lalu membayangkan tubuhnya mendadak mengecil, tumbuh sayap di punggung, lalu terbang mencari ibu untuk bertanya siapa ayahnya, atau sekadar hinggap di dada ibu, lalu menyelinap di sana, mengisap puting susunya, yang rasanya mungkin tawar seperti Bear Brand yang semalam diminumnya saat bersama Johnny Walker, yang lebih menyukai Guinness.***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »