Seharusnya Kamu Mencoba Gayo Wine Bikinanku, Sore Itu - Ali Ibnu Anwar

@kontributor 1/28/2024

Seharusnya Kamu Mencoba Gayo Wine Bikinanku, Sore Itu

Ali Ibnu Anwar



AKU sadar, terjadi perubahan besar pada diriku. Pada tubuhku. Pada waktuku. Pada bagian-bagian yang telah merangkai hari-hariku, setelah melewati masa-masa penuh hantu. Masa-masa, orang takut memegang benda-benda, karena khawatir akan membawanya pada kematian.

Perubahan yang terjadi pada diriku, bukan seperti perubahan yang terjadi pada metamorfosa kupu-kupu. Atau jangan-jangan, seperti perubahan yang terjadi pada Kafka, ketika ia mendapati dirinya berubah menjadi seekor kecoak raksasa. Bagaimana perubahan semacam itu bisa terjadi? Aku sendiri tidak mengerti, karena aku termasuk pembaca yang buruk. Seburuk pemahamanku terhadap perubahanku. Sebab, tahu-tahu, aku sudah menjadi orang lain.

Sore itu, aku melihatmu melintas di depan rumahku. “Restu! Apa kabar?” sapaku. Kamu masih terasa dingin. Ini memang pertama kali aku menyapamu, setelah cukup lama kita tak saling bertemu dan bertamu. Dan akhirnya, kamu menjawab, bahwa kamu baik-baik saja.

“Kamu masih mengenaliku?” pertanyaanku seperti mengundang rasa heranmu. Kamu hanya diam saat pertanyaan itu mendarat di telingamu.

“Tentu! Mana mungkin aku lupa dengan tetangga sendiri,” jawabmu masih dengan penekanan ucap yang menyimpan rasa heran. Padahal, aku berharap kamu berkata “tidak” atau berkelakar, seolah-olah kamu tak mengenaliku. Seperti kelakarmu, pada masa sebelum pandemi mengubah segalanya.

Aku tak yakin, kamu masih mengenaliku. Ketidakyakinan itu memang tidak keluar dari mulutku. Hanya mengeram di dada saja. Aku merasa mulut itu bukan mulutku lagi. Ada perbedaan di tulang rahang, saat aku bicara. Lidah yang tak selancar sebelumnya. Gerakan badan yang tak senyaman, saat kita—aku dan kamu—ngobrol tentang banyak hal di beranda rumah, sambil menikmati bercangkir-cangkir kopi semalam suntuk. Sejak istrimu meninggal karena wabah penyakit itu, kita tidak pernah lagi bertemu. Kamu memilih menetap, setelah memakamkan istrimu di kampung.

“Aku punya Gayo Wine. Apa kau tidak tergoda untuk mencobanya?” Mulutku seperti terpaksa untuk menawarkan sesuatu padamu. Aku berharap kamu tertarik untuk mampir ke rumah, barang sejenak.

“Lain waktu saja. Masih ada keperluan yang harus kuselesaikan,” jawabmu, menolak. Aku tidak memaksa. Tentu jawaban itu, kupikir, juga bukan jawaban dari mulutmu. Barangkali, kamu pun merasa, ada orang lain yang telah hidup dalam dirimu.

Kamu boleh merasa tak ada yang berubah, dari ujung rambut sampai kakiku. Tapi justru karena pertanyaanku di awal, kamu menatapku dengan tatapan tajam dan aneh. Seolah-olah merasakan perubahan pada diriku. Aku juga tak punya maksud lain dengan pertanyaan itu. Aku hanya ingin memastikan di hadapanmu, masihkan ada orang lain di antara kita. Itu saja.

***

SERIBU hari sebelum hari ini, jumlah orang terjangkit wabah meningkat. Orang-orang yang kukenal, tidak seperti yang aku kenal. Mereka seperti orang lain saja. Oh, tidak. Bukan seperti. Tapi sudah menjadi. Mereka menjadi orang lain. Dan sebagai orang lain, mereka berperilaku lain. Orang lain dalam diri mereka mulai resah untuk berkumpul di tengah keramaian. Sementara itu, orang lainnya membeli masker dari orang lainnya. Orang lainnya menjual masker untuk orang lainnya. Orang lainnya menganjurkan pakai masker bagi orang lainnya. Orang lainnya mendenda orang lainnya yang tidak pakai masker. Orang lainnya mencurigai orang lainnya yang bersin-bersin.

Hari-hari dipenuhi orang lain. Sebenarnya aku masih ragu untuk menyebut mereka sebagai orang lain. Karena mereka adalah orang-orang yang aku kenal. Tetangga-tetanggaku. Para penjual galon. Penjaja sayur. Petugas kebersihan. Mereka mulai bertingkah tidak seperti biasanya. Maka dari itu, aku menyebut: ada orang lain yang hidup dalam diri mereka. Semua orang saling melihat gejala yang tidak mengenakkan itu.

Sebagai orang lain baru, mereka mulai menolak jabat tangan dari orang lainnya. Orang lainnya mencari cara untuk membatalkan janji yang ia buat dengan orang lainnya. Orang lainnya membubarkan kerumunan orang-orang lainnya. Walau demikian, mereka bersikeras untuk mempertahankan, bahwa mereka bukan orang lain. Mereka tidak mau disebut sebagai orang lain.

“Lihat, tuh, Bu Nining! Dia jarang keluar rumah. Jarang ngobrol bareng kita-kita lagi. Padahal, biasa aja kali. Ini kan wabah bikinan. Isunya digoreng, biar krispi.” Sekelibat aku mendengar suara istrimu yang berbaur di lapak tukang sayur itu, masuk melalui ventilasi jendela rumahku. Sehingga, aku dapat mendengar percakapan orang-orang yang berkerumun itu, saat membawa-bawa nama istriku.

Bagaimanapun bentuk percakapan itu, tak pernah kuhiraukan. Aku pun tetap bertahan, agar istriku memenuhi segala urusan belanja dapur, sementara waktu menggunakan aplikasi daring saja. Biar saja, orang-orang menganggap kami—aku dan keluargaku—seperti orang lain. Orang yang pengecut untuk keluar rumah. Ya. Orang lain. Mereka mulai menyebut kami sebagai orang lain.

Dan sejak saat itu, seorang orang lain benar-benar keluar dari dalam diriku. Orang lain yang sama persis menyerupai diriku. Orang lain yang bertubuh aku. Orang lain yang juga memiliki rambut gondrong, dan bagian tengah kepalanya sedikit botak, sehingga ia butuh sebuah topi untuk menutupi kepalanya. Orang lain itu keluar dari dalam tubuhku dengan sedikit malu-malu. Seperti ada rasa tidak percaya diri, bahwa ia benar-benar orang lain yang ingin menunjukkan diri.

Orang lain itu mulai jadi pendiam. Hanya berinteraksi dengan berpesan lewat WA dan sosial media. Sesekali membalas email penting. Tak berani bertukar gagasan dengan orang-orang lain yang keluar dari tubuh orang-orang di luar rumahnya.

Sejak itulah ia memikirkan berkerumun dengan cara yang lain. Berkerumun seorang diri dengan seorang diri lainnya, di tempat-tempat lain. Menghadiri undangan dan pertemuan dalam ruangan yang lain. Ruangan dalam laptop dan ponsel pintarnya. Ruangan kecil yang mampu menampung apa saja.

Kotak berukuran kecil itu memperlihatkan dengan jelas, bagaimana orang lain itu benar-benar orang lain yang keluar dari dalam tubuhku. Dalam kotak itu, aku melihat orang lain itu berbicara dengan mimik muka yang lain. Dengan jelas, semua kata-kata yang keluar dari mulutnya mengalami kegagapan. Mulutnya, yang sebenarnya juga mulutku, mulai sering meracau dan berbicara sendiri. Lebih sering tertawa sendiri.

Rutinitas tersebut semakin menguatkan diriku sebagai orang lain. Pelan-pelan namun pasti, orang lain itu mulai menjauhkan tubuhku dari diriku.

Biarlah! Untuk apa mempersoalkan itu. Bagaimanapun, ia adalah diriku yang membiarkan bagian demi bagian tubuhku berlepasan. Tapi hal serius yang tak boleh lepas adalah bagian tubuhku yang menulis.

***

YA. Aku masih terus menulis. Hanya tangan yang kugunakan untuk menulis inilah, yang tak pernah menjadi tangan orang lain.

Pagi itu, orang lain dalam diriku menyalakan kompor dan menuang sedikit air dalam panci. Menunggu air mendidih tanpa suara “tuuut”, seperti suara air mendidih dari teko di dapur-dapur kafe favoritnya. Setelah mendidih, ia segera menuang air itu dalam lubang cangkir yang sudah berisi bubuk kopi. Kopi yang lain. Kopi sasetan. Sebab, ia harus rela tidak mendatangi kafe-kafe yang menyediakan kopi giling: kopi yang bukan kopi yang lain. Lidahnya merasakan pahit yang janggal. Pahit yang lain. Pahit yang keluar dari mesin industri dan merek dagang.

Nampaknya, orang lain itu sudah terbiasa menghadapi pagi yang lain itu. Sebuah pagi yang dibuka dengan rasa panik. Berita-berita di tivi itulah yang sebenarnya menyiarkan kepanikan pagi harinya. Berita yang juga menjadi penyebab utama ia keluar dari dalam tubuhku.

Tayangan-tayangan di tivi itu menyiarkan, bahwa hampir separuh penduduk dunia sedang mengalami perubahan menjadi orang lain. Mau tidak mau, orang lain yang keluar dari tubuhku semakin girang. Rupanya ia punya banyak teman. Ada orang lain yang menetapkan kematian akibat wabah terhadap orang lainnya. Orang lain yang tak terima keluarganya dikubur secara protokol cegah wabah oleh orang lainnya. Orang lainnya mencari cara membeli vaksin untuk menyelamatkan orang lainnya. Orang lainnya menduga ada permainan dilakukan orang lainnya. Orang lainnya diam-diam menunggu simpati dari orang lainnya. Orang lainnya diam-diam mencari simpati dari orang lainnya.

Aku menemukan sebuah cara, yang baru aku sadari belakangan ini, mampu mengembalikan tubuhku hadir secara utuh sebagai diriku. Bukan sebagai orang lain. Bisa jadi itu baru dugaan saja. Karena, aku belum rela tubuhku benar-benar menjadi orang lain.

Kesadaran itu hadir secara tidak sengaja. Sejak sekolah diliburkan, orang lain yang keluar tubuhku seringkali merasa ketakutan, saat bermain dengan anak-anakku. Orang lain itu menciut, seperti balon yang kempes. Semakin menciut, semakin hilang dan masuk ke dalam diriku.

Sejak itu, rumah jadi sekolah yang lain. Anak-anakku menjadi guru di sekolah itu. Guru yang benar-benar guru. Bukan guru yang lain. Guru yang membuat orang lain itu masuk ke dalam tubuhku. Masuk sedalam-dalamnya. Sehingga tak seujung rambut pun bagian darinya dapat kulihat.

Agar semakin meyakinkan, aku menemui istriku dan memintanya masuk ke sekolah yang lain itu. Kami berdua menjadi seorang murid yang benar-benar murid. Bukan murid yang lain. Murid yang banyak belajar bagaimana cara menggunting kertas yang benar, dan cara mewarnai yang tepat. Sebuah cara yang asli. Bukan cara yang dibuat-buat.

Di hadapan guru-guru hebat itu, kami jadi dua orang yang tolol. Ketika mereka meminta kami menggunting selembar kertas dan membuat sebuah benda yang belum kami kenal, aku dan istriku hanya berpandangan. Saling menertawakan kebodohan kami.

Anak-anak pintar itu sudah menjadi guru bagi kami.

Begitu caraku menghadapi orang lain yang keluar dari dalam diriku, yang sebenarnya ingin kuceritakan padamu. Tapi sayang, kau memilih menghiraukan secangkir Gayo Wine yang kutawarkan padamu.

***

BETAPA membosankannya memang, menjalani hidup menjadi orang lain. Bukan sehari dua. Tapi berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga tahun ini kurasa adalah tahun yang melegakan. Kehidupan kembali seperti sedia kala.

Aku tak peduli. Biarlah orang lain itu keluar-masuk tubuhku. Dan yang membuatku bersyukur, aku masih bisa bertemu denganmu. Kamu pun masih mengenaliku, sore itu. Meski kamu menghindar, saat aku menawarimu secangkir Gayo Wine. Padahal aku ingin mendengar cerita, bagaimana caramu menghadapi orang lain yang keluar masuk dari tubuhmu. Sebab, sekian lama setelah kematian istrimu, aku tak yakin, kita masih akan berjumpa sebagai diri kita, sebelum hari-hari penuh hantu itu. Sebelum kita benar-benar menjadi orang lain, yang tidak lagi saling mengenal.*

Madura, Desember 2023

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »