Sepasang Tangan Ajaib - Prima Yuanita

@kontributor 3/12/2023

Sepasang Tangan Ajaib

Prima Yuanita



Jika suatu saat kau menunaikan tugasmu, Nona, sempatkanlah datang ke desa kami! Desa yang terbentang di sepanjang Mahakam; yang saban hari dilewati tongkang-tongkang batubara namun listrik selalu padam; yang penduduknya gemar bermandian di tepian dan menjadikannya tempat pembuangan; yang pemerintahnya berlaku tenang dan menyambut tamu-tamunya dengan secangkir teh hangat beserta gorengan bersaus kacang.

Dan jika kau telah datang, ketika jelang siang, jangan lupa singgah ke warung makan kami! Warung kami berdiri di depan pertigaan jalan—di samping kanan sebuah penginapan, di samping kiri tempat berkumpulnya feri.

Segala macam olahan ikan akan kami tawarkan. Kau wajib mencobanya! Koki-koki kami piawai meracik rempah-rempah yang kami tanam untuk memoles binatang-binatang itu agar menjadi santapan yang menggiurkan air liur.

Sesekali kau harus mencicipi sambal ikan haruan kami dengan bubuhan nanas yang akan memberikan sensasi asam pedas yang segar. Atau kau mau yang lain? Ada nila, bawal, gurame, patin, udang, layang? Semua lengkap kami sajikan!

Dari selentingan kabar yang beredar, kaulah yang menggantikan lelaki yang tahun lalu dikejar orang-orang lantaran honor mereka yang belum diberikan.

“Oh, rumahnya sekarang pindah ke laut! Ke tempat bini mudanya!” kata pegawai kecamatan sewaktu kau ingin menemui lelaki tersebut. Dan kau pun bingung karena kau berpikir tak ada laut di tempat kami. Dan kau semakin bingung karena tak mungkin ada orang yang bisa tinggal di dalam lautan.

“Ya sungai itulah laut kami!” tambah perempuan paruh baya yang aroma parfumnya semerbak menjelajahi ruangan, sementara kau hanya manggut-manggut. Dan baru setelahnya kau tahu bahwa kawasan di sekitar Mahakamlah yang disebut laut.

Alangkah sayang waktu itu kau tak singgah ke desa kami. Kau hanya menandaskan tiga jam harimu di ulu, di kota kecamatan, selepasnya, bersama kedua rekan kantormu kembali ke kota kabupaten. Dan kau berjanji pada kami, kelak ketika masa pengawasan tiba, akan menginjak kecamatan kami lagi. Tentu saja, seharusnya, desa kami masuk dalam daftar yang akan kaukunjungi.

Tapi, Nona, belum juga kau datang, air sungai kami pasang. Cairan serupa susu cokelat itu menggenang dan menenggelamkan separuh dari ketinggian rumah-rumah panggung. Hanya atap-atap yang gagah bertahan. Ruas-ruas jalan terendam, bak ampas kolak yang tersembunyi di dalam kuah santan. Ini banjir musiman. Setiap tiga tahun sekali air bah akan meruah.

Sebagian dari kami di laut—begitu kami menyebut—akan mengungsi ke darat. Namun tidak sedikit pula yang masih bertahan di rumah yang terkepung banjir. Ini bukanlah sesuatu yang berlebihan untuk dikhawatirkan. Kami sudah bermandi garam atas peristiwa demikian. Tidak masalah. Anak-anak suka melihat ikan yang berlimpah. Mereka berenang di tengah-tengah sambil berjoget-joget, bernyanyi-nyanyi dan tertawa girang. Setiap rumah tiada luput memiliki perahu: kami bisa mendayung dan berenang. Jadi kami tidak perlu takut. Bukankah seharusnya tiada yang lebih menyeramkan daripada sebuah kebodohan?

Ah, tentu kau lebih jeli untuk hal demikian. Kau seorang pelajar yang terdidik dengan baik semestinya. Dan betapa kami sudah tidak sabar ingin bertemu. Kami ingin menyambutmu. Kami ingin melihat dengan kedua mata kami sendiri seorang perempuan yang, mereka bilang, memiliki sepasang tangan ajaib. Katanya, berkat bantuan tanganmu itulah, banyak gedung baru berdiri di daerah mereka.

Andai kami bisa meminjam tanganmu, Nona, barangkali kami akan membangun sekolahan di depan lapangan sepak bola yang kini serupa danau. Anak-anak kami harus ke luar desa demi menuntut ilmu. Terkadang mereka mogok sekolah dan memilih menjadi buruh penangkap ikan atau penyadap karet lepas.

“Kami ini butuh uang untuk makan. Sekolah tak kasih makan, yang ada perut kami malah keroncongan,” kata mereka lalu melenggang pergi dari rumah. Dan sayangnya kebanyakan orang tua hanya bungkam, seolah mengizinkan jika anak-anak mencari uang dengan hasil keringat mereka sendiri.

“Asal ada uang segala bisa dikerjakan! Tak pentinglah apa itu sekolah! Nyatanya bubuhan yang pada sekolah juga kembali nganggur di rumah!” teriak salah satu dari mereka.

Mereka banyak berbicara. Tak sepertimu yang, mungkin, sedikit berucap namun banyak bertindak. Tentu saja dengan kedua tangan ajaib itu, pasti kau bisa melakukan banyak hal.

Dan kini kami sedang menanti keajaiban tanganmu itu, Nona.

Mereka bilang kau akan tiba pada hari Selasa. Lalu mereka menyuruh kami menghias warung makan dengan gorden berumbai-rumbai, memanggang berupa macam ikan, membuat kue bingka kentang, dan menyiapkan perahu untuk menjemputmu di perbatasan.

“Apa ia akan datang? Banjir semakin tinggi. Rumah-rumah mulai dinaikkan,” kata salah satu dari kami.

“Harus ada beberapa bukti yang dilampirkan. Ia pasti datang bersama rombongan!” sahut yang lain.

Dan begitulah perbincangan panjang digelar di warung makan. Kami berkisah tentangmu dengan wajah yang cerah. Debar-debar itu mulai bertebaran di jantung kami. Kami akan segera berjumpa denganmu dan melihat sepasang tangan ajaib itu dan berharap mendapat keajaiban dari sepasang tanganmu.

Angin berkesiur lembut menyapu kulit kami yang gersang. Air bah sudah mencium lantai ulin warung makan di bagian depan, bagian dalam berundak 100 sentimeter jadi masih aman. Meski demikian kami tetap waspada andai esok air akan memasuki ruang dalam.

Setelah berjam-jam menunggu kami mulai jemu. Bahkan hingga langit memuntahkan serbuk-serbuk hitamnya ke sekitar desa, kau tidak juga lekas datang. Kami menghubungi orang di perbatasan untuk memastikan apa kau benar-benar tidak datang.

“Tidak ada! Tidak ada rombongan yang datang,” jawab orang itu dengan suara pecah-pecah.

Perlahan wajah-wajah kami mengusam. Peluh kami menjenuh. Makanan-makanan di meja dingin dan mengering. Kami lelah dan satu persatu berpulangan ke rumah dengan perahu. Warung makan lengang dan dikunci tepat jam sembilan malam.

Saat itu kami sangat kecewa padamu, Nona! Sangat kecewa. Namun berangsur rasa itu memudar ketika kami mendengar kabar bahwa sekolahan yang kami idam-idamkan akan dibangun tahun depan.

Kami terlampau gembira hingga kami lupa bahwa kami pernah kecewa. Bahkan kami tak peduli ketika kami tahu dokumenmu dulu sudah terisi lengkap tanpa kaukunjungi desa kami.

Itulah kenapa orang-orang menyebut tanganmu ajaib. Ternyata tanganmu, Nona, benar-benar ajaib. (*)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »