Kalau Bukan Tembakau, pada Siapa Kami Mengadu Nasib? - Nurillah Achmad

@kontributor 6/04/2023

Kalau Bukan Tembakau, pada Siapa Kami Mengadu Nasib?

Nurillah Achmad



I/

Jerit tangis Juhaini seakan terdengar ke seluruh sudut padukuhan. Belum lagi sederet gunjingan yang seolah sengaja menambah serunai kemalangan. Randu menguat-nguatkan mata, memandangi seonggok tubuh tak bernyawa di hadapannya. Bibirnya amat gemetar manakala jemarinya memungut secarik kertas di saku kemeja ayahnya. Ia memberanikan diri membuka lipatan kertas, kendati lengkingan tangis sang ibu, kian lama kian pilu.

Randu, Anakku.

Telah sampai waktuku di ujung tak terbatas di mana doa dan kenangan yang hanya mampu menjamahku di sini. Aku warisi engkau sebuah kenyataan bila hidup tiada berharta, maka engkau akan rentan diinjak dan dicampakkan orang. Seberapa terang pelita yang kau nyalakan di bawah gantang, bila kau tak berdiri di atas kaki sendiri, maka pada dasarnya kau bersembunyi.

Randu, Anakku tercinta. Dalam jalani lakon hidup di bumi ini, kadang-kadang engkau akan menang, tapi tak jarang juga kalah. Bila saat ini kau mendapatiku tertunduk dan menyerah, itu sebab aku gagal bertarekat teguh dengan tembakau.

Ratusan buntalan tembakau yang tertolak gudang, adalah bukti betapa mati tak cukup sekadar dibungkus kain kafan. Keraskanlah rahangmu, Randu, lalu temui siapa yang mesti kau temui.

Juhaini tergopoh-gopoh hendak merebut surat di tangan Randu. Namun, remaja tanggung itu menepis dan meminta bantuan seorang perempuan memegangi ibunya. Juhaini meraung-raung mendapati Randu berjalan meninggalkan jenazah suaminya yang belum dimandikan.

Di halaman, Randu mengedarkan pandang ke sekeliling. Orang-orang yang berkerumun menatapnya kebingungan. Tatapan Randu pada akhirnya jatuh terhadap seorang lelaki di bawah pohon cermih. Randu menemui lelaki itu saat orang-orang menatapnya keheranan.

“Dengan apa aku mesti bayar utang Bapak, Lek?”

Lelaki di hadapannya tak menyahut. Ia hanya memegangi pundak Randu dan menunjuk arah rumah.

“Tapi Bapak meninggalkan surat ini dan aku mesti menemuimu, Lek,” kilah Randu sembari menunjukkan kertas.

Lelaki itu menatapnya lekat dan tak menyentuh surat.

“Mengajilah, Randu, mengajilah. Itu jauh lebih baik daripada kau berdiam di sini.”

“Tapi dengan apa aku mesti bayar utang Bapak padamu, Lek?”

Sejenak lelaki itu menarik napas dalam-dalam lalu menoleh ke arah tumpukan tembakau yang berserakan. “Ratusan buntalan tembakau yang menjadi penyebab bapakmu mati gantung diri, akan kubawa sebagai pengganti utangnya.”

 

II/

Amuk serapah sang ibu pada ayahnya tak lagi bisa dihindari. Bahkan suara piring beling yang dibanting ke dinding juga tak kuasa ayahnya halangi. Asan mengintip di balik pintu sembari menatap bibir mungil ibunya yang menyebut segala nama binatang tanpa tedeng aling-aling.

“Kau itu lelaki, tapi tak laki!” seru sang ibu. “Mestinya kau ambil sertipikat tanah, bukan buntalan tembakau yang jelas-jelas tak ada harga!”

Ayahnya tak menyahut. Lelaki itu seolah membiarkan istrinya mengamuk dan mencak-mencak tak keruan. Bahkan saat dituding sebagai banci, ayahnya tak menimpali.

“Butakah matamu melihat harga? Tembakau kita sendiri tak laku, tapi kenapa kau melunasi utang orang dengan tembakau pula?”

 Asan mulai gemetar, saat ayahnya yang semula tak mengindahkan, kini berdiri lantas berlari ke arah sang ibu dan menggamparnya berulang-ulang. Usai itu, ayahnya menyeret dan menendang sang ibu sampai-sampai perempuan itu tersudut di pojok dapur.

“San! Asan!” teriak ayahnya.

Asan berlari-lari dan berlagak seolah tak melihat apa yang terjadi pada orang tuanya.

“Beli bensin di sebelah dan bawa ke halaman.”

Asan memberanikan diri menatap ayahnya. Tapi lelaki itu malah menggertaknya dan meminta Asan lekas-lekas ke warung tetangga.

Berlarilah Asan sembari membawa uang dua belas ribu dan sesekali mendongakkan langit, memohon pada Lah Ta’ala agar ayahnya tak membakar diri atau membakar sang ibu.

Sesampainya di halaman, ayahnya merenggut botol bensin dari Asan dan menyiramkannya pada tumpukan tembakau yang tak terbilang jumlahnya. Usai menyulut dengan batang korek api di mana kobaran api membubung tinggi, sang Ayah bergegas ke arah tumpukan tembakau yang lain.

Asan begidik melihat kilat amarah di mata ayahnya yang serupa nyala api neraka. Orang-orang yang melintas tak berani menghentikan saat ayahnya mengambil satu demi satu buntalan tembakau dan melemparkannya ke tengah-tengah kobaran. Asan yang tak kuasa mendapati ayahnya merapal murka, akhirnya berlari ke belakang rumah.

 

III/

Derasnya arus kangai tak menciutkan nyali Asan. Bahkan ketika tali temali yang merekatkan jembatan bambu telah koyak dimakan usia, Asan memberanikan diri menyeberang guna menjauhi rumahnya. Sialnya, baru saja tiba di seberang, orang-orang menyambutnya lewat pertanyaan, betapa tembakau telah membuat ayahnya bersikap tak waras.

Asan tak menyahut. Ia terus berjalan ke arah lapangan. Sebuah layangan putus tampak terbawa angin. Tanpa galah, Asan berlari-lari dan mengikuti layangan itu berlabuh. Tak ada yang mengejar selain Asan. Anak itu cukup mudah menjangkau layangan yang terjatuh di belakang dapur rumah orang.

Usai memungut layangan dan menggulung sisa senar ke reranting, Asan mendapati isak tangis di dapur rumah itu. Seketika Asan mencari-cari celah lubang gedhek dan mengintip.

“Tak ada lagi yang bisa diharapkan di sini, Kak. Gudang-gudang tutup. Tak ada pekerja. Sementara kita harus tetap makan dan berutang,” seru seorang perempuan paruh baya, sementara lelaki di hadapannya hanya tertunduk lunglai.

“Aku hendak ke balai desa, Kak. Mau buat akta. Usai itu, aku buat passport dan terbang ke Taiwan. Nanti, bila sudah cukup uang, aku akan pulang ke sini. Atau kau bisa ke Korea sebab lelaki bila ingin jadi TKI, mesti bayar dulu sebagai modal kerja.”

Perempuan paruh baya itu berdiri. Lelakinya berusaha menghalang.

“Sudah cukup utang kita menikam tubuh tiap hari. Bila dibiarkan, bukan tak mungkin tanah ini pindah tangan.”

Perempuan itu menyingkirkan lengan sang suami dan bergegas keluar sembari membawa plastik hitam. Asan berlari ke arah kangai dan berusaha melupakan apa yang ia dengar barusan.

Desau angin membelintang saat perempuan itu merambat pelan meniti jembatan batang bambu. Berulangkali ia berucap zikir saat nyalinya ciut mendengar derasnya arus menghantam batu-batu padas.

Sesampainya di ujung jembatan, matanya terkesiap mendapati asap membubung. Orang-orang hilir mudik. Tapi perempuan itu tak peduli. Ia memilih lajur kanan, melewati gumuk dan menjejakkan kaki pada tumpak belukar sebelum akhirnya tembus ke pematang belakang balai desa.

“Temuilah Kades di depan. Mintalah tanda tangan sekarang,” kata Bu Carik sembari menyodorkan formulir pembuatan akta.

Perempuan itu mengangguk lantas menuju kursi sofa yang berada di balai depan di mana sang Kades tampak sibuk berbincang di gawai.

“Kamu mau ke mana mau buat akta?” ujar sang Kades meski gawainya masih menempel di telinga. “Ke Malaysia atau Arab?”

“Taiwan, Pak.”

Sejenak si Kades menatapnya lekat.

“Gudang tembakau tutup semua, Pak. Tak ada tempat buat saya.”

Si Kades lekas-lekas mengambil pena di saku kemeja, membubuhi tanda tangan lantas menunjuk arah Carik.

“Halo? Iya. Iya. Kumpulkan wartawan sekarang juga.”

 

IV/

            Ocehan Juhaini soal harga tembakau, dan segala macam utang yang berkelindan, tumpah ruah ke segala sudut ruangan bagai anak panah lepas dari busur. Kepala Desa mencoba menenangkannya, namun Juhaini kembali merutuki sang suami yang memilih menanam tembakau alih-alih cabai.

            Saat Kades menyodorkan amplop tebal sebagai pertanda bela sungkawa, Juhaini kian meraung-raung. Perempuan itu kian menjerit, memukul dadanya sendiri berulang-ulang sampai akhirnya ia pingsan. Di depan rumah duka, beberapa wartawan tampak menunggu di bawah pohon cermih. Mereka berlarian saat melihat sang Kades selesai melayat dan keluar dari rumah duka.

            “Ini adalah bukti betapa rumus menanam tembakau tak ubahnya berjudi. Bila untung bisa naik haji, tapi bila buntung bisa gantung diri.”

            “Bagaimana solusinya, Pak? Bukankah sebagian besar petani di kampung ini bergantung pada tembakau?” kata seorang wartawan senior.

            Sang Kades berdehem tiga kali. Ia membetulkan kerah baju yang sebetulnya masih rapi.

            “Sawah-sawah para petani akan kami beli dan kami jadikan desa ini sebagai desa wisata. Setidaknya, sawah mereka pasti laku tinggi sebelum akhirnya berubah menjadi lahan huni.”

            Orang-orang tercekat. Para wartawan tersenyum. Namun, seorang wartawan yang agaknya masih baru bekerja menyeletuk.

            “Kalau mereka tak lagi punya lahan, lantas dengan apa mereka bekerja ke depannya, Pak?”

            Sang Kades terdiam. Ia menoleh ke arah bendaharanya dan menatap garang. “Mengapa kau undang wartawan macam begini?”


V/

            Gemeretak ngilu pada dadanya masih tak usai. Randu menatap nanar sang Kades yang tampak sibuk diwawancarai wartawan di halaman. Surat peninggalan bapaknya masih ia genggam bersamaan dengan amplop putih pemberian sang Kades. Kendati begitu, Randu telah menulis surat balasan yang entah bagaimana ia kirim pada ayahnya.

            Kau benar, Pak. Semenyakitkan apa harga tembakau di pasar, ia jauh lebih jujur daripada penguasa, apalagi senyum-senyum para calon di baliho kampung yang mulai menyeruak demi pemilihan tahun depan.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »