KESEPAKATAN
Cicilia Oday
ENTAH sejak kapan pohon
pisang abaka yang tumbuh di sisi timur rumah kami terlihat seperti
perempuan gemuk berbadan dua. Aku baru menyadarinya satu minggu belakangan. Pohon
abaka ini tak memiliki makna khusus bagi keluarga kami, khususnya bagi kedua orang
tuaku—sehingga jika mereka ingin menyingkirkannya, mereka bisa melakukannya
kapan saja. Berbeda dari pohon pisang pada umumnya, buah pisang abaka tidak
bisa dimakan, baik dalam kondisi matang di pohon maupun dalam kondisi mentah
untuk digoreng. Jantungnya pun cenderung lebih kecil, terdiri dari
pelepah-pelepah berwarna merah yang bersusunan secara presisi dan mengatup ke
arah tanah. Batangnya bisa diambil, dijual atau langsung diolah menjadi serat,
bahan baku kertas, kain, dan bahan-bahan kerajinan. Namun pohon pisang abaka
yang tumbuh di halaman rumah kami hanya sebatang dan tak pernah dipanen; dengan
kata lain tak pernah dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk apapun, kecuali daunnya
yang sesekali diambil ibu untuk dijadikan bungkus nasi atau lapik kue. Karena
tak pernah dipanen, pohon pisang abaka kami tumbuh ramping dan tinggi menjulang
melampaui teritisan atap. Menyadari akhir-akhir ini batang pohon itu justru
terlihat seperti ibu-ibu gemuk sedang hamil, membuatku bingung sekaligus
khawatir.
Aku
menceritakan kekhawatiranku ini pada Kakek Yanes, yang kerap mengawasi pohon
pisang abaka itu dari jendela kamarnya. Kakek Yanes adalah adik bungsu kakek
dari pihak ayahku. Ia tidak pernah menikah. Ia telah tinggal bersama kami sejak
aku masih duduk di sekolah dasar dan masih tinggal di Manado. Ia menempati
kamar tambahan di bagian belakang rumah kami yang tadinya hendak dijadikan
gudang. Ayah bersedia menampung pamannya dengan ataupun tanpa imbalan beliau
harus bekerja, mengingat kondisi kesehatan Kakek yang menurun dari tahun ke
tahun. Dulu keberadaan Kakek Yanes kerap menjadi alasan pertengkaran atau ‘adu
mulut diam-diam’ di antara kedua orang tuaku di tengah malam. Sepertinya ada
keberatan dari pihak ibu tapi ayah berkata, mengurus sang paman adalah bentuk
pengabdian terakhirnya pada ayahnya sendiri. Kakek Yanes lelaki berperawakan
kecil dan ringkih seperti seseorang yang sering menjadi sasaran perundungan di
sekolah. Sejak Anita tak ada, aku lebih sering mengobrol dan bermain dengan Kakek
Yanes dibandingkan dengan ayah atau ibu, terutama saat hendak membahas perihal
keganjilan wujud pohon pisang abaka yang berdiri tepat di seberang jendela kamarnya
itu.
“Memangnya
pohon pisang bisa hamil seperti manusia?” tanyaku. Waktu itu aku sudah berusia
empat belas tahun dan tahu hal ini mustahil—bahwa pohon pisang bisa hamil—tapi
tetap saja aku bertanya. Tak heran Kakek Yanes tertawa. “Dulu ada mitos,” katanya,
“kalau manusia pertama berevolusi dari pohon pisang.”
“Bukankah
itu jauh lebih mustahil?”
Kami
sama-sama tertawa.
Terlepas
dari itu, kenapa wujud pohon pisang abaka ini terlihat amat ganjil? Dan kalau
ia memang harus berubah sedemikian ganjil, kenapa harus mirip perempuan hamil? Atau
adakah yang salah dengan persepsi internalku yang membuat aku membayangkan
bentuk tertentu?
Rasa
penasaranku tak berhenti sampai di situ. Dari minggu ke minggu, aku perhatikan
gundukan di tengah batang pohon pisang abaka tampak membesar. Gundukan-gundukan
yang lebih kecil, yang muncul di atas dan di arah berlawanan dengan gundukan
utama, membentuk belahan atau garis memotong di bagian tengah, tampak menyerupai
sepasang buah dada dan bokong. Untuk menyakinkan dugaan ini, aku mengambil
seutas tali rafia, mengukur diameter batang pada bagian yang membentuk
bongkahan-bongkahan itu, dan menandainya dengan spidol. Satu minggu kemudian,
aku mengulang tindakan yang sama dan menemukan hanya bongkahan utama di tengah
batang yang bertambah besar!
“Pohon
pisang itu sepertinya benar-benar hamil!” aku berlari ke kamar Kakek Yanes
suatu sore menjelang malam, dengan tali rafia dan spidol di kedua tanganku.
“Sssttt…”
Aku
bernapas terengah-engah seperti baru saja dikejar hantu.
“Jangan
keras-keras,” bisik Kakek Yanes, “nanti orang tuamu bisa dengar.”
Aku
sepakat dengan beliau. Ayah dan Ibu memang tak perlu dilibatkan dalam rahasia
kecil kami ini. Ayahku seorang guru mata pelajaran Sejarah yang terobsesi
dengan cerita-cerita rakyat dari berbagai daerah. Namun sejak sebuah tragedi
yang tak bisa dijelaskan akal manusia menimpa keluarga kami, ayahku bukan lagi
orang yang sama. Ibuku anggota majelis gereja yang tak akan mengompromi setiap
cerita atau fenomena yang berlawanan dengan ajaran agama.
“Ini
masih dugaan,” kata Kakek sambil membungkuk di depanku. “Dugaanmu bisa iya,
bisa juga tidak.”
Sejak
itu aku dan Kakek Yanes mencoba merawat pohon pisang abaka dengan sepenuh hati.
Kami menyiramnya setiap petang dan pagi. Kakek Yanes memanjat tangga kayu dan
mengeluarkan pelepah daun pisang yang mulai menguning. Buah-buah yang busuk
pada tandannya juga disingkirkan. Kami nyaris membuat pagar kayu melingkari
pohon pisang itu jika saja hal ini tak akan menarik perhatian kedua orang tuaku
dan membuat mereka menanyakan apa yang kami lakukan. Aku tidak tahu sampai
berapa lama tindakan ini akan berlangsung dan berapa lama pohon ini mengandung
jika ia memang sedang mengandung. Aku tahu manusia membutuhkan waktu sembilan
bulan sebelum bayi siap dilahirkan—tapi dengan pohon pisang siapa yang bisa
mengetahui? Aku terjaga beberapa malam memikirkan pohon pisang misterius ini.
Kadang-kadang
aku penasaran ingin melihatnya pada malam hari setelah seisi rumah telah lelap.
Suatu malam aku menyelinap keluar dan mengendap ke sebelah timur rumah tapi
kemudian aku harus berhenti, lima atau enam meter sebelum mencapai pohon pisang
itu, sebab di depan sana, tepat di bawah bulan purnama yang cahayanya membuat
setiap objek di bawah langit terlihat lindap dan lembut, tampak olehku Kakek
Yanes sedang berdiri di samping—atau di depan?—pohon pisang abaka, salah satu
tangannya merangkul batang semu itu, sedangkan tangan satunya mengelus gundukan
besar di tengah-tengahnya.
TAK
terasa tujuh tahun telah berlalu sejak Anita menghilang dari kehidupan kami. Anita,
adik perempuanku satu-satunya. Ia baru berusia empat tahun ketika sebuah peristiwa
ganjil menimpanya. Sejak itu kami sekeluarga tak pernah benar-benar pulih dari
rasa kehilangan. Satu tahun pertama, kami masih merayakan ulang tahunnya, ibu
masih memasak makanan kesukaannya, menjahit dan menambahkan pita di pakaiannya,
bahkan masih meletakkan satu piring kosong di sisi meja makan yang biasa ia
tempati setiap pagi, siang, dan malam. Kenyataan jasadnya tak pernah ditemukan,
pusara dengan namanya tak pernah dibuat, membuat kepura-puraan ini semula mudah
dijalani. Hingga saat ini kami tak tahu apakah ia memang telah meninggal, atau tersesat,
atau sekadar diculik lalu ditemukan oleh keluarga lain yang kemudian bersedia mengadopsinya;
apakah di bawah langit yang sama, ia masih ada dan bernapas?
Hari
itu akan selalu menjadi hari bersejarah bagi kami sekeluarga. Kami pergi ke
situs air terjun Apapuhang yang terletak di Desa Lenganeng, kecamatan Tabukan
Utara. Hari itu kami bangun jauh lebih pagi untuk mempersiapkan diri. Ayah dan Ibu
bahkan telah mempersiapkan perjalanan ini seminggu lebih awal. Tahun ini mereka
ingin merayakan hari ulang tahun ibu dengan cara yang berbeda, kata ayah, yaitu
dengan berwisata alam ke situs yang konon keramat. Saat itu aku masih berusia
tujuh tahun sedangkan Anita berusia empat tahun. Aku tidak tahu apa artinya
keramat. Beberapa rekan ibu menyarankan keduanya agar tidak membawa anak
kecil—tapi apalah artinya piknik tanpa anak-anak? Para tetangga menyarankan
destinasi wisata yang lain. Namun beberapa rekan ayah di sekolah berpendapat
bahwa tempat yang konon keramat itu sekarang sudah banyak berubah; perubahan
zaman serta frekuensi kehadiran manusia membuat air terjun Apapuhang tak
ubahnya situs wisata air terjun pada umumnya. Tentu saja antusiasme dan rasa
penasaran Ayah akan tempat itu tak lepas dari legenda setempat yang menyebut
air terjun Apapuhang sebagai pemukiman salah satu makhluk mitologis pertama
yang pernah mendiami Kepulauan Sangihe. Tempat itu dulunya disebut Balang
Apapuhang, mengacu pada wujud dan posisinya yang terletak di lembah di antara
kaki Gunung Awu dan Desa Lenganeng. Ayah telah mendengar legenda manusia pra
sejarah bernama manusia Apapuhang ini sejak kami masih tinggal di Manado dan
mulai melakukan riset kecil-kecilan. Ketika ia mendapat mutasi kerja di
Sangihe, ia sudah mulai menulis rancangan buku pertamanya tentang cerita-cerita
rakyat dari seluruh daerah di Indonesia. Ayah yang begitu bersemangat
mengerjakan proyek bukunya itu lantas berpendapat bahwa ia harus menginjakkan
kaki secara langsung ke tempat bersejarah itu—untuk membuat tulisannya nanti
terasa lebih otentik. Maka hari ulang tahun ibu dipilih sebagai hari yang
tepat.
Pada
hari ulang tahunnya, Ibu bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan menanak nasi
yang nantinya kami bawa ke air terjun Apapuhang. Aku membawa kacamata hitam
pertamaku sedangkan Anita membawa topi barunya yang berpinggiran lebar dengan
pita bunga aster. Kami berdua sama-sama membawa pakaian renang. Ayah membawa
kamera, buku catatan, serta alat tulis menulis. Ibu mengomel bahwa piknik yang
bersamaan dengan hari ulang tahunnya itu seharusnya tidak dimanfaatkan ayah
untuk bekerja—tapi ayah berkata tak ada salahnya menyelam sambil minum air
dengan porsi menyelam lebih dominan. Tentu saja pada akhirnya kami semua bisa
bersenang-senang dan Ayah melupakan pepatah menyelamnya tadi. Kami berdiri di
sekitar titik air jatuh dan memancarkan arus yang paling deras. Dari atas bongkahan
batu, Ibu mengambil foto kami melalui kamera tustel—benda yang tak ada lagi
saat aku dewasa. Saat kami keluar dari air dan bergabung dengan Ibu di atas
batu untuk makan, ayah kembali bercerita tentang manusia hobbit versi daerah
ini, salah satu dongeng pengantar tidur yang kerap ia ceritakan pada kami
beberapa malam silam. Konon manusia Apapuhang yang kelak tak lagi kasatmata
bagi mata manusia biasa membangun kerajaan mereka di sekitar air terjun itu.
Mereka membangun istana berbalut emas, kisah ayah, yang langsung melongo ketika
aku bertanya dari mana mereka mengambil emasnya. Konon portal untuk masuk ke
dimensi di mana kerajaan manusia Apapuhang berada tepat di belakang air terjun.
Ayah iseng menyelinap di balik air terjun ketika kami masih berenang tadi—siapa
tahu kalau dia terseret ke dunia hobbit versi Sangihe, kata ayah, ia akan
kembali dengan bahan riset yang tak ada tandingannya. Lalu ibu berkata, “Kalau
tidak bawa kamera dan sejumput rambut manusia hobbit, ceritamu nanti hanya akan
jadi cerita fiksi belaka.”
Setelah
kenyang kami kembali berenang. Bahkan ibu ikut bergabung. Aku mengambil
kacamata hitamku dan berenang gaya punggung sehingga kedua mataku tidak
kesilauan. Seekor burung terbang melintas ke arah barat, suaranya yang lantang
terdengar sayup dan jauh pada kedua telingaku yang setengah terendam air. Aku
ingat rasa sejuk air pada tengkuk dan kedua bahuku, rambut ibu yang mengambang
di tengah air—karena ia juga berenang gaya punggung mengikutiku—dan punggung
ayah yang menukik di udara seperti lumba-lumba sebelum kembali meluncur ke
dalam air. Aku ingat menangkap wangi bunga manuru—melati—di
antara bau lumut yang tumbuh menempel di bebatuan. Aku juga ingat melihat topi
berpinggiran lebar Anita mengambang di tengah air di dekat air terjun, pita dan
bunga aster dari perca-perca kain birunya lusuh terkulai karena basah. Itulah
jejak terakhir Anita yang terlihat olehku, sebelum kami lantas menyadari,
dengan panik dan kalut, bahwa ia tak ada lagi bersama kami.
Konon
sebelum mereka ‘meninggalkan’ dunia manusia dan beralih ke dimensi yang tak
kasat mata sebagai makhluk mitologis abadi, manusia Apapuhang bermukim di hutan
dan bertahan hidup dengan berburu seperti manusia biasa—Ampuang—pada zaman pra
sejarah. Mereka juga terkenal sebagai bangsa yang cerdas, melampaui keterbatasan
fisik mereka. Mereka sanggup menciptakan teknologi untuk membuat perahu,
mendirikan rumah, peralatan berburu, peralatan rumah tangga, dan di atas
segalanya, bukankah mereka juga sanggup mendirikan istana berbalut emas? Namun
kepercayaanku pada kisah manusia kerdil ini sebatas pada makhluk mitologis tak
kasat mata yang membangun kerajaan berbahaya di balik air terjun. Aku tidak
akan memercayai kisah manusia Apapuhang lebih daripada itu. Sejak mereka
menculik adik perempuanku, bagiku mereka berubah menjadi makhluk jahat sebangsa
jin.
Pada
hari ulang tahun ibu tujuh tahun yang lalu, menyadari Anita tak ada lagi di
antara kami, Ayah kembali melompat ke dalam air, menduga adikku mungkin
tenggelam. Ibu menebas semak belukar dan dahan-dahan tanaman liar—seperti
bermain petak umpet—sambil berseru memanggil-manggil nama Anita. Aku menggigil kedinginan
dan mulai menangis sambil memandang sekeliling dengan ketakutan, berharap
melihat setengah kepala adikku nongol di antara dua bongkahan batu diikuti cengiran
iseng dan pengakuannya bahwa ia sedang mengerjai kami.
Tapi
hari itu kami tidak menemukannya. Kami tidak berpikir untuk pulang tanpa Anita.
Ibu membantuku berpakaian, mengantarku ke mobil agar ia bisa bergabung dengan Ayah
untuk mengerahkan warga desa setempat mencari anak bungsunya. Dalam waktu
kurang dari dua puluh empat jam, seluruh warga Desa Lenganeng sudah mengetahui
kabar menghilangnya adikku di lokasi situs air terjun Apapuhang. Para lelaki
membentuk kelompok yang kemudian berpencar di sekitar jalan masuk menuju air
terjun. Beberapa perempuan juga ikut dalam pencarian tapi lebih banyak yang cemas
dan sibuk memanggil pulang anak-anak mereka ke dalam naungan atap rumah.
Sebelum senja tiba, akhirnya pihak kepolisian setempat turut dilibatkan. Aku
membayangkan akan ada anjing-anjing pelacak tapi tidak ada anjing pelacak.
Pencarian berlangsung hingga hari hampir gelap. Ayah dan ibu melarang
orang-orang berhenti tapi tentu saja mereka harus berhenti. Ayah dan Ibu
menuduh semua orang tidak punya perasaan dan bahwa mereka bukan manusia; “Anak
perempuanku kedinginan di luar sana!” jerit Ayah dengan telunjuk tertuding ke
arah kegelapan hutan. Tak ada yang bisa menyalahkannya. Para warga berusaha
menenangkan kedua orang tuaku tapi sia-sia. Ibu semaput lantas dibopong ibu-ibu
setempat ke salah satu rumah warga terdekat. Selama beberapa waktu, mereka
melupakan aku di dalam mobil. Selama beberapa waktu, aku juga sempat tak
memahami apa yang terjadi. Satu-satunya yang ada di benakku adalah kenapa Anita
belum juga kembali, kapan kami akan pulang?
Tentu
saja akhirnya kami bisa pulang, tapi situasi telah sepenuhnya berbeda.
Pencarian tetap dilanjutkan hingga berminggu-minggu bahkan beberapa bulan
kemudian. Pihak kepolisan daerah ikut turun tangan sehingga anjing-anjing
pelacak yang ada di bayanganku dulu akhirnya dikerahkan. Foto Anita yang
diambil saat ulang tahunnya yang terakhir menghiasi halaman-halaman koran lokal
bahkan juga stasiun televisi. Ibu berniat menjual gelang dan kalung emas
terakhirnya supaya foto Anita juga bisa dimuat di televisi nasional selama
beberapa pekan. Tapi dia hilang di tengah hutan di pelosok kampung pulau ini,
kata ayah, apa gunanya memuat fotonya di televisi nasional?
“Jangan
kamu pertanyakan apa yang aku lakukan. Kalau mencopot biji mataku juga bisa
mengembalikan Anita, itu juga akan kulakukan,” adalah jawaban ibu. Pertengkaran
di antara keduanya pun merebak hampir setiap malam. Situasi memburuk karena ibu
menuding Ayah sebagai biangkerok. Kalau bukan untuk memenuhi obsesinya akan
cerita-cerita rakyat setempat, Anita tak akan lenyap. Ibu bahkan menuduh Ayah
sengaja menumbalkan Anita pada manusia Apapuhang demi kelancaran proyek bakal
bukunya, yang tentu saja ditepis ayah dengan keras. Perang di antara ayah dan
ibuku mencapai puncak ketika suatu hari akhirnya Ayah memutuskan meninggalkan
rumah. Waktu itu Anita telah menghilang selama sembilan hari. Yang ada di dalam
pikiranku adalah bahwa ayah pergi untuk mencari Anita.
“Ayahmu
itu sudah sinting,” kata Ibu suatu malam ketika kami hanya berdua di tempat
tidur, “sejak dia mengaku mau menampung pamannya di rumah ini, aku tahu dia
tidak waras.”
Kalau
begitu kenapa ibu mau menikah dengannya? pikirku, yang tak pernah kuutarakan.
Alih-alih aku bertanya, ”Ke mana ayah pergi?”
Akhirnya
Ibu mengaku bahwa Ayah pergi ke Manado untuk menemui seorang teman yang konon
pernah bertemu dan mewawancarai salah satu manusia Apapuhang. Si teman dulunya
berprofesi sebagai wartawan lepas. Tiba-tiba tanpa alasan ibu tertawa. Mulanya
hanya tawa kecil yang terdengar seperti sedak, lalu berubah menjadi derai dan
bahak. “Dia bilang temannya itu punya gigi manusia Apapuhang.”
“Gigi?”
Ibu
mengangguk lalu tertawa lagi.
Seperti
apa itu gigi manusia Apapuhang? pikirku. Jika teman Ayah memiliki gigi tersebut
maka ayahku juga tentu pernah melihatnya. Dan jika sebuah gigi ada sebagai
bukti konkret maka bukankah itu berarti kisah manusia Apapuhang bukan sekadar isapan
jempol? Namun ibu masih tertawa hingga sudut matanya berair. Sejenak kemudian
aku mengira ia memang masih tertawa karena bahunya masih gemeletar—namun air
matanya semakin deras. Aku terlalu sering melihat ia menangis sehingga dalam
waktu lama aku sendiri melupakan rasa kehilangan yang ada di hatiku sendiri.
HARAPAN
sempat terbit ketika beberapa lelaki baya yang konon adalah suhu dihadirkan ke
situs air terjun Apapuhang, membawa wadah tempurung berisi kemenyan dan sesuatu
yang mirip rempah-rempah. Asap beraroma wangi meruap memenuhi udara yang lengas.
Para lelaki baya tadi merapalkan sesuatu yang tak bisa kami dengar. Mereka
merunduk, mereka melemparkan sesuatu ke arah air terjun, mereka merapal dan
merapal lagi, dengan mata terpejam. Sementara itu beberapa orang warga Desa Lenganeng
berdiri dalam pola setengah lingkaran di sisi sungai, diam khusyuk dan
kubayangkan mereka juga sedang merapalkan doa atau mantra atau entah apa. Ayah
dan Ibu dan diriku berdiri di atas batu di dekat para suhu yang membakar
kemenyan. Ritual ini dilakukan beriringan dengan usaha pihak kepolisian dan
foto-foto Anita yang masih bertengger di media-media cetak, dan sebelum
pertengkaran Ayah dan Ibu terlalu sering terjadi dan tentu saja sebelum Ayah menemui
temannya di Manado.
Sesungguhnya
aku tak tahu apa yang sedang terjadi saat itu. Aku membayangkan para lelaki
baya yang dipanggil suhu itu, yang berbicara dengan bahasa dan dialek setempat,
sedang bernegosiasi dengan manusia-manusia Apapuhang untuk mengembalikan
adikku. Sampai saat ritual ini dilakukan, aku tak mengaitkan menghilangnya
Anita dengan manusia Apapuhang. Di benakku, kalau bukan diculik orang jahat, adikku
mungkin dimakan ular piton dalam kondisi utuh sehingga jasadnya tak pernah
ditemukan—dan ular piton itu sendiri entah ada di mana.
Beberapa
hari setelah ritual dengan para suhu dilakukan, Ayah pergi ke Manado di tengah
pertengkaran hebatnya dengan Ibu. Suatu hari setelah kepergian Ayah, Kakek
Yanes menanam sebatang pohon pisang abaka di sisi timur rumah kami. Saat
ditanya ibuku, beliau mengaku bibit pohon pisang abaka itu pemberian seorang
teman. Tiga hari kemudian Ayah kembali bersama seorang lelaki berperawakan
ceking dan berambut gondrong. Ibu mengenal siapa lelaki itu tapi karena duka di
hati dan kemarahannya pada sang suami, ia tak mengacuhkan teman ayah. Ialah si
mantan wartawan yang menyimpan sebutir gigi manusia Apapuhang. “Dia juga bisa
bicara bahasa Apapuhang,” kata ayah dengan bersemangat, sejenak tak tampak
sedang berduka, “mungkin saja dia bisa membantu kita untuk melakukan kesepatakan.”
Di
hari yang sama Ayah dan temannya—aku memanggilnya Om Ivan—pergi ke air terjun
Apapuhang tanpa ibu dan tanpa diriku. Sebelum cahaya senja memudar, mereka
sudah kembali, dengan jejak air di ujung celana. “Berhasil,” kata Ayah setelah
mereka kembali ke rumah, “kami berhasil membuat kesepakatan dengan mereka dan
mereka berjanji…”
“Siapa
yang berjanji?” Ibu buru-buru menukas.
“Mereka
berjanji akan mengembalikan Anita dengan cara apapun.”
Bibir
ibu tampak kaku, sorot matanya keluh, “Oh, Tuhan,” gumamnya, “orang ini
benar-benar sudah gila.”
Tujuh
tahun berlalu dan Anita tak pernah kembali dalam hidup kami. Pada tahun ke lima
setelah peristiwa itu, Ibu hamil lagi dan ia melahirkan adik laki-lakiku Ridel,
yang tentu saja bukan reinkarnasi Anita. Ayah menyingkirkan semua bahan riset
cerita rakyatnya dan selama tujuh tahun, rancangan bukunya terbengkalai—dan tak
ada tanda-tanda hendak diselesaikan. Kupikir barangkali ada semacam trauma,
bahwa menggarap proyek itu lagi berpotensi membuka luka lama dan menyiksanya
dengan rasa bersalah. Barangkali akhirnya ia pun sepakat bahwa peristiwa tujuh
tahun lalu itu adalah kesalahannya. Dalam waktu lama pernikahan kedua orang tuaku
terombang-ambing di ujung tanduk; karena itulah sungguh suatu keajaiban bahwa
ibuku bisa melahirkan Ridel yang kini hampir berusia dua tahun dan semakin
mirip ayah—tapi kalau dilihat baik-baik juga mirip Kakek Yanes. Namun di hatiku
Anita tetap tak tergantikan.
SELAMANYA
bibirku terkatup mengenai pemandangan pada suatu malam bulan purnama ketika aku
berusia empat belas. Bukan karena aku khawatir dianggap tidak sopan diam-diam
mengintip Kakek Yanes bermesraan dengan pohon pisang abaka berwujud ganjil itu,
tapi karena kurang dari sebulan setelah malam itu, Kakek Yanes meninggal dunia.
Kematiannya terjadi begitu tiba-tiba; tiada tanda-tanda sakit penyakit, tiada
jejak bunuh diri, atau semacamnya. Karena tiadanya penjelasan inilah maka Ayah
menyimpulkan bahwa pamannya mengalami serangan jantung dalam tidur. “Kematian
yang sungguh tenang dan damai,” bisik Ayah, “Tuhan pasti sangat menyayanginya.
Semoga ia diterima di sisi-Nya.”
Kupikir
Ibu akan merasa bersalah mengingat kebencian yang diam-diam sering ia tujukan
di belakang punggung orang tua itu. Namun ibu tidak menangis bahkan hingga
Kakek Yanes dimakamkan.
Pada
malam ketiga setelah pemakaman, seisi rumah telah dibuai lelap ketika lamat-lamat
terdengar suara tangis bayi pecah di suatu tempat di sisi timur rumah. Ayah
bergegas mengambil senter. Ibu mengambil cardigan untuk menyusul ayah keluar. Aku
disuruh tidak ke mana-mana. Aku yang berdebar penasaran, membayangkan seorang
ibu tak bertanggung jawab meninggalkan bayi tak berdosa di halaman samping
rumah kami. Setelah beberapa menit yang terasa bagaikan selamanya, ayah dan ibu
akhirnya kembali, dan mereka tak lagi berdua tapi kini bertiga dengan segumpal
orok bayi yang masih meraung-raung lemah. Meskipun pusarnya terkulai, orok bayi
ini tidak berlumur darah atau cairan ketuban. Ibu telah membalutnya dengan
cardigan yang ia kenakan tadi dan mulai menimang si bayi dan menyumpal mulutnya
dengan buku jari hingga tangisnya berhenti. Kedua matanya tetap terpejam, kedua
tangannya terkepal di bawah dagu.
“Kamu
tidak akan percaya di mana kami menemukan bayi ini, Aneke,” kata Ayah padaku
dengan suara gemetar, masih bernapas terengah-engah.
“Di
mana?” tanyaku, yang sesungguhnya tak mau mendengar jawabannya.
“Di
jantung pisang abaka yang ditanam kakek Yanes dulu!”
Aku
merasa bagai ditohok pada uluh hati. Aku menyesal tidak turut keluar menyaksikan
kedua orang tuaku mengambil segumpal bayi dari pelepah-pelepah jantung pisang
ajaib!
“Kepalanya
mencuat dari ujung pelepah berwarna merah,” kata ibu, “saat pelepah terbuka
lebih lebar, kepalanya juga terjulur lebih jelas keluar sampai dia bisa
menangis lebih leluasa. Ibu menahan kepalanya sementara ayahmu membuka pelepah
jantung pisang dengan hati-hati, lembar demi lembar sampai seluruh tubuh bayi
ini terpampang dan bisa ditarik keluar.”
Sayang
sekali Kakek Yanes tak ada lagi di sini untuk mendengar kisah ini. Kisah
kelahiran adik perempuanku yang kedua lewat jantung pohon pisang abaka. Aku mengulurkan
telunjuk ke arah kepalan tangannya yang kemerahan. Kulitnya lembut dan dingin. Ketika
tangan kecil itu terbuka, aku menemukan sesuatu yang tak ditemukan siapa pun
ketika mengambil keluar bayi ini dari dalam pelepah jantung pisang tadi.
“Apa
itu?” tanya ibu, melihat aku mengeluarkan sesuatu dari balik kepalan tangan si
bayi. Benda itu terdedah di bawah cahaya lampu, sesuatu berwarna putih
kekuningan, agak lonjong tapi tak beraturan dengan ukuran menyerupai bulir
beras. Ayah mengambil alih benda itu dari ujung telunjukku. “Ini gigi yang sama
yang dilemparkan Ivan ke arah air terjun Apapuhang tujuh tahun lalu,” katanya dengan
takjub. “Kami waktu itu memang membuat kesepakatan,” kisah ayah, “dan gigi ini menjadi
simbol transaksi di antara kami dengan manusia Apapuhang sebab kami tidak tahu
benda lain yang lebih setara. Betapa tidak, ini gigi terakhir manusia Apapuhang
yang masih ada di dunia manusia dan mereka tidak ingin kami memilikinya. Entah
bagaimana bayi ajaib ini bisa membawanya kembali.”
Aku
teringat pemandangan yang tampak olehku beberapa bulan lalu. Pemandangan yang
tak pernah kuutarakan pada siapa pun. Di bawah bulan purnama ketika Kakek Yanes
tampak tengah bermesraan dengan sebatang pohon pisang abaka berwujud perempuan
hamil, mungkinkah saat itu ia sedang membuat kesepakatan? Namun kesepakatan
dengan siapa; dengan bulan, dengan pisang abaka itu sendiri, ataukah dengan
Yang Maha Kuasa sang pencipta bulan dan pisang abaka, hanya Kakek Yanes seorang
yang tahu. Namun jika boleh sekadar menduga-duga, dalam transaksi diam-diam itu
ia tentu mengorbankan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar sebutir
gigi manusia Apapuhang, yaitu nyawanya sendiri. Pertanyaannya adalah kenapa
Kakek Yanes baru melakukan kesepakatan itu tujuh tahun setelah Anita
menghilang?
Kami masih menyimpan benda itu hingga hari ini, benda yang membuat kami percaya bahwa orok bayi yang dilahirkan dari jantung pohon pisang abaka adalah titisan adik perempuanku yang menghilang secara ganjil tujuh tahun silam.
Sukur, 20-10-21
Note:
Abaka: satu spesies pohon pisang yang merupakan tumbuhan asli Filipina namun
juga tumbuh di Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi Utara. Bahasa Ilmiah: Musa
Textilis