Bahtera Raksasa - Daviatul Umam

@kontributor 11/05/2023

Bahtera Raksasa

Daviatul Umam 



Di sebuah ruangan khusus di kantornya, Hendrianto tercenung cukup lama memikirkan kejadian pagi tadi di lampu merah. Sosok lelaki tua yang tadi tiba-tiba muncul di samping pintu mobilnya, ternyata tidak berlalu begitu saja usai mengucapkan “terima kasih” dan mendoakan Hendrianto atas sedekah uang lima ribunya. Alih-alih berpindah memohon belas kasih kepada para pengendara lain, pengemis itu justru melempar sebilah pertanyaan yang berhasil membikin Hendrianto tercekat, “Tahu kisah Nabi Nuh?”

 17 detik berjalan menuju lampu hijau. Tanpa menunggu jawaban dari Hendrianto yang tampak kebingungan, si kakek lanjut berkata-kata, “Tirulah Nabi Nuh. Buatlah kapal yang sekiranya dapat menampung seluruh penduduk kota ini. Percayalah, sepuluh tahun mendatang, kota ini akan tenggelam.”

 Lampu lalu lintas sudah berganti hijau ketika Hendrianto hendak melontarkan sejumlah pertanyaan terhadap pengemis renta itu. Tentu saja Hendrianto akan diteriaki puluhan bunyi klakson, atau bahkan dilempari bermacam pisuhan jika memaksakan kehendaknya. Sebab itu dia lebih memilih menginjak pedal gas dengan memikul setumpuk rasa penasaran, berhubung juga khawatir telat tiba di kantor.

 ***

 Berulang kali Hendrianto berusaha membuang jauh-jauh suatu hal yang terus mengusik pikirannya, tetapi selalu gagal. Dia tahu, sepuluh tahun mendatang sudah pasti ini kota bukan urusan dia lagi. Mau tenggelam atau tidak, itu di luar tanggungjawabnya, untuk tidak mengatakan tidak begitu peduli. Tapi ucapan kakek sialan itu betul-betul membebaninya, berhari-hari. Hampir seluruh waktunya digerogoti pertanyaan-pertanyaan ganjil. Siapa sebenarnya orang itu? Benarkah kota ini bakal tenggelam? Atau omong kosong belaka? Bagaimana kalau benar-benar terjadi?

 Hingga pada suatu malam yang dilanda hujan lebat, Hendrianto bermimpi. Banjir bandang mengaramkan rumah-rumah penduduk. Orang-orang hanyut terseret arus. Dari lantai sembilan sebuah apartemen, Hendrianto melihat istri dan ketiga anaknya juga hanyut dengan mata mendelik dan napas tersengal-sengal. Sementara ketinggian air semakin naik, merendam apartemen yang dia tempati sampai lantai enam. Seseorang lalu menepuk pundaknya dari belakang, wajahnya persis pengemis tua itu, “Saatnya kau menebus dosa-dosamu,” ujarnya dengan kedua mata melotot.

 Hendrianto terperanjat dari tidurnya. Napasnya terengah-engah. Tubuhnya mengucur keringat, meski di luar sana hujan dan angin sedang bertengkar hebat, seolah saling ingin menunjukkan siapa di antara mereka yang lebih perkasa. Hendrianto menatap seorang perempuan di sebelah kanannya tengah mendengkur. Lantas dia bangkit, bergegas memeriksa tiap kamar ketiga anaknya. Mereka sama-sama pulas dengan selimut dan bantal gulingnya masing-masing. Termasuk si bungsu yang masih berumur tujuh bulan, lelap di sisi tubuh bibi pramusiwi, di kasur mungil berkelambu kurung.

 Kemudian, Hendrianto balik ke dalam kamarnya sendiri, duduk menenangkan diri di tepi ranjang. Ditemani dengkuran istrinya, dia mencoba menghubung-hubungkan perkataan si pengemis sepekan lalu dengan perkataan dari orang yang sama di alam mimpinya tadi. Setelah sekian menit berpikir keras, akhirnya dia membuat kesimpulan.

 Barangkali, pikirnya, dia harus segera menebus dosa-dosanya dengan cara melakukan apa yang kakek itu perintahkan. Dia sadar, betapa memang terlampau banyak dosa yang dia perbuat selama ini, sejak dilantik sebagai Wali Kota untuk periode pertama. Tak terbayangkan, entah berapa ton uang yang dia gelapkan seandainya dikumpulkan dalam bentuk konkret lalu ditimbang. Ajaibnya, sama sekali tidak ada yang tahu kalau dia adalah salah satu koruptor kelas kakap. Bahkan istrinya sendiri sekalipun. Tidak pula ada yang tahu kalau dia sering bergumul dengan gadis-gadis di luar sana, selain gadis-gadis itu sendiri.

 Namun, yang menurut Hendrianto sangat konyol dan aneh, mengapa harus dengan membuat kapal untuk menebus dosa? Apakah semua dosanya sungguh-sungguh bakal diampuni bilamana dia mewujudkannya? Pertanyaan lain timbul menyusul. Buat apa dia mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk sesuatu yang tidak jelas kebenarannya? Apa kata rakyatnya nanti? Tidakkah dia akan dicap gila sebagaimana Nabi Nuh dulu? Dan, sekali lagi, apakah kota yang dia pimpin betul-betul akan tenggelam kelak?

 Hendrianto merasa beban pikirannya akan semakin berat jika terus-terusan dia pendam. Dia lalu bercerita tentang pengemis serta mimpi buruk itu kepada istri dan Bapak Wakil Wali Kota. Dari keduanya Hendrianto menerima tanggapan yang kurang-lebih sama: halusinasi dan bunga tidur semata. Tak puas akan jawaban tersebut, diam-diam dia pergi bertanya ke beberapa paranormal termasyhur di kota itu. Hasil terawangan mereka pun dapat dirangkum menjadi satu asumsi sederhana: tidak perlu dipikirkan.

 Maka pulanglah Hendrianto membawa rasa lega yang luar biasa. Kepalanya terasa seperti bulatan balon. Kosong dan ringan. Berkat kenikmatan itu, tebersit suatu niatan di hatinya untuk bertobat dan banyak-banyak bersedekah.

 Tapi rupanya Hendrianto lupa, masih banyak dosa lain yang luput dia sadari. Atau, jangan-jangan dia menganggap perbuatan tercelanya yang lain tidak termasuk kategori dosa. Sehingga mengizinkan investor asing serta mendukung para penambang semena-mena mengeksploitasi lingkungan di daerahnya, dia lumrahkan karena betapa menguntungkannya bagi dirinya. Satu hal lagi, selama hampir dua periode masa kepemimpinannya, Hendrianto dinilai sangat tidak becus dalam menangani bencana banjir yang rutin berkunjung setiap tahun.

 Warga pun sebenarnya juga susah sekali diatur. Terbukti bagaimana mereka seenaknya memperlakukan sungai besar yang membelah sepuluh kecamatan di kota itu. Seperti sudah tidak dibutuhkan lagi, sungai itu kini menjadi penampungan sampah dan limbah secara besar-besaran.

 Semula, cuma pengguna jembatan-jembatan di atasnyalah yang gemar melempar sampah ke tubuh sungai. Namun, lambat-laun warga tepi sungai juga rajin melemparinya sampah dan limbah di malam hari. Alhasil, bukan sampah plastik atau limbah-limbah kecil saja yang mengapung dan mendiami batang sungai. Tak ayal limbah-limbah berat seperti bantal bekas, kasur bekas, selimut bekas, tikar bekas, sandal bekas, sepatu bekas, ban motor bekas, dan barang-barang bekas yang lain, bahkan bangkai-bangkai ayam, makin memperjelas kemustahilan sungai itu untuk kembali bersih dan jernih sebagaimana sedia kala.

 Satu rombongan KKN dari kampus ternama yang dikirim ke kota itu, pernah memusyawarahkan perihal keironian sungai bersama masyarakat setempat. Kira-kira langkah apa saja yang harus mereka lakukan, agar warga berhenti mencemari sungai dan sungai kembali pada kodratnya. Usulan-usulan diajukan hingga membuahkan beberapa kesepakatan.

 Pada hari yang telah ditentukan sesuai hasil musyawarah, para anggota KKN beserta puluhan masyarakat mulai bergerak menuruni sungai. Mereka mencopot spanduk-spanduk lama—berisi larangan mengotori sungai sekaligus peringatan tentang bahayanya merusak sungai—yang sudah pudar dan sobek-sobek, lalu menggantinya dengan spanduk-spanduk baru dengan bahasa yang lebih sarkastis, kemudian dilanjutkan dengan mengangkat sampah dan limbah yang bertebaran di permukaan dan dasar sungai.

 Hampir dua minggu mereka membersihkan sungai seiring jumlah sukarelawan yang semakin berkurang dari hari ke hari, sehingga hanya tinggal segelintir orang. Mereka yang tersisa pun tampak sangat kewalahan, tak terkecuali anggota KKN sendiri. Maka dengan terpaksa mereka mengakhiri kegiatan mandiri itu.

 Memang, hampir sepanjang sungai yang melintasi satu kecamatan bisa dibilang sudah bebas sampah kendatipun airnya tetap hitam dan berbau busuk. Tetapi, kemungkinan itu cuma tujuh persen sampah yang terangkat, dari keseluruhan sampah yang memadati sungai. Sedangkan pihak pemerintah seolah tutup mata, dan lebih cenderung mengutamakan proyek pembangunan. Sama sekali tidak ada upaya penanggulangan ataupun tindakan tegas terhadap orang-orang yang melakukan pencemaran. Lama-lama, air sungai yang telah bebas sampah di satu kecamatan tadi kembali ternodai.

 ***

 Dari tahun ke tahun kondisi sungai semakin tragis. Lebih menyerupai lorong sampah dan limbah ketimbang bentangan sumber daya alam. Di samping itu, penambangan legal maupun ilegal terus berlangsung di mana-mana. Sarana publik juga terus dibangun dan dikembangkan sedemikian megah dengan berbagai akses.

 Kemudian tibalah saatnya hujan yang luar biasa dahsyat menyerang kota yang kepala daerahnya sudah tiga kali berganti itu. Langit hitam-legam saban hari, nyaris tidak pernah memperlihatkan bulan-bintang dan matahari. Sampai pada hari kelima, badai datang menyertai hujan yang teramat ganas. Halilintar menyambar-nyambar, seakan melaknat seluruh isi kota. Tak terelakkan, semua orang begitu panik dibuatnya. Termasuk Hendrianto yang sudah pensiun dan sakit-sakitan, yang sudah benar-benar lupa terhadap seorang pengemis misterius dan mimpi buruknya pada dasawarsa silam.

 Selama tiga jam lebih hujan ganas mengguyur dan belum juga mau mereda. Sungai hitam yang penuh kotoran meluap-luap. Sampah menyebar luas ke mana-mana, menggenangi seluruh tembok bangunan. Sementara air bah setinggi dada orang dewasa menggempur kediaman penduduk, membuat orang-orang semakin panik, menangis, menjerit, menyebut-nyebut asma Tuhan. Mereka naik dan berdiri di atas kursi, meja, ranjang, dan apa saja yang bisa dijadikan tempat bertumpu untuk menghindari gelombang maut yang sedang mengepung mereka.

 Banjir terus meninggi dan meninggi. Perabotan-perabotan rumah mengambang. Bangunan-bangunan kayu hancur. Kendaraan-kendaraan hanyut terguling-guling. Tubuh-tubuh manusia terpental, tak bisa lagi berjejak dan berpegang pada apa pun. Nasib mereka tak ubahnya bangkai hewan yang terapung-apung.

 Dua puluh dua jam berlalu. Badai kian menyusut tapi hujan tetap saja meruah-ruah. Belum puas menelan habis seluruh rumah, sekolah, kampus, kantor, pabrik, restoran, supermarket, mal, hotel, air bah masih berusaha memanjati gedung-gedung pencakar langit. Sedangkan dari kejauhan, entah dari mana asalnya, sebuah bahtera raksasa muncul, mengapung di bawah terpaan hujan dengan sesosok manusia sebagai satu-satunya penumpang. Sosok itulah yang sepuluh tahun lalu pernah menemui Hendrianto dengan penampakan rupa dan wujud yang berbeda.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »