Bayang-Bayang Mary - Beri Hanna

@kontributor 8/06/2023

Beri Hanna

Bayang-Bayang Mary

 


Buku-buku yang tak pernah dilupakan Mary, bahkan beberapa detik setelah eksekusi mati—saat itu Mary berpose seperti Sebastian yang dilukis Antonello da Messina; tenang dan tidak peduli dengan anak panah yang tertancap di tubuhnya—menyadarkan dia akan dikerubungi ngengat seperti tokoh idolanya dalam cerita pengarang asal Argentina, adalah beberapa yang dicuri dari perpustakaan kota.

Mary sangat menyukai buku lebih dari apapun, dan terobsesi, hingga membawanya menjadi seorang perempuan paling ditakuti pada masanya.

            Aku teringat pada Mary setelah membaca catatan penulis asal Chile yang lebih doyan mabuk ketimbang menyelesaikan calon novel mutakhirnya. Satu alasan mengapa aku katakan “teringat” bukan “mengetahui” sebab sebelum-sebelumnya, Mary telah bergentayangan di sepanjang Samudra Pasifik, dan dia lebih nyata dari setan-setan bajak laut. Dia menjadi buah bibir para bajingan kesepian atau berkelompok, yang memimpin bajingan atau bawahan yang tidak berguna, dan bajingan lain yang merompak dan dirompak kapalnya.

Begini Cerita Singkat tentang Mary.

Pada tahun 1880 di bulan November yang separuh terbakar karena cuaca panas berkepanjangan, Mary mengangkat senjata api dan mengarahkannya ke para bajingan kapal. Saat itu mary menantang siapa saja untuk adu jotos.

“Perempuan punya kesempatan untuk baku hantam,” kata Mary, namun tak seorang menanggapi bahkan memikirkan kata-katanya hingga Mary diminta untuk pulang dan, mewarnai kuku jari tangannya.

“Kami tak punya waktu bermain-main, Nona Muda,” kata pemimpin bajingan membuat semua anak buah tertawa.

Salah satu catatan penulis Chile dalam bab Peraturan-Peraturan, ada satu pantangan dalam memberlakukan wanita di atas kapal, yang berbunyi; jangan pernah menertawakan mereka. Harapan para bajingan yang ingin melihat kemilau kuku yang memantulkan cahaya matahari, gagal dalam kabut awan yang memburamkan segala sesuatu.

Mary tentu saja tersinggung dan penghinaan semacam ini, membuatnya marah lalu berkata dengan nada kurang ajar, “Bagus. Karena aku juga tidak main-main.”

Di saat semua tertawa—karena merasa lelucon semacam ini menjadi panjang—Mary mengirim peluru ke salah satu perut bajingan.

Semua terkejut ketika Mary meletakkan senjata dan mengambil kuda-kuda seperti petinju Tom Paddock yang terkenal pada abad-19.

“Berikutnya aku tidak butuh senjata itu,” kata Mary.

“Siapa anda sebenarnya, Nona Muda?”

Semua terdiam ketika Mary mengatakan dia adalah Mary R. Mary, keturunan langsung dari moyang yang terpancung di Jago de la Vega, Jamaica, Kota Spanyol pada 1720.

            Bagi sebagian bajingan kapal, kata-kata Mary adalah kunci yang menunjukkan fakta, bahwa mereka sedang menghadapi orang gila. Dalam kisah dari penulis terkenal, dikatakan hal yang kurang lebih demikian: bajak laut perempuan bernama Mary Read, menantang bajingan-bajingan yang mengganggu kekasihnya di atas kapal, lalu puncak dari kejayaan Mary Read sebagai bajak laut, berakhir di tiang pancung.

Jelas bahwa Mary hanya terobsesi dengan kata-kata perempuan bajak laut yang berani.

Tidak Mudah untuk Bercerita

            Aku ingat, ada dua fakta unik dari cerita—yang ditulis Bolaño—tentang seseorang yang mendapati dirinya mati pada suatu subuh di kota Paris. Pertama, dia melihat kematian dirinya sendiri dan menjadi takut karena tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kedua, dia menertawakan kematiannya hanya karena ingatan atas film berjudul Ghost—dari masa lalunya yang tak pernah terbayangkan—yang seketika menjadi nyata pada dirinya; di mana Patrick Swayze terbunuh dan arwahnya—dengan teknik double exposure—keluar lalu menatap jasadnya dengan takjub.

Cerita konyol semacam itu, muncul secara tiba-tiba setelah aku berusaha melawan serangkaian peristiwa dalam kehidupan yang tak kalah konyolnya.

Kesadaran bercerita itu tidak mudah, terlebih aku bukanlah seorang penulis yang baik atau pendongeng yang dapat dipercaya. Begini saja, tanpa tawaran berarti, aku akan mengatakan sesuai dengan kemampuan dan apa adanya. Aku mulai dengan pilihan kata “Terkadang” seperti berikut:

Terkadang, ingatan lebih menakutkan dari apa yang aku duga. Satu contoh, saat pertama mengarang kisah Mary, aku hanya menulis dan merasa cerita itu telah selesai. Namun, fakta lain menguasai aku untuk berada sekaligus menyaksikan perang di Vietnam, mengisap ganja di Jamaika, melihat Nina Simone menenggak champagne, dan kerumitan-kerumitan lainnya yang tak dapat aku kendalikan. Barulah kemudian, pelan-pelan menuju apa yang aku harapkan dapat teringat; mengarang kisah Mary.

Suatu sore di bulan Januari, aku pulang dari kelas mengarang dan tertidur di atas sofa—nyaris sebelum menyentuh mesin tik untuk melanjutkan cerita. Kemudian, apa yang aku alami—inilah alasan mengapa bab ini kubuka dengan ingatan cerita yang ditulis Bolaño—seperti mustahil untuk dituliskan.

Membayangkan cerita tentang Mary telah tuntas aku kerjakan, gamang dengan kenyataan daripada semua itu, sebatas penggalan yang enggan tuntas.

Tapi setidaknya aku bersyukur karena tidak mati, melainkan tidur dan bermimpi dengan perasaan bahagia. Sebagai pengantar—abal-abal—aku ingin memberi sedikit ilustrasi lewat film pendek berjudul One of Many, garapan Nikolai tahun 1927. Mary, nama gadis pemeran dalam film ini, berangan-angan ingin melihat Amerika. Maka ketika dia pulang, dia merebahkan diri lalu arwahnya terangkat dari tubuh dan dia menjadi animasi yang melepaskan segala mimpinya tentang Amerika.

Sedangkan aku, tak pernah berangan-angan tentang apa pun, termasuk tentang cerita-cerita yang pernah aku baca. Pada suatu hari aku pulang dan tertidur begitu saja. Itu intinya. Aku sempat bermimpi, menyelesaikan sebuah cerita dengan kata-kata yang tepat dan memberi nama Mary untuk tokoh terhebat.

Tak ada yang aku rasakan kecuali terjaga dan mengingat semua hal secara berkala.

Banyak pekerjaan yang tertunda, dan membuat aku bertanya, bagaimana semua ini bisa terjadi? Ada sesuatu yang aneh ketika aku tidak lagi menguasai apa yang aku pikirkan. Dan kalian, tentu saja, bisa merasakan hal serupa dalam situasi yang tidak terduga.

Sebagai jalan utama untuk masuk ke sana—aku terka setelah melacak peristiwa yang terjadi pada diriku—kalian tidak membutuhkan obat atau jenis apa pun. Melainkan ilusi kuat seperti obsesi Salvador Dali kepada Sigmund Freud atau yang disebutnya sebagai paranoiac-critical method atau kurang lebih seperti pertunjukan-pertunjukan era 1990s yang dipelopori Robert Wilson dan rekan-rekannya, sebagai apa yang dikenal dengan Postdramatik.

Bayangkan saja kalian datang ke gedung pertunjukan, lalu melihat teknik eksplorasi bahasa yang semakin memudar, kemudian kalian akan menyadari semua baik-baik saja, tetapi cukup memuakkan karena segala sesuatu tak lagi menggairahkan. Kalian sadar, mungkin akan menuntut sedikit drama pada bagian-bagian yang telah dieksploitasi pada pertunjukan.

Sebagai Penutup (Aku Harap Memuaskan)

Harus kuakui satu kali lagi, aku bukan penulis yang baik. Apa yang kalian harapkan dari kisah-kisah Mary, tentu saja aku juga harap demikian. Namun, saat terjaga dari tidur, aku telah melupakan segalanya, tanpa gairah lebih untuk menyelesaikan cerita itu.

Aku pikir, yang terjadi pada Mary bukanlah sesuatu yang mudah, yang bisa diselesaikan dengan kumpulan kata-kata serampangan atau berbalas dialog, seperti; seorang aktor bertanya “Untuk apa semua ini?” sambil membanting sesuatu, dan aktor lain menjawab, “Jangan tanya aku!”.

Dan pada akhirnya, untuk menutup sebuah kisah yang telah aku mulai dari ketidaktahuan, sebuah percobaan sepertinya patut diusahakan.

Aku ingin menyelesaikan kisah itu dengan sesuatu, katakanlah seperti ini; Ketika aku membuka pintu kamar, kudapati seorang perempuan sedang meneruskan atau justru menghancurkan ketikan cerita yang telah aku mulai. Dia berdiri ketika aku masih terdiam menatapnya. “Lihat,” katanya. “Telah aku selesaikan ceritamu.” Aku terdiam dan hanya menyadari satu hal, bahwa aku benar-benar tidak mengenal perempuan ini.***

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »