Manzil - Syadza Z. Nufus

@kontributor 3/19/2023

Manzil

Syadza Z. Nufus



Badanku seperti terlempar. Aku terpaksa bangun dari tidur.

Aku menoleh ke televisi. Seorang penyiar berita terkenal, Maira Koeswoyo, membacakan berita mengenai tuntutan warga perkotaan untuk pembukaan lapangan pekerjaan baru akibat penutupan pertambangan batubara. Aku menghela napas karena termasuk salah satu warga yang membutuhkan pekerjaan. Tetapi, aku tidak memilih melakukan demo di depan kantor pemerintah seperti kawan-kawan seperjuangan.

            Tenggorokanku terasa gatal. Kemudian, aku memilih bangkit lalu menuju dapur untuk mengambil segelas air. Untungnya aku masih bisa membeli air yang ketersediaannya juga tergolong langka di kota ini. Aku mengetukkan gelas di meja. “Ahh…lega!”   

            Enam bulan sudah berlalu sejak aku mengalami PHK. Ya, aku adalah salah satu karyawan di perusahaan pertambangan kota ini. Perusahaan yang besar. Beberapa petinggi perusahaan malah termasuk dalam jajaran pemerintahan negara. Televisi memutar kembali rekaman orang-orang yang turun ke jalan. Orang tua, muda, hingga anak-anak aku lihat turut memperjuangkan haknya. Keluhannya sangat jelas membutuhkan lapangan pekerjaan baru. Orang-orang itu meminta pemberian insentif sebagai stimulus penggerak perekonomian kembali. Urusan perut memang sudah tak bisa ditawar.

Sebagai korban, aku punya pandangan yang sangat berbeda. Menurutku, pihak perusahaan tidak salah langkah. Tak ada lagi lahan yang dapat dikeruk. Cadangan batubara sudah habis tepat di tahun ini, 2035. Aku memejamkan mata sembari merebahkan tubuh. Bayangan wajah Supri mulai terlihat dalam kepalaku. Supri adalah teman dekatku di kantor. Dia orang yang paling vokal dan berhasil mengajak kawan-kawan lain untuk turun ke jalan. Kecuali aku. Aku menolak dengan halus. Entahlah, aku merasa pesimis. Aku merasa telah berkhianat dengan ajaran guruku. Suara beliau terngiang kembali dalam benakku saat membacakan arti dari sebuah ayat dalam kitab suci. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Tuhan menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”

Begitulah penyesalan selalu datang terlambat. Akibat mengabaikan ajaran guruku, aku harus menganggur hari ini. Rasanya tak ada lagi harapan yang tersisa. Ingatanku melompat lebih jauh lagi, saat aku menerima pengumuman diterima sebagai karyawan di perusahaan tambang batubara. Aku tersenyum lebar ketika memberitahukan kabar ini lewat telepon kepada Mamak. Pertanyaan Mamak hari itu cukup membuatku tersentak, “Kau yakin mengambil pekerjaan ini, Nak?”

Aku juga ingat berhasil meyakinkan Mamak. Dugaanku, Mamak bertanya seperti itu karena aku sangat suka bermain di hutan. Mamak mungkin punya keyakinan aku tak akan mampu merusak hutan, tempat bermainku, hanya demi uang. Tapi begitulah manusia. Uang adalah alat tercepat untuk memutarbalikkan hati. Padahal, sepuluh tahun yang lalu seharusnya aku memilih bercocok tanam saja. Walaupun pada akhirnya kotaku akan sekarat juga. Karena tak akan kehabisan pekerja yang bersedia sebagai pengeruk alam, setidaknya aku tak harus dilanda perasaan bersalah seperti ini.

            Aku melangkah menuju teras balkon. Rasanya malam ini sangat gerah. Sejak tadi mesin AC sudah menunjukkan suhu yang paling rendah. Tapi, naiknya suhu lingkungan dan kelembapan semakin menguatkan udara kering di sekitar. Kotaku telah rusak. Dan aku pun turut ambil bagian di dalamnya.

            Telepon genggamku berdering di atas meja. Aku bergeming. Rasa malas begitu menggerogotiku hari ini.

            “Paling itu telepon dari Cania.”

            Aku melemparkan pandangan ke langit. Diam-diam berharap kekacauan di luar sana segera berakhir.

***

Suara ketukan pintu membangunkanku. Aku merasa enggan untuk melangkahkan kaki ke depan pintu. Namun, semakin lama aku menunda, frekuensi ketukannya semakin nyaring.

            “Iya, sebentar!” aku memekik nyaring dari balkon. Kemudian, aku berlari kecil menuju pintu depan. Saat membuka pintu, kurir itu mencoba tersenyum kepadaku. Walaupun, aku yakin wajahku tampak kesal padanya.

“Mas, ini ada paket,” ucap Kurir.

            Aku mengernyitkan dahi sembari menerima paketnya. “Dari siapa?”

            Kurir itu pun memberikan aku selembar kertas sebagai tanda terima. “Kurang tahu, Mas. Tolong tanda tangan di sini.”

            Setelah aku memberi tanda tangan, kurir pun bergegas memacu motornya kembali. Awalnya, aku merasa ragu untuk menerima paket ini. Tapi, kalau aku tolak malah akan memberatkan pekerjaan sang kurir.

            Aku menaruh paket tersebut di atas meja. Kedua mataku tak lepas mengamatinya. Paket ini tidak terlalu besar. Ukurannya hanya seperti kotak sepatu. Lapisan luarnya dibungkus dengan plastik berwarna hitam. Hal menarik lain terdapat selembar kartu ucapan yng ditempel pada bagian luar. Aku mencoba mengambil kartu ucapan tersebut. Banyaknya lapisan isolasi bening di atas kartu ucapan menyulitkanku untuk membukanya.

            Akhirnya, kartu ucapan itu dapat dilepaskan dari kotaknya. Aku membaca dengan perlahan. “Untuk penjaga manzil, masih ada waktu untuk memutar semuanya kembali.”

            Rasa penasaranku terhadap isi paket itu semakin membuncah. Aku bergegas mengambil gunting di dalam laci meja untuk membuka paket ini. Seberkas sinar terang keluar memancar saat kotak paket terbuka.

            “Paket apa ini?”

            Aku melompat dari kursi. Perlahan aku melangkah mundur menjauhi meja. Paket ini tak berisi rangkaian peledak. Tapi, aku merasa bingung dengan sinar terang yang dipancarkannya. Butuh waktu lama, sinar yang terang itu untuk meredup. Aku masih takut. Walaupun aku juga mengintip isinya dari kejauhan.

            “Bibit pohon?”

            Aku mengeluarkan bibit tersebut dari dalam kotak lalu membawanya ke atas. Banyak pertanyaan-pertanyaan muncul dalam kepalaku. Seperti, siapa yang mengirimnya atau jenis bibitnya.

            Kemudian, aku berlari menuju kamar untuk mengambil buku identifikasi tumbuhan. Aku belajar biologi di bangku perkuliahan. Hal seperti ini tentu mudah untukku. Langkah pertama yang aku lakukan adalah melihat bentuk morfologi daun. Aku menyisir tiap baris kalimat pada halaman dengan teliti. Namun, tak ada satu pun yang sesuai dengan bibit pohon ini.

Aku tak menyerah. Langkah kedua yang aku lakukan adalah melihat bentuk akarnya. Hasilnya tetap sama. Tak ada satu pun keterangan yang dapat membantuku mengenali bibit pohon ini.

Aku merebahkan badan kembali. Mataku memandangi langit-langit ruangan. Anehnya, aku ingin menyalakan televisi. Sebuah gambar muncul di hadapanku. Reporter perempuan sedang bertanya pada narasumbernya. Aku membaca tulisan di bawah gambar tersebut. “Kemunculan bibit pohon ajaib.”

Narasumber bercerita kalau dia mendapatkan bibitnya di pagi ini. Seseorang mengirimkannya melalui kurir. Dia juga bercerita kalau bibit ajaib itu memancarkan sinar yang terang. Persis seperti bibit di hadapanku.

Tanganku bergetar saat memencet tombol pengendali untuk mematikan televisi.

“Mungkinkah ini bibit yang sama?”

Aku memutuskan menelepon Supri untuk membantuku menanam ini.

***

            Hari sudah sangat larut. Aku dan Supri belum juga sampai ke rumah Mamak di kampung. Musibah menimpa kami berdua hingga harus menyerahkan mobil kepada para begal di sekitar perkebunan sawit ini.

            Aku mengajak Supri untuk duduk sebentar. Supri pun menghentikan langkahnya. “Kamu baik-baik saja?”

            “Iya, Sup. Mobil itu juga masih harus dibayar cicilannya. Aku senang tak perlu membayar cicilan lagi karena kejadian ini.”

            Supri mengambil bibit dari genggamanku. “Gara-gara bibit ini. Seberapa yakin kamu kalau ini bibit sakti?”

            “Yakin, Sup. Ciri-cirinya mirip dan bukan hanya aku saja yang mendapatkan bibit ini di kota. Kamu bisa lihat, kanan-kiri hanya ada tanaman sawit. Kampung ini harus mendapatkan tuah yang sama dari bibit itu.”

            “Iya, aku mengerti. Bibit ini sangat bernilai. Aku yakin banyak orang yang mau membelinya di luar sana.” Supri tak mendebat perkataanku.

Angin malam terasa menusuk hingga ke tulang. Rasa lelah mulai menghinggapi kami berdua. Bayang-bayang seberkas sinar terlihat dari kanan. Sinar itu semakin mendekat. Kemudian, mobil itu berhenti tepat di hadapan kami. Sebuah truk bermuatan kelapa sawit.

“Kalian mengalami pembegalan, ya?” Supir itu bertanya pada kami. Dia mengeluarkan kepalanya dari jendela.

“Iya, Pak. Kami mengalami musibah,” sahut Supri.

“Ya sudah, kalian ikut saya. Masih kuat untuk naik, kan?”

Aku mengangguk. “Kuat, Pak.”

Pak Sopir menginjak pedal gas dan truk yang kami tumpangi kembali melaju di jalan. Dia tak bertanya apa-apa pada kami berdua. Namun, sesekali menawarkan minuman dan beberapa makanan ringan yang dimiliki untuk kami. Supri tertidur. Dia  memaksakan diri saat melawan para begal untuk mempertahankan mobilku.

“Kasihan sekali kalian berdua. Dari kota ya?”

“Iya, Pak.”

“Situasi di kota pasti kacau. Warga di sini juga mengalami kelaparan. Lahan-lahan pertanian mulai tergerus karena sawit-sawit ini. Tapi, rasanya warga kota sangat barbar untuk urusan perut ya?”

Aku menelan ludah. Omongan Pak Sopir itu ada benarnya. Manusia yang katanya berbudaya itu berubah menjadi manusia rakus yang mengutamakan kepentingannya sendiri. “Begitulah, Pak. Makanya saya ingin kembali ke rumah untuk bertemu dengan Mamak.”

“Baiklah, saya akan mengantarkanmu dan temanmu hingga depan gerbang kampung.”

Keheningan menyeruak di antara kami. Aku berusaha agar tak tertidur. Rasanya kurang sopan setelah diberi tumpangan malah tertidur. Tetapi, mrasa kantukku semakin tak tertahankan. Perlahan, suaranya terdengar sayup-sayup.

***

            “Bangun. Kita sudah sampai.” Supri menggoyangkan tubuhku beberapa kali. Aku mengucek mata berulang kali. Gerbang kampungku sudah terlihat jelas di depan mata. Aku langsung turun keluar truk.

            “Sup, kamu tidak ikut?”

            Supri menggeleng. “Aku langsung menumpang balik ke kota. Ingin melanjutkan berdemo. Tak enak sebagai koordinator malah menghilang.”

            “Baiklah.”

            Aku pun berpamitan dengan Pak Sopir dan Supri. Kemudian melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki ke rumah. Rumahku tak jauh dari gerbang kampung. Rumah berwarna biru dengan halaman yang luas. Sebelum aku berangkat ke kota, rumahku sangat rimbun dengan tanaman. Namun, setelah perluasan lahan sawit di kampung sepertinya mempengaruhi kualitas tanah. Mamak bercerita kalau tanamannya tampak kerdil dan daun-daunnya sedikit. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur pada Tuhan saat melihat rumahku terutama melihat Mamak yang sedang menyapu di halaman. Senyum lebar terpasang di wajahnya.

            Mamak memelukku erat. “Akhirnya, kamu sampai dengan selamat. Mamak sudah menyiapkan sarapan di meja. Menu kesukaanmu, oseng pakis.”

            “Terima kasih, Mak. Tapi, ada yang harus aku lakukan.”

            Mamak melirik ke arah bibit yang aku bawa. “Soal bibit itu?”

            “Iya.”

            “Ya sudah. Mamak mau mandi dulu.” Mamak bergegas masuk ke dalam rumah.

Aku pun tak sabar langsung membongkar bibit dari dalam tas. Bibit yang aku dilindungi dengan segenap harta benda berupa mobil cicilan. Perasaan ragu mulai muncul saat melihat warna polybag yang berbeda. Saat aku membuka paket di rumah, polybag berwarna kuning. Sekarang berubah menjadi warna hitam. Kecurigaan-kecurigaan muncul di kepala. Mungkin Supri yang menukarnya. Mungkin juga Pak Sopir.

“Ah, tidak mungkin.”

Kemudian, aku langsung menggali tanah dengan sekop kecil yang diselipkan pada pagar. Lubang yang kubuat tidaklah besar. Kira-kira berdiameter 25 cm dengan kedalaman 10 cm. Aku mengeluarkan bibit pohon tersebut dari polybag dan memasukkannya dalam lubang. Terakhir, lubang itu aku tutupi lagi dengan tanah di atasnya. Aku menunggu dengan sabar. Sepuluh menit berlalu, dua puluh menit berlalu, hingga tiga puluh menit tak ada keajaiban yang muncul di hadapan.

“Mungkinkah kecurigaanku benar?”

Aku memungut kembali polybag yang tergeletak di tanah. Mataku mencari informasi tertentu yang mungkin saja melekat pada polybag.

“Made In China,” ucapku terbata-bata. Aku geram. Seketika aku ingin sekali meninju wajah Supri dengan keras.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »