Air Yudhistira ANM Massardi - Hikmat Gumelar

@kontributor 3/19/2023

Air Yudhistira ANM Massardi

Hikmat Gumelar



Puisi itu seperti sungai. Sungai yang terus mengalir membawa saya hingga nun jauh ke Mesopotamia. Di situ, para sejarawan dunia bersetuju bahwa peradaban pertama kali muncul. Mulai pada sekitar 3500 SM, di daerah yang pula disebut sebagai Bulan Sabit Subur itu pertanian beririgasi berkembang, teknologi terutama terkait pertanian, peternakan, dan arsitektur dihasilkan, aksara dan tulisan diciptakan, dan kota dengan dikelilingi tembok didirikan. Semua itu bertemali dengan Mesopotamia, sebuah nama yang diberikan oleh orang Romawi dari bahasa Yunani purba yang berarti “tanah di antara dua sungai”.

Begitulah memang nyatanya. Mesopotamia adalah tanah berbentuk sabit yang diapit dua sungai. Orang Sumeria sendiri menyebut sungai di sebelah barat Uruttu, sedangkan sungai di sebelah timur disebut Idiglat. Orang modern, seperti kita, lebih mengenal kedua sungai itu Efrat dan Tigris. Lepas dari perbedaan penamaan, keduanya setahun sekali meluap. Luapannya membanjiri dataran di tepi-tepinya. Selain meninggalkan endapan lumpur, banjir tahunan ini menyapu apa-apa yang merupakan hama tanaman. Jadilah dataran tepi dua sungai itu bentangan tanah subur dan bebas hama. Tanaman pangan hasil domestikasi pun, seperti jelai dan gandum, tumbuh subur. Produktivitasnya pun meningkat menyusul penggunaan irigasi dan teknologi serta dijalankannya pembagian kerja seiring dengan diciptakannya aksara dan tulisan. Tahun ke tahun surplus produksi pangan meningkat. Populasi pun bertambah, yang berarti begitu pula dengan tenaga kerja. Inilah yang yang menjadikan air di Mesopotamia diyakini sakral, sumber hidup dan kehidupan.

Begitu pula di Mesir purba. Dalam kurun waktu hampir bersamaan, peradaban Mesir purba pun tumbuh di tepi sungai yang setahun sekali meluap. Sungainya sungai Nil, yang hulunya di pegunungan yang sekarang masuk wilayah Etiopia. Beberapa abad sesudahnya, peradaban India purba pun tumbuh di tepi dua sungai: Indus dan Gangga. Tepi sungai Kuning dan sungai Yangtze adalah tempat mula tumbuh peradaban purba Cina. Semua peradaban tersebut, yang pengaruhnya hingga kini terus turut membentuk peradaban-peradaban di dunia kita, tumbuh dengan dasar kepercayaan bahwa air itu sakral. Air itu sumber kehidupan.

Orang Indian Amerika hari ini begitu juga. “Kami percaya bahwa air adalah mahluk suci,” kata Caleen Sisk, pemimpin spiritual dan kepala suku Winnemem Wintu, yang mempraktikkan budaya dan upacara tradisional mereka di wilayah mereka di sepanjang Sungai McCloud di California Utara. “Air adalah salah satu makhluk paling kuat yang ada, dan memilih di mana harus berada.”

Puisi berjudul “Aku Tak Ingin Jadi Api” yang terdiri dari empat bait itu ditulis oleh Yudhistira ANM Massardi. Seluruh kata-katanya adalah kata-kata yang galib digunakan dalam kehidupan sehari. Tak ada satu pun kata arkaik, kata yang sudah tak galib dipakai. Tak pula ada satu kata pun yang hadir sebagai metafor. Tipografinya pun tak tampak berupa simbolik. “Aku Tak Ingin Jadi Api” pun sekilas menjadi terlihat biasa-biasa belaka. Namun, justru dengan begitu, puisi ini menjadi berdaya tinggi menghadirkan apa yang oleh Caleen diyakini sebagai “mahluk suci” dan “salah satu mahluk paling kuat” yang setiap hari senantiasa hadir, bahkan pun di dalam tubuh kita sendiri.

Memang ada narator. Namun narator “Aku Tak Ingin Jadi Api” hadir lebih untuk lebih menghadirkan air. Hadir dengan suaranya sendiri dalam konteks percakapan dengan mahluk-mahluk yang bertalian erat dengan keberadaannya; hutan, gunung, kita (manusia).

Urutan percakapannya serupa anak tangga, dari bawah ke atas, dari hutan ke gunung ke manusia. Urutan demikian menjadikan “Aku Tak Ingin Jadi Api” berhasil menyampaikan keinginan air dengan menyentakkan, yang dengan sentakan di akhir larik akhir keinginan air menjadi terasa menujah.

Judulnya adalah larik awal dari setiap bait. Repetisi ini tidak melemahkan, tapi malah menguatkan gagasan dan intensitas emosi, karena larik pertama itu pembuka percakapan dengan mitra yang berbeda-beda dan ucapan air berikutnya pun berbeda-beda serta sekaligus menambah kuat pijakan keinginan air. Biar lebih terang, mari kita baca sepenuhnya puisi yang pertama kali saya baca dalam Pameran Gatal: Gambar, Kata, Digital di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung, Sabtu, 4 Maret 2023, ini:

“Aku tak ingin jadi api,”

kata air kepada hutan yang dihabisi.

“Aku pun tak ingin jadi manusia,

yang membantai pohon-pohonku tanpa henti.”

 

“Aku tak ingin jadi api,”

air berkata lagi, kali ini kepada gunung.

“Manusia sudah memojokkan api ke dalam dusta.

Dusta akan melongsorkanku ke dalam dosa.”

 

“Aku tak ingin jadi api,”

kata air kepada kita

“Sebab semua kesucianku sudah menggenang

Sebagai noda.”

 

“Aku tak ingin jadi api.

Sembunyikan aku dalam matamu.”

Seperti telah kita baca, pada bait pertama, air berkata “kepada hutan yang dihabisi”. Pemicunya mungkin hutan yang dihabisi, yang menjadikan air sakit dan khawatir. Hal ini karena air dan hutan saling mengandaikan. Tanpa hutan, tak akan ada air tanah, mata air, air terjun, sungai, danau, rawa, laut, pun tak ada hujan. Tanpa air, tak akan ada hutan. Maka, kepada hutan yang gundul, yang mungkin tinggal hamparan tunggul-tunggul bekas gergaji dan / atau kobaran api, setelah mengatakan “Aku tak ingin jadi api,”, air menegaskan, “Aku pun tak ingin jadi manusia, / yang membantai pohon-pohonku tanpa henti.”

Pohon-pohon disebutnya “pohon-pohonku”. Sebutan tersebut menampakkan kesadaran air bahwa keberadaannya dimungkinkan dan memungkinkan pepohonan. Keberadaan mereka serupa sumsum dan tulang. Hutan pun tentu saja tak akan ada kalau tak ada pepohonan. Akan tetapi, manusia, yang mustahil hidup tanpa air, membantai pepohonan tanpa henti.

Pada bait kedua, air berkata lagi, kali ini kepada gunung. Selain memulai dengan mengatakan yang dikatakannya kepada hutan, air pun mengatakan alasan kenapa ia tak ingin jadi api: “Manusia sudah memojokkan api ke dalam dusta. / Dusta akan akan melongsorkanku ke dalam dosa.” Di sini api malih, dari sumber cahaya ke sumber kegelapan, dari sumber pencerahan ke sumber penyesatan. Jika air mengalami kejadian seperti api, ia longsor ke dalam dosa. Penggunaan kata dosa, yang berasal dari ranah agama (spritual), menyiratkan bahwa air adalah mahluk suci. Penyampaian ini ke gunung pun adalah sepatutnya. Seluruh sungai di dunia berhulu di gunung. Di kaki gunung-gunung pula memancur mata air-mata air.

Dari tersirat, perasaan air sebagai mahluk suci menjadi tersurat pada bait ketiga. Ketika berkata kepada kita, selain mengatakan lagi “Aku tak ingin jadi api,”, air menyatakan alasan lain lagi, yakni bahwa “semua kesucianku sudah menggenang / sebagai noda.“ Teranglah air sebagai mahluk suci tak ingin ternoda. Devaluasi ini biang penyebabnya adalah kita, manusia.

“Banjir”, puisi Yudhistira yang pula dipajang dalam Pameran Gatal, meneguhkan itu. Puisinya yang terdiri dari tujuh bait ini menghadirkan air yang menjadi banjir, menjadi “seperti dosa / mencemaskan ruh”, menjadi “Seperti pembunuh”, mabuat “Lumpur dan bau mengunci semua pintu / Kasur dan sofa, lemari baju dan dapur / menjadi perahu tersungkur / Kebahagiaan terkubur.” Tragedi ini akibat ulah manusia yang membangun “kota-kota yang angkuh / sunga-sungai yang jorok dan kampung-kampung / yang membiarkan got-gotnya mampet.”

Memandang tragedi demikian sebagai peristiwa biasa saja dapat membuat kita lupa. Lupa bahwa, misalnya, peradaban besar seperti Mesopotamia, yang antara lain menadai dirinya dengan epik spektakuler Gilgamesh dan menara Babel, porak-poranda oleh luapan bah. Luapan yang bukan dari sungai benar, namun terutama dari kedangkalan, keserakahan, dan keangkuhan manusia.

Karena mereduksi air, menjadikannya hanya sebagai komoditas, India, Cina, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam kini juga berkepanjangan dilanda banjir dan kekeringan eksterm sekaligus. Begitu juga dengan hampir semua negara Eropa dan Amerika Serikat. Indonesia tentu saja bukan kekecualian. Kian banyak kota di negara ini menjadi langganan banjir dan kekuaran air bersih.

Meski demikian, air Yudhistira tidak membenci manusia. Sebagai mahluk suci, airnya tetap saja mencintai manusia, menyayangi kita. Saya merasakan ini dari permintaannya pada larik akhir “Aku Tak Ingin Jadi Api”: “Sembunyikan aku dalam matamu.”

Kalau air tak meluap dari pelupuk kita, kita tak terluka, tak berduka, tak kehilangan. Kita amat mungkin bahagia. Inilah mimpi air Yudhistira.

Untuk mewujudkannya, secara tersirat, Yudhistira seperti menggemakan Sidharta dalam novel Herman Hesse. Ketika ke tepi sungai untuk mengantar pulang Govinda, Sidharta diminta untuk memberinya nasihat. Sidharta memenuhi permintaan sahabat masa kanaknya itu dengan mengucapkan, “Dengarkanlah sungai karena sungai menyimpan seribu suara.”   

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »