Ada Air Mata yang menjadi Tinta di Puisi Emi Suy - Fileski

@kontributor 3/05/2023

Ada Air Mata yang menjadi Tinta di Puisi Emi Suy

Fileski (W. Tanjung Files) 



Saya bertemu Emi Suy ketika ia pulang ke kampung halaman, ternyata ia penulis asal Madiun juga. Tak disangka, setelah sekian lama hanya bersua lewat media sosial, kami bertemu tatap muka dalam ruang sastra. Kebetulan waktu itu teman-teman pegiat sastra di Madiun sedang mengadakan acara rutinan, sebuah acara sastra digelar di sebuah rumah budaya yang bernama RBTS. Pertemuan singkat tapi sangat berkesan, dan malam itu pula, puisi-puisi Emi Suy membawaku dalam khasanah estetika kata-kata, yang membawa tema besar tentang hakikat makna seorang Ibu.

Puisi-puisi karya Emi Suy misalnya dalam buku "Ibu Menanak Nasi hingga matang Usia Kami", memiliki imajinasi yang kuat dan mampu menggugah emosi pembaca dengan makna-makna filosofis. Bait-baitnya digambarkan secara indah dan menyebabkan rasa haru. Banyak  bagian dari puisi Emi juga dianggap memaksa pembaca untuk mengingat kenangan bersama ibu dan menekuni perjuangannya. Namun, untuk memberikan tanggapan yang lebih jelas tentang puisi tersebut, saya harus mengutip utuh puisi tersebut dan penulisnya lebih jernih, meskipun saya memaknainya dengan sederhana, agar semakin banyak orang mengenal puisi Emi, bahwa puisi tak selalu harus yang sulit dimengerti.

Saya mulai dari puisi “Ibu Rela”, menggambarkan tentang kasih sayang seorang ibu yang selalu ada meskipun tidak secara fisik di samping anaknya. Selimut yang ditarik setiap malam sebagai simbol dari kenangan masa lalu yang diberikan ibu pada ulang tahun ke-7. Ibu yang rela menjadi bulan yang memberikan kehangatan dan keamanan saat anak tidur di malam hari. Puisi ini juga menunjukkan bahwa kasih sayang seorang ibu tidak pernah berakhir dan selalu ada meskipun anak sudah dewasa.

IBU RELA


setiap malam,

aku tarik selimut usang dari masa lalu

hadiah ibu

di ulang tahun ketujuh

dan masih gema bisiknya sebelum aku lelap:

"tidurlah, nak

Ibu rela jadi bulan

yang dihadiahkan malam untuk kelam".

 

2021

Berikutnya puisi yang menggambarkan tentang seorang ibu yang diidentifikasikan dengan nama Pamudji. Ia ditunjukkan sebagai sosok yang memiliki mata teduh seperti hujan, sebagai simbol dari kesabarannya dalam menghadapi masalah. Ia mengembara atau berjuang untuk anak-anaknya, meskipun ditinggal angin musim yang menyebabkan kesedihan. Namun ia selalu yakin bahwa Tuhan tidak pernah lupa untuk mengirim pertolongan. Puisi ini menggambarkan tentang seorang ibu yang selalu berjuang untuk anak-anaknya meskipun dalam kesulitan dan selalu percaya pada Tuhan.

IBU

: Pamudji

 

matamu teduh hujan

setelah kasih putih diluncurkan

dari papan kayu yang diikat dengan tali janji

kau mengembara

(menggembala harapan untuk anak-anaknya

yang ditinggal angin musim terkadang kesedihan tergenang)

tapi kau selalu yakin

Tuhan tak pernah luput mengirim...

 

2021

Puisi ini menggambarkan tentang perasaan kembali ke masa kecil di pangkuan ibu dan dielus-elus oleh ayah dari surga, yang membuat si penulis merasa tenang dan damai. Ada perasaan nostalgia dari masa kecil yang diidentifikasikan dengan mengecup kening sebagai simbol dari kasih sayang. Puisi ini menunjukkan perasaan kebahagiaan dalam merenungkan kenangan masa lalu yang damai dan damai dengan orang tua yang telah meninggal.

HENING KENING


di pangkuan ibu aku kembali bayi

tangan ayah dari surga

mengelus rambutku

dan hening

mengecup keningku

 

2021

Puisi ini menggambarkan tentang seorang anak yang merawat ibunya yang lemah di tempat tidur, dengan menyuapinya bubur dan air sambil meneteskan air mata. Ia merasa ingin terus memeluk ibunya selama usianya dan membasuh kakinya setiap pagi dan sore. Namun, ia merasa tidak akan pernah bisa melunasi utangnya pada ibunya. Namun ibunya menjelaskan bahwa apa yang diberikan kepadanya bukanlah utang, tapi sayang. Ibu tidak dianggap sebagai pedagang. Puisi ini menunjukkan tentang kasih sayang seorang anak pada ibunya yang selalu ada meskipun tidak bisa melunasi hutang yang dianggapnya ada dan juga tentang kasih sayang seorang ibu yang tidak dianggap sebagai pedagang.

BUKAN UTANG

 

seperti masa kanak kini giliranku menyuapimu -yang berbaring lemah di dipan

sesendok demi sesendok bubur dan air yang bercampur air mataku yang hancur

"Ibu, aku ingin terus memelukmu selama usiaku, lalu membasuh kakimu

saban pagi dan sore

meski aku tahu, tak akan pernah bisa melunasi utangku padamu," bisikku

"Nak, apa yang kuberikan padamu bukanlah utang

melainkan sayang,

sebab ibu bukanlah pedagang," senyumnya

senyum yang terus kurias di wajah hingga kini

untuk anak-anakku

 

2021

Puisi ini menggambarkan tentang seseorang yang mandi di halaman rumah ibunya saat hujan turun, dengan harapan bahwa jarum-jarum hujan dapat menjahit luka di kepalanya yang dihasilkan dari benturan dengan tembok-tembok kota. Ini menunjukkan perasaan seseorang yang merasa terluka atau sakit dari kondisi kota yang keras dan ingin mencari kesembuhan dalam kehangatan dan kelembutan dari rumah ibunya. Mandi di bawah hujan di halaman rumah ibunya diidentifikasikan sebagai simbol dari mencari kesembuhan dan damai melalui kontak dengan alam.

JARUM-JARUM HUJAN

 

di halaman rumah ibu aku mandi

agar jarum-jarum hujan menjahit luka kepalaku

yang lama terbentur tembok-tembok kota

 

2021

Puisi ini menggambarkan tentang seseorang yang kembali ke rumah ibunya dan tertegun saat melihat dan mendengar burung-burung yang sama seperti di masa lalu. Ini mengingatkan dia pada satu-satunya burung yang pernah ia rawat di rumah tersebut. Ini menunjukkan perasaan nostalgia dan kekaguman terhadap kenangan masa lalu yang tetap utuh di rumah ibunya. Burung-burung yang terus berkicau diidentifikasikan sebagai simbol dari kenangan masa lalu yang tetap hidup dan mengingatkan dia pada perawatan yang ia berikan di masa lalu.

RUMAH IBU

 

memasuki pekarangan rumahmu

aku tertegun di halaman

melihat dan mendengar

burung masa lalu

yang terus berkicau

lalu aku ingat

satu-satunya burung di rumah yang kurawat

 

2021

Puisi ini menggambarkan tentang ibu yang sedang mengukus makanan di kukusan bambu dengan cara tradisional, dimana ia membakar bara dan berdoa sebelum menanak makanan. Ibu diidentifikasikan sebagai kukusan yang menampung segala perasaan, baik yang ringkih maupun yang perkasa. Ia menua dengan perlahan seperti proses pematangan makanan di kukusan. Pada saat yang sama, ia juga meneguk air mata sendiri. Puisi ini menunjukkan tentang perasaan ibu yang mengalami perubahan usia dan menghadapi perasaan yang beragam, tetapi tetap tenang dan mengukus dengan cara tradisional. Ia mengukus makanan dan sekaligus mengukus perasaannya sendiri.

KUKUSAN

 

di kukusan bambu, menghitam dibakar bara dan doa, begitu tenang ibu menanak usia kami, hingga matang

di malam mendidih, di siang perih ibu pelan-pelan menua, bagai kukusan menampung segala, ringkih dan perkasa

sesekali meneguk

air matanya

sendiri

 

2021

Puisi-puisi Emi Suy, yang ia tulis di tahun 2021 ini, menunjukkan tema yang sama, yaitu tentang kasih sayang seorang ibu. Puisi-puisi ini menggambarkan perasaan anak-anak terhadap ibu mereka, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Puisi-puisi ini juga menunjukkan bagaimana ibu dianggap sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk merenungkan kenangan masa lalu dan mencari kesembuhan dari masalah yang dihadapi. Puisi-puisi juga menunjukkan bahwa kasih sayang seorang ibu tidak pernah berakhir dan selalu ada meskipun anak sudah dewasa. Ibu diidentifikasikan sebagai sosok yang selalu berjuang untuk anak-anaknya, meskipun dalam kesulitan dan selalu percaya pada Tuhan.


(Januari 2023)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »