Rumah di Atas Batu; Biografi Perasaan Seorang Perempuan - Juli Prasetya

@kontributor 3/26/2023

Rumah di Atas Batu; Biografi Perasaan Seorang Perempuan

Juli Prasetya 



Kumpulan Puisi Rumah di Atas Batu karya Yanwi Mudrikah menurut saya merupakan pembacaan terhadap biografi dan evolusi perasaan dan hidup dari si penyair itu sendiri. Sebagai pribadi saya mengenal Yanwi Mudrikah sebagai seorang perempuan yang baik, tangguh, mandiri, berprinsip, dan sangat menyayangi keluarga. Yanwi sendiri sebenarnya telah melahirkan 4 karya kumpulan puisinya, dan keempat karya ini sebenarnya saling berkesinambungan jika kita melihatnya dari perspektif kekaryaan, sebagai sebuah proses kreatif dalam berkarya. Dengan kekonsistenannya dalam berkarya itulah saya dengan nada setengah bercanda dan serius seringkali menobatkan Yanwi Mudrikah sebagai Penyair Perempuan Banyumas yang konsisten di jalan ninja kepenyairannya, yang terus bersetia pada proses kreatifnya. Ini adalah hal yang mengagumkan dan patut dibanggakan, karena sebenarnya jarang saya temukan khususnya di Banyumas seorang penyair perempuan sekaligus ibu yang konsisten dalam berkarya.

Puisi-puisi Yanwi selalu berkutat kepada pelbagai macam tema, dan kebanyakan tentu saja tentang seluk beluk perempuan. Hanya saja kekentalan Yanwi Mudrikah mengangkat isu feminisme utamanya, menurut saya masih amat kurang. Namun keempat karyanya sebenarnya mewakili suaranya sendiri sebagai seorang perempuan, dan bagaimana pandangan dia terhadap perempuan.

Semisal kumpulan puisinya Rahim Embun, saya anggap sebagai karya pertama Yanwi yang melahirkannya kembali sebagai dirinya sendiri sebagai seorang perempuan sekaligus sebagai seorang penyair, kemudian kumpulan puisi keduanya Menjadi Tulang Rusukmu adalah kumpulan puisinya yang menegaskan seluk beluk perasaan perempuan dan apa yang sebenarnya kurang dari diri si perempuan dan apa yang sebenarnya ia cari, sehingga ia berkesimpulan bahwa ia harus kembali menjadi tulang rusuk seorang lelaki yang ia cintai dan mencintainya. Kemudian kumpulan puisi ketiganya Menjadi Ibu ini lebih kepada Yanwi kembali mengenang, mengingat masa kanak-kanaknya sebelum ia meyakinkan diri dan bersiap untuk menjadi ibu, sekaligus menjadi bagian dari masyarakatnya yang mesti terikat dengan norma adat istiadat, budaya dan kehidupan sosial di dalamnya. Tanpa Yanwi harus kehilangan ruang kreatifnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Virginia Woolf bahwa perempuan harus memiliki ruang privasi di dalam dirinya untuk tetap berkarya dan menjadi dirinya sendiri yang otentik, dan Yanwi sebagai perempuan, sebagai ibu, sekaligus sebagai penyair tidak kehilangan ruang privasi itu, ruang kreatif itu. Ini dibuktikan dengan buku kumpulan puisi keempatnya yakni Rumah di Atas Batu. Dan kumpulan puisi inilah yang akan sedikit saya bahas lebih lanjut.

Rumah di Atas Batu, saya melihatnya sebagai sebuah katarsis dari pengendapan selama bertahun-tahun akan pandangan Yanwi terhadap perempuan, terhadap dirinya dan kaumnya sendiri, bagaimana ia melihat perempuan-perempuan di desanya dengan segala romantisme, heroisme, dan suka dukanya. Fenomena fenomena tentang perempuan di sekitarnya ia angkat menjadi sebuah tema yang nyaris utuh, kenapa saya mengatakan nyaris? Karena sayangnya dia tidak menyusun dan menggarap tema-tema ini dengan baik. Yanwi tidak mengemas tema ibu dan perempuan menjadi sebuah bahan yang saling bertaut dan mandiri, dan buku puisi ini masih disusupi dengan lain-lain hal yang tak berkaitan antara tema satu dengan yang lain.

Namun dengan segala kekurangannya, di sini Yanwi begitu lugas dan sederhana dalam membangun diksi dan garis puisinya sendiri. Yanwi tidak memberikan sayap pada kata-katanya, Yanwi berjalan dengan begitu lembut dan sederhana, dan puisi-puisi Yanwi ini sangat bisa dipahami oleh orang yang paling awam sekalipun. Hanya orang bebal yang tak bisa meraba dan menangkap apa yang ingin disampaikan puisi-puisi Yanwi yang gamblang dan lugas itu. Namun tentu saja segala pemaknaan mesti dilempar ke pembaca, karena penyair telah ‘mati’ ketika puisi-puisinya telah dilempar ke pembaca, pembaca yang mau memahami dan masuk lebih jauh ke dalam puisi, maka ia akan menemukan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh puisi, apa sebenarnya makna yang tengah ia cari, dan begitulah kemudian cara menikmati puisi. Rumah di Atas Batu jika dilihat dari kacamata penderitaan memang sudah sangat kompleks mengandung kenelangsaan semenjak proses penciptaannya sampai dengan proses cetaknya, ini bisa kita lihat secara tersirat dan tersurat dari kata pengantar yang diutarakan Yanwi.

Setiap pembaca pasti memiliki satu atau dua puisi yang menjadi favorit, tak terkecuali saya sendiri juga demikian. Ada satu puisi di dalam Rumah di Atas Batu yang membuat saya begitu menikmati dan terbawa perasaan sendiri, kalau kata anak era kiwari disebut baper. Sebenarnya puisi ini sederhana, sangat amat sederhana. Puisi ini menceritakan tentang Yanwi sebagai seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya yang rewel, anak pertamanya yang bernama Tan,


Tan Kecil

 

Dongeng-dongeng belum kelar sayang…

Kau menangis

Minta ini

Minta itu

 

Kau menangis

Kau merengek

Kau menatap penuh tanda

Ibu sayang (kamu), Tan…

 

Di sini jelas, Yanwi sebagai seorang perempuan dan seorang ibu sekaligus seorang penyair ingin menyimpan memori tentang anaknya di dalam puisinya. Sebagai seorang ibu, ia telah terlengkapi dengan kehadiran sang buah hati, Tan. Dan betapa besarnya kasih sayang seorang ibu itu meskipun anaknya seringkali menangis, merengek, meraung, minta ini, minta (Aerox sambil menendang daun pintu) itu, rewel, nakal, banyak tanya seperti filsuf, dan kadang tak jelas. Akan tetapi Yanwi jelas pada posisinya sebagai seorang perempuan dengan evolusi perasaannya sekaligus sebagai seorang ibu pada akhirnya. “Ibu sayang (kamu) Tan” itulah keindahan hubungan dan ikatan batin antara ibu dan anak. Keindahan-keindahan sederhana, bersahaja, dan lugas seperti inilah yang menjadi kekuatan puisi-puisi Yanwi. Puisi yang bisa dipahami, dinikmati, dan menggetarkan hati, tanpa harus kita mengernyitkan dahi. Jadi, selamat membaca keindahan sederhana yang haru, selamat membaca Rumah di Atas Batu. Tabik.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »